Home / Pernikahan / MENJADI ORANG KEDUA / 134. JANGAN AMBIL SANTO DARIKU

Share

134. JANGAN AMBIL SANTO DARIKU

Author: Sisi suram
last update Last Updated: 2024-09-05 08:37:51

Aku yang terbangun, langsung mendapati lelaki yang tidak mengatakan apapun tentang kepergianku dari rumahnya.

Lelaki sama yang juga tidak bertanya kemana diriku yang meninggalkannya di rumah sakit, rasanya tahu jika liburan yang jadi protes dua adik kembarnya hanya alasanku untuk keluar dari rumahnya ini.

(Nuri Aliyah Efendi, ayo kita menikah)

Sementara kalimat lelaki yang membuat mataku tak berkedip, ucapannya kembali terdengar. Menggema dalam diriku yang mulutnya rapat tertutup. Memandangi wajah lelap lelaki di hadapan.

Mas Rendra yang tertidur dengan posisi duduk, menjadikan sofa tempatku berbaring sebagai bantalan tubuh.

Bahkan, wajahku bisa merasakan nafasnya teratur meski posisi tidurnya tampak tak nyaman.

Apa yang sedang kupikirkan? Rasanya lebih baik aku menyimpannya untuk diriku sendiri.

Karena mengunci rapat-rapat apa yang kupikir dan rasakan, adalah hal yang sudah begitu mengerak dalam jiwaku.

Tapi, meskipun begitu, perlahan tanganku menyusuri garis wajah mas Rendra
Locked Chapter
Continue to read this book on the APP

Related chapters

  • MENJADI ORANG KEDUA   135. MARAH DAN KECEWA

    Apa pintaku berlebihan? Apa permohonan ku begitu keterlaluan? Apa keinginanku begitu sukar? Tapi, memang hanya itu yang kuinginkan. Aku ingin adikku baik-baik saja. Meski panas tubuhnya yang serasa menyelimuti diri, menyalurkan rasa takut yang tak ingin ku perlihatkan saat pandangan kami bertemu. "Mbak Ui pilih kamar yang mana?" "Yang mana saja." Tempat tinggal adikku begitu memanjakan mata. Pun, begitu terang karena cahaya matahari bebas masuk dari dinding kaca yang mengarah ke balkon. Balkon yang bisa membuatku melihat tempat tinggal ibu penjual keripik singkong enak bersama dua putra putrinya juga kakek mereka. Meski rumah mereka yang ada di seberang sungai tampak kecil dari tempatku berdiri. Tidak banyak pernak-pernik dalam ruangan dengan dua kamar, juga dapur yang menyatu dengan ruang makan, pun, ruang tamu yang jadi terlihat lega karena hanya memiliki satu sofa panjang dan meja dengan televisi layar datar 14 inci. Di kabinet, hanya ada beberapa perkakas dapur yang lac

    Last Updated : 2024-09-05
  • MENJADI ORANG KEDUA   136. AKU TAKUT

    Aku tidak tahu wajah macam apa yang sedang kutunjukkan pada mas Rendra. Lelaki yang tangannya menggenggam jemariku. "Kamu sedang mengandung anak kita, Runi, usianya sekitar 4 minggu." Kalimatnya bahkan tak bisa kutanggapi. Kecuali pupil mataku yang mas Rendra patri, bergerak gelisah. Sementara ucapannya seolah jadi kalimat yang tidak mampu kucerna sampai aku menunduk karena merasakan tangan mas Rendra yang erat menggenggam jemariku, bergetar. "Anak kita, Runi." Ulangnya lagi yang tetap tak mampu kubalas. Tidak dengan ucapan, tidak dengan penolakan ataupun bantah, tidak juga dengan menajuhkan diriku darinya. Aku yang tidak menemukan balasan apapun, hanya diam! * Zrass....! Suara air keran menggema keras dalam kamar mandi yang ubinnya bahkan tak bisa kurasakan dinginnya. Kalimat mas Rendra begitu tidak masuk akal meski aku tahu, seluruh dirinya mengatakan kebenaran. 'Aku hamil?' Aku bahkan tidak tahu rasa macam apa yang sedang memenuhi diri saat aku menatap pantulan diri di d

    Last Updated : 2024-09-05
  • MENJADI ORANG KEDUA   137. APA YANG BERUBAH?

