"Nuri Aliyah Efendy, ayo kita menikah." Ucapan mas Rendra yang matanya lurus menatap manik mataku, membuatku diam. Aku tidak bisa bereaksi untuk kalimat lelaki yang tangannya menahan lenganku yang bahkan melupakan apa yang ingin kulakukan. Ini bukan lamaran pertamanya. Kalimat sama pernah mas Rendra ucapkan setelah kami menghabiskan malam bersama di dalam kamarnya saat hujan deras menyembunyikan apa yang terjadi! Saat itu aku aku bahkan tidak memperhatikan bagaimana wajah mas Rendra. Tapi, sorot dalam pandangan mas Rendra terlihat begitu yakin detik ini. Sampai ia yang duduk, menyatukan jari kami dengan senyum yang tidak pernah berubah bahkan setelah ia tahu anak siapa diriku. "Ayo kita menikah, Runi." Aku yang masih kaget langsung menyentuh bekas luka di dadaku tanpa sadar dan meremas bajuku yang menutupinya. "Orang- ... orang tuamu tidak menyukaiku, Mas." Itu yang ku ucap setelah otakku yang berubah kosong untuk lamarannya, akhirnya bisa berpikir. Tangan mas Rendra yang
Aku tidak melihat apa yang ku pijak. Pijakanku hanya terus mengikuti langkah dua remaja yang tidak sekalipun menoleh ke belakang. Gadis yang begitu tajam menatapku yang memegang lengannya saat pertama kali kami bertemu, menunjukkan wajah tawa. Wajah juteknya yang mampu membuat Mala takut, memancarkan kelembutan tanpa bantah setiap kali ia menatap adikku yang sesekali membalas ucapan dengan senyum meski wajahnya begitu pucat. "HEI!" Aku kaget saat ada tangan kasar menarikku dengan tatapan kesal. Entah apa yang diucapkannya padaku dan tak lama mobil yang lewat di depanku pengemudinya menurunkan kaca, "terimakasih, Pak." Ucapnya pada lelaki yang masih mencengkram lenganku yang ternyata satpam. Aku bahkan tidak mengatakan maaf pada pengemudi mobil sedan yang rasanya menunggu reaksiku. Tapi, aku yang masih menatap kemana taksi yang dinaiki adikku pergi, tidak mengatakan apapun sampai ia melajukan kendaraan dengan wajah kesal. "Lain kali hati-hati, Mbak." Pun, tidak mengatakan terim
Tidak ada kalimat yang mampu menjabarkan apa yang sedang kurasakan detik ini. Dalam dekapan Santo yang panas tubuhnya menyelimuti diri, aku tidak bisa mengatakan apapun kecuali memperdengarkan isak! Sementara jiwaku berteriak menyalahkan segalanya, terutama diriku sendiri! Aku bahkan menyalahkan takdir yang nyatanya tidak ingin menunjukkan keramahannya pada bocah lelaki yang memelukku begitu erat. Bocah lelaki yang mampu membuatku menatap esok hari setiap aku melihat senyumnya saat bangun. Sementara kini, tubuh panasnya tidak mampu meluruhkan rasa kecewa diri pada dunia kami, pada hidup kami, pada takdir kami! Nyatanya Dunia begitu kejam kali ini. * ** *** "Eyang, saya ingin bicara." Begitu pulang aku langsung menemui wanita yang sedang bicara dengan cucu pertamanya. Lelaki yang kutinggalkan begitu saja di rumah sakit, hanya menatapku yang tidak menyapa atau mengatakan maaf. Sementara mataku hanya melihat neneknya yang diam beberapa saat sebelum mengangguk. "Iya, Ndok
"Mbak, kenapa liburannya gak ditunda sampe kita libur juga, sih?" Tanya itu membuatku menoleh pada bocah lelaki yang ikut mengungsi di kamarku. "Karena saat kalian berdua libur, jatah cuti kuliah Mbak sudah habis." Riris menghembuskan nafasnya kesal dan memelukku, "Kitta 'kan bisa liburan setiap Sabtu Minggu, Mbak. Kemana saja yang Mbak Runni mau aku pasti nurut." Dekapan tangan Riris terasa menguat di lenganku, "kenapa sih, Mbak Runni harus pergi liburan? Kitta selalu bissa liburan juga tiap sabtu minggu dan pasti lebih ramme." Aku yang kebohongannya dikuatkan eyang, tidak menemukan apapun untuk menjawab ucapan remaja cantik yang terlihat begitu tidak senang dengan apa yang kami bicarakan saat makan malam tadi. Kepergianku dari rumah yang penghuninya benar-benar menyambut kehadiranku, tidak disukai dua anak kembar yang masih tidak mau bertemu dengan ayah mereka sampai hari ini. "Ah..., sate tiap Mbak pulang gak akan ada lagi, dong." "Bissa gak sih, sekali aja lo gak ngomongin s
