Share

140. 18+

Author: Sisi suram
last update Last Updated: 2024-09-06 15:37:51

Rasanya, ini kali pertama mas Rendra benar-benar meminta izin untuk mencium diriku.

Sementara jarinya menyentuh bibirku yang ia dekati saat aku mengangguk.

Cup!

Kecupan yang terasa bak salam, meninggalkan aroma mint menggelitik sampai membuatku menggigit bibir. Sapuan nafas mas Rendra terasa begitu hangat, membuat rambut-rambut halusku meremang.

Sementara mata kami yang terpaut seolah menghadirkan rasa lain.

"Jangan lakukan ini." Ibu jari mas Rendra menyentuh titik bibir yang kugigit.

Aku ingin bertanya, 'kenapa?'

Tapi, kalimat itu hanya bertahan di udara saat mas Rendra kembali mengecup, memangut pun memasukkan lidahnya. Mengabsen tiap inci bagian dalam mulutku yang tidak ingin berkata, 'jangan.'

Tanganku justru merangkul leher lelaki yang membuatku merasa ciuman kami tidak cukup.

Salahkah kami yang hanyut dalam rasa?

Membiarkan insting merajalela sampai mas Rendra yang menggendongku, menutup pintu yang suaranya kalah dengan rintik hujan.

Begitu pelan ia meletakkan diriku di atas ran
Locked Chapter
Continue Reading on GoodNovel
Scan code to download App

Related chapters

  • MENJADI ORANG KEDUA   141. NASIB CALISTA

    "Aku pinjem Runi sebentar ya, Ren."Entah apa yang sedang dipikirkan kasir saat melihatku ditarik Toro masuk lagi ke bagian dalam supermarket, meninggalkan mas Rendra yang tersenyum meski aku yakin ia sama terkejutnya denganku untuk kehadiran Toro."Kamu mau beli apa?" Tanyaku yang turut masuk setelah menoleh pada mas Rendra yang mengangguk, memberi izin."Pempers." Jawab Toro meski matanya menatap papan pengumuman. Pun, terus merangkul lenganku sampai kami berdiri di depan barisan rak yang menjadikan Toro pemandangan heran bagi banyak mata termasuk seles yang sedang menata stok barang."Pempers?" Tanyaku memastikan. Karena apa yang ada di hadapan kami adalah pembalut bermacam merk pun ukuran."Nora bocor, Ciin," bisik Toro seketika, "dan dia lagi ngumpet di kamar mandi sekarang."Lirikan Toro yang suaranya benar-benar kecil membuatku paham, "kamu yang bawa ya, Ciin, malulah aku."Dan aku yang ingin bertanya, "bagaimana jika ia tidak bertemu denganku?" menurut.Pun, memilih pakaian da

    Last Updated : 2024-09-07
  • MENJADI ORANG KEDUA   142. BAGAIMANA DENGAN CLARA?

    "Tau gak, rasanya aku harus mandi kembang lagi sama cuci mata pake air mawar, ciin." Begitu serius ekspresi Toro yang tak mampu memancing senyumku.Mendengar Cerita mereka ..., 'entahlah. Aku tidak yakin apa yang sedang kurasakan.'Calista dipecat, begitupun pak Bram. Apalagi keberadaan mereka tidak begitu berpengaruh padaku yang niat datang ke kota ini hanya untuk mencari adikku. "Seharusnye lo bilang ame gue!" Balas Nora."Buat apaan?" Timpal Toro menenggak jus tomatnya habis separoh. "Biar jadi gosip baru?"Nora mengangkat bahu, "kan bisa jadi bahan tertawaan kita kalo pak Bram lagi kumat.""Kalian ketawa, sementara gue?" Toro kembali menenggak jus tomatnya lapar. Seolah tenggorokannya benar-benar butuh minum. "Asal tau aja, cin, tadinya gue mau ngomong sama Runi, diakan gak ember kayak lo. Tapi, lo keburu dateng dan gue milih gak jadi ngomong plus Pak Salim dateng nanya kita mau titip makan siang apa engak."Dahi Nora berkerut, "kapan em- ... Oh, itu udah lama banget dong!" Ucap

    Last Updated : 2024-09-07
  • MENJADI ORANG KEDUA   143. CLARA, DIA ....

