"Mbak, kenapa liburannya gak ditunda sampe kita libur juga, sih?" Tanya itu membuatku menoleh pada bocah lelaki yang ikut mengungsi di kamarku. "Karena saat kalian berdua libur, jatah cuti kuliah Mbak sudah habis." Riris menghembuskan nafasnya kesal dan memelukku, "Kitta 'kan bisa liburan setiap Sabtu Minggu, Mbak. Kemana saja yang Mbak Runni mau aku pasti nurut." Dekapan tangan Riris terasa menguat di lenganku, "kenapa sih, Mbak Runni harus pergi liburan? Kitta selalu bissa liburan juga tiap sabtu minggu dan pasti lebih ramme." Aku yang kebohongannya dikuatkan eyang, tidak menemukan apapun untuk menjawab ucapan remaja cantik yang terlihat begitu tidak senang dengan apa yang kami bicarakan saat makan malam tadi. Kepergianku dari rumah yang penghuninya benar-benar menyambut kehadiranku, tidak disukai dua anak kembar yang masih tidak mau bertemu dengan ayah mereka sampai hari ini. "Ah..., sate tiap Mbak pulang gak akan ada lagi, dong." "Bissa gak sih, sekali aja lo gak ngomongin s
Aku yang terbangun, langsung mendapati lelaki yang tidak mengatakan apapun tentang kepergianku dari rumahnya. Lelaki sama yang juga tidak bertanya kemana diriku yang meninggalkannya di rumah sakit, rasanya tahu jika liburan yang jadi protes dua adik kembarnya hanya alasanku untuk keluar dari rumahnya ini. (Nuri Aliyah Efendi, ayo kita menikah) Sementara kalimat lelaki yang membuat mataku tak berkedip, ucapannya kembali terdengar. Menggema dalam diriku yang mulutnya rapat tertutup. Memandangi wajah lelap lelaki di hadapan. Mas Rendra yang tertidur dengan posisi duduk, menjadikan sofa tempatku berbaring sebagai bantalan tubuh. Bahkan, wajahku bisa merasakan nafasnya teratur meski posisi tidurnya tampak tak nyaman. Apa yang sedang kupikirkan? Rasanya lebih baik aku menyimpannya untuk diriku sendiri. Karena mengunci rapat-rapat apa yang kupikir dan rasakan, adalah hal yang sudah begitu mengerak dalam jiwaku. Tapi, meskipun begitu, perlahan tanganku menyusuri garis wajah mas Rendra
Apa pintaku berlebihan? Apa permohonan ku begitu keterlaluan? Apa keinginanku begitu sukar? Tapi, memang hanya itu yang kuinginkan. Aku ingin adikku baik-baik saja. Meski panas tubuhnya yang serasa menyelimuti diri, menyalurkan rasa takut yang tak ingin ku perlihatkan saat pandangan kami bertemu. "Mbak Ui pilih kamar yang mana?" "Yang mana saja." Tempat tinggal adikku begitu memanjakan mata. Pun, begitu terang karena cahaya matahari bebas masuk dari dinding kaca yang mengarah ke balkon. Balkon yang bisa membuatku melihat tempat tinggal ibu penjual keripik singkong enak bersama dua putra putrinya juga kakek mereka. Meski rumah mereka yang ada di seberang sungai tampak kecil dari tempatku berdiri. Tidak banyak pernak-pernik dalam ruangan dengan dua kamar, juga dapur yang menyatu dengan ruang makan, pun, ruang tamu yang jadi terlihat lega karena hanya memiliki satu sofa panjang dan meja dengan televisi layar datar 14 inci. Di kabinet, hanya ada beberapa perkakas dapur yang lac
