Gila kah diriku? Tentu saja. Karena jika aku waras, tidak mungkin aku membiarkan adikku pergi sendirian dari rumah tempat ia tumbuh. Jika aku tidak gila, aku tidak mungkin bisa menahan diri untuk menyakiti orang-orang yang mengganggu adikku. Manusia-manusia yang membuat adikku dilupakan ibunya! Kurasa, Karin dan keluarganya yang tidak pernah menerima kehadiran ku dan Santo benar aku adalah anak gila, 'karena jika aku adalah manusia yang waras, tidak mungkin aku bisa berdiri begitu tenang di sampingnya yang bahkan tidak berkedip.' Sementara sorot mata yang sedang ia perlihatkan, memancarkan sedikit ketakutan diantara amarahnya yang tak juga padam. "Dan seharusnya kamu, anak yang begitu dibanggakan orang tua karena lulusan luar negri pasti tahu, aku tidak mencuri apapun dari keluargamu." "OMONG KOSONG!" Teriak Karin begitu tidak terima. "Kau pikir aku tidak tau apa yang kau ambil dari keluargaku, hah!?" Seolah aku tidak mampu mendengar uacapannya, suara Karin terus saja meninggi
Mas Rendra yang berdiri begitu dekat menanyakkan kalimat yang ku ulang dalam hati, 'apa aku tidak ingin tahu tenang ia dan Clara?' Dan aku yang mendongak agar tatapanku bertemu dengan mas Rendra, bahkan tidak yakin dengan jawaban dari tanya itu. Aku tidak ingin tahu, tapi ... 'ada kalimat dalam kepalaku yang rasanya ingin!' Hatiku seolah terpecah dan membuatku yang jawabnya mas Rendra tunggui, tidak bisa menjawab. Apalagi, sorot mata mas Rendra yang sudah mengatakan segalanya, meninggalkan gumpalan tidak menyenangk- ... 'tidak menyenangkan?' Kalimat itu berulang dalam benakku yang bisa mencium colonge mas Rendra yang terasa menggelitik. Dan dadaku yang rasanya berdetak lebih kencang, ingin ku sembunyikan dari pandangan mas Rendra yang menunggu tanpa paksa. Ia bersikap seolah akan memberiku waktu di dunia untuk menjawab tanyanya. "Kamu ... apa kamu sudah baik-baik saja?" Dan nyatanya bukan tanya tentang Clara yang kuucapkan pada akhirnya. Pada lelaki yang justru menunjukkan s
Teriakkan Riris yang keras membuat Ares yang sedang nonton berlari disusul eyang yang menjatuhkan buku bacaannya.Langkah keduanya begitu ramai sampai lenganku yang rasanya masih berusaha bernafas merasakan sentuhan."JANGAN!"Sampai seruan Mas Rendra membuatku entah tangan sipa yang sedang memegangku diam. Berhenti menolongku yang masih terbaring di atas ubin keras.Sementara telingaku mendengar derap sepatu mas Rendra semakin jelas dan baru berhenti saat aku yang hanya diam, merasakan kehadirannya."Jangan digerakkan dulu." Perintahnya yang memegang jemariku yang membalas."Runi," ucapnya yang terdengar begitu lega, "katakan di mana yang sakit."Ekor mataku yang berusaha merasakan tiap inci tubuh, menatap mas Rendra. Lelaki yang meski bersikap tenang, sorot matanya tidak."Tak ada yang patah, Mas, jika itu yang ingin kamu tahu.""Jangan bercanda!" Serunya yang membantuku duduk setelah aku yakin tak ada sendi atau tulangku yang bergeser apalagi retak."Aku hanya kaget, Mas," ucapku
"Nuri Aliyah Efendy, ayo kita menikah." Ucapan mas Rendra yang matanya lurus menatap manik mataku, membuatku diam. Aku tidak bisa bereaksi untuk kalimat lelaki yang tangannya menahan lenganku yang bahkan melupakan apa yang ingin kulakukan. Ini bukan lamaran pertamanya. Kalimat sama pernah mas Rendra ucapkan setelah kami menghabiskan malam bersama di dalam kamarnya saat hujan deras menyembunyikan apa yang terjadi! Saat itu aku aku bahkan tidak memperhatikan bagaimana wajah mas Rendra. Tapi, sorot dalam pandangan mas Rendra terlihat begitu yakin detik ini. Sampai ia yang duduk, menyatukan jari kami dengan senyum yang tidak pernah berubah bahkan setelah ia tahu anak siapa diriku. "Ayo kita menikah, Runi." Aku yang masih kaget langsung menyentuh bekas luka di dadaku tanpa sadar dan meremas bajuku yang menutupinya. "Orang- ... orang tuamu tidak menyukaiku, Mas." Itu yang ku ucap setelah otakku yang berubah kosong untuk lamarannya, akhirnya bisa berpikir. Tangan mas Rendra yang
