Beranda / Rumah Tangga / MENJADI ORANG KEDUA / 119. TAMPARANNYA MANTAP

Share

119. TAMPARANNYA MANTAP

Penulis: Sisi suram
last update Terakhir Diperbarui: 2024-09-01 15:21:37

Aku yang sudah duduk, menatap supir taksi yang nampaknya tahu tempat macam apa yang baru kutinggalkan, "bandara, Pak." Jawabku.

Setelahnya, mulutku begitu rapat tertutup diantara deru taksi yang meninggalkan gedung dengan cat mengelupas yang terkesan tidak memiliki penghuni.

"Kemana diriku yang tidak membawa apapun kecuali ponsel akan pergi?"

Rasanya, itu arti dari tatapan supir taksi yang biaya ongkosnya kutransfer via ponsel yang diantarkan ke rumah eyang setelah benar oleh pegawai hotel yang kumintai tolong.

Dan aku masuk ke dalam bandara ramai yang keriuhannya tidak mampu menyapa jiwaku yang masih menunggu adikku tidak sibuk lagi.

*

**

***

PLAK!!

Benar saja, tamparan keras yang tidak membuat terkejut, mendarat di pipiku. Suaranya bahkan menggema dalam ruang yang nampak mewajarkan perlakuan pemilik rumah yang tidak pernah menerima kehadiranku.

Tidak dulu, apalagi sekarang.

"TIDAK TAU DIUNTUNG!"

Pemilik tangan yang begitu ringannya melayangkan sentuhan, berteriak sampai urat-urat le
Bab Terkunci
Lanjutkan Membaca di GoodNovel
Pindai kode untuk mengunduh Aplikasi

Bab terkait

  • MENJADI ORANG KEDUA   120. DOSA KAMI

    Untuk sesaat ruangan yang ubinnya ku pijak jadi sepi.Ucapan sang kepala keluarga membuat pemilik rumah yang emosinya meledak-ledak, seolah tak memiliki kalimat untuk ia ucapkan pada sang suami.Pupil wanita yang begitu ringannya mengayunkan pukulan pada tubuhku, bahkan terlihat bergetar. Sementara mulutnya yang terbuka, hanya terbuka. Tidak menemukan kalimat untuk ia sampaikan pada sang suami. Apalagi membantah!"Tidak ada lagi yang kita miliki, Mirna."Dan kalimat penegasan itu membuat udara gratis di sekitar keduanya jadi tampak sangat mahal."Kartu kreditmu, liburan-liburanmu, koleksi tas mahalmu, semua kehidupan mewahmu juga Karin, Celo, Roni, juga keluarga mbak Tris dan dua putranya .... kau pikir dari mana aku dapat memenuhi hal itu, Mirna?"Mulut Tante Mirna yang rasanya siap berucap, kembali tertutup. Mungkin, ia sadar suaminya tidak sedang bercanda atau mengatakan lelucon paling bodoh yang bahkan tidak bisa ia tertawakan!"Kau ingin tau darimana kita bisa hidup seperti dulu,

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-02
  • MENJADI ORANG KEDUA   121. GADIS YANG MATI ITU

    Angin semilir menjatuhkan sekuntum Kamboja kuning yang tepat mendarat pada batu nisan sebelum menyentuh tanah basah yang menyisakan hujan semalam. Yuli Aulia binti Rosyid 1998-2015Dalam diam ku tatap makam sederhana yang tampak bersih. Karena rumput-rumput liarnya yang hanya beberapa biji baru saja dicabut.(Maaf, Mbak. Sungguh maafkan saya. Dan tolong sampaikan juga maaf saya pada Santo, saya tidak lagi memiliki keberanian untuk menemuinya.)Rasanya, aku masih bisa mendengar ucapan maaf gadis yang tangisnya tak mampu menarik rasa simpatiku.Jangankan merasa kasihan padanya. Aku bahkan tidak membalas ucap gadis yang memilih mati setelah satu hari keluargaku datang untuk meminangnya. Mempertanggung jawabkan apa yang ia fitnahkan pada adikku!Rasa lega yang ditunjukan kakek dan neneknya, Karena adikku mau bertanggung jawab. Sungguh berbanding terbalik dengan wajah Yuli.Ia begitu kaget pun tidak percaya saat keluargaku datang.Hari itu, rasanya ak

