Beranda / Rumah Tangga / MENJADI ORANG KEDUA / 114. AJAKAN MAS RENDRA

Share

114. AJAKAN MAS RENDRA

Penulis: Sisi suram
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-01 12:00:55

Aku yang duduk di belakang kemudi, melirik meteran bensin karena lampu peringatan berkedip dengan suara khas.

Tek Tek! Tek Tek!

Otakku yang berpikir meski kepalaku berdenyut, menghampiri hotel terdekat saat ponselku hanya memperlihatkan layar putih.

Brak!

Rasanya aku bersyukur mobil yang kehabisan bensin ini tiba di tempat parkir saat pintunya ku tutup.

"Selamat datang."

Sambutan hangat dengan senyum komersil menyapaku yang menyeret koper. Mendekat pada meja resepsionis yang pegawainya memberi senyum begitu ramah.

"Mau menginap berapa malam, Bu?"

"Dua malam," jawabku yang tak lama melangkah masuk ke dalam lift dengan kartu akses yang kutempelkan pada sensor agar pintunya terbuka.

Bip!

Cklek!

Brak!

Suara pintu yang tertutup otomatis membuatku berdiri diam dengan koper yang gagangnya kupegangi erat.

Meski mataku menyapu kamar dengan ranjang luas, pikiranku melayang pada rumah yang kutinggalkan.

Tangis Riris yang mengejar, wajah terluka eyang, tatapan tajam penuh tuduhan
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • MENJADI ORANG KEDUA   15. TEMPAT UNTUK PULANG

    Tanpa memberiku kesempatan untuk menolak, mas Rendra menyentuh bibirku dengan jari, "kamu taukan semalam aku tidur hanya beberapa jam saja?"Ucapan mas Rendra mengingatkan diriku yang bahkan tidak tahu kapan ia keluar dari kamarku subuh tadi."Dan sekarang, rasanya aku sudah tak bisa lagi menahan kantuk, Runi."Aku yang wajahnya begitu dekat dengan mas Rendra, melihat sudah semerah apa matanya.Dan lelaki yang langsung merebahkan tubuhnya itu menarikku turut berbaring.Tangannya bahkan memelukku yang bisa merasakan secepat apa ia menyambut kantuk."Kamu sama sekali tidak mendengar ucapanku 'kan, Mas?""Aku dengar Runi." Mas Rendra yang matanya terpejam membalas ucapan lirihku, "tapi, kamu harus tetap pulang atau aku sendiri yang akan mengantarkanmu ke Lembang sebelum bapak dan ibuk menjemput kamu.""Kamu menyebalkan sekali." Kesalku mendorong dada mas Rendra."Aku tau," jawabnya membuka mata yang benar-benar butuh lelap, "dan orang menyebalkan ini sungguh ingin tidur."Aku yang tahu i

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-01
  • MENJADI ORANG KEDUA   115. PANGGILANKU DIABAIKAN

    "Bisakah mbak percaya?" Mataku yang menatap lembaran kertas fotokopi yang kuhafal tiap sudutnya karena itu memang gambar sama dengan apa yang kusimpan, tidak berkedip."Dan jika benar itu dia-" suara Riris begitu penuh harap, "-berarti dia massih hiddup, Mbak."Tanganku yang terkepal bergetar untuk ucapan-ucapan Riris."Dia hidup dan sehat, Mbak. Bahkan ia anak berprestasi di sekolah dan punya temen." Riris yang bersemangat terus bercerita, "anaknya juga ceria. Yah, rada pilih-pilih temen gitu sih." Ucapnya lalu tertawa sendiri."Dan kalo bener itu dia, Mbak, tau dia temennya siapa? Dia temenan sama Arka, Mbak." Rasanya Riris bahkan ingin menjerit senang meski bibirnya jadi mengerucut sebal, "juga temenan sama si rese' Silvan. Duh, bisa kebawa pengaruh buruknya. Tapi, gak apa sih, kan ada Arka ya ha ha ha."Riris kembali tertawa. Ia yang rasanya sudah mengatakan hal yang membuatnya begitu bersemangat, menarik nafas lega. "Syukurlah kalau anak malang ini dia, ya Mbak."Mulutku jadi b

