Mas Rendra terdiam, kaget untuk beberapa saat sebelum menatapku dengan tangan memegang seatbelt yang sudah terlepas dari tubuhku."Sampai kapan, Runi?"Aku menatap manik Mas Rendra yang tak lagi nampak tenang, apalagi aku yang tak mau menjawab tanyanya membuka pintu yang aku tutup. Meninggalkannya lalu memanggil pak Misdi yang tersenyum lalu mendekat."Kenapa, Mbak?""Saya boleh minta tolong bantu bawa barang, Pak?""Tentu Mbak," pak Misdi menoleh pada pintu yang dibuka, "sore, Mas Rendra," ia menyapa pria yang akhirnya turun. Menunjukkan senyum meski ekor mata mas Rendra memperhatikan diriku yang meraih palstik belanjaan."Sore juga, Pak." Mas Rendra yang memutari kendaraan, mengambil plastik berisi belanjaan yang sudah ku tenteng, "kita bawa berdua ya, Pak.""Siap, Mas Rendra." Dengan senyum satpam berseragam hitam putih itu menjawab, "belanjanya banyak, Mas.""Lumayan, Pak."Pak Misdi yang terlihat akbar dengan lelaki yang setiap hari datang, berjalan di belakangku bersama mas Rend
Pandangan Santo beralih dari layar ponsel berisi potret bocah perempuan lucu yang mata jernih nan bulatnya membuatku mampu berucap tentang keadaanku saat ini.Di dalam rahimku yang belum menjadi istri siapapun, tumbuh bakal manusia yang masih dan terus berusaha untuk berkembang dan tumbuh.Rasanya, jalan nafasku tersendat saat pandangan Santo yang lurus menatap manik mataku, tidak mengatakan apapun meski bergerak. Tapi aku sama sekali tak mampu membaca kalimat apa yang ada di dalamnya. Sampai--"Akhirnya, Mbak bilang juga sama aku." Dan senyum tercipta dalam bibir Santo yang matanya ikut tertawa. "Hai, ponakannya Om, apak kabar kamu di dalam sana?" Lalu mengusapi perutku, ia tampak begitu senang dan bersemangat.Meski kaget dengan reaksinya, aku hanya diam memperhatikan adikku bicara pada perut rataku."Mulai sekarang, Om gak perlu diem-diem bicara sama kamu pas mama tidur, ya?" Ucapnya yang entah tahu sejak kapan di rahimku tubuh bakal manusia."Tau gak, 3 hari lagi kita akan pulan
Deru mobilku akhirnya berhenti di depan bangunan rumah sakit yang masih menyisakan kehidupan meski tengah malam sudah lewat. Sebelum turun, untuk beberapa saat aku hanya diam di belang kemudi yang mesinnya sudah mati. Dan kini derap langkahku menyusuri lorong rumah sakit yang ubinnya menggemakan tiap kaki beralasku memijak."Dingin banget, minum teh anget enak kayanya.""Penjambret yang jadi bulan-bulanan warga nyaris mati jika polisi tidak segera datang.""Hujan tiap hari, ya. Sampe aku rindu liat matahari panas."Suara manusia pun televisi mengiringi langkahku yang dipandangi beberapa mata penasaran seolah bertanya, 'siapa diriku dan apa yang sedang kulakukan saat jam besuk sudah lama lewat?'Tapi, aku yang datang dengan tujuan tak mengalihkan pandangan kecuali menatap papan informasi yang bisa menunjukan kemana kakiku harus melangkah.Sreeg!Dan saat kakiku berdiri tepat di depan pintu yang kugeser pelan, sunyi menyambut ku.Ruangan itu begitu sepi meski mataku bisa melihat dua p
Bagi seorang anak, seburuk apapun orang tua. Mereka adalah tempat bergantung. Tempat untuk pulang. Juga tempat untuk menyaluran perih meski kadang tak ada kalimat yang bisa terucap.Aku yang tumbuh dengan cinta ayah dan ibu, bahkan tidak bisa membenci mereka yang memilih mati. Urung membawaku dan Santo menjemput ajal."Beraninya bajingan itu berkata seperti itu padaku, San. Beraninya dia."Sementara Lais ..., 'aku tidak mungkin bisa mengukur bagiamana ia merasa.'Kecuali tangisnya menghapus canda dan tawa di dapur yang kini dipenuhi isak gadis yang lukanya sejalan dengan amarah dan rasa benci.Pun, tidak bisa menerima ucapan maaf sang ayah.Klep!Suara pintu yang tertutup tak lagi memperdengarkan isak Lais."Enteng banget ya minta maaf." Arka yang keluar bersamaku menunjukkan senyum getir juga ejekan dalam nada suaranya."Hanya karena mereka minta maaf, kita tak punya kewajiban untuk memaafkan mereka 'kan? mereka pikir ini lebaran."Aku bisa mendengar nada kesal dari suara bocah besar
Sejak aku keluar dari rumah dengan menggendong Santo yang lelap karena obat tidur, duniaku serasa gelap.Hujan yang mengguyur tubuhku malam itu bahkan mampu kurasakan sampai detik ini.Aku yang dadanya jadi bukti sekeji apa ayahku di mata manusia yang sudah menempatkan diriku sebagai korban selamat, seolah masih hidup dalam gelap karena tidak ada yang ingin mendengar cerita tentang keluargaku.Mereka sudah menempatkan dimana posisiku dan tidak ingin mengerti apalagi paham jika tatapan mereka yang tidak ramah mampu memberiku pengaruh dalam menjalani keseharian.Apa aku trauma? Bohong jika tidak, saat bapak dan ibu harus mencari dokter kejiwaan agar aku bisa hidup seperti anak-anak lain.Dan dalam dunia gelapku itu, tawa Santo juga keberadaanya adalah satu-satunya cahaya yang mampu memberiku rasa, 'tidak apa menjalani hari setelah bangun dari mimpi yang kadang membuat tubuhku basah oleh keringatku sendiri.'Tidak apa aku menjalani hari saat matahari terbit lalu tidur saat gelap datang.
