Bagi seorang anak, seburuk apapun orang tua. Mereka adalah tempat bergantung. Tempat untuk pulang. Juga tempat untuk menyaluran perih meski kadang tak ada kalimat yang bisa terucap.Aku yang tumbuh dengan cinta ayah dan ibu, bahkan tidak bisa membenci mereka yang memilih mati. Urung membawaku dan Santo menjemput ajal."Beraninya bajingan itu berkata seperti itu padaku, San. Beraninya dia."Sementara Lais ..., 'aku tidak mungkin bisa mengukur bagiamana ia merasa.'Kecuali tangisnya menghapus canda dan tawa di dapur yang kini dipenuhi isak gadis yang lukanya sejalan dengan amarah dan rasa benci.Pun, tidak bisa menerima ucapan maaf sang ayah.Klep!Suara pintu yang tertutup tak lagi memperdengarkan isak Lais."Enteng banget ya minta maaf." Arka yang keluar bersamaku menunjukkan senyum getir juga ejekan dalam nada suaranya."Hanya karena mereka minta maaf, kita tak punya kewajiban untuk memaafkan mereka 'kan? mereka pikir ini lebaran."Aku bisa mendengar nada kesal dari suara bocah besar
Sejak aku keluar dari rumah dengan menggendong Santo yang lelap karena obat tidur, duniaku serasa gelap.Hujan yang mengguyur tubuhku malam itu bahkan mampu kurasakan sampai detik ini.Aku yang dadanya jadi bukti sekeji apa ayahku di mata manusia yang sudah menempatkan diriku sebagai korban selamat, seolah masih hidup dalam gelap karena tidak ada yang ingin mendengar cerita tentang keluargaku.Mereka sudah menempatkan dimana posisiku dan tidak ingin mengerti apalagi paham jika tatapan mereka yang tidak ramah mampu memberiku pengaruh dalam menjalani keseharian.Apa aku trauma? Bohong jika tidak, saat bapak dan ibu harus mencari dokter kejiwaan agar aku bisa hidup seperti anak-anak lain.Dan dalam dunia gelapku itu, tawa Santo juga keberadaanya adalah satu-satunya cahaya yang mampu memberiku rasa, 'tidak apa menjalani hari setelah bangun dari mimpi yang kadang membuat tubuhku basah oleh keringatku sendiri.'Tidak apa aku menjalani hari saat matahari terbit lalu tidur saat gelap datang.
PUTRI, gadis kecil pemalu itu menatap Santo penuh selidik dari gendongan ibunya yang suka bicara.Wajah asing yang baru kali ini ia lihat begitu menarik hati bocah berusia dua tahun yang biasanya hanya melihatku yang kini datang berdua. Disambut sepasang ibu dan anak yang sudah menunggu di gapura kampung yang akhirnya berani ku masuki."Adikmu ganteng, Run."Aku yang duduk di belakang kemudi menoleh ke belakang."Sungguh, Mbak?" Santo bertanya, "Putri juga cantik. Ngeces lagi, tambah imut." Puji Santo pada bocah perempuan yang mengawasinya penasaran."Denger Cah ayu, kamu dibilang cantik sama Mas Santo, tuh." Ratih menowel pipi putri yang sadar namanya disebut. "Dari situ belok kiri, Run.""Ya." Aku yang sesungguhnya tak perlu diberi petunjuk arah, melajukan mobil yang rodanya menggilas jalan yang membawa banyak kenangan.Belasan tahun sudah berlalu.Jalan yang ku lewati tidak lagi berupa tanah yang ditumbuhi rumput liar, bangunan rumah yang dahulu berupa pagar kayu sudah berubah jadi
Belum genap dua tahun Santo tinggal di rumah yang sedang kami berdua pandangi.Tapi, tawanya, kenakalannya, kelucuannya, begitu membekas dalam benakku yang mendengarkan bagaimana tanggapannya."Rasanya, meski tidak ingat apapun tentang rumah ini, aku tidak merasa asing, Mbak." Santo tersenyum lalu menyandarkan kepalanya di pundakku."Kamu suka sekali berlari, Nang." Ucapku yang pandangan matanya bertemu dengan tatapan Santo yang masih bersandar, sementara putri masih fokus pada layar ponsel yang kupegang."Dan saat Mbak tertinggal, kamu akan berlari dan tak sabar menarik tangan Mbak untuk menunjukkan apapun yang kamu lihat."Santo hanya diam untuk ceritaku tentang kami."Sepertinya, semua hal yang menarik perhatianmu ingin kamu tunjukkan juga pada Mbak. Kucing yang tertidur, ayam yang sedang berkelahi, kerbau yang lewat, semut yang berjalan beriringan, kucing yang menguap meski saat Mbak dateng udah balik tidur lagi dan entah apa lagi. Tapi, kamu selalu membagi apapun dengan mbak, Nan