    Kalimat Alan membuat keramaian mall pun jalan raya yang dipenuhi kendaraan terasa sunyi.Tin! Tiiin!Suara klakson ramai yang dibunyikan tidak sabar jadi terdengar jauh. Keramaian mall yang kutinggalkan berdua dengan mas Rendra tak lagi berarti.Suara kehidupan yang seharunya nyaring dari tiap sudut seolah mengecilkan volumenya sendiri.Sementara angin yang berhembus lembut rasanya tak mampu memberi sedikit rasa sejuk pada kami bertiga yang bisa merasakan suasana berubah begitu tidak nyaman.'Clata hamil ....' Dan lelaki yang benar-benar menunggu di samping mobil mas Rendra itu memiliki kalimat yang memang harus ia sampaikan.Tidak hanya pada lelaki yang terus menggenggam tanganku, tapi juga pada diriku yang Alan pandangi dengan ..., 'entahlah. Kurasa aku yang masuk dalam hubungan mas Rendra dan Clara tentu bukan orang baik di mata Alan, bukan?'Tapi ..., 'Clara hamil?'Aku yang bisa melihat kejujuran dalam ucapan pun pandangan Alan, tak ingin mengatakan apapun!"Rendra temanku, Run

    Last Updated : 2024-09-07
  • MENJADI ORANG KEDUA   144. JUJURKU

    Mas Rendra terdiam, kaget untuk beberapa saat sebelum menatapku dengan tangan memegang seatbelt yang sudah terlepas dari tubuhku."Sampai kapan, Runi?"Aku menatap manik Mas Rendra yang tak lagi nampak tenang, apalagi aku yang tak mau menjawab tanyanya membuka pintu yang aku tutup. Meninggalkannya lalu memanggil pak Misdi yang tersenyum lalu mendekat."Kenapa, Mbak?""Saya boleh minta tolong bantu bawa barang, Pak?""Tentu Mbak," pak Misdi menoleh pada pintu yang dibuka, "sore, Mas Rendra," ia menyapa pria yang akhirnya turun. Menunjukkan senyum meski ekor mata mas Rendra memperhatikan diriku yang meraih palstik belanjaan."Sore juga, Pak." Mas Rendra yang memutari kendaraan, mengambil plastik berisi belanjaan yang sudah ku tenteng, "kita bawa berdua ya, Pak.""Siap, Mas Rendra." Dengan senyum satpam berseragam hitam putih itu menjawab, "belanjanya banyak, Mas.""Lumayan, Pak."Pak Misdi yang terlihat akbar dengan lelaki yang setiap hari datang, berjalan di belakangku bersama mas Rend

    Last Updated : 2024-09-08
  • MENJADI ORANG KEDUA   145. KEMARAHAN YANG TERTUTUP MENDUNG

    Pandangan Santo beralih dari layar ponsel berisi potret bocah perempuan lucu yang mata jernih nan bulatnya membuatku mampu berucap tentang keadaanku saat ini.Di dalam rahimku yang belum menjadi istri siapapun, tumbuh bakal manusia yang masih dan terus berusaha untuk berkembang dan tumbuh.Rasanya, jalan nafasku tersendat saat pandangan Santo yang lurus menatap manik mataku, tidak mengatakan apapun meski bergerak. Tapi aku sama sekali tak mampu membaca kalimat apa yang ada di dalamnya. Sampai--"Akhirnya, Mbak bilang juga sama aku." Dan senyum tercipta dalam bibir Santo yang matanya ikut tertawa. "Hai, ponakannya Om, apak kabar kamu di dalam sana?" Lalu mengusapi perutku, ia tampak begitu senang dan bersemangat.Meski kaget dengan reaksinya, aku hanya diam memperhatikan adikku bicara pada perut rataku."Mulai sekarang, Om gak perlu diem-diem bicara sama kamu pas mama tidur, ya?" Ucapnya yang entah tahu sejak kapan di rahimku tubuh bakal manusia."Tau gak, 3 hari lagi kita akan pulan