Aku tidak melihat apa yang ku pijak. Pijakanku hanya terus mengikuti langkah dua remaja yang tidak sekalipun menoleh ke belakang. Gadis yang begitu tajam menatapku yang memegang lengannya saat pertama kali kami bertemu, menunjukkan wajah tawa. Wajah juteknya yang mampu membuat Mala takut, memancarkan kelembutan tanpa bantah setiap kali ia menatap adikku yang sesekali membalas ucapan dengan senyum meski wajahnya begitu pucat. "HEI!" Aku kaget saat ada tangan kasar menarikku dengan tatapan kesal. Entah apa yang diucapkannya padaku dan tak lama mobil yang lewat di depanku pengemudinya menurunkan kaca, "terimakasih, Pak." Ucapnya pada lelaki yang masih mencengkram lenganku yang ternyata satpam. Aku bahkan tidak mengatakan maaf pada pengemudi mobil sedan yang rasanya menunggu reaksiku. Tapi, aku yang masih menatap kemana taksi yang dinaiki adikku pergi, tidak mengatakan apapun sampai ia melajukan kendaraan dengan wajah kesal. "Lain kali hati-hati, Mbak." Pun, tidak mengatakan terim
Tidak ada kalimat yang mampu menjabarkan apa yang sedang kurasakan detik ini. Dalam dekapan Santo yang panas tubuhnya menyelimuti diri, aku tidak bisa mengatakan apapun kecuali memperdengarkan isak! Sementara jiwaku berteriak menyalahkan segalanya, terutama diriku sendiri! Aku bahkan menyalahkan takdir yang nyatanya tidak ingin menunjukkan keramahannya pada bocah lelaki yang memelukku begitu erat. Bocah lelaki yang mampu membuatku menatap esok hari setiap aku melihat senyumnya saat bangun. Sementara kini, tubuh panasnya tidak mampu meluruhkan rasa kecewa diri pada dunia kami, pada hidup kami, pada takdir kami! Nyatanya Dunia begitu kejam kali ini. * ** *** "Eyang, saya ingin bicara." Begitu pulang aku langsung menemui wanita yang sedang bicara dengan cucu pertamanya. Lelaki yang kutinggalkan begitu saja di rumah sakit, hanya menatapku yang tidak menyapa atau mengatakan maaf. Sementara mataku hanya melihat neneknya yang diam beberapa saat sebelum mengangguk. "Iya, Ndok
"Mbak, kenapa liburannya gak ditunda sampe kita libur juga, sih?" Tanya itu membuatku menoleh pada bocah lelaki yang ikut mengungsi di kamarku. "Karena saat kalian berdua libur, jatah cuti kuliah Mbak sudah habis." Riris menghembuskan nafasnya kesal dan memelukku, "Kitta 'kan bisa liburan setiap Sabtu Minggu, Mbak. Kemana saja yang Mbak Runni mau aku pasti nurut." Dekapan tangan Riris terasa menguat di lenganku, "kenapa sih, Mbak Runni harus pergi liburan? Kitta selalu bissa liburan juga tiap sabtu minggu dan pasti lebih ramme." Aku yang kebohongannya dikuatkan eyang, tidak menemukan apapun untuk menjawab ucapan remaja cantik yang terlihat begitu tidak senang dengan apa yang kami bicarakan saat makan malam tadi. Kepergianku dari rumah yang penghuninya benar-benar menyambut kehadiranku, tidak disukai dua anak kembar yang masih tidak mau bertemu dengan ayah mereka sampai hari ini. "Ah..., sate tiap Mbak pulang gak akan ada lagi, dong." "Bissa gak sih, sekali aja lo gak ngomongin s
Aku yang terbangun, langsung mendapati lelaki yang tidak mengatakan apapun tentang kepergianku dari rumahnya. Lelaki sama yang juga tidak bertanya kemana diriku yang meninggalkannya di rumah sakit, rasanya tahu jika liburan yang jadi protes dua adik kembarnya hanya alasanku untuk keluar dari rumahnya ini. (Nuri Aliyah Efendi, ayo kita menikah) Sementara kalimat lelaki yang membuat mataku tak berkedip, ucapannya kembali terdengar. Menggema dalam diriku yang mulutnya rapat tertutup. Memandangi wajah lelap lelaki di hadapan. Mas Rendra yang tertidur dengan posisi duduk, menjadikan sofa tempatku berbaring sebagai bantalan tubuh. Bahkan, wajahku bisa merasakan nafasnya teratur meski posisi tidurnya tampak tak nyaman. Apa yang sedang kupikirkan? Rasanya lebih baik aku menyimpannya untuk diriku sendiri. Karena mengunci rapat-rapat apa yang kupikir dan rasakan, adalah hal yang sudah begitu mengerak dalam jiwaku. Tapi, meskipun begitu, perlahan tanganku menyusuri garis wajah mas Rendra