Ping : aku pun ingin bertemu Runi.Apa aku tidak tahu malu?Entahlah. Yang kutahu, pesan yang langsung masuk sebelum mataku berkedip, membuatku menatap langit gelap yang tidak menyisakan cahaya bintang satupun karena gerimis.Musim hujan masih berlangsung. Tapi, kilat dengan petir yang seakan membelah langit malam tak terasa menggangguku malam ini.Aku yang memilih duduk di atas kasur dengan menggenggam ponsel, justru terus melihat keluar jendela, sementara suara tawa dari dua bocah yang masih melihat potret-potret lama yang di simpan pak Ramlan membuat mataku terasa berat."Aku gak pernah lihat Mbak Runi ketawa lebar seperti ini.""Mbakku cantik 'kan?""Huh, jangan bilang kamu jatuh cinta sama Mbak Runi lho.""Emang, aku cinta banget sama mbakku.""Gelai, ih. Duduk yang jauh sana!"Dan tawa Santo menyusup dari celah pintu yang kulirik. Tidak lama diikuti Lais yang kembali berucap dalam obrolan yang membuatku merebahkan tubuh.Sampai tidak sadar aku jatuh tertidur.Tok! Tok!Ketukan
"Bagaimanapun alasannya, aku adalah orang yang paling harus Clara persalahkan karena hatiku yang berubah, Runi."Sorot mata mas Rendra tidak menyisakan celah untuk bantahan apapun, apalagi saat ibu jarinya kembali mengusap pipiku yang ia tangkup."Jika ia tidak terima pada berakhirnya hubungan kami, bukan padamu ia harus menyalurkan amarah. Tapi, padaku."Aku yang ingin membantah tak bisa berucap karena mas Rendra mengecup bibirku. Sementara pandangan matanya tidak ingin aku mendebatnya untuk satu hal ini.Dan kecupan yang membuat bibirku serasa digelitik lembut, kembali berulang.Sekali...Dua kali...Empat kali...Dan tanganku menyentuh bibir mas Rendra yang memperlihatkan senyum saat tahu aku tidak akan mendebatnya lagi.Clara hamil. Anak yang dikandungnya bukan milik mas Rendra.Tapi siapa? Dedo suami Calista 'kah? Atau Alan, sahabat mas Rendra yang terlihat begitu membela Clara?Namun, kurasa tanya yang hanya tercipta dalam benak, tidak ingin kukatakan saat sorot mata mas Rendra
Aku tahu kenapa mas Rendra menggenggam tanganku saat matanya memperhatikan dua remaja yang sikapnya lebih dewasa dari usia.Lais dan adikku, keduanya didewasakan kehidupan yang membuat mereka mampu berdiri di atas kaki mereka sendiri.Lais yang mengenal ketidak-ramahan dunia dan manusia sejak kecil sampai akhirnya bisa lepas dari sang ayah.Adikku yang mampu tumbuh dan tertawa pada dunia meski tawa itu direnggut karena keluarga bapak merasa terancam dengan keberadaan kami.Dan gadis remaja yang wajahnya berubah sendu untuk kalimat Santo, diam beberapa lama. Menatapi adikku yang senyumnya begitu lebar."Kamu mau kuliah sama aku, Kan? Jadi lakukan yang terbaik seperti yang selalu kamu lakukan. Aku tahu kamu pasti bisa."Mata Lais digenangi air yang langsung ia tepis dengan senyum juga tarikan nafas dalam. "Ok," jawab gadis yang wajah sendunya bercampur dengan tekad yang membuat Santo kembali mengusap kepalanya dengan senyum bangga."Gitu dong, masa anak gadis keluyuran tiap malam.""Gue
'Memilih tinggal dengan adikmu tidak akan mudah, Runi.'Di dalam kepalaku yang menatap ke bawah, suara eyang menggema keras di dalam kepala.'Jadi hubungi aku kapan saja karena orang tua ini akan senang mendengar apapun darimu.'Aku yang meninggalkan keran air menyala, bahkan membeku di atas kakiku sendiri saat melihat adikku kejang tak terkontrol."Mbak... San-to...."Sampai suara Lais yang matanya memancarkan ketakutan tanpa daya, membuat tubuhku seakan disengat listrik."Apa Santo makan sesuatu?"Aku tidak yakin bagiamana suara ku terdengar. Yang kutahu, aku yang kembali bisa menggerakkan badan mendekati tubuh adikku yang terus bergetar di atas lantai dapur.Namun, Lais yang terlihat panik hanya menatapi adikku. Ia tidak lagi bersuara untuk hal yang mungkin baru kali ini dilihatnya sampai membuat Lais begitu syok tidak tahu harus berbuat atau bereaksi seperti apa.'Dan bagaimana denganku?' Pengalamanku bersama ibu mengajarkan diriku banyak hal.Tanpa berpikir aku langsung mengambi