    Last Updated : 2024-09-09
  • MENJADI ORANG KEDUA   146. MAAF

    Deru mobilku akhirnya berhenti di depan bangunan rumah sakit yang masih menyisakan kehidupan meski tengah malam sudah lewat. Sebelum turun, untuk beberapa saat aku hanya diam di belang kemudi yang mesinnya sudah mati. Dan kini derap langkahku menyusuri lorong rumah sakit yang ubinnya menggemakan tiap kaki beralasku memijak."Dingin banget, minum teh anget enak kayanya.""Penjambret yang jadi bulan-bulanan warga nyaris mati jika polisi tidak segera datang.""Hujan tiap hari, ya. Sampe aku rindu liat matahari panas."Suara manusia pun televisi mengiringi langkahku yang dipandangi beberapa mata penasaran seolah bertanya, 'siapa diriku dan apa yang sedang kulakukan saat jam besuk sudah lama lewat?'Tapi, aku yang datang dengan tujuan tak mengalihkan pandangan kecuali menatap papan informasi yang bisa menunjukan kemana kakiku harus melangkah.Sreeg!Dan saat kakiku berdiri tepat di depan pintu yang kugeser pelan, sunyi menyambut ku.Ruangan itu begitu sepi meski mataku bisa melihat dua p

    Last Updated : 2024-09-09
  • MENJADI ORANG KEDUA   147. MEREKA MEMILIH MATI

    Bagi seorang anak, seburuk apapun orang tua. Mereka adalah tempat bergantung. Tempat untuk pulang. Juga tempat untuk menyaluran perih meski kadang tak ada kalimat yang bisa terucap.Aku yang tumbuh dengan cinta ayah dan ibu, bahkan tidak bisa membenci mereka yang memilih mati. Urung membawaku dan Santo menjemput ajal."Beraninya bajingan itu berkata seperti itu padaku, San. Beraninya dia."Sementara Lais ..., 'aku tidak mungkin bisa mengukur bagiamana ia merasa.'Kecuali tangisnya menghapus canda dan tawa di dapur yang kini dipenuhi isak gadis yang lukanya sejalan dengan amarah dan rasa benci.Pun, tidak bisa menerima ucapan maaf sang ayah.Klep!Suara pintu yang tertutup tak lagi memperdengarkan isak Lais."Enteng banget ya minta maaf." Arka yang keluar bersamaku menunjukkan senyum getir juga ejekan dalam nada suaranya."Hanya karena mereka minta maaf, kita tak punya kewajiban untuk memaafkan mereka 'kan? mereka pikir ini lebaran."Aku bisa mendengar nada kesal dari suara bocah besar

    Last Updated : 2024-09-09
  • MENJADI ORANG KEDUA   148. WAJAH MAS RENDRA

    Sejak aku keluar dari rumah dengan menggendong Santo yang lelap karena obat tidur, duniaku serasa gelap.Hujan yang mengguyur tubuhku malam itu bahkan mampu kurasakan sampai detik ini.Aku yang dadanya jadi bukti sekeji apa ayahku di mata manusia yang sudah menempatkan diriku sebagai korban selamat, seolah masih hidup dalam gelap karena tidak ada yang ingin mendengar cerita tentang keluargaku.Mereka sudah menempatkan dimana posisiku dan tidak ingin mengerti apalagi paham jika tatapan mereka yang tidak ramah mampu memberiku pengaruh dalam menjalani keseharian.Apa aku trauma? Bohong jika tidak, saat bapak dan ibu harus mencari dokter kejiwaan agar aku bisa hidup seperti anak-anak lain.Dan dalam dunia gelapku itu, tawa Santo juga keberadaanya adalah satu-satunya cahaya yang mampu memberiku rasa, 'tidak apa menjalani hari setelah bangun dari mimpi yang kadang membuat tubuhku basah oleh keringatku sendiri.'Tidak apa aku menjalani hari saat matahari terbit lalu tidur saat gelap datang.

