Untuk sesaat ruangan yang ubinnya ku pijak jadi sepi.Ucapan sang kepala keluarga membuat pemilik rumah yang emosinya meledak-ledak, seolah tak memiliki kalimat untuk ia ucapkan pada sang suami.Pupil wanita yang begitu ringannya mengayunkan pukulan pada tubuhku, bahkan terlihat bergetar. Sementara mulutnya yang terbuka, hanya terbuka. Tidak menemukan kalimat untuk ia sampaikan pada sang suami. Apalagi membantah!"Tidak ada lagi yang kita miliki, Mirna."Dan kalimat penegasan itu membuat udara gratis di sekitar keduanya jadi tampak sangat mahal."Kartu kreditmu, liburan-liburanmu, koleksi tas mahalmu, semua kehidupan mewahmu juga Karin, Celo, Roni, juga keluarga mbak Tris dan dua putranya .... kau pikir dari mana aku dapat memenuhi hal itu, Mirna?"Mulut Tante Mirna yang rasanya siap berucap, kembali tertutup. Mungkin, ia sadar suaminya tidak sedang bercanda atau mengatakan lelucon paling bodoh yang bahkan tidak bisa ia tertawakan!"Kau ingin tau darimana kita bisa hidup seperti dulu,
Angin semilir menjatuhkan sekuntum Kamboja kuning yang tepat mendarat pada batu nisan sebelum menyentuh tanah basah yang menyisakan hujan semalam. Yuli Aulia binti Rosyid 1998-2015Dalam diam ku tatap makam sederhana yang tampak bersih. Karena rumput-rumput liarnya yang hanya beberapa biji baru saja dicabut.(Maaf, Mbak. Sungguh maafkan saya. Dan tolong sampaikan juga maaf saya pada Santo, saya tidak lagi memiliki keberanian untuk menemuinya.)Rasanya, aku masih bisa mendengar ucapan maaf gadis yang tangisnya tak mampu menarik rasa simpatiku.Jangankan merasa kasihan padanya. Aku bahkan tidak membalas ucap gadis yang memilih mati setelah satu hari keluargaku datang untuk meminangnya. Mempertanggung jawabkan apa yang ia fitnahkan pada adikku!Rasa lega yang ditunjukan kakek dan neneknya, Karena adikku mau bertanggung jawab. Sungguh berbanding terbalik dengan wajah Yuli.Ia begitu kaget pun tidak percaya saat keluargaku datang.Hari itu, rasanya ak
Rasanya, begitu banyak kematian yang mewarnai jalanku dan Santo dalam hidup kami.Ayah dan ibu yang memilih kematian tanpa membawa kami.Yuli yang memilih mengakhiri hidupnya sendiri karena rasa bersalah untuk ketulusan adikku, bocah yang tidak sekalipun membantah apalagi membela diri saat batang hidungnya ditunjuki dengan tuduhan penuh kebohongan!Dan nenek Aji ..., wanita yang tahu jika cucunya benar-benar dinodai itu tentu tidak sanggup melihat cucu perempuan yang ia besarkan dengan syukur, bermandikan darahnya sendiri di atas kasur.Aku bahkan tidak bisa membayangkan apa yang dirasakan wanita tua itu sebelum tubuhnya jatuh menjemput ajal.Jika apa yang terjadi padaku dan Santo adalah tragedi. Maka yang terjadi pada keluarga Aji adalah ketidak-adilan.Karena orang-orang yang membawa ketidakberuntungan pada keluarga mereka, masih mampu tidur dengan nyenyak. Makan dan bersenang-senang! Seolah kematian sepasang cucu dan nenek itu tidak berarti apa-apa dan patut dilupakan!"Mas," pangg
Nama. Sesungguhnya, apa arti sebuah nama dalam hidup manusia? ***Panggilan mas Rendra untuk nama yang tidak pernah ku lupakan, membuat seluruh diriku membisu.Mataku yang menatap mas Rendra, rasanya mampu melihat tawa ayah dan ibuku yang memilih bagaimana mereka mati!(Mbak Nuri, ayo bangun, sayang. Sampai kapan kamu mau tidur?)(Lihat ayah bawa apa untuk kamu dan Santo, Mbak Nuri.)(Nuri, kemari, Nak. Bantu ibu menata makanan)(Ha ha ha, lihat cantik sekali anak ayah dan ibu)Sementara panggilan itu berubah setelah adikku bisa bicara. setidaknya bukan bahasa planet seperti. 'tatatatata' atau 'nanananata.'Mbak Nuri, panggilan itu sesekali berganti dengan Ui.Dan Nuri Aliyah Efendi?Aku tidak pernah mengira, akan ada orang lain yang mengucapkan nama yang seharusnya terlupakan itu. Kecuali Santo, itupun hanya nama depanku saja karena adikku yang sudah lancar memanggil selalu memanggilku Mbak Ui---mbak Nurinya.Meski namaku berganti sepenuhnya, aku tak membiarkan mereka mengganti nam