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-01
  • MENJADI ORANG KEDUA   117. IA BOHONG PADAKU

    Setelah pamit pada ibunya, Arka mengajakku keluar. Dan ia tersenyum saat tahu aku memarkir mobilku jauh dari rumah tempat ia berdua ibunya tinggal."Mbak bakat jadi detektif."Aku hanya menoleh pada bocah besar yang alamat rumahnya masuk dalam daftar informasi yang kusimpan.Orang-orang yang jasanya kupakai, memasukkan banyak hal untuk lembar-lembar rupiah yang kuberikan termasuk alamat Arka.Hanya saja, aku tidak pernah menanyakan dimana adikku tinggal. Hal yang seharusnya jadi prioritas itu tidak pernah kuinginkan.Kenapa? Mungkin karena itu tentang adikku. Aku ingin mendengar cerita Santo dari mulut adikku sendiri. Bukan dari orang lain apalagi orang-orang yang akan melakukan apapun untuk lembaran rupiah yang dikeluarkan."Kamu bisa bawa mobil, kan?"Arka mengangguk, pun menerima kunci yang kuberikan.Dan ia yang sudah duduk di belakang kemudi melajukan mobil. Kendaraan yang jadi sepi karena tidak ada satupun dari kami bersuara.Bahkan, setelah Arka memarkirkan mobil di taman rama

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-01
  • MENJADI ORANG KEDUA   118. APA YANG KUPINTA

    Tidak banyak yang kuinginkan dalam hidup.Asal bisa melihat senyum Santo, rasanya duniaku sudah sempurna.Hal yang tidak pernah berubah bahkan saat ayah dan ibu kami masih hidup.Dan menemukan tempat yang bisa membuat adikku tertawa setelah orang tua kami mati, adalah tujuan hidupku.Hal yang tidak pernah berubah sampai detik ini.Santo yang mampu tertawa pada dunianya adalah satu-satunya harapan yang kumiliki.Hanya itu****"Selamat ulang tahun!"Aku yang masuk kamar, terkejut dengan suara konfeti mini yang dibunyikan Eyang dan cucu kembarnya. Bocah-bocah besar yang langsung memelukku satu per satu.Sementara Mas Rendra memegang kue dengan lilin menyala."Make a wish, Mbak."Aku memejamkan mata untuk pinta Ares, tapi tak memohon apapun lalu meniup lilin yang nyala matinya mendapat tepukan tangan."Selamat ulang tahun, Mbak Runni.""Aku minta stroberinya ya, Mbak-qu.""Semoga doa-doa baik yang kamu pinta terkabul, Ndok."Aku tersenyum dengan ucapan terimakasih yang keluar begitu lanc

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-01
  • MENJADI ORANG KEDUA   119. TAMPARANNYA MANTAP

    Aku yang sudah duduk, menatap supir taksi yang nampaknya tahu tempat macam apa yang baru kutinggalkan, "bandara, Pak." Jawabku.Setelahnya, mulutku begitu rapat tertutup diantara deru taksi yang meninggalkan gedung dengan cat mengelupas yang terkesan tidak memiliki penghuni."Kemana diriku yang tidak membawa apapun kecuali ponsel akan pergi?"Rasanya, itu arti dari tatapan supir taksi yang biaya ongkosnya kutransfer via ponsel yang diantarkan ke rumah eyang setelah benar oleh pegawai hotel yang kumintai tolong.Dan aku masuk ke dalam bandara ramai yang keriuhannya tidak mampu menyapa jiwaku yang masih menunggu adikku tidak sibuk lagi.******PLAK!!Benar saja, tamparan keras yang tidak membuat terkejut, mendarat di pipiku. Suaranya bahkan menggema dalam ruang yang nampak mewajarkan perlakuan pemilik rumah yang tidak pernah menerima kehadiranku.Tidak dulu, apalagi sekarang."TIDAK TAU DIUNTUNG!"Pemilik tangan yang begitu ringannya melayangkan sentuhan, berteriak sampai urat-urat le