    Last Updated : 2024-09-10

Latest chapter

  • MENJADI ORANG KEDUA   231. EPILOG

    Di dalam kamar yang memperdengarkan deburan ombak, aku berbaring di bawah selimut tanpa sehelai benangpun.Hembusan nafas mas Rendra yang pakaiannya pun tergeletak di atas ubin, menyapaiku yang menarik nafas dalam saat melihat senyum di wajahnya terlihat begitu tak bersalah sudah meninggalkan banyak tanda kepemilikan di tubuhku yang ia peluk."Aku sangat rindu padamu, Runi."Entah sudah sebanyak apa kalimat itu ia ucapkan padaku yang tubuhnya terasa lemas. Pun, ditinggali banyak tanda yang akan membekas.Tapi, lelaki yang hasratnya sudah terpenuhi ini tahu di tempat mana ia harus meninggalkan tanda kepemilikan agar anak-anak kami tidak akan bertanya.Satu Minggu meninggalkannya bersama anak-anak, menghadirkan rasa yang sama, "aku juga rindu padamu, Mas."Mas Rendra menarik tubuhku makin rapat, tidak meninggalkan sekat saat kulit kami sudah begitu menempel.Keajaiban.Aku tidak pernah percaya pada kalimat itu.Tapi, aku yang sudah dinyatakan mati mampu bangun setelah mendengar tangis d

  • MENJADI ORANG KEDUA   230. LAST

    ****Dunia akan adil sebagaimana kita memandangnya. Sementara sang waktu tidak akan pernah menunggu siapapun. ***"Pelan-pelan.""Ng!""Jan belisik juga.""Ng!"DUA BOCAH KECIL berjingkat-jingkat tanpa alas kaki, menyusuri lorong dan saling memperingatkan supaya tak berisik dengan suara pelan.Tidak satupun dari keduanya menyadari ada tubuh besar yang mengikuti mereka dari belakang dan memperhatikan dua bocah nakal yang sama sekali tak menoleh kebelakang. Hanya terus menatap tempat yang kedua bocil itu tuju.Dengan tak kalah pelan, salah satu anak kembar identik yang berdiri di depan menurunkan engsel."Pelan-pelan, EV.""Iya, tau. Ini udah pelan, AV." jawab yang di depan tak kalah berbisik, seolah takut ada telinga lain selain milik keduanya tahu apa yang mereka bicarakan."Gimana? papa masih tidul ga?" tanya yang di belakang."Gak keliatan, Av," jawab bocah yang melongokkan kepalanya ke dalam, melihat kasur besar yang tertutup selimut."Papa kenapa gak ngolok, si? jadi gak ketahua

  • MENJADI ORANG KEDUA   229. PERPISAHAN

    Entah kenapa, aku yang sedang membetulkan selimut mas Rendra ingin berlama-lama memandang wajah lelapnya.Seolah aku yang duduk di pinggir kasur, benar-benar ingin menyimpan wajah damai mas Rendra detik ini.Jika tidak ingat pada Aji yang sudah lapar, aku pasti akan duduk lama sampai mataku puas menatap lelaki gagah yang memang butuh istirahat lebih ini, "terimakasih," ucapku mengecup bibir mas Rendra pelan. Meninggalkan gelitik ringan yang membuat mas Rendra makin erat memeluk guling sebagai pengganti diriku, "aku pergi dulu, Mas." Pamitku. "Kita mau sarapan apa, Mbak?"Aji meraih tanganku yang terjulur, jemarinya erat menggenggam tanganku yang sekali lagi menoleh pada kamar yang pintunya kututup. "Kamu mau apa?" tanyaku yang rasanya masih ingin mencuri pandang sesaat saja pada tubuh lelap mas Rendra, seolah tubuhku tidak ingin menjauh darinya. Sungguh, rasa yang tidak biasa. "Mbak lagi pingin makan bubur.""Bubur ayam?"Aku mengangguk, masuk ke dalam lift bersama beberapa orang ya