Aku yang terbangun, langsung mendapati lelaki yang tidak mengatakan apapun tentang kepergianku dari rumahnya. Lelaki sama yang juga tidak bertanya kemana diriku yang meninggalkannya di rumah sakit, rasanya tahu jika liburan yang jadi protes dua adik kembarnya hanya alasanku untuk keluar dari rumahnya ini. (Nuri Aliyah Efendi, ayo kita menikah) Sementara kalimat lelaki yang membuat mataku tak berkedip, ucapannya kembali terdengar. Menggema dalam diriku yang mulutnya rapat tertutup. Memandangi wajah lelap lelaki di hadapan. Mas Rendra yang tertidur dengan posisi duduk, menjadikan sofa tempatku berbaring sebagai bantalan tubuh. Bahkan, wajahku bisa merasakan nafasnya teratur meski posisi tidurnya tampak tak nyaman. Apa yang sedang kupikirkan? Rasanya lebih baik aku menyimpannya untuk diriku sendiri. Karena mengunci rapat-rapat apa yang kupikir dan rasakan, adalah hal yang sudah begitu mengerak dalam jiwaku. Tapi, meskipun begitu, perlahan tanganku menyusuri garis wajah mas Rendra
Apa pintaku berlebihan? Apa permohonan ku begitu keterlaluan? Apa keinginanku begitu sukar? Tapi, memang hanya itu yang kuinginkan. Aku ingin adikku baik-baik saja. Meski panas tubuhnya yang serasa menyelimuti diri, menyalurkan rasa takut yang tak ingin ku perlihatkan saat pandangan kami bertemu. "Mbak Ui pilih kamar yang mana?" "Yang mana saja." Tempat tinggal adikku begitu memanjakan mata. Pun, begitu terang karena cahaya matahari bebas masuk dari dinding kaca yang mengarah ke balkon. Balkon yang bisa membuatku melihat tempat tinggal ibu penjual keripik singkong enak bersama dua putra putrinya juga kakek mereka. Meski rumah mereka yang ada di seberang sungai tampak kecil dari tempatku berdiri. Tidak banyak pernak-pernik dalam ruangan dengan dua kamar, juga dapur yang menyatu dengan ruang makan, pun, ruang tamu yang jadi terlihat lega karena hanya memiliki satu sofa panjang dan meja dengan televisi layar datar 14 inci. Di kabinet, hanya ada beberapa perkakas dapur yang lac
Aku tidak tahu wajah macam apa yang sedang kutunjukkan pada mas Rendra. Lelaki yang tangannya menggenggam jemariku. "Kamu sedang mengandung anak kita, Runi, usianya sekitar 4 minggu." Kalimatnya bahkan tak bisa kutanggapi. Kecuali pupil mataku yang mas Rendra patri, bergerak gelisah. Sementara ucapannya seolah jadi kalimat yang tidak mampu kucerna sampai aku menunduk karena merasakan tangan mas Rendra yang erat menggenggam jemariku, bergetar. "Anak kita, Runi." Ulangnya lagi yang tetap tak mampu kubalas. Tidak dengan ucapan, tidak dengan penolakan ataupun bantah, tidak juga dengan menajuhkan diriku darinya. Aku yang tidak menemukan balasan apapun, hanya diam! * Zrass....! Suara air keran menggema keras dalam kamar mandi yang ubinnya bahkan tak bisa kurasakan dinginnya. Kalimat mas Rendra begitu tidak masuk akal meski aku tahu, seluruh dirinya mengatakan kebenaran. 'Aku hamil?' Aku bahkan tidak tahu rasa macam apa yang sedang memenuhi diri saat aku menatap pantulan diri di d
Rasanya tidak ada yang berbeda pada diriku. Perutku masih begitu rata. Bahkan, saat aku yang hasrat makan lontong sayurnya terpenuhi, terus saja mengunyah. Hari ini, aku seolah bisa makan apa saja, mengosongkan kulkas yang tidak hanya berisi telur, roti, dan minuman kalengan. Mas Rendra tidak hanya membawa dua macam susu untuk wanita hamil semalam, ia membawa banyak makanan juga buah. Seolah benar-benar menantikan apa yang sedang ... "tumbuh dalam rahimku?" Aku menarik nafasku dalam, rasanya Kalimat itu begitu tidak femiliar sampai aku berhenti mengunyah anggur yang mangkuknya ku letakkan di lantai. Tapi, aku mengurungkan niat untuk menarik kakiku yang ada di atas paha mas Rendra. Kenapa? Entahlah. Rasanya, aku takut gerakanku akan membangunkan lelaki yang tangannya masih ada di atas kakiku itu. "Apa yang akan kita lakukan sekarang, Mas? Aku ... aku tidak yakin bisa menanggung kehidupan dari nyawa lain. Apalagi saat ini." Kutatap perut rataku dengan perasaan yang ... 'aku ti