Aku yang terbangun, langsung mendapati lelaki yang tidak mengatakan apapun tentang kepergianku dari rumahnya. Lelaki sama yang juga tidak bertanya kemana diriku yang meninggalkannya di rumah sakit, rasanya tahu jika liburan yang jadi protes dua adik kembarnya hanya alasanku untuk keluar dari rumahnya ini. (Nuri Aliyah Efendi, ayo kita menikah) Sementara kalimat lelaki yang membuat mataku tak berkedip, ucapannya kembali terdengar. Menggema dalam diriku yang mulutnya rapat tertutup. Memandangi wajah lelap lelaki di hadapan. Mas Rendra yang tertidur dengan posisi duduk, menjadikan sofa tempatku berbaring sebagai bantalan tubuh. Bahkan, wajahku bisa merasakan nafasnya teratur meski posisi tidurnya tampak tak nyaman. Apa yang sedang kupikirkan? Rasanya lebih baik aku menyimpannya untuk diriku sendiri. Karena mengunci rapat-rapat apa yang kupikir dan rasakan, adalah hal yang sudah begitu mengerak dalam jiwaku. Tapi, meskipun begitu, perlahan tanganku menyusuri garis wajah mas Rendra
Apa pintaku berlebihan? Apa permohonan ku begitu keterlaluan? Apa keinginanku begitu sukar? Tapi, memang hanya itu yang kuinginkan. Aku ingin adikku baik-baik saja. Meski panas tubuhnya yang serasa menyelimuti diri, menyalurkan rasa takut yang tak ingin ku perlihatkan saat pandangan kami bertemu. "Mbak Ui pilih kamar yang mana?" "Yang mana saja." Tempat tinggal adikku begitu memanjakan mata. Pun, begitu terang karena cahaya matahari bebas masuk dari dinding kaca yang mengarah ke balkon. Balkon yang bisa membuatku melihat tempat tinggal ibu penjual keripik singkong enak bersama dua putra putrinya juga kakek mereka. Meski rumah mereka yang ada di seberang sungai tampak kecil dari tempatku berdiri. Tidak banyak pernak-pernik dalam ruangan dengan dua kamar, juga dapur yang menyatu dengan ruang makan, pun, ruang tamu yang jadi terlihat lega karena hanya memiliki satu sofa panjang dan meja dengan televisi layar datar 14 inci. Di kabinet, hanya ada beberapa perkakas dapur yang lac
Aku tidak tahu wajah macam apa yang sedang kutunjukkan pada mas Rendra. Lelaki yang tangannya menggenggam jemariku. "Kamu sedang mengandung anak kita, Runi, usianya sekitar 4 minggu." Kalimatnya bahkan tak bisa kutanggapi. Kecuali pupil mataku yang mas Rendra patri, bergerak gelisah. Sementara ucapannya seolah jadi kalimat yang tidak mampu kucerna sampai aku menunduk karena merasakan tangan mas Rendra yang erat menggenggam jemariku, bergetar. "Anak kita, Runi." Ulangnya lagi yang tetap tak mampu kubalas. Tidak dengan ucapan, tidak dengan penolakan ataupun bantah, tidak juga dengan menajuhkan diriku darinya. Aku yang tidak menemukan balasan apapun, hanya diam! * Zrass....! Suara air keran menggema keras dalam kamar mandi yang ubinnya bahkan tak bisa kurasakan dinginnya. Kalimat mas Rendra begitu tidak masuk akal meski aku tahu, seluruh dirinya mengatakan kebenaran. 'Aku hamil?' Aku bahkan tidak tahu rasa macam apa yang sedang memenuhi diri saat aku menatap pantulan diri di d
Rasanya tidak ada yang berbeda pada diriku. Perutku masih begitu rata. Bahkan, saat aku yang hasrat makan lontong sayurnya terpenuhi, terus saja mengunyah. Hari ini, aku seolah bisa makan apa saja, mengosongkan kulkas yang tidak hanya berisi telur, roti, dan minuman kalengan. Mas Rendra tidak hanya membawa dua macam susu untuk wanita hamil semalam, ia membawa banyak makanan juga buah. Seolah benar-benar menantikan apa yang sedang ... "tumbuh dalam rahimku?" Aku menarik nafasku dalam, rasanya Kalimat itu begitu tidak femiliar sampai aku berhenti mengunyah anggur yang mangkuknya ku letakkan di lantai. Tapi, aku mengurungkan niat untuk menarik kakiku yang ada di atas paha mas Rendra. Kenapa? Entahlah. Rasanya, aku takut gerakanku akan membangunkan lelaki yang tangannya masih ada di atas kakiku itu. "Apa yang akan kita lakukan sekarang, Mas? Aku ... aku tidak yakin bisa menanggung kehidupan dari nyawa lain. Apalagi saat ini." Kutatap perut rataku dengan perasaan yang ... 'aku ti
