Siapa yang bisa membayangkan adikku yang hanya mengenal ibu sebagai ibunya, berucap kalimat seperti itu.Kalimat yang pasti sangat mematahkan hati Santo!Ibu yang jatuh sakit setelah Yuli dan keluarganya datang, begitu terpukul dengan kabar Yuli yang mati sehari setelah kami datang melamar.Sementara keluarga bapak, tidak ingin meninggalkan ibu dengan cerita-cerita yang semakin membuat hati ibu yang sudah lemah, makin hancur lalu berakhir dengan serangan storke.Begitu sadar setelah pingsan, meski badannya tak bisa bergerak, mata ibu menatapi Santo begitu lekat. Seolah sedang mengenali wajah yang tidak pernah ia lihat!"Dia siapa, Ndok?"Dan kalimat ibu yang suaranya jadi tak jelas karena mulut ibu tak lagi simetris, terdengar begitu tidak masuk akal."Santo? Santo siapa, Ndok?"Dan kalimat tak masuk akal ibu jadi kenyataan menyakitkan terutama bagi adikku!Bocah yang hatinya pasti begitu patah karena ibu yang wajahnya selalu muram sejak Yuli datang, bisa tertawa saat nama Santo tak l
Membuka diri pada orang lain nyatanya begitu melelahkan. Tapi, aku tidak akan bohong jika sesuatu rasanya terangkat dari hatiku.Rinduku masih sama, kesesakanku pun nyata adanya. Hanya saja, sesuatu dalam diriku rasanya berubah.Apa yang berubah? Entahlah. Aku tidak yakin untuk jawban dari tanyaku ini.Apalagi saat mas Rendra yang memelukku menunjukkan sorot yang juga tak berubah. Pandangan matanya sama sekali tidak menilai apalagi menghakimi.Justru sebaliknya, penerimaan tanpa tapi-lah yang ia tunjukkan padaku yang memeluk lutut. Hal yang jadi kebiasaan saat aku merasa tidak nyaman."Kamu tahu, Runi." Ucapnya, "tidak perduli apa yang orang lain katakan, asal kamu percaya orang tuamu adalah manusia penuh kasih, tidakkah itu cukup?"Jari mas Rendra yang besar bahkan mengusap pipi basahku, "orang lain bisa mengatakan apapun yang mereka mau. Pun, menyembunyikan yang mereka tahu, karena itu memang sudah sifat alami manusia.""Hidupmu, aku ingin bertemu dengannya suatu saat nanti, Runi."
Jika mas Rendra tidak bergeser untuk melindungi ku. Karin yang dikejar pak Bowo pasti sudah menerjang ku mentah-mentah. "SIALAN!" Dan Karin yang dijauhkan begitu pak Bowo meraih tubuhnya, berontak dengan teriakan yang membuat urat-urat lehernya menonjol. "Lepasin gue sialan. Gue harus ngasih pelajaran sama anjing tak tahu diri itu!" Begitu lancar penyebutan Karin yang berteriak ingin melepaskan diri. Bangsat..anjing..anak pungut hina..pencuri...manusia rendah tak tau diri..anak pembunuh keji...tak tau berterima kasih...brengsek...pelacur! Kurasa, mulut Karin hanya mengeluarkan makian yang ditunjukkannya padaku dengan nafas yang naik turun dan tatapan penuh kebencian saat usahanya sia-sia. "LEPAS, BRENGSEK!!" Tapi, pak Bowo sama sekali tak bergeming dan terus memegangi tubuh Karin yang berontak. Seolah tendangan Karin pada kakinya tidak berarti apapun. "Tidak apa-apa, Mbok, Mbak. Masuklah." Mbok Surti dan mbak Imah yang jadi penonton, mengangguk lalu berjalan masuk ke dalam r
Gila kah diriku? Tentu saja. Karena jika aku waras, tidak mungkin aku membiarkan adikku pergi sendirian dari rumah tempat ia tumbuh. Jika aku tidak gila, aku tidak mungkin bisa menahan diri untuk menyakiti orang-orang yang mengganggu adikku. Manusia-manusia yang membuat adikku dilupakan ibunya! Kurasa, Karin dan keluarganya yang tidak pernah menerima kehadiran ku dan Santo benar aku adalah anak gila, 'karena jika aku adalah manusia yang waras, tidak mungkin aku bisa berdiri begitu tenang di sampingnya yang bahkan tidak berkedip.' Sementara sorot mata yang sedang ia perlihatkan, memancarkan sedikit ketakutan diantara amarahnya yang tak juga padam. "Dan seharusnya kamu, anak yang begitu dibanggakan orang tua karena lulusan luar negri pasti tahu, aku tidak mencuri apapun dari keluargamu." "OMONG KOSONG!" Teriak Karin begitu tidak terima. "Kau pikir aku tidak tau apa yang kau ambil dari keluargaku, hah!?" Seolah aku tidak mampu mendengar uacapannya, suara Karin terus saja meninggi