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-01
  • MENJADI ORANG KEDUA   120. DOSA KAMI

    Untuk sesaat ruangan yang ubinnya ku pijak jadi sepi.Ucapan sang kepala keluarga membuat pemilik rumah yang emosinya meledak-ledak, seolah tak memiliki kalimat untuk ia ucapkan pada sang suami.Pupil wanita yang begitu ringannya mengayunkan pukulan pada tubuhku, bahkan terlihat bergetar. Sementara mulutnya yang terbuka, hanya terbuka. Tidak menemukan kalimat untuk ia sampaikan pada sang suami. Apalagi membantah!"Tidak ada lagi yang kita miliki, Mirna."Dan kalimat penegasan itu membuat udara gratis di sekitar keduanya jadi tampak sangat mahal."Kartu kreditmu, liburan-liburanmu, koleksi tas mahalmu, semua kehidupan mewahmu juga Karin, Celo, Roni, juga keluarga mbak Tris dan dua putranya .... kau pikir dari mana aku dapat memenuhi hal itu, Mirna?"Mulut Tante Mirna yang rasanya siap berucap, kembali tertutup. Mungkin, ia sadar suaminya tidak sedang bercanda atau mengatakan lelucon paling bodoh yang bahkan tidak bisa ia tertawakan!"Kau ingin tau darimana kita bisa hidup seperti dulu,

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-02
  • MENJADI ORANG KEDUA   121. GADIS YANG MATI ITU

    Angin semilir menjatuhkan sekuntum Kamboja kuning yang tepat mendarat pada batu nisan sebelum menyentuh tanah basah yang menyisakan hujan semalam. Yuli Aulia binti Rosyid 1998-2015Dalam diam ku tatap makam sederhana yang tampak bersih. Karena rumput-rumput liarnya yang hanya beberapa biji baru saja dicabut.(Maaf, Mbak. Sungguh maafkan saya. Dan tolong sampaikan juga maaf saya pada Santo, saya tidak lagi memiliki keberanian untuk menemuinya.)Rasanya, aku masih bisa mendengar ucapan maaf gadis yang tangisnya tak mampu menarik rasa simpatiku.Jangankan merasa kasihan padanya. Aku bahkan tidak membalas ucap gadis yang memilih mati setelah satu hari keluargaku datang untuk meminangnya. Mempertanggung jawabkan apa yang ia fitnahkan pada adikku!Rasa lega yang ditunjukan kakek dan neneknya, Karena adikku mau bertanggung jawab. Sungguh berbanding terbalik dengan wajah Yuli.Ia begitu kaget pun tidak percaya saat keluargaku datang.Hari itu, rasanya ak

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-02
  • MENJADI ORANG KEDUA   122. DICINTAI KEMATIAN

    Rasanya, begitu banyak kematian yang mewarnai jalanku dan Santo dalam hidup kami.Ayah dan ibu yang memilih kematian tanpa membawa kami.Yuli yang memilih mengakhiri hidupnya sendiri karena rasa bersalah untuk ketulusan adikku, bocah yang tidak sekalipun membantah apalagi membela diri saat batang hidungnya ditunjuki dengan tuduhan penuh kebohongan!Dan nenek Aji ..., wanita yang tahu jika cucunya benar-benar dinodai itu tentu tidak sanggup melihat cucu perempuan yang ia besarkan dengan syukur, bermandikan darahnya sendiri di atas kasur.Aku bahkan tidak bisa membayangkan apa yang dirasakan wanita tua itu sebelum tubuhnya jatuh menjemput ajal.Jika apa yang terjadi padaku dan Santo adalah tragedi. Maka yang terjadi pada keluarga Aji adalah ketidak-adilan.Karena orang-orang yang membawa ketidakberuntungan pada keluarga mereka, masih mampu tidur dengan nyenyak. Makan dan bersenang-senang! Seolah kematian sepasang cucu dan nenek itu tidak berarti apa-apa dan patut dilupakan!"Mas," pangg

