Rasanya, ini kali pertama mas Rendra benar-benar meminta izin untuk mencium diriku.Sementara jarinya menyentuh bibirku yang ia dekati saat aku mengangguk.Cup!Kecupan yang terasa bak salam, meninggalkan aroma mint menggelitik sampai membuatku menggigit bibir. Sapuan nafas mas Rendra terasa begitu hangat, membuat rambut-rambut halusku meremang.Sementara mata kami yang terpaut seolah menghadirkan rasa lain."Jangan lakukan ini." Ibu jari mas Rendra menyentuh titik bibir yang kugigit.Aku ingin bertanya, 'kenapa?'Tapi, kalimat itu hanya bertahan di udara saat mas Rendra kembali mengecup, memangut pun memasukkan lidahnya. Mengabsen tiap inci bagian dalam mulutku yang tidak ingin berkata, 'jangan.'Tanganku justru merangkul leher lelaki yang membuatku merasa ciuman kami tidak cukup.Salahkah kami yang hanyut dalam rasa?Membiarkan insting merajalela sampai mas Rendra yang menggendongku, menutup pintu yang suaranya kalah dengan rintik hujan.Begitu pelan ia meletakkan diriku di atas ran
"Aku pinjem Runi sebentar ya, Ren."Entah apa yang sedang dipikirkan kasir saat melihatku ditarik Toro masuk lagi ke bagian dalam supermarket, meninggalkan mas Rendra yang tersenyum meski aku yakin ia sama terkejutnya denganku untuk kehadiran Toro."Kamu mau beli apa?" Tanyaku yang turut masuk setelah menoleh pada mas Rendra yang mengangguk, memberi izin."Pempers." Jawab Toro meski matanya menatap papan pengumuman. Pun, terus merangkul lenganku sampai kami berdiri di depan barisan rak yang menjadikan Toro pemandangan heran bagi banyak mata termasuk seles yang sedang menata stok barang."Pempers?" Tanyaku memastikan. Karena apa yang ada di hadapan kami adalah pembalut bermacam merk pun ukuran."Nora bocor, Ciin," bisik Toro seketika, "dan dia lagi ngumpet di kamar mandi sekarang."Lirikan Toro yang suaranya benar-benar kecil membuatku paham, "kamu yang bawa ya, Ciin, malulah aku."Dan aku yang ingin bertanya, "bagaimana jika ia tidak bertemu denganku?" menurut.Pun, memilih pakaian da
"Tau gak, rasanya aku harus mandi kembang lagi sama cuci mata pake air mawar, ciin." Begitu serius ekspresi Toro yang tak mampu memancing senyumku.Mendengar Cerita mereka ..., 'entahlah. Aku tidak yakin apa yang sedang kurasakan.'Calista dipecat, begitupun pak Bram. Apalagi keberadaan mereka tidak begitu berpengaruh padaku yang niat datang ke kota ini hanya untuk mencari adikku. "Seharusnye lo bilang ame gue!" Balas Nora."Buat apaan?" Timpal Toro menenggak jus tomatnya habis separoh. "Biar jadi gosip baru?"Nora mengangkat bahu, "kan bisa jadi bahan tertawaan kita kalo pak Bram lagi kumat.""Kalian ketawa, sementara gue?" Toro kembali menenggak jus tomatnya lapar. Seolah tenggorokannya benar-benar butuh minum. "Asal tau aja, cin, tadinya gue mau ngomong sama Runi, diakan gak ember kayak lo. Tapi, lo keburu dateng dan gue milih gak jadi ngomong plus Pak Salim dateng nanya kita mau titip makan siang apa engak."Dahi Nora berkerut, "kapan em- ... Oh, itu udah lama banget dong!" Ucap
Kalimat Alan membuat keramaian mall pun jalan raya yang dipenuhi kendaraan terasa sunyi.Tin! Tiiin!Suara klakson ramai yang dibunyikan tidak sabar jadi terdengar jauh. Keramaian mall yang kutinggalkan berdua dengan mas Rendra tak lagi berarti.Suara kehidupan yang seharunya nyaring dari tiap sudut seolah mengecilkan volumenya sendiri.Sementara angin yang berhembus lembut rasanya tak mampu memberi sedikit rasa sejuk pada kami bertiga yang bisa merasakan suasana berubah begitu tidak nyaman.'Clata hamil ....' Dan lelaki yang benar-benar menunggu di samping mobil mas Rendra itu memiliki kalimat yang memang harus ia sampaikan.Tidak hanya pada lelaki yang terus menggenggam tanganku, tapi juga pada diriku yang Alan pandangi dengan ..., 'entahlah. Kurasa aku yang masuk dalam hubungan mas Rendra dan Clara tentu bukan orang baik di mata Alan, bukan?'Tapi ..., 'Clara hamil?'Aku yang bisa melihat kejujuran dalam ucapan pun pandangan Alan, tak ingin mengatakan apapun!"Rendra temanku, Run