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-02
  • MENJADI ORANG KEDUA   122. DICINTAI KEMATIAN

    Rasanya, begitu banyak kematian yang mewarnai jalanku dan Santo dalam hidup kami.Ayah dan ibu yang memilih kematian tanpa membawa kami.Yuli yang memilih mengakhiri hidupnya sendiri karena rasa bersalah untuk ketulusan adikku, bocah yang tidak sekalipun membantah apalagi membela diri saat batang hidungnya ditunjuki dengan tuduhan penuh kebohongan!Dan nenek Aji ..., wanita yang tahu jika cucunya benar-benar dinodai itu tentu tidak sanggup melihat cucu perempuan yang ia besarkan dengan syukur, bermandikan darahnya sendiri di atas kasur.Aku bahkan tidak bisa membayangkan apa yang dirasakan wanita tua itu sebelum tubuhnya jatuh menjemput ajal.Jika apa yang terjadi padaku dan Santo adalah tragedi. Maka yang terjadi pada keluarga Aji adalah ketidak-adilan.Karena orang-orang yang membawa ketidakberuntungan pada keluarga mereka, masih mampu tidur dengan nyenyak. Makan dan bersenang-senang! Seolah kematian sepasang cucu dan nenek itu tidak berarti apa-apa dan patut dilupakan!"Mas," pangg

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-02
  • MENJADI ORANG KEDUA   123. DUKA MEREKA

    Nama. Sesungguhnya, apa arti sebuah nama dalam hidup manusia? ***Panggilan mas Rendra untuk nama yang tidak pernah ku lupakan, membuat seluruh diriku membisu.Mataku yang menatap mas Rendra, rasanya mampu melihat tawa ayah dan ibuku yang memilih bagaimana mereka mati!(Mbak Nuri, ayo bangun, sayang. Sampai kapan kamu mau tidur?)(Lihat ayah bawa apa untuk kamu dan Santo, Mbak Nuri.)(Nuri, kemari, Nak. Bantu ibu menata makanan)(Ha ha ha, lihat cantik sekali anak ayah dan ibu)Sementara panggilan itu berubah setelah adikku bisa bicara. setidaknya bukan bahasa planet seperti. 'tatatatata' atau 'nanananata.'Mbak Nuri, panggilan itu sesekali berganti dengan Ui.Dan Nuri Aliyah Efendi?Aku tidak pernah mengira, akan ada orang lain yang mengucapkan nama yang seharusnya terlupakan itu. Kecuali Santo, itupun hanya nama depanku saja karena adikku yang sudah lancar memanggil selalu memanggilku Mbak Ui---mbak Nurinya.Meski namaku berganti sepenuhnya, aku tak membiarkan mereka mengganti nam

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-02
  • MENJADI ORANG KEDUA   124. SIAPA DIRIKU?

    Siapa yang bisa membayangkan adikku yang hanya mengenal ibu sebagai ibunya, berucap kalimat seperti itu.Kalimat yang pasti sangat mematahkan hati Santo!Ibu yang jatuh sakit setelah Yuli dan keluarganya datang, begitu terpukul dengan kabar Yuli yang mati sehari setelah kami datang melamar.Sementara keluarga bapak, tidak ingin meninggalkan ibu dengan cerita-cerita yang semakin membuat hati ibu yang sudah lemah, makin hancur lalu berakhir dengan serangan storke.Begitu sadar setelah pingsan, meski badannya tak bisa bergerak, mata ibu menatapi Santo begitu lekat. Seolah sedang mengenali wajah yang tidak pernah ia lihat!"Dia siapa, Ndok?"Dan kalimat ibu yang suaranya jadi tak jelas karena mulut ibu tak lagi simetris, terdengar begitu tidak masuk akal."Santo? Santo siapa, Ndok?"Dan kalimat tak masuk akal ibu jadi kenyataan menyakitkan terutama bagi adikku!Bocah yang hatinya pasti begitu patah karena ibu yang wajahnya selalu muram sejak Yuli datang, bisa tertawa saat nama Santo tak l

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-02
  • MENJADI ORANG KEDUA   125. AKU MERAJUK PADANYA?