    Rasanya tidak ada yang berbeda pada diriku. Perutku masih begitu rata. Bahkan, saat aku yang hasrat makan lontong sayurnya terpenuhi, terus saja mengunyah. Hari ini, aku seolah bisa makan apa saja, mengosongkan kulkas yang tidak hanya berisi telur, roti, dan minuman kalengan. Mas Rendra tidak hanya membawa dua macam susu untuk wanita hamil semalam, ia membawa banyak makanan juga buah. Seolah benar-benar menantikan apa yang sedang ... "tumbuh dalam rahimku?" Aku menarik nafasku dalam, rasanya Kalimat itu begitu tidak femiliar sampai aku berhenti mengunyah anggur yang mangkuknya ku letakkan di lantai. Tapi, aku mengurungkan niat untuk menarik kakiku yang ada di atas paha mas Rendra. Kenapa? Entahlah. Rasanya, aku takut gerakanku akan membangunkan lelaki yang tangannya masih ada di atas kakiku itu. "Apa yang akan kita lakukan sekarang, Mas? Aku ... aku tidak yakin bisa menanggung kehidupan dari nyawa lain. Apalagi saat ini." Kutatap perut rataku dengan perasaan yang ... 'aku ti

    Last Updated : 2024-09-05
  • MENJADI ORANG KEDUA   138. AKU JATUH CINTA?

    "Tidurlah." Ucapku pada bocah besar yang menguap tapi tetap memaksakan diri duduk menemaniku yang kantuknya belum juga datang mengingat ini masih jam 8."Mbak yakin gak mau aku temenin?""Mbak belum ngantuk, Nang. Dan kasurmu sudah ingin ditiduri pemiliknya."Santo tersenyum untuk ucapanku yang ia peluk erat, "aku tidur dulu ya, Mbak. Aku sayang padamu." Kalimat yang tidak pernah luput darinya pun terucap. "Dan aku tahu Mbak Ui sangat sayang padaku."Dan bocah besar yang nampaknya tak lagi mampu menahan godaan kantuk berkat obat yang ia minum, masuk ke dalam kamar yang juga jadi kamarku meski aku memiliki kamar sendiri dalam apartemen yang pintunya kembali kutatapi. "Cinta? Rasanya kalimatmu sangat luar biasa, Nang."Dan entah untuk yang keberapa kali lagi, sadar tidak sadar ekor mataku melirik pintu dengan kalimat adikku yang memenuhi diri. *Jam masih menunjukkan angka 09:14, rasanya masih begitu dini untuk merebahkan tubuhku yang sekali lagi menatap pintu."Kurasa kamu tidak akan

    Last Updated : 2024-09-06
  • MENJADI ORANG KEDUA   139. BOLEH KUCIUM?

    Rasaku. Jika saja apa yang kurasakan sejalan dengan pemikiran. Akan semelegakan apa itu bagiku?******"Habiskan, ya?"Lelaki yang selalu sibuk di dapur untuk membuat segelas susu coklat untukku, tersenyum saat aku mengambil gelas yang ia sodorkan."Kamu ingin rasa lain, Runi?" Ucapnya saat aku hanya memandangi gelas yang isinya belum juga ingin ku minum. "Kalau iya, aku akan belikan rasa lain."Aku mengalihkan pandangan dari gelas pada lelaki yang duduk di sampingku. Sementara televisi yang suaranya dimatikan tak menarik minat. Dan mas Rendra menunjukkan senyum saat aku meneguk apa yang khusus ia buat sampai habis."Aku akan pulang sebentar lagi," mas Rendra mengambil gelas kosong dari tanganku. Tapi, ia yang melihatku memeluk lutut urung meletakkan gelas ke atas meja."Apa ada yang membuatmu tidak nyaman?" Ia bertanya, masih memegang gelas, "Runi?""Mas," ucapku makin erat memeluk lututku sendiri, "kurasa, aku menyukaimu lebih dari yang kumau."Tangan Mas Rendra yang hendak menyen