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-02

Bab terbaru

  • MENJADI ORANG KEDUA   231. EPILOG

    Di dalam kamar yang memperdengarkan deburan ombak, aku berbaring di bawah selimut tanpa sehelai benangpun.Hembusan nafas mas Rendra yang pakaiannya pun tergeletak di atas ubin, menyapaiku yang menarik nafas dalam saat melihat senyum di wajahnya terlihat begitu tak bersalah sudah meninggalkan banyak tanda kepemilikan di tubuhku yang ia peluk."Aku sangat rindu padamu, Runi."Entah sudah sebanyak apa kalimat itu ia ucapkan padaku yang tubuhnya terasa lemas. Pun, ditinggali banyak tanda yang akan membekas.Tapi, lelaki yang hasratnya sudah terpenuhi ini tahu di tempat mana ia harus meninggalkan tanda kepemilikan agar anak-anak kami tidak akan bertanya.Satu Minggu meninggalkannya bersama anak-anak, menghadirkan rasa yang sama, "aku juga rindu padamu, Mas."Mas Rendra menarik tubuhku makin rapat, tidak meninggalkan sekat saat kulit kami sudah begitu menempel.Keajaiban.Aku tidak pernah percaya pada kalimat itu.Tapi, aku yang sudah dinyatakan mati mampu bangun setelah mendengar tangis d

  • MENJADI ORANG KEDUA   230. LAST

    ****Dunia akan adil sebagaimana kita memandangnya. Sementara sang waktu tidak akan pernah menunggu siapapun. ***"Pelan-pelan.""Ng!""Jan belisik juga.""Ng!"DUA BOCAH KECIL berjingkat-jingkat tanpa alas kaki, menyusuri lorong dan saling memperingatkan supaya tak berisik dengan suara pelan.Tidak satupun dari keduanya menyadari ada tubuh besar yang mengikuti mereka dari belakang dan memperhatikan dua bocah nakal yang sama sekali tak menoleh kebelakang. Hanya terus menatap tempat yang kedua bocil itu tuju.Dengan tak kalah pelan, salah satu anak kembar identik yang berdiri di depan menurunkan engsel."Pelan-pelan, EV.""Iya, tau. Ini udah pelan, AV." jawab yang di depan tak kalah berbisik, seolah takut ada telinga lain selain milik keduanya tahu apa yang mereka bicarakan."Gimana? papa masih tidul ga?" tanya yang di belakang."Gak keliatan, Av," jawab bocah yang melongokkan kepalanya ke dalam, melihat kasur besar yang tertutup selimut."Papa kenapa gak ngolok, si? jadi gak ketahua

  • MENJADI ORANG KEDUA   229. PERPISAHAN

    Entah kenapa, aku yang sedang membetulkan selimut mas Rendra ingin berlama-lama memandang wajah lelapnya.Seolah aku yang duduk di pinggir kasur, benar-benar ingin menyimpan wajah damai mas Rendra detik ini.Jika tidak ingat pada Aji yang sudah lapar, aku pasti akan duduk lama sampai mataku puas menatap lelaki gagah yang memang butuh istirahat lebih ini, "terimakasih," ucapku mengecup bibir mas Rendra pelan. Meninggalkan gelitik ringan yang membuat mas Rendra makin erat memeluk guling sebagai pengganti diriku, "aku pergi dulu, Mas." Pamitku. "Kita mau sarapan apa, Mbak?"Aji meraih tanganku yang terjulur, jemarinya erat menggenggam tanganku yang sekali lagi menoleh pada kamar yang pintunya kututup. "Kamu mau apa?" tanyaku yang rasanya masih ingin mencuri pandang sesaat saja pada tubuh lelap mas Rendra, seolah tubuhku tidak ingin menjauh darinya. Sungguh, rasa yang tidak biasa. "Mbak lagi pingin makan bubur.""Bubur ayam?"Aku mengangguk, masuk ke dalam lift bersama beberapa orang ya