    Membuka diri pada orang lain nyatanya begitu melelahkan. Tapi, aku tidak akan bohong jika sesuatu rasanya terangkat dari hatiku.Rinduku masih sama, kesesakanku pun nyata adanya. Hanya saja, sesuatu dalam diriku rasanya berubah.Apa yang berubah? Entahlah. Aku tidak yakin untuk jawban dari tanyaku ini.Apalagi saat mas Rendra yang memelukku menunjukkan sorot yang juga tak berubah. Pandangan matanya sama sekali tidak menilai apalagi menghakimi.Justru sebaliknya, penerimaan tanpa tapi-lah yang ia tunjukkan padaku yang memeluk lutut. Hal yang jadi kebiasaan saat aku merasa tidak nyaman."Kamu tahu, Runi." Ucapnya, "tidak perduli apa yang orang lain katakan, asal kamu percaya orang tuamu adalah manusia penuh kasih, tidakkah itu cukup?"Jari mas Rendra yang besar bahkan mengusap pipi basahku, "orang lain bisa mengatakan apapun yang mereka mau. Pun, menyembunyikan yang mereka tahu, karena itu memang sudah sifat alami manusia.""Hidupmu, aku ingin bertemu dengannya suatu saat nanti, Runi."

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-02
  • MENJADI ORANG KEDUA   126. SI ANJING GILA

    Jika mas Rendra tidak bergeser untuk melindungi ku. Karin yang dikejar pak Bowo pasti sudah menerjang ku mentah-mentah. "SIALAN!" Dan Karin yang dijauhkan begitu pak Bowo meraih tubuhnya, berontak dengan teriakan yang membuat urat-urat lehernya menonjol. "Lepasin gue sialan. Gue harus ngasih pelajaran sama anjing tak tahu diri itu!" Begitu lancar penyebutan Karin yang berteriak ingin melepaskan diri. Bangsat..anjing..anak pungut hina..pencuri...manusia rendah tak tau diri..anak pembunuh keji...tak tau berterima kasih...brengsek...pelacur! Kurasa, mulut Karin hanya mengeluarkan makian yang ditunjukkannya padaku dengan nafas yang naik turun dan tatapan penuh kebencian saat usahanya sia-sia. "LEPAS, BRENGSEK!!" Tapi, pak Bowo sama sekali tak bergeming dan terus memegangi tubuh Karin yang berontak. Seolah tendangan Karin pada kakinya tidak berarti apapun. "Tidak apa-apa, Mbok, Mbak. Masuklah." Mbok Surti dan mbak Imah yang jadi penonton, mengangguk lalu berjalan masuk ke dalam r

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-03
  • MENJADI ORANG KEDUA   127. SIAPA YANG KALAH?

    Gila kah diriku? Tentu saja. Karena jika aku waras, tidak mungkin aku membiarkan adikku pergi sendirian dari rumah tempat ia tumbuh. Jika aku tidak gila, aku tidak mungkin bisa menahan diri untuk menyakiti orang-orang yang mengganggu adikku. Manusia-manusia yang membuat adikku dilupakan ibunya! Kurasa, Karin dan keluarganya yang tidak pernah menerima kehadiran ku dan Santo benar aku adalah anak gila, 'karena jika aku adalah manusia yang waras, tidak mungkin aku bisa berdiri begitu tenang di sampingnya yang bahkan tidak berkedip.' Sementara sorot mata yang sedang ia perlihatkan, memancarkan sedikit ketakutan diantara amarahnya yang tak juga padam. "Dan seharusnya kamu, anak yang begitu dibanggakan orang tua karena lulusan luar negri pasti tahu, aku tidak mencuri apapun dari keluargamu." "OMONG KOSONG!" Teriak Karin begitu tidak terima. "Kau pikir aku tidak tau apa yang kau ambil dari keluargaku, hah!?" Seolah aku tidak mampu mendengar uacapannya, suara Karin terus saja meninggi