Aku tidak tahu wajah macam apa yang sedang kutunjukkan pada mas Rendra. Lelaki yang tangannya menggenggam jemariku. "Kamu sedang mengandung anak kita, Runi, usianya sekitar 4 minggu." Kalimatnya bahkan tak bisa kutanggapi. Kecuali pupil mataku yang mas Rendra patri, bergerak gelisah. Sementara ucapannya seolah jadi kalimat yang tidak mampu kucerna sampai aku menunduk karena merasakan tangan mas Rendra yang erat menggenggam jemariku, bergetar. "Anak kita, Runi." Ulangnya lagi yang tetap tak mampu kubalas. Tidak dengan ucapan, tidak dengan penolakan ataupun bantah, tidak juga dengan menajuhkan diriku darinya. Aku yang tidak menemukan balasan apapun, hanya diam! * Zrass....! Suara air keran menggema keras dalam kamar mandi yang ubinnya bahkan tak bisa kurasakan dinginnya. Kalimat mas Rendra begitu tidak masuk akal meski aku tahu, seluruh dirinya mengatakan kebenaran. 'Aku hamil?' Aku bahkan tidak tahu rasa macam apa yang sedang memenuhi diri saat aku menatap pantulan diri di d
Rasanya tidak ada yang berbeda pada diriku. Perutku masih begitu rata. Bahkan, saat aku yang hasrat makan lontong sayurnya terpenuhi, terus saja mengunyah. Hari ini, aku seolah bisa makan apa saja, mengosongkan kulkas yang tidak hanya berisi telur, roti, dan minuman kalengan. Mas Rendra tidak hanya membawa dua macam susu untuk wanita hamil semalam, ia membawa banyak makanan juga buah. Seolah benar-benar menantikan apa yang sedang ... "tumbuh dalam rahimku?" Aku menarik nafasku dalam, rasanya Kalimat itu begitu tidak femiliar sampai aku berhenti mengunyah anggur yang mangkuknya ku letakkan di lantai. Tapi, aku mengurungkan niat untuk menarik kakiku yang ada di atas paha mas Rendra. Kenapa? Entahlah. Rasanya, aku takut gerakanku akan membangunkan lelaki yang tangannya masih ada di atas kakiku itu. "Apa yang akan kita lakukan sekarang, Mas? Aku ... aku tidak yakin bisa menanggung kehidupan dari nyawa lain. Apalagi saat ini." Kutatap perut rataku dengan perasaan yang ... 'aku ti
"Tidurlah." Ucapku pada bocah besar yang menguap tapi tetap memaksakan diri duduk menemaniku yang kantuknya belum juga datang mengingat ini masih jam 8."Mbak yakin gak mau aku temenin?""Mbak belum ngantuk, Nang. Dan kasurmu sudah ingin ditiduri pemiliknya."Santo tersenyum untuk ucapanku yang ia peluk erat, "aku tidur dulu ya, Mbak. Aku sayang padamu." Kalimat yang tidak pernah luput darinya pun terucap. "Dan aku tahu Mbak Ui sangat sayang padaku."Dan bocah besar yang nampaknya tak lagi mampu menahan godaan kantuk berkat obat yang ia minum, masuk ke dalam kamar yang juga jadi kamarku meski aku memiliki kamar sendiri dalam apartemen yang pintunya kembali kutatapi. "Cinta? Rasanya kalimatmu sangat luar biasa, Nang."Dan entah untuk yang keberapa kali lagi, sadar tidak sadar ekor mataku melirik pintu dengan kalimat adikku yang memenuhi diri. *Jam masih menunjukkan angka 09:14, rasanya masih begitu dini untuk merebahkan tubuhku yang sekali lagi menatap pintu."Kurasa kamu tidak akan
Rasaku. Jika saja apa yang kurasakan sejalan dengan pemikiran. Akan semelegakan apa itu bagiku?******"Habiskan, ya?"Lelaki yang selalu sibuk di dapur untuk membuat segelas susu coklat untukku, tersenyum saat aku mengambil gelas yang ia sodorkan."Kamu ingin rasa lain, Runi?" Ucapnya saat aku hanya memandangi gelas yang isinya belum juga ingin ku minum. "Kalau iya, aku akan belikan rasa lain."Aku mengalihkan pandangan dari gelas pada lelaki yang duduk di sampingku. Sementara televisi yang suaranya dimatikan tak menarik minat. Dan mas Rendra menunjukkan senyum saat aku meneguk apa yang khusus ia buat sampai habis."Aku akan pulang sebentar lagi," mas Rendra mengambil gelas kosong dari tanganku. Tapi, ia yang melihatku memeluk lutut urung meletakkan gelas ke atas meja."Apa ada yang membuatmu tidak nyaman?" Ia bertanya, masih memegang gelas, "Runi?""Mas," ucapku makin erat memeluk lututku sendiri, "kurasa, aku menyukaimu lebih dari yang kumau."Tangan Mas Rendra yang hendak menyen