    Last Updated : 2024-09-06
  • MENJADI ORANG KEDUA   140. 18+

    Rasanya, ini kali pertama mas Rendra benar-benar meminta izin untuk mencium diriku.Sementara jarinya menyentuh bibirku yang ia dekati saat aku mengangguk.Cup!Kecupan yang terasa bak salam, meninggalkan aroma mint menggelitik sampai membuatku menggigit bibir. Sapuan nafas mas Rendra terasa begitu hangat, membuat rambut-rambut halusku meremang.Sementara mata kami yang terpaut seolah menghadirkan rasa lain."Jangan lakukan ini." Ibu jari mas Rendra menyentuh titik bibir yang kugigit.Aku ingin bertanya, 'kenapa?'Tapi, kalimat itu hanya bertahan di udara saat mas Rendra kembali mengecup, memangut pun memasukkan lidahnya. Mengabsen tiap inci bagian dalam mulutku yang tidak ingin berkata, 'jangan.'Tanganku justru merangkul leher lelaki yang membuatku merasa ciuman kami tidak cukup.Salahkah kami yang hanyut dalam rasa?Membiarkan insting merajalela sampai mas Rendra yang menggendongku, menutup pintu yang suaranya kalah dengan rintik hujan.Begitu pelan ia meletakkan diriku di atas ran

    Last Updated : 2024-09-06
  • MENJADI ORANG KEDUA   141. NASIB CALISTA

    "Aku pinjem Runi sebentar ya, Ren."Entah apa yang sedang dipikirkan kasir saat melihatku ditarik Toro masuk lagi ke bagian dalam supermarket, meninggalkan mas Rendra yang tersenyum meski aku yakin ia sama terkejutnya denganku untuk kehadiran Toro."Kamu mau beli apa?" Tanyaku yang turut masuk setelah menoleh pada mas Rendra yang mengangguk, memberi izin."Pempers." Jawab Toro meski matanya menatap papan pengumuman. Pun, terus merangkul lenganku sampai kami berdiri di depan barisan rak yang menjadikan Toro pemandangan heran bagi banyak mata termasuk seles yang sedang menata stok barang."Pempers?" Tanyaku memastikan. Karena apa yang ada di hadapan kami adalah pembalut bermacam merk pun ukuran."Nora bocor, Ciin," bisik Toro seketika, "dan dia lagi ngumpet di kamar mandi sekarang."Lirikan Toro yang suaranya benar-benar kecil membuatku paham, "kamu yang bawa ya, Ciin, malulah aku."Dan aku yang ingin bertanya, "bagaimana jika ia tidak bertemu denganku?" menurut.Pun, memilih pakaian da

    Last Updated : 2024-09-07
  • MENJADI ORANG KEDUA   142. BAGAIMANA DENGAN CLARA?

    "Tau gak, rasanya aku harus mandi kembang lagi sama cuci mata pake air mawar, ciin." Begitu serius ekspresi Toro yang tak mampu memancing senyumku.Mendengar Cerita mereka ..., 'entahlah. Aku tidak yakin apa yang sedang kurasakan.'Calista dipecat, begitupun pak Bram. Apalagi keberadaan mereka tidak begitu berpengaruh padaku yang niat datang ke kota ini hanya untuk mencari adikku. "Seharusnye lo bilang ame gue!" Balas Nora."Buat apaan?" Timpal Toro menenggak jus tomatnya habis separoh. "Biar jadi gosip baru?"Nora mengangkat bahu, "kan bisa jadi bahan tertawaan kita kalo pak Bram lagi kumat.""Kalian ketawa, sementara gue?" Toro kembali menenggak jus tomatnya lapar. Seolah tenggorokannya benar-benar butuh minum. "Asal tau aja, cin, tadinya gue mau ngomong sama Runi, diakan gak ember kayak lo. Tapi, lo keburu dateng dan gue milih gak jadi ngomong plus Pak Salim dateng nanya kita mau titip makan siang apa engak."Dahi Nora berkerut, "kapan em- ... Oh, itu udah lama banget dong!" Ucap