    Terakhir Diperbarui : 2024-09-03

Bab terbaru

  • MENJADI ORANG KEDUA   231. EPILOG

    Di dalam kamar yang memperdengarkan deburan ombak, aku berbaring di bawah selimut tanpa sehelai benangpun.Hembusan nafas mas Rendra yang pakaiannya pun tergeletak di atas ubin, menyapaiku yang menarik nafas dalam saat melihat senyum di wajahnya terlihat begitu tak bersalah sudah meninggalkan banyak tanda kepemilikan di tubuhku yang ia peluk."Aku sangat rindu padamu, Runi."Entah sudah sebanyak apa kalimat itu ia ucapkan padaku yang tubuhnya terasa lemas. Pun, ditinggali banyak tanda yang akan membekas.Tapi, lelaki yang hasratnya sudah terpenuhi ini tahu di tempat mana ia harus meninggalkan tanda kepemilikan agar anak-anak kami tidak akan bertanya.Satu Minggu meninggalkannya bersama anak-anak, menghadirkan rasa yang sama, "aku juga rindu padamu, Mas."Mas Rendra menarik tubuhku makin rapat, tidak meninggalkan sekat saat kulit kami sudah begitu menempel.Keajaiban.Aku tidak pernah percaya pada kalimat itu.Tapi, aku yang sudah dinyatakan mati mampu bangun setelah mendengar tangis d

  • MENJADI ORANG KEDUA   230. LAST

    ****Dunia akan adil sebagaimana kita memandangnya. Sementara sang waktu tidak akan pernah menunggu siapapun. ***"Pelan-pelan.""Ng!""Jan belisik juga.""Ng!"DUA BOCAH KECIL berjingkat-jingkat tanpa alas kaki, menyusuri lorong dan saling memperingatkan supaya tak berisik dengan suara pelan.Tidak satupun dari keduanya menyadari ada tubuh besar yang mengikuti mereka dari belakang dan memperhatikan dua bocah nakal yang sama sekali tak menoleh kebelakang. Hanya terus menatap tempat yang kedua bocil itu tuju.Dengan tak kalah pelan, salah satu anak kembar identik yang berdiri di depan menurunkan engsel."Pelan-pelan, EV.""Iya, tau. Ini udah pelan, AV." jawab yang di depan tak kalah berbisik, seolah takut ada telinga lain selain milik keduanya tahu apa yang mereka bicarakan."Gimana? papa masih tidul ga?" tanya yang di belakang."Gak keliatan, Av," jawab bocah yang melongokkan kepalanya ke dalam, melihat kasur besar yang tertutup selimut."Papa kenapa gak ngolok, si? jadi gak ketahua

  • MENJADI ORANG KEDUA   229. PERPISAHAN

    Entah kenapa, aku yang sedang membetulkan selimut mas Rendra ingin berlama-lama memandang wajah lelapnya.Seolah aku yang duduk di pinggir kasur, benar-benar ingin menyimpan wajah damai mas Rendra detik ini.Jika tidak ingat pada Aji yang sudah lapar, aku pasti akan duduk lama sampai mataku puas menatap lelaki gagah yang memang butuh istirahat lebih ini, "terimakasih," ucapku mengecup bibir mas Rendra pelan. Meninggalkan gelitik ringan yang membuat mas Rendra makin erat memeluk guling sebagai pengganti diriku, "aku pergi dulu, Mas." Pamitku. "Kita mau sarapan apa, Mbak?"Aji meraih tanganku yang terjulur, jemarinya erat menggenggam tanganku yang sekali lagi menoleh pada kamar yang pintunya kututup. "Kamu mau apa?" tanyaku yang rasanya masih ingin mencuri pandang sesaat saja pada tubuh lelap mas Rendra, seolah tubuhku tidak ingin menjauh darinya. Sungguh, rasa yang tidak biasa. "Mbak lagi pingin makan bubur.""Bubur ayam?"Aku mengangguk, masuk ke dalam lift bersama beberapa orang ya