PUTRI, gadis kecil pemalu itu menatap Santo penuh selidik dari gendongan ibunya yang suka bicara.Wajah asing yang baru kali ini ia lihat begitu menarik hati bocah berusia dua tahun yang biasanya hanya melihatku yang kini datang berdua. Disambut sepasang ibu dan anak yang sudah menunggu di gapura kampung yang akhirnya berani ku masuki."Adikmu ganteng, Run."Aku yang duduk di belakang kemudi menoleh ke belakang."Sungguh, Mbak?" Santo bertanya, "Putri juga cantik. Ngeces lagi, tambah imut." Puji Santo pada bocah perempuan yang mengawasinya penasaran."Denger Cah ayu, kamu dibilang cantik sama Mas Santo, tuh." Ratih menowel pipi putri yang sadar namanya disebut. "Dari situ belok kiri, Run.""Ya." Aku yang sesungguhnya tak perlu diberi petunjuk arah, melajukan mobil yang rodanya menggilas jalan yang membawa banyak kenangan.Belasan tahun sudah berlalu.Jalan yang ku lewati tidak lagi berupa tanah yang ditumbuhi rumput liar, bangunan rumah yang dahulu berupa pagar kayu sudah berubah jadi
Belum genap dua tahun Santo tinggal di rumah yang sedang kami berdua pandangi.Tapi, tawanya, kenakalannya, kelucuannya, begitu membekas dalam benakku yang mendengarkan bagaimana tanggapannya."Rasanya, meski tidak ingat apapun tentang rumah ini, aku tidak merasa asing, Mbak." Santo tersenyum lalu menyandarkan kepalanya di pundakku."Kamu suka sekali berlari, Nang." Ucapku yang pandangan matanya bertemu dengan tatapan Santo yang masih bersandar, sementara putri masih fokus pada layar ponsel yang kupegang."Dan saat Mbak tertinggal, kamu akan berlari dan tak sabar menarik tangan Mbak untuk menunjukkan apapun yang kamu lihat."Santo hanya diam untuk ceritaku tentang kami."Sepertinya, semua hal yang menarik perhatianmu ingin kamu tunjukkan juga pada Mbak. Kucing yang tertidur, ayam yang sedang berkelahi, kerbau yang lewat, semut yang berjalan beriringan, kucing yang menguap meski saat Mbak dateng udah balik tidur lagi dan entah apa lagi. Tapi, kamu selalu membagi apapun dengan mbak, Nan
Ping : aku pun ingin bertemu Runi.Apa aku tidak tahu malu?Entahlah. Yang kutahu, pesan yang langsung masuk sebelum mataku berkedip, membuatku menatap langit gelap yang tidak menyisakan cahaya bintang satupun karena gerimis.Musim hujan masih berlangsung. Tapi, kilat dengan petir yang seakan membelah langit malam tak terasa menggangguku malam ini.Aku yang memilih duduk di atas kasur dengan menggenggam ponsel, justru terus melihat keluar jendela, sementara suara tawa dari dua bocah yang masih melihat potret-potret lama yang di simpan pak Ramlan membuat mataku terasa berat."Aku gak pernah lihat Mbak Runi ketawa lebar seperti ini.""Mbakku cantik 'kan?""Huh, jangan bilang kamu jatuh cinta sama Mbak Runi lho.""Emang, aku cinta banget sama mbakku.""Gelai, ih. Duduk yang jauh sana!"Dan tawa Santo menyusup dari celah pintu yang kulirik. Tidak lama diikuti Lais yang kembali berucap dalam obrolan yang membuatku merebahkan tubuh.Sampai tidak sadar aku jatuh tertidur.Tok! Tok!Ketukan