  • MENJADI ORANG KEDUA   228. MENGALAHKAN EGO

    'Memaksakan diri?'Mas Rendra menegakkan duduknya lalu menatapku."Mungkin bapak dan ibu akan terluka saat mengetahui bahwa amarahnya ternyata salah sasaran. Yuli dan keluarganya hanya orang-orang yang dilibatkan karena keserakahan juga ketakutan dari keluarga bapak sendiri yang merasa terancam." Aku tahu, mas Rendra yang lurus menatap manik mataku tidak ingin menggurui."Tapi, setiap orang harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah mereka lakukan, Runi."Dan aku yang diam tidak menemukan pembelaan."Apalagi, sepupu-sepupumu melibatkan gadis yang mereka lecehkan lalu menciptakan kebohongan buruk yang berpengaruh panjang, Runi. Dan kurasa, mereka bahkan tidak menyesali kerusakan yang sudah mereka ciptakan, bukan?"Aku bahkan tidak berkedip saat mas Rendra nampaknya bisa menebak aku yang hanya diam membenarkan ucapannya.Sepupu-sepupuku, mereka bisa hidup tanpa rasa bersalah.Jangankan merasa bersalah, mereka justru terlihat lega saat tahu Yuli memilih kematian.Mereka bertiga seolah

  • MENJADI ORANG KEDUA   227. PILIHANKU SENDIRI

    "Mereka bilang, aku nakal," bibir tipis Aji mulai bergetar menahan tangis, "aku... aku gak bisa ketemu mbah kalau aku nakal, Mbak."Tidak mungkin bocah nakal yang baru kehilangan kakeknya ini baik-baik saja untuk kalimat yang diucapkan dengan tatapan tajam dan teriakan.Meski tidak mengenal siapa ayah dan ibu kandungnya, kalimat mereka pasti menyisakan bekas yang tidak mungkin bisa Aji abaikan.Aku yang kembali melihat luka dalam mata Aji menarik nafas dalam, menyentuh pipi bocah nakal yang entah sudah sebanyak apa air matanya tumpah sejak kakeknya mati.Dan bertemu dengan orang tua yang baru kali ini datang, nyatanya, justru membuat Aji berdiri ketakutan di pojok dapur."Anak kecil nakal itu hal biasa, Aji," kuusap mata sembab Aji yang tergenang air, "yang tidak biasa itu, orang dewasa yang berteriak terlalu keras saat anaknya nakal, tapi, hanya berteriak dan tak melakukan apapun."Aku menunjukan senyum pada bocah yang menatap begitu lekat, mencerna tiap kata yang kuucap, "lagipula,

  • MENJADI ORANG KEDUA   226. JANGAN BENCI AKU

    'Aji...'Aku langsung berdiri dari tempatku duduk. Menatap bocah lelaki yang pandangannya pun tertuju padaku. Sementara tangannya menggenggam kuat celana panjang yang ia kenakan.Tubuhku bergerak lebih cepat dari otak. Menghampiri bocah yang berdiri mematung.Namun, saat langkah kakiku sudah dekat, ia berlari begitu saja. Melewatiku tanpa kata."Aji!" panggilku, "kamu tau Mbak tak bisa lari mengejarmu, bukan?"Bocah lelaki yang sudah membuka pintu itu berhenti. Menatapku.Sorot matanya ... 'kurasa aku bahkan menahan nafas tanpa kusadari.'Aji anak yang pintar, ia juga anak yang peka."Mbak ... apa Mbak benci padaku?"Ia bahkan terlihat menahan tangis. Sementara getar dalam suaranya seolah sembilu yang menusuk tepat pada jantungku yang masih keras berdetak. "Apa Mbak terlihat seperti orang yang membencimu, Aji?"Aji yang terus menatap, kuat memegang engsel pintu. Ia jadi sangat diam. Juga membisu. Meski aku yakin banyak yang sedang bocah nakal itu pikirkan."Jika jawabanmu tidak, ke