Mas Rendra yang berdiri begitu dekat menanyakkan kalimat yang ku ulang dalam hati, 'apa aku tidak ingin tahu tenang ia dan Clara?' Dan aku yang mendongak agar tatapanku bertemu dengan mas Rendra, bahkan tidak yakin dengan jawaban dari tanya itu. Aku tidak ingin tahu, tapi ... 'ada kalimat dalam kepalaku yang rasanya ingin!' Hatiku seolah terpecah dan membuatku yang jawabnya mas Rendra tunggui, tidak bisa menjawab. Apalagi, sorot mata mas Rendra yang sudah mengatakan segalanya, meninggalkan gumpalan tidak menyenangk- ... 'tidak menyenangkan?' Kalimat itu berulang dalam benakku yang bisa mencium colonge mas Rendra yang terasa menggelitik. Dan dadaku yang rasanya berdetak lebih kencang, ingin ku sembunyikan dari pandangan mas Rendra yang menunggu tanpa paksa. Ia bersikap seolah akan memberiku waktu di dunia untuk menjawab tanyanya. "Kamu ... apa kamu sudah baik-baik saja?" Dan nyatanya bukan tanya tentang Clara yang kuucapkan pada akhirnya. Pada lelaki yang justru menunjukkan s
Teriakkan Riris yang keras membuat Ares yang sedang nonton berlari disusul eyang yang menjatuhkan buku bacaannya.Langkah keduanya begitu ramai sampai lenganku yang rasanya masih berusaha bernafas merasakan sentuhan."JANGAN!"Sampai seruan Mas Rendra membuatku entah tangan sipa yang sedang memegangku diam. Berhenti menolongku yang masih terbaring di atas ubin keras.Sementara telingaku mendengar derap sepatu mas Rendra semakin jelas dan baru berhenti saat aku yang hanya diam, merasakan kehadirannya."Jangan digerakkan dulu." Perintahnya yang memegang jemariku yang membalas."Runi," ucapnya yang terdengar begitu lega, "katakan di mana yang sakit."Ekor mataku yang berusaha merasakan tiap inci tubuh, menatap mas Rendra. Lelaki yang meski bersikap tenang, sorot matanya tidak."Tak ada yang patah, Mas, jika itu yang ingin kamu tahu.""Jangan bercanda!" Serunya yang membantuku duduk setelah aku yakin tak ada sendi atau tulangku yang bergeser apalagi retak."Aku hanya kaget, Mas," ucapku
"Nuri Aliyah Efendy, ayo kita menikah." Ucapan mas Rendra yang matanya lurus menatap manik mataku, membuatku diam. Aku tidak bisa bereaksi untuk kalimat lelaki yang tangannya menahan lenganku yang bahkan melupakan apa yang ingin kulakukan. Ini bukan lamaran pertamanya. Kalimat sama pernah mas Rendra ucapkan setelah kami menghabiskan malam bersama di dalam kamarnya saat hujan deras menyembunyikan apa yang terjadi! Saat itu aku aku bahkan tidak memperhatikan bagaimana wajah mas Rendra. Tapi, sorot dalam pandangan mas Rendra terlihat begitu yakin detik ini. Sampai ia yang duduk, menyatukan jari kami dengan senyum yang tidak pernah berubah bahkan setelah ia tahu anak siapa diriku. "Ayo kita menikah, Runi." Aku yang masih kaget langsung menyentuh bekas luka di dadaku tanpa sadar dan meremas bajuku yang menutupinya. "Orang- ... orang tuamu tidak menyukaiku, Mas." Itu yang ku ucap setelah otakku yang berubah kosong untuk lamarannya, akhirnya bisa berpikir. Tangan mas Rendra yang
Aku tidak melihat apa yang ku pijak. Pijakanku hanya terus mengikuti langkah dua remaja yang tidak sekalipun menoleh ke belakang. Gadis yang begitu tajam menatapku yang memegang lengannya saat pertama kali kami bertemu, menunjukkan wajah tawa. Wajah juteknya yang mampu membuat Mala takut, memancarkan kelembutan tanpa bantah setiap kali ia menatap adikku yang sesekali membalas ucapan dengan senyum meski wajahnya begitu pucat. "HEI!" Aku kaget saat ada tangan kasar menarikku dengan tatapan kesal. Entah apa yang diucapkannya padaku dan tak lama mobil yang lewat di depanku pengemudinya menurunkan kaca, "terimakasih, Pak." Ucapnya pada lelaki yang masih mencengkram lenganku yang ternyata satpam. Aku bahkan tidak mengatakan maaf pada pengemudi mobil sedan yang rasanya menunggu reaksiku. Tapi, aku yang masih menatap kemana taksi yang dinaiki adikku pergi, tidak mengatakan apapun sampai ia melajukan kendaraan dengan wajah kesal. "Lain kali hati-hati, Mbak." Pun, tidak mengatakan terim