"Tidurlah." Ucapku pada bocah besar yang menguap tapi tetap memaksakan diri duduk menemaniku yang kantuknya belum juga datang mengingat ini masih jam 8."Mbak yakin gak mau aku temenin?""Mbak belum ngantuk, Nang. Dan kasurmu sudah ingin ditiduri pemiliknya."Santo tersenyum untuk ucapanku yang ia peluk erat, "aku tidur dulu ya, Mbak. Aku sayang padamu." Kalimat yang tidak pernah luput darinya pun terucap. "Dan aku tahu Mbak Ui sangat sayang padaku."Dan bocah besar yang nampaknya tak lagi mampu menahan godaan kantuk berkat obat yang ia minum, masuk ke dalam kamar yang juga jadi kamarku meski aku memiliki kamar sendiri dalam apartemen yang pintunya kembali kutatapi. "Cinta? Rasanya kalimatmu sangat luar biasa, Nang."Dan entah untuk yang keberapa kali lagi, sadar tidak sadar ekor mataku melirik pintu dengan kalimat adikku yang memenuhi diri. *Jam masih menunjukkan angka 09:14, rasanya masih begitu dini untuk merebahkan tubuhku yang sekali lagi menatap pintu."Kurasa kamu tidak akan
Rasaku. Jika saja apa yang kurasakan sejalan dengan pemikiran. Akan semelegakan apa itu bagiku?******"Habiskan, ya?"Lelaki yang selalu sibuk di dapur untuk membuat segelas susu coklat untukku, tersenyum saat aku mengambil gelas yang ia sodorkan."Kamu ingin rasa lain, Runi?" Ucapnya saat aku hanya memandangi gelas yang isinya belum juga ingin ku minum. "Kalau iya, aku akan belikan rasa lain."Aku mengalihkan pandangan dari gelas pada lelaki yang duduk di sampingku. Sementara televisi yang suaranya dimatikan tak menarik minat. Dan mas Rendra menunjukkan senyum saat aku meneguk apa yang khusus ia buat sampai habis."Aku akan pulang sebentar lagi," mas Rendra mengambil gelas kosong dari tanganku. Tapi, ia yang melihatku memeluk lutut urung meletakkan gelas ke atas meja."Apa ada yang membuatmu tidak nyaman?" Ia bertanya, masih memegang gelas, "Runi?""Mas," ucapku makin erat memeluk lututku sendiri, "kurasa, aku menyukaimu lebih dari yang kumau."Tangan Mas Rendra yang hendak menyen
Rasanya, ini kali pertama mas Rendra benar-benar meminta izin untuk mencium diriku.Sementara jarinya menyentuh bibirku yang ia dekati saat aku mengangguk.Cup!Kecupan yang terasa bak salam, meninggalkan aroma mint menggelitik sampai membuatku menggigit bibir. Sapuan nafas mas Rendra terasa begitu hangat, membuat rambut-rambut halusku meremang.Sementara mata kami yang terpaut seolah menghadirkan rasa lain."Jangan lakukan ini." Ibu jari mas Rendra menyentuh titik bibir yang kugigit.Aku ingin bertanya, 'kenapa?'Tapi, kalimat itu hanya bertahan di udara saat mas Rendra kembali mengecup, memangut pun memasukkan lidahnya. Mengabsen tiap inci bagian dalam mulutku yang tidak ingin berkata, 'jangan.'Tanganku justru merangkul leher lelaki yang membuatku merasa ciuman kami tidak cukup.Salahkah kami yang hanyut dalam rasa?Membiarkan insting merajalela sampai mas Rendra yang menggendongku, menutup pintu yang suaranya kalah dengan rintik hujan.Begitu pelan ia meletakkan diriku di atas ran
"Aku pinjem Runi sebentar ya, Ren."Entah apa yang sedang dipikirkan kasir saat melihatku ditarik Toro masuk lagi ke bagian dalam supermarket, meninggalkan mas Rendra yang tersenyum meski aku yakin ia sama terkejutnya denganku untuk kehadiran Toro."Kamu mau beli apa?" Tanyaku yang turut masuk setelah menoleh pada mas Rendra yang mengangguk, memberi izin."Pempers." Jawab Toro meski matanya menatap papan pengumuman. Pun, terus merangkul lenganku sampai kami berdiri di depan barisan rak yang menjadikan Toro pemandangan heran bagi banyak mata termasuk seles yang sedang menata stok barang."Pempers?" Tanyaku memastikan. Karena apa yang ada di hadapan kami adalah pembalut bermacam merk pun ukuran."Nora bocor, Ciin," bisik Toro seketika, "dan dia lagi ngumpet di kamar mandi sekarang."Lirikan Toro yang suaranya benar-benar kecil membuatku paham, "kamu yang bawa ya, Ciin, malulah aku."Dan aku yang ingin bertanya, "bagaimana jika ia tidak bertemu denganku?" menurut.Pun, memilih pakaian da