Rasanya, ini kali pertama mas Rendra benar-benar meminta izin untuk mencium diriku.Sementara jarinya menyentuh bibirku yang ia dekati saat aku mengangguk.Cup!Kecupan yang terasa bak salam, meninggalkan aroma mint menggelitik sampai membuatku menggigit bibir. Sapuan nafas mas Rendra terasa begitu hangat, membuat rambut-rambut halusku meremang.Sementara mata kami yang terpaut seolah menghadirkan rasa lain."Jangan lakukan ini." Ibu jari mas Rendra menyentuh titik bibir yang kugigit.Aku ingin bertanya, 'kenapa?'Tapi, kalimat itu hanya bertahan di udara saat mas Rendra kembali mengecup, memangut pun memasukkan lidahnya. Mengabsen tiap inci bagian dalam mulutku yang tidak ingin berkata, 'jangan.'Tanganku justru merangkul leher lelaki yang membuatku merasa ciuman kami tidak cukup.Salahkah kami yang hanyut dalam rasa?Membiarkan insting merajalela sampai mas Rendra yang menggendongku, menutup pintu yang suaranya kalah dengan rintik hujan.Begitu pelan ia meletakkan diriku di atas ran
Di dalam kamar yang memperdengarkan deburan ombak, aku berbaring di bawah selimut tanpa sehelai benangpun.Hembusan nafas mas Rendra yang pakaiannya pun tergeletak di atas ubin, menyapaiku yang menarik nafas dalam saat melihat senyum di wajahnya terlihat begitu tak bersalah sudah meninggalkan banyak tanda kepemilikan di tubuhku yang ia peluk."Aku sangat rindu padamu, Runi."Entah sudah sebanyak apa kalimat itu ia ucapkan padaku yang tubuhnya terasa lemas. Pun, ditinggali banyak tanda yang akan membekas.Tapi, lelaki yang hasratnya sudah terpenuhi ini tahu di tempat mana ia harus meninggalkan tanda kepemilikan agar anak-anak kami tidak akan bertanya.Satu Minggu meninggalkannya bersama anak-anak, menghadirkan rasa yang sama, "aku juga rindu padamu, Mas."Mas Rendra menarik tubuhku makin rapat, tidak meninggalkan sekat saat kulit kami sudah begitu menempel.Keajaiban.Aku tidak pernah percaya pada kalimat itu.Tapi, aku yang sudah dinyatakan mati mampu bangun setelah mendengar tangis d
****Dunia akan adil sebagaimana kita memandangnya. Sementara sang waktu tidak akan pernah menunggu siapapun. ***"Pelan-pelan.""Ng!""Jan belisik juga.""Ng!"DUA BOCAH KECIL berjingkat-jingkat tanpa alas kaki, menyusuri lorong dan saling memperingatkan supaya tak berisik dengan suara pelan.Tidak satupun dari keduanya menyadari ada tubuh besar yang mengikuti mereka dari belakang dan memperhatikan dua bocah nakal yang sama sekali tak menoleh kebelakang. Hanya terus menatap tempat yang kedua bocil itu tuju.Dengan tak kalah pelan, salah satu anak kembar identik yang berdiri di depan menurunkan engsel."Pelan-pelan, EV.""Iya, tau. Ini udah pelan, AV." jawab yang di depan tak kalah berbisik, seolah takut ada telinga lain selain milik keduanya tahu apa yang mereka bicarakan."Gimana? papa masih tidul ga?" tanya yang di belakang."Gak keliatan, Av," jawab bocah yang melongokkan kepalanya ke dalam, melihat kasur besar yang tertutup selimut."Papa kenapa gak ngolok, si? jadi gak ketahua
Entah kenapa, aku yang sedang membetulkan selimut mas Rendra ingin berlama-lama memandang wajah lelapnya.Seolah aku yang duduk di pinggir kasur, benar-benar ingin menyimpan wajah damai mas Rendra detik