  • MENJADI ORANG KEDUA   228. MENGALAHKAN EGO

    'Memaksakan diri?'Mas Rendra menegakkan duduknya lalu menatapku."Mungkin bapak dan ibu akan terluka saat mengetahui bahwa amarahnya ternyata salah sasaran. Yuli dan keluarganya hanya orang-orang yang dilibatkan karena keserakahan juga ketakutan dari keluarga bapak sendiri yang merasa terancam." Aku tahu, mas Rendra yang lurus menatap manik mataku tidak ingin menggurui."Tapi, setiap orang harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah mereka lakukan, Runi."Dan aku yang diam tidak menemukan pembelaan."Apalagi, sepupu-sepupumu melibatkan gadis yang mereka lecehkan lalu menciptakan kebohongan buruk yang berpengaruh panjang, Runi. Dan kurasa, mereka bahkan tidak menyesali kerusakan yang sudah mereka ciptakan, bukan?"Aku bahkan tidak berkedip saat mas Rendra nampaknya bisa menebak aku yang hanya diam membenarkan ucapannya.Sepupu-sepupuku, mereka bisa hidup tanpa rasa bersalah.Jangankan merasa bersalah, mereka justru terlihat lega saat tahu Yuli memilih kematian.Mereka bertiga seolah

  • MENJADI ORANG KEDUA   227. PILIHANKU SENDIRI

    "Mereka bilang, aku nakal," bibir tipis Aji mulai bergetar menahan tangis, "aku... aku gak bisa ketemu mbah kalau aku nakal, Mbak."Tidak mungkin bocah nakal yang baru kehilangan kakeknya ini baik-baik saja untuk kalimat yang diucapkan dengan tatapan tajam dan teriakan.Meski tidak mengenal siapa ayah dan ibu kandungnya, kalimat mereka pasti menyisakan bekas yang tidak mungkin bisa Aji abaikan.Aku yang kembali melihat luka dalam mata Aji menarik nafas dalam, menyentuh pipi bocah nakal yang entah sudah sebanyak apa air matanya tumpah sejak kakeknya mati.Dan bertemu dengan orang tua yang baru kali ini datang, nyatanya, justru membuat Aji berdiri ketakutan di pojok dapur."Anak kecil nakal itu hal biasa, Aji," kuusap mata sembab Aji yang tergenang air, "yang tidak biasa itu, orang dewasa yang berteriak terlalu keras saat anaknya nakal, tapi, hanya berteriak dan tak melakukan apapun."Aku menunjukan senyum pada bocah yang menatap begitu lekat, mencerna tiap kata yang kuucap, "lagipula,

  • MENJADI ORANG KEDUA   226. JANGAN BENCI AKU

    'Aji...'Aku langsung berdiri dari tempatku duduk. Menatap bocah lelaki yang pandangannya pun tertuju padaku. Sementara tangannya menggenggam kuat celana panjang yang ia kenakan.Tubuhku bergerak lebih cepat dari otak. Menghampiri bocah yang berdiri mematung.Namun, saat langkah kakiku sudah dekat, ia berlari begitu saja. Melewatiku tanpa kata."Aji!" panggilku, "kamu tau Mbak tak bisa lari mengejarmu, bukan?"Bocah lelaki yang sudah membuka pintu itu berhenti. Menatapku.Sorot matanya ... 'kurasa aku bahkan menahan nafas tanpa kusadari.'Aji anak yang pintar, ia juga anak yang peka."Mbak ... apa Mbak benci padaku?"Ia bahkan terlihat menahan tangis. Sementara getar dalam suaranya seolah sembilu yang menusuk tepat pada jantungku yang masih keras berdetak. "Apa Mbak terlihat seperti orang yang membencimu, Aji?"Aji yang terus menatap, kuat memegang engsel pintu. Ia jadi sangat diam. Juga membisu. Meski aku yakin banyak yang sedang bocah nakal itu pikirkan."Jika jawabanmu tidak, ke