  • MENJADI ORANG KEDUA   228. MENGALAHKAN EGO

    'Memaksakan diri?'Mas Rendra menegakkan duduknya lalu menatapku."Mungkin bapak dan ibu akan terluka saat mengetahui bahwa amarahnya ternyata salah sasaran. Yuli dan keluarganya hanya orang-orang yang dilibatkan karena keserakahan juga ketakutan dari keluarga bapak sendiri yang merasa terancam." Aku tahu, mas Rendra yang lurus menatap manik mataku tidak ingin menggurui."Tapi, setiap orang harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah mereka lakukan, Runi."Dan aku yang diam tidak menemukan pembelaan."Apalagi, sepupu-sepupumu melibatkan gadis yang mereka lecehkan lalu menciptakan kebohongan buruk yang berpengaruh panjang, Runi. Dan kurasa, mereka bahkan tidak menyesali kerusakan yang sudah mereka ciptakan, bukan?"Aku bahkan tidak berkedip saat mas Rendra nampaknya bisa menebak aku yang hanya diam membenarkan ucapannya.Sepupu-sepupuku, mereka bisa hidup tanpa rasa bersalah.Jangankan merasa bersalah, mereka justru terlihat lega saat tahu Yuli memilih kematian.Mereka bertiga seolah

  • MENJADI ORANG KEDUA   227. PILIHANKU SENDIRI

    "Mereka bilang, aku nakal," bibir tipis Aji mulai bergetar menahan tangis, "aku... aku gak bisa ketemu mbah kalau aku nakal, Mbak."Tidak mungkin bocah nakal yang baru kehilangan kakeknya ini baik-baik saja untuk kalimat yang diucapkan dengan tatapan tajam dan teriakan.Meski tidak mengenal siapa ayah dan ibu kandungnya, kalimat mereka pasti menyisakan bekas yang tidak mungkin bisa Aji abaikan.Aku yang kembali melihat luka dalam mata Aji menarik nafas dalam, menyentuh pipi bocah nakal yang entah sudah sebanyak apa air matanya tumpah sejak kakeknya mati.Dan bertemu dengan orang tua yang baru kali ini datang, nyatanya, justru membuat Aji berdiri ketakutan di pojok dapur."Anak kecil nakal itu hal biasa, Aji," kuusap mata sembab Aji yang tergenang air, "yang tidak biasa itu, orang dewasa yang berteriak terlalu keras saat anaknya nakal, tapi, hanya berteriak dan tak melakukan apapun."Aku menunjukan senyum pada bocah yang menatap begitu lekat, mencerna tiap kata yang kuucap, "lagipula,

  • MENJADI ORANG KEDUA   226. JANGAN BENCI AKU

    'Aji...'Aku langsung berdiri dari tempatku duduk. Menatap bocah lelaki yang pandangannya pun tertuju padaku. Sementara tangannya menggenggam kuat celana panjang yang ia kenakan.Tubuhku bergerak lebih cepat dari otak. Menghampiri bocah yang berdiri mematung.Namun, saat langkah kakiku sudah dekat, ia berlari begitu saja. Melewatiku tanpa kata."Aji!" panggilku, "kamu tau Mbak tak bisa lari mengejarmu, bukan?"Bocah lelaki yang sudah membuka pintu itu berhenti. Menatapku.Sorot matanya ... 'kurasa aku bahkan menahan nafas tanpa kusadari.'Aji anak yang pintar, ia juga anak yang peka."Mbak ... apa Mbak benci padaku?"Ia bahkan terlihat menahan tangis. Sementara getar dalam suaranya seolah sembilu yang menusuk tepat pada jantungku yang masih keras berdetak. "Apa Mbak terlihat seperti orang yang membencimu, Aji?"Aji yang terus menatap, kuat memegang engsel pintu. Ia jadi sangat diam. Juga membisu. Meski aku yakin banyak yang sedang bocah nakal itu pikirkan."Jika jawabanmu tidak, ke