ini.Jika tidak ingat pada Aji yang sudah lapar, aku pasti akan duduk lama sampai mataku puas menatap lelaki gagah yang memang butuh istirahat lebih ini, "terimakasih," ucapku mengecup bibir mas Rendra pelan. Meninggalkan gelitik ringan yang membuat mas Rendra makin erat memeluk guling sebagai pengganti diriku, "aku pergi dulu, Mas." Pamitku. "Kita mau sarapan apa, Mbak?"Aji meraih tanganku yang terjulur, jemarinya erat menggenggam tanganku yang sekali lagi menoleh pada kamar yang pintunya kututup. "Kamu mau apa?" tanyaku yang rasanya masih ingin mencuri pandang sesaat saja pada tubuh lelap mas Rendra, seolah tubuhku tidak ingin menjauh darinya. Sungguh, rasa yang tidak biasa. "Mbak lagi pingin makan bubur.""Bubur ayam?"Aku mengangguk, masuk ke dalam lift bersama beberapa orang ya
'Memaksakan diri?'Mas Rendra menegakkan duduknya lalu menatapku."Mungkin bapak dan ibu akan terluka saat mengetahui bahwa amarahnya ternyata salah sasaran. Yuli dan keluarganya hanya orang-orang yang dilibatkan karena keserakahan juga ketakutan dari keluarga bapak sendiri yang merasa terancam." Aku tahu, mas Rendra yang lurus menatap manik mataku tidak ingin menggurui."Tapi, setiap orang harus mempertanggung jawabkan apa yang sudah mereka lakukan, Runi."Dan aku yang diam tidak menemukan pembelaan."Apalagi, sepupu-sepupumu melibatkan gadis yang mereka lecehkan lalu menciptakan kebohongan buruk yang berpengaruh panjang, Runi. Dan kurasa, mereka bahkan tidak menyesali kerusakan yang sudah mereka ciptakan, bukan?"Aku bahkan tidak berkedip saat mas Rendra nampaknya bisa menebak aku yang hanya diam membenarkan ucapannya.Sepupu-sepupuku, mereka bisa hidup tanpa rasa bersalah.Jangankan merasa bersalah, mereka justru terlihat lega saat tahu Yuli memilih kematian.Mereka bertiga seolah
"Mereka bilang, aku nakal," bibir tipis Aji mulai bergetar menahan tangis, "aku... aku gak bisa ketemu mbah kalau aku nakal, Mbak."Tidak mungkin bocah nakal yang baru kehilangan kakeknya ini baik-baik saja untuk kalimat yang diucapkan dengan tatapan tajam dan teriakan.Meski tidak mengenal siapa ayah dan ibu kandungnya, kalimat mereka pasti menyisakan bekas yang tidak mungkin bisa Aji abaikan.Aku yang kembali melihat luka dalam mata Aji menarik nafas dalam, menyentuh pipi bocah nakal yang entah sudah sebanyak apa air matanya tumpah sejak kakeknya mati.Dan bertemu dengan orang tua yang baru kali ini datang, nyatanya, justru membuat Aji berdiri ketakutan di pojok dapur."Anak kecil nakal itu hal biasa, Aji," kuusap mata sembab Aji yang tergenang air, "yang tidak biasa itu, orang dewasa yang berteriak terlalu keras saat anaknya nakal, tapi, hanya berteriak dan tak melakukan apapun."Aku menunjukan senyum pada bocah yang menatap begitu lekat, mencerna tiap kata yang kuucap, "lagipula,
'Aji...'Aku langsung berdiri dari tempatku duduk. Menatap bocah lelaki yang pandangannya pun tertuju padaku. Sementara tangannya menggenggam kuat celana panjang yang ia kenakan.Tubuhku bergerak lebih cepat dari otak. Menghampiri bocah yang berdiri mematung.Namun, saat langkah kakiku sudah dekat, ia berlari begitu saja. Melewatiku tanpa kata."Aji!" panggilku, "kamu tau Mbak tak bisa lari mengejarmu, bukan?"Bocah lelaki yang sudah membuka pintu itu berhenti. Menatapku.Sorot matanya ... 'kurasa aku bahkan menahan nafas tanpa kusadari.'Aji anak yang pintar, ia juga anak yang peka."Mbak ... apa Mbak benci padaku?"Ia bahkan terlihat menahan tangis. Sementara getar dalam suaranya seolah sembilu yang menusuk tepat pada jantungku yang masih keras berdetak. "Apa Mbak terlihat seperti orang yang membencimu, Aji?"Aji yang terus menatap, kuat memegang engsel pintu. Ia jadi sangat diam. Juga membisu. Meski aku yakin banyak yang sedang bocah nakal itu pikirkan."Jika jawabanmu tidak, ke