Siapa yang bisa membayangkan adikku yang hanya mengenal ibu sebagai ibunya, berucap kalimat seperti itu.Kalimat yang pasti sangat mematahkan hati Santo!Ibu yang jatuh sakit setelah Yuli dan keluarganya datang, begitu terpukul dengan kabar Yuli yang mati sehari setelah kami datang melamar.Sementara keluarga bapak, tidak ingin meninggalkan ibu dengan cerita-cerita yang semakin membuat hati ibu yang sudah lemah, makin hancur lalu berakhir dengan serangan storke.Begitu sadar setelah pingsan, meski badannya tak bisa bergerak, mata ibu menatapi Santo begitu lekat. Seolah sedang mengenali wajah yang tidak pernah ia lihat!"Dia siapa, Ndok?"Dan kalimat ibu yang suaranya jadi tak jelas karena mulut ibu tak lagi simetris, terdengar begitu tidak masuk akal."Santo? Santo siapa, Ndok?"Dan kalimat tak masuk akal ibu jadi kenyataan menyakitkan terutama bagi adikku!Bocah yang hatinya pasti begitu patah karena ibu yang wajahnya selalu muram sejak Yuli datang, bisa tertawa saat nama Santo tak l
Membuka diri pada orang lain nyatanya begitu melelahkan. Tapi, aku tidak akan bohong jika sesuatu rasanya terangkat dari hatiku.Rinduku masih sama, kesesakanku pun nyata adanya. Hanya saja, sesuatu dalam diriku rasanya berubah.Apa yang berubah? Entahlah. Aku tidak yakin untuk jawban dari tanyaku ini.Apalagi saat mas Rendra yang memelukku menunjukkan sorot yang juga tak berubah. Pandangan matanya sama sekali tidak menilai apalagi menghakimi.Justru sebaliknya, penerimaan tanpa tapi-lah yang ia tunjukkan padaku yang memeluk lutut. Hal yang jadi kebiasaan saat aku merasa tidak nyaman."Kamu tahu, Runi." Ucapnya, "tidak perduli apa yang orang lain katakan, asal kamu percaya orang tuamu adalah manusia penuh kasih, tidakkah itu cukup?"Jari mas Rendra yang besar bahkan mengusap pipi basahku, "orang lain bisa mengatakan apapun yang mereka mau. Pun, menyembunyikan yang mereka tahu, karena itu memang sudah sifat alami manusia.""Hidupmu, aku ingin bertemu dengannya suatu saat nanti, Runi."
Jika mas Rendra tidak bergeser untuk melindungi ku. Karin yang dikejar pak Bowo pasti sudah menerjang ku mentah-mentah. "SIALAN!" Dan Karin yang dijauhkan begitu pak Bowo meraih tubuhnya, berontak dengan teriakan yang membuat urat-urat lehernya menonjol. "Lepasin gue sialan. Gue harus ngasih pelajaran sama anjing tak tahu diri itu!" Begitu lancar penyebutan Karin yang berteriak ingin melepaskan diri. Bangsat..anjing..anak pungut hina..pencuri...manusia rendah tak tau diri..anak pembunuh keji...tak tau berterima kasih...brengsek...pelacur! Kurasa, mulut Karin hanya mengeluarkan makian yang ditunjukkannya padaku dengan nafas yang naik turun dan tatapan penuh kebencian saat usahanya sia-sia. "LEPAS, BRENGSEK!!" Tapi, pak Bowo sama sekali tak bergeming dan terus memegangi tubuh Karin yang berontak. Seolah tendangan Karin pada kakinya tidak berarti apapun. "Tidak apa-apa, Mbok, Mbak. Masuklah." Mbok Surti dan mbak Imah yang jadi penonton, mengangguk lalu berjalan masuk ke dalam r
Gila kah diriku? Tentu saja. Karena jika aku waras, tidak mungkin aku membiarkan adikku pergi sendirian dari rumah tempat ia tumbuh. Jika aku tidak gila, aku tidak mungkin bisa menahan diri untuk menyakiti orang-orang yang mengganggu adikku. Manusia-manusia yang membuat adikku dilupakan ibunya! Kurasa, Karin dan keluarganya yang tidak pernah menerima kehadiran ku dan Santo benar aku adalah anak gila, 'karena jika aku adalah manusia yang waras, tidak mungkin aku bisa berdiri begitu tenang di sampingnya yang bahkan tidak berkedip.' Sementara sorot mata yang sedang ia perlihatkan, memancarkan sedikit ketakutan diantara amarahnya yang tak juga padam. "Dan seharusnya kamu, anak yang begitu dibanggakan orang tua karena lulusan luar negri pasti tahu, aku tidak mencuri apapun dari keluargamu." "OMONG KOSONG!" Teriak Karin begitu tidak terima. "Kau pikir aku tidak tau apa yang kau ambil dari keluargaku, hah!?" Seolah aku tidak mampu mendengar uacapannya, suara Karin terus saja meninggi