    Last Updated : 2024-09-07

Latest chapter

  • MENJADI ORANG KEDUA   214. AMARAH ORANG TUAKU

    Aku tahu pun paham, jika pilihanku yang lengannya sedang mas Rendra usap berpengaruh pada banyak orang, terutama bocah besar yang pipinya sekarang begitu tirus.Bak kulit pembungkus tulang seperti yang bapak katakan.Melihatnya seperti itu setiap hari, tidak mungkin tidak berpengaruh pada jiwa orang tua kami, sepasang pasutri yang mencintai kami seperti anak-anaknya sendiri.Bapak dan ibu, manusia yang membuat adikku tumbuh tanpa merasa berbeda tidak kekurangan apapun, bahkan mendapat cinta tanpa syarat dari keduanya ... 'aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana hati mereka merasa setiap melihat Santo.'Tapi, tidak bisa.Aku tidak mampu menuruti pinta mereka.Egoiskah diriku? Tentu saja. Hanya pembohong yang akan mengatakan tidak.Jadi, Nang, izinkan mbak egois ya.Mas Rendra menoleh padaku yang mendekat makin rapat. "Semua akan baik-baik saja, Runi."Tanpa menoleh aku mengeratkan pelukan pada lelaki yang kembali mengusap lenganku. Menarikku dalam pelukan yang tidak meninggalkan

  • MENJADI ORANG KEDUA   213. BALAS BUDI

    Meskipun tidak melihat secara langsung bagaimana Lais kecil menjalani kehidupannya, aku bisa membayangkan jadi setidak percaya apa ia pada manusia lain.Dan balas budi.Nyatanya hal itu menjadi ganjalan bagi gadis yang dijual ayahnya seharga ratusan ribu untuk ganti bermain judi.Lais yang hidup dengan mengenal bisa seburuk apa perlakuan seorang ayah pada putri kandungnya sendiri, tidak mungkin tidak memiliki perasaan semacam itu pada adikku, bocah yang nyatanya mampu membuat Lais tertawa dalam kesal, memberi warna pada hari-hari Lais yang begitu mendengarkan tiap ucapan Santo.Tapi, "apa Santo pernah berkata ia menginginkan balasan untuk apa yang ia lakukan untukmu?"Lais yang menatapku hanya diam, sementara sesenggukannya membuat tanganku yang bebas, terjulur. Mengusap pipi basahnya meski percuma karena airmata Lais terus jatuh.Aku yang tahu Lais paham Santo memang tidak menginginkan balasan apapun darinya, menunjukkan senyum. Senyum yang membuat Lais menjatuhkan kepalanya padaku y

  • MENJADI ORANG KEDUA   212. PUSAT HIDUPNYA

    Aku yang melihat luka dalam mata mas Rendra berbalik, memeluknya erat.Melihatnya menyalahkan diri, menusukkan rasa perih dalam hatiku yang tahu bagaimana perasaan itu terasa.Aku yang selalu menyalahkan diri atas apa yang terjadi pada Santo paham, setidak nyaman apa jiwaku untuk rasa bersalah yang bercokol nyata dalam diri."Jangan meminta maaf, Mas." Rasanya aku ingin mengatakan kalimat itu begitu keras.Tapi, degup jantung mas Rendra yang bahkan mengatakan kalimat sama seolah mengaburkan suaraku yang justru mengecup mas Rendra yang pipinya kutangkup, lalu menatapi wajahnya yang hari ini memperlihatkan banyak ekspresi.Kaget pada perubahanku yang hatinya merasa lebih ringan, cemburu pada Keiro yang hanya kutemui sendiri, tapi yang paling tidak suka kulihat adalah wajahnya kali ini. Wajah saat mas Rendra menyalahkan diri untuk apa yang sudah terjadi.Nang, kita sungguh beruntung bertemu dengan mas Rendra, bukan?Dan mbak harap, meski hanya sedikit Mas Rendra juga merasa beruntung be