"MENGURUSNYA!?"Suara keras bapak yang entah tahu darimana niatanku dan mas Rendra pada Aji, terdengar menggema dalam ruangan luas yang ubinnya memantulkan cahaya lampu.Ia memandangku dan Mas Rendra bergantian, sementara Ibu yang duduk di sampingnya meminta bapak untuk tenang"Sabar Pak, sabar." Pinta ibu yang mengusap lengan bapak."Tidak, Bu." Tapi, bapak yang sudah terlanjur emosi tidak ingin mendengar. "Aku tidak akan pernah setuju."Begitu tegas pengucapan bapak kali ini. Seluruh pembawaannya benar-benar menolak apa yang akan aku dan mas Rendra lakukan. Dan sorot matanya yang kembali menatap kami tidak menyimpan ruang untuk sekedar diskusi."Kau tentu tidak lupa pada apa yang telah keluarganya lakukan pada adikmu, bukan? Pada kita semua." Dan ucapan bapak membuat ibu terdiam. Tidak lagi memintanya bersabar.Aku yang tangannya mas Rendra genggam bahkan bisa melihat luka dalam mata ibu. Wanita yang melupakan anak laki-lakinya setelah Yuli yang datang meminta pertanggung jawaban me
"Besok siang atau sore mungkin kami baru bisa ke rumah, Pak.""Baik, Mbak Runi, besok saya ngomong sama si Iyah buat nyiapin baju-bajunya Aji.""Terimakasih, Pak Naim.""Sama-sama, Mbak, bisa kangen ini saya sama Aji," ucap pria yang tawanya terdengar dari sambungan telpon."Nanti kita bicarakan itu juga, Pak, saya mungkin butuh tenaga tambahan di rumah juga mbak Iyah kalau mau ikut.""Saya mau, Mbak." Tanpa berpikir pak Naim langsung menjawab, "nanti saya coba omongkan juga sama si Iyah, pas telepon tadi sore dia masih nangis karena dipisahkan dari Aji." Ucapan pak Naim membuat mas Rendra menoleh padaku, "iya, Pak Naim, terimakasih dan selamat istirahat.""Selamat istirahat juga, Mbak Runi."Setelah ponsel yang sambungannya terputus aku letakkan di sofa, kusenderkan kepala pada dada mas Rendra, menatap kamar berisi bocah nakal yang sudah berpindah posisi. "Aku sampai lupa membawa ponselku."Mas Rendra yang menunduk menatapku, tatapannya sedikit berubah.Cerita pak Naim tentang oran
"Kamu nemenin mbak Runi ya."Aji yang erat memeluk leher mas Rendra hanya menurut saat mas Rendra yang membuka pintu belakang, menurunkannya dari gendongan."Masuklah," mas Rendra mengusap lenganku yang juga menurut, masuk lalu duduk di samping bocah nakal yang menatap rumah yang keributannya teredam saat mas Rendra menutup pintu."Kemarilah," ucapku pada bocah nakal yang mengalihkan pandangan dari rumah tempat ia dan pak Alif menjalani hari.Empat tahun, bocah berumur sepuluh tahun ini sudah tinggal di rumah yang entah keributannya akan berakhir kapan. Tapi aku yakin, Aji lebih mengingat rumah ini daripada rumah tempat ia dan Yuli tinggal."Tidak apa."Hanya itu kalimatku pada Aji yang mendongak, memelukku erat sampai pandangannya menoleh pada mas Rendra yang menyamankan duduk di belakang kemudi, "malam ini kita nginep di hotel dulu." Mata Aji yang sembab terpejam sesaat untuk usapan mas Rendra pada kepalanya, "kasian mbak Runi kalau kita langsung pulang. Iya kan?"Senyum yang mas Re