  • MENJADI ORANG KEDUA   225. AMARAH BAPAK

    "MENGURUSNYA!?"Suara keras bapak yang entah tahu darimana niatanku dan mas Rendra pada Aji, terdengar menggema dalam ruangan luas yang ubinnya memantulkan cahaya lampu.Ia memandangku dan Mas Rendra bergantian, sementara Ibu yang duduk di sampingnya meminta bapak untuk tenang"Sabar Pak, sabar." Pinta ibu yang mengusap lengan bapak."Tidak, Bu." Tapi, bapak yang sudah terlanjur emosi tidak ingin mendengar. "Aku tidak akan pernah setuju."Begitu tegas pengucapan bapak kali ini. Seluruh pembawaannya benar-benar menolak apa yang akan aku dan mas Rendra lakukan. Dan sorot matanya yang kembali menatap kami tidak menyimpan ruang untuk sekedar diskusi."Kau tentu tidak lupa pada apa yang telah keluarganya lakukan pada adikmu, bukan? Pada kita semua." Dan ucapan bapak membuat ibu terdiam. Tidak lagi memintanya bersabar.Aku yang tangannya mas Rendra genggam bahkan bisa melihat luka dalam mata ibu. Wanita yang melupakan anak laki-lakinya setelah Yuli yang datang meminta pertanggung jawaban me

  • MENJADI ORANG KEDUA   224. BERSYUKUR

    "Besok siang atau sore mungkin kami baru bisa ke rumah, Pak.""Baik, Mbak Runi, besok saya ngomong sama si Iyah buat nyiapin baju-bajunya Aji.""Terimakasih, Pak Naim.""Sama-sama, Mbak, bisa kangen ini saya sama Aji," ucap pria yang tawanya terdengar dari sambungan telpon."Nanti kita bicarakan itu juga, Pak, saya mungkin butuh tenaga tambahan di rumah juga mbak Iyah kalau mau ikut.""Saya mau, Mbak." Tanpa berpikir pak Naim langsung menjawab, "nanti saya coba omongkan juga sama si Iyah, pas telepon tadi sore dia masih nangis karena dipisahkan dari Aji." Ucapan pak Naim membuat mas Rendra menoleh padaku, "iya, Pak Naim, terimakasih dan selamat istirahat.""Selamat istirahat juga, Mbak Runi."Setelah ponsel yang sambungannya terputus aku letakkan di sofa, kusenderkan kepala pada dada mas Rendra, menatap kamar berisi bocah nakal yang sudah berpindah posisi. "Aku sampai lupa membawa ponselku."Mas Rendra yang menunduk menatapku, tatapannya sedikit berubah.Cerita pak Naim tentang oran

  • MENJADI ORANG KEDUA   223. ORANG TUA

    "Kamu nemenin mbak Runi ya."Aji yang erat memeluk leher mas Rendra hanya menurut saat mas Rendra yang membuka pintu belakang, menurunkannya dari gendongan."Masuklah," mas Rendra mengusap lenganku yang juga menurut, masuk lalu duduk di samping bocah nakal yang menatap rumah yang keributannya teredam saat mas Rendra menutup pintu."Kemarilah," ucapku pada bocah nakal yang mengalihkan pandangan dari rumah tempat ia dan pak Alif menjalani hari.Empat tahun, bocah berumur sepuluh tahun ini sudah tinggal di rumah yang entah keributannya akan berakhir kapan. Tapi aku yakin, Aji lebih mengingat rumah ini daripada rumah tempat ia dan Yuli tinggal."Tidak apa."Hanya itu kalimatku pada Aji yang mendongak, memelukku erat sampai pandangannya menoleh pada mas Rendra yang menyamankan duduk di belakang kemudi, "malam ini kita nginep di hotel dulu." Mata Aji yang sembab terpejam sesaat untuk usapan mas Rendra pada kepalanya, "kasian mbak Runi kalau kita langsung pulang. Iya kan?"Senyum yang mas Re

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status