  • MENJADI ORANG KEDUA   211. POSESIFNYA

    Disebut apa hubunganku dan Keiro?Entahlah.Aku tidak begitu memikirkan hal itu.Dan kurasa, lelaki yang matanya lurus menatap manik mataku pun berpikir hal sama.Apa Keiro memberi warna pada hari-hariku?Mungkin tidak ataukah iya, entahlah.Karena keberadaan Keiro tidak mempengaruhi bagaimana aku menjalani kehidupan monotonku setelah adikku memilih untuk meninggalkan rumah.Keiro hanya membuatku terbiasa dengan kehadirannya.Dan aku yang masih berdiri di tempatku, memperhatikan Keiro menatapi potret-potret dalam figura yang memang sengaja dipamerkan pada mata siapa saja.Sesekali bibir Keiro tersenyum dan mengangguk. Entah apa yang dipikirkan otak pintarnya itu.Sampai ia yang akhirnya sadar sudah tidak sendirian, berpaling dari potret-potret yang lekat ia pandangi lalu berdiri tegak.Senyum yang kuhafal tercetak setelah ia diam beberapa saat. Sementara suara langkahnya memecah kesunyian yang tercipta.Tanpa kata, Keiro yang menghampiriku langsung memeluk.Rasanya, jika aku tidak sed

  • MENJADI ORANG KEDUA   210. TAMU TAK DIUNDANG

    Ucapanku membuat mas Rendra yang mulutnya terbuka menelan kalimat apapun yang ingin ia ucapkan. Mimpinya pasti sangat tidak menyenangkan tapi, "aku tidak akan pergi kemanapun."Ulangku pada lelaki gagah yang tidak menyukai mimpinya.Aku ingin mati, menyerah pada hidup. Itu adalah kebenaran.Tapi, keinginan yang sudah terlintas dalam diri itu urung kulakukan.Dan rasanya, aku jadi sangat menyesal saat melihat sorot mas Rendra yang begitu terpengaruh dengan mimpi yang ia miliki.Melihatnya, rasanya aku di sadarkan kembali pada siapa diriku.Aku adalah anak yang orang tuanya memilih kematian.Ayah dan ibu yang sudah terkubur, tidak melihat bagaimana aku dan adikku menjalani hidup.Sementara aku dan adikku yang keduanya tinggalkan, harus menjalani kehidupan karena waktu kami terus dan harus berjalan.Santo bisa tertawa pada dunianya karena ia masih terlalu kecil untuk paham pada perubahan dalam hidup kami yang harus berpindah-pindah tempat tinggal. Pun, mampu tertawa karena bagi Santo yan

  • MENJADI ORANG KEDUA   209. JANGAN PERGI

    "Saya sama bapak-bapak itu urusan sayalah, Mbak Runi." Mbak Imah yang menghapus mata basahnya berucap, "saya belanja dulu ya, Mbak, biar dapat yang segar-segar.""Ya, Mbak Im," balasku pada wanita yang keluar dari pintu samping yang belum lama ia masuki.Meninggalkanku yang membuka kulkas lalu mengeluarkan bahan-bahan yang kubutuhkan sebagai pelengkap nasi yang akan kugoreng.Telur, sosis, pokcay, dan aku mengembalikan wortel yang sudah kupegang ke dalam kulkas saat mengingat mas Rendra yang kurasa masih tidur.Aroma bawang putih yang harum langsung memenuhi dapur pun saat bawang merah dan potongan cabe kumasukkan ke dalam wajan berisi minyak dan bawang putih yang sudah menguning.Dua telur kumasukkan lalu ku aduk rata dan setelah bentuknya pas tak terlalu lembek lagi, aku memasukkan sosis kemudian pokcay yang jadi menyusut saat terkena panas wajan.Tidak butuh waktu lama, nasi yang sudah mbak Imah siapkan, kumasukkan bersama sejumput garam dan penyedap rasa yang terbuat dari bubuk ja