Mas Rendra terdiam, kaget untuk beberapa saat sebelum menatapku dengan tangan memegang seatbelt yang sudah terlepas dari tubuhku."Sampai kapan, Runi?"Aku menatap manik Mas Rendra yang tak lagi nampak tenang, apalagi aku yang tak mau menjawab tanyanya membuka pintu yang aku tutup. Meninggalkannya lalu memanggil pak Misdi yang tersenyum lalu mendekat."Kenapa, Mbak?""Saya boleh minta tolong bantu bawa barang, Pak?""Tentu Mbak," pak Misdi menoleh pada pintu yang dibuka, "sore, Mas Rendra," ia menyapa pria yang akhirnya turun. Menunjukkan senyum meski ekor mata mas Rendra memperhatikan diriku yang meraih palstik belanjaan."Sore juga, Pak." Mas Rendra yang memutari kendaraan, mengambil plastik berisi belanjaan yang sudah ku tenteng, "kita bawa berdua ya, Pak.""Siap, Mas Rendra." Dengan senyum satpam berseragam hitam putih itu menjawab, "belanjanya banyak, Mas.""Lumayan, Pak."Pak Misdi yang terlihat akbar dengan lelaki yang setiap hari datang, berjalan di belakangku bersama mas Rend
Pandangan Santo beralih dari layar ponsel berisi potret bocah perempuan lucu yang mata jernih nan bulatnya membuatku mampu berucap tentang keadaanku saat ini.Di dalam rahimku yang belum menjadi istri siapapun, tumbuh bakal manusia yang masih dan terus berusaha untuk berkembang dan tumbuh.Rasanya, jalan nafasku tersendat saat pandangan Santo yang lurus menatap manik mataku, tidak mengatakan apapun meski bergerak. Tapi aku sama sekali tak mampu membaca kalimat apa yang ada di dalamnya. Sampai--"Akhirnya, Mbak bilang juga sama aku." Dan senyum tercipta dalam bibir Santo yang matanya ikut tertawa. "Hai, ponakannya Om, apak kabar kamu di dalam sana?" Lalu mengusapi perutku, ia tampak begitu senang dan bersemangat.Meski kaget dengan reaksinya, aku hanya diam memperhatikan adikku bicara pada perut rataku."Mulai sekarang, Om gak perlu diem-diem bicara sama kamu pas mama tidur, ya?" Ucapnya yang entah tahu sejak kapan di rahimku tubuh bakal manusia."Tau gak, 3 hari lagi kita akan pulan
Deru mobilku akhirnya berhenti di depan bangunan rumah sakit yang masih menyisakan kehidupan meski tengah malam sudah lewat. Sebelum turun, untuk beberapa saat aku hanya diam di belang kemudi yang mesinnya sudah mati. Dan kini derap langkahku menyusuri lorong rumah sakit yang ubinnya menggemakan tiap kaki beralasku memijak."Dingin banget, minum teh anget enak kayanya.""Penjambret yang jadi bulan-bulanan warga nyaris mati jika polisi tidak segera datang.""Hujan tiap hari, ya. Sampe aku rindu liat matahari panas."Suara manusia pun televisi mengiringi langkahku yang dipandangi beberapa mata penasaran seolah bertanya, 'siapa diriku dan apa yang sedang kulakukan saat jam besuk sudah lama lewat?'Tapi, aku yang datang dengan tujuan tak mengalihkan pandangan kecuali menatap papan informasi yang bisa menunjukan kemana kakiku harus melangkah.Sreeg!Dan saat kakiku berdiri tepat di depan pintu yang kugeser pelan, sunyi menyambut ku.Ruangan itu begitu sepi meski mataku bisa melihat dua p
Bagi seorang anak, seburuk apapun orang tua. Mereka adalah tempat bergantung. Tempat untuk pulang. Juga tempat untuk menyaluran perih meski kadang tak ada kalimat yang bisa terucap.Aku yang tumbuh dengan cinta ayah dan ibu, bahkan tidak bisa membenci mereka yang memilih mati. Urung membawaku dan Santo menjemput ajal."Beraninya bajingan itu berkata seperti itu padaku, San. Beraninya dia."Sementara Lais ..., 'aku tidak mungkin bisa mengukur bagiamana ia merasa.'Kecuali tangisnya menghapus canda dan tawa di dapur yang kini dipenuhi isak gadis yang lukanya sejalan dengan amarah dan rasa benci.Pun, tidak bisa menerima ucapan maaf sang ayah.Klep!Suara pintu yang tertutup tak lagi memperdengarkan isak Lais."Enteng banget ya minta maaf." Arka yang keluar bersamaku menunjukkan senyum getir juga ejekan dalam nada suaranya."Hanya karena mereka minta maaf, kita tak punya kewajiban untuk memaafkan mereka 'kan? mereka pikir ini lebaran."Aku bisa mendengar nada kesal dari suara bocah besar