  • MENJADI ORANG KEDUA   225. AMARAH BAPAK

    "MENGURUSNYA!?"Suara keras bapak yang entah tahu darimana niatanku dan mas Rendra pada Aji, terdengar menggema dalam ruangan luas yang ubinnya memantulkan cahaya lampu.Ia memandangku dan Mas Rendra bergantian, sementara Ibu yang duduk di sampingnya meminta bapak untuk tenang"Sabar Pak, sabar." Pinta ibu yang mengusap lengan bapak."Tidak, Bu." Tapi, bapak yang sudah terlanjur emosi tidak ingin mendengar. "Aku tidak akan pernah setuju."Begitu tegas pengucapan bapak kali ini. Seluruh pembawaannya benar-benar menolak apa yang akan aku dan mas Rendra lakukan. Dan sorot matanya yang kembali menatap kami tidak menyimpan ruang untuk sekedar diskusi."Kau tentu tidak lupa pada apa yang telah keluarganya lakukan pada adikmu, bukan? Pada kita semua." Dan ucapan bapak membuat ibu terdiam. Tidak lagi memintanya bersabar.Aku yang tangannya mas Rendra genggam bahkan bisa melihat luka dalam mata ibu. Wanita yang melupakan anak laki-lakinya setelah Yuli yang datang meminta pertanggung jawaban me

  • MENJADI ORANG KEDUA   224. BERSYUKUR

    "Besok siang atau sore mungkin kami baru bisa ke rumah, Pak.""Baik, Mbak Runi, besok saya ngomong sama si Iyah buat nyiapin baju-bajunya Aji.""Terimakasih, Pak Naim.""Sama-sama, Mbak, bisa kangen ini saya sama Aji," ucap pria yang tawanya terdengar dari sambungan telpon."Nanti kita bicarakan itu juga, Pak, saya mungkin butuh tenaga tambahan di rumah juga mbak Iyah kalau mau ikut.""Saya mau, Mbak." Tanpa berpikir pak Naim langsung menjawab, "nanti saya coba omongkan juga sama si Iyah, pas telepon tadi sore dia masih nangis karena dipisahkan dari Aji." Ucapan pak Naim membuat mas Rendra menoleh padaku, "iya, Pak Naim, terimakasih dan selamat istirahat.""Selamat istirahat juga, Mbak Runi."Setelah ponsel yang sambungannya terputus aku letakkan di sofa, kusenderkan kepala pada dada mas Rendra, menatap kamar berisi bocah nakal yang sudah berpindah posisi. "Aku sampai lupa membawa ponselku."Mas Rendra yang menunduk menatapku, tatapannya sedikit berubah.Cerita pak Naim tentang oran

  • MENJADI ORANG KEDUA   223. ORANG TUA

    "Kamu nemenin mbak Runi ya."Aji yang erat memeluk leher mas Rendra hanya menurut saat mas Rendra yang membuka pintu belakang, menurunkannya dari gendongan."Masuklah," mas Rendra mengusap lenganku yang juga menurut, masuk lalu duduk di samping bocah nakal yang menatap rumah yang keributannya teredam saat mas Rendra menutup pintu."Kemarilah," ucapku pada bocah nakal yang mengalihkan pandangan dari rumah tempat ia dan pak Alif menjalani hari.Empat tahun, bocah berumur sepuluh tahun ini sudah tinggal di rumah yang entah keributannya akan berakhir kapan. Tapi aku yakin, Aji lebih mengingat rumah ini daripada rumah tempat ia dan Yuli tinggal."Tidak apa."Hanya itu kalimatku pada Aji yang mendongak, memelukku erat sampai pandangannya menoleh pada mas Rendra yang menyamankan duduk di belakang kemudi, "malam ini kita nginep di hotel dulu." Mata Aji yang sembab terpejam sesaat untuk usapan mas Rendra pada kepalanya, "kasian mbak Runi kalau kita langsung pulang. Iya kan?"Senyum yang mas Re

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status