  • MENJADI ORANG KEDUA   208. ORANG YANG KUGAJI

    RASA.Pernahkah kamu bertanya seperti apa ia berupa? Seperti apa itu berwarna? Ataukah bagaimana bentuknya?Jika rasa memiki rupa, seperti apa wajah bahagianya?Wajah sedihnya?wajah kecewanya?Wajah senyumnya?Wajah takutnya?Wajah marahnya?Wajah malunya?Wajah senyumnya?Wajah ibanya?Wajah ingin tahunya?Wajah kekanakannya?Jika rasa memiki warna, apa ia akan seperti warna-warna yang kita kenal?Dan jika rasa berbentuk, seperti apa bentuknya?Apa ia memiliki ujung yang tumpul atau malah lancip penuh peringatan?Ataukah ia memliki garis lurus atau berkelok? ataukah putus-putus dengan jarak dan jeda?Jika rasa tidak hanya terasa namun memiliki bentuk yang nyata, akankah rasa membuat kita berkata, "oh, sudah kuduga" atau bahkan "bentuk macam apa ini!?"Jika dicerna lebih, mungkin lebih baik rasa tetap jadi rasa saja.Ia tak perlu berbentuk.Tidak perlu berwarna.Tidak perlu pula memiliki rupa.Karena rasa adalah sesuatu yang kita miliki, baik untuk kita selami sendiri atau ada tubu

  • MENJADI ORANG KEDUA   207. TERASA RINGAN

    "Terima kasih."Pedagang martabak yang menerima uang dariku tersenyum lebar. Pun, menatap kemana aku melangkah. Mungkin ia ingin tahu, kenapa wanita yang sedang hamil besar jalan sendirian tanpa seorangpun menemani. Lewat tengah malam lagi."Siapa, Met?""Orang komplek kayaknya.""Oh, tapi kok sendirian?""Mana kutahu, Sri. Yang penting uangnya gak berubah jadi daun saja."Kalimat yang mampu menyusup pada telinga, tak kuhiraukan. Meski tanganku yang membawa dua bungkus martabak mengeratkan pegangan.Langit di penghujung musim hujan terlihat cerah malam ini. bahkan rembulan yang bulat sempurna menambah keelokan bintang yang kelipnya menemani tiap langkah.Jalanan komplek sepi, meski sesekali ada saja kendaraan melewatiku yang langkahnya terasa lebih ringan."Apa kalian suka?" Ucapku yang berhenti sejenak karena kakiku protes meski perut yang kusentuh menunjukan kehidupan."Lain kali... lain kali kita jalan juga sama papa, ya?"Kalimat yang terucap itu bahkan terdengar kaku. pun terasa

  • MENJADI ORANG KEDUA   206. INGIN MATI

    Aku tahu, adikku yang terus tidur tidak mungkin memaafkanku yang ingin menyerah pada hidup. Hal yang sudah dilakukan orang tua kami dulu."Tidak mungkin Santo mau bertemu denganku sekalipun tuhan mengizinkan, kan Mas?"Mataku yang sembab kembali merasa perih, meski bibirku tersenyum saat kurasakan dua bayiku bergerak lincah, seolah menjawab ucapanku yang sedang bertanya pada ayah mereka.Gerakan keduanya menimbulkan sensasi yang kuhafal dan benar-benar kurasakan.Dan dua bocah yang tampak aktif dalam perutku ini tak ingin berhenti bergerak selama beberapa lama. Seolah mau menemaniku yang menatap ayah mereka sebelum mengusap perutku lagi."Ayo kita ketemu om Santo, banyak yang ingin mama katakan padanya."****Zreeg.Aku menutup pintu geser di belakangku sepelan saat aku membuka.Tidak ingin mengganggu apalagi membangunkan tiga tubuh yang tertidur lelap mendekap malam.Sesekali dengkuran terdengar dari satu-satunya pria yang tidur di samping ibu yang tangannya memeluk Bapak.Sementa

DMCA.com Protection Status