  • MENJADI ORANG KEDUA   225. AMARAH BAPAK

    "MENGURUSNYA!?"Suara keras bapak yang entah tahu darimana niatanku dan mas Rendra pada Aji, terdengar menggema dalam ruangan luas yang ubinnya memantulkan cahaya lampu.Ia memandangku dan Mas Rendra bergantian, sementara Ibu yang duduk di sampingnya meminta bapak untuk tenang"Sabar Pak, sabar." Pinta ibu yang mengusap lengan bapak."Tidak, Bu." Tapi, bapak yang sudah terlanjur emosi tidak ingin mendengar. "Aku tidak akan pernah setuju."Begitu tegas pengucapan bapak kali ini. Seluruh pembawaannya benar-benar menolak apa yang akan aku dan mas Rendra lakukan. Dan sorot matanya yang kembali menatap kami tidak menyimpan ruang untuk sekedar diskusi."Kau tentu tidak lupa pada apa yang telah keluarganya lakukan pada adikmu, bukan? Pada kita semua." Dan ucapan bapak membuat ibu terdiam. Tidak lagi memintanya bersabar.Aku yang tangannya mas Rendra genggam bahkan bisa melihat luka dalam mata ibu. Wanita yang melupakan anak laki-lakinya setelah Yuli yang datang meminta pertanggung jawaban me

  • MENJADI ORANG KEDUA   224. BERSYUKUR

    "Besok siang atau sore mungkin kami baru bisa ke rumah, Pak.""Baik, Mbak Runi, besok saya ngomong sama si Iyah buat nyiapin baju-bajunya Aji.""Terimakasih, Pak Naim.""Sama-sama, Mbak, bisa kangen ini saya sama Aji," ucap pria yang tawanya terdengar dari sambungan telpon."Nanti kita bicarakan itu juga, Pak, saya mungkin butuh tenaga tambahan di rumah juga mbak Iyah kalau mau ikut.""Saya mau, Mbak." Tanpa berpikir pak Naim langsung menjawab, "nanti saya coba omongkan juga sama si Iyah, pas telepon tadi sore dia masih nangis karena dipisahkan dari Aji." Ucapan pak Naim membuat mas Rendra menoleh padaku, "iya, Pak Naim, terimakasih dan selamat istirahat.""Selamat istirahat juga, Mbak Runi."Setelah ponsel yang sambungannya terputus aku letakkan di sofa, kusenderkan kepala pada dada mas Rendra, menatap kamar berisi bocah nakal yang sudah berpindah posisi. "Aku sampai lupa membawa ponselku."Mas Rendra yang menunduk menatapku, tatapannya sedikit berubah.Cerita pak Naim tentang oran

  • MENJADI ORANG KEDUA   223. ORANG TUA

    "Kamu nemenin mbak Runi ya."Aji yang erat memeluk leher mas Rendra hanya menurut saat mas Rendra yang membuka pintu belakang, menurunkannya dari gendongan."Masuklah," mas Rendra mengusap lenganku yang juga menurut, masuk lalu duduk di samping bocah nakal yang menatap rumah yang keributannya teredam saat mas Rendra menutup pintu."Kemarilah," ucapku pada bocah nakal yang mengalihkan pandangan dari rumah tempat ia dan pak Alif menjalani hari.Empat tahun, bocah berumur sepuluh tahun ini sudah tinggal di rumah yang entah keributannya akan berakhir kapan. Tapi aku yakin, Aji lebih mengingat rumah ini daripada rumah tempat ia dan Yuli tinggal."Tidak apa."Hanya itu kalimatku pada Aji yang mendongak, memelukku erat sampai pandangannya menoleh pada mas Rendra yang menyamankan duduk di belakang kemudi, "malam ini kita nginep di hotel dulu." Mata Aji yang sembab terpejam sesaat untuk usapan mas Rendra pada kepalanya, "kasian mbak Runi kalau kita langsung pulang. Iya kan?"Senyum yang mas Re

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status