Aku tahu pun paham, jika pilihanku yang lengannya sedang mas Rendra usap berpengaruh pada banyak orang, terutama bocah besar yang pipinya sekarang begitu tirus.Bak kulit pembungkus tulang seperti yang bapak katakan.Melihatnya seperti itu setiap hari, tidak mungkin tidak berpengaruh pada jiwa orang tua kami, sepasang pasutri yang mencintai kami seperti anak-anaknya sendiri.Bapak dan ibu, manusia yang membuat adikku tumbuh tanpa merasa berbeda tidak kekurangan apapun, bahkan mendapat cinta tanpa syarat dari keduanya ... 'aku bahkan tidak bisa membayangkan bagaimana hati mereka merasa setiap melihat Santo.'Tapi, tidak bisa.Aku tidak mampu menuruti pinta mereka.Egoiskah diriku? Tentu saja. Hanya pembohong yang akan mengatakan tidak.Jadi, Nang, izinkan mbak egois ya.Mas Rendra menoleh padaku yang mendekat makin rapat. "Semua akan baik-baik saja, Runi."Tanpa menoleh aku mengeratkan pelukan pada lelaki yang kembali mengusap lenganku. Menarikku dalam pelukan yang tidak meninggalkan
Meskipun tidak melihat secara langsung bagaimana Lais kecil menjalani kehidupannya, aku bisa membayangkan jadi setidak percaya apa ia pada manusia lain.Dan balas budi.Nyatanya hal itu menjadi ganjalan bagi gadis yang dijual ayahnya seharga ratusan ribu untuk ganti bermain judi.Lais yang hidup dengan mengenal bisa seburuk apa perlakuan seorang ayah pada putri kandungnya sendiri, tidak mungkin tidak memiliki perasaan semacam itu pada adikku, bocah yang nyatanya mampu membuat Lais tertawa dalam kesal, memberi warna pada hari-hari Lais yang begitu mendengarkan tiap ucapan Santo.Tapi, "apa Santo pernah berkata ia menginginkan balasan untuk apa yang ia lakukan untukmu?"Lais yang menatapku hanya diam, sementara sesenggukannya membuat tanganku yang bebas, terjulur. Mengusap pipi basahnya meski percuma karena airmata Lais terus jatuh.Aku yang tahu Lais paham Santo memang tidak menginginkan balasan apapun darinya, menunjukkan senyum. Senyum yang membuat Lais menjatuhkan kepalanya padaku y
Aku yang melihat luka dalam mata mas Rendra berbalik, memeluknya erat.Melihatnya menyalahkan diri, menusukkan rasa perih dalam hatiku yang tahu bagaimana perasaan itu terasa.Aku yang selalu menyalahkan diri atas apa yang terjadi pada Santo paham, setidak nyaman apa jiwaku untuk rasa bersalah yang bercokol nyata dalam diri."Jangan meminta maaf, Mas." Rasanya aku ingin mengatakan kalimat itu begitu keras.Tapi, degup jantung mas Rendra yang bahkan mengatakan kalimat sama seolah mengaburkan suaraku yang justru mengecup mas Rendra yang pipinya kutangkup, lalu menatapi wajahnya yang hari ini memperlihatkan banyak ekspresi.Kaget pada perubahanku yang hatinya merasa lebih ringan, cemburu pada Keiro yang hanya kutemui sendiri, tapi yang paling tidak suka kulihat adalah wajahnya kali ini. Wajah saat mas Rendra menyalahkan diri untuk apa yang sudah terjadi.Nang, kita sungguh beruntung bertemu dengan mas Rendra, bukan?Dan mbak harap, meski hanya sedikit Mas Rendra juga merasa beruntung be
Disebut apa hubunganku dan Keiro?Entahlah.Aku tidak begitu memikirkan hal itu.Dan kurasa, lelaki yang matanya lurus menatap manik mataku pun berpikir hal sama.Apa Keiro memberi warna pada hari-hariku?Mungkin tidak ataukah iya, entahlah.Karena keberadaan Keiro tidak mempengaruhi bagaimana aku menjalani kehidupan monotonku setelah adikku memilih untuk meninggalkan rumah.Keiro hanya membuatku terbiasa dengan kehadirannya.Dan aku yang masih berdiri di tempatku, memperhatikan Keiro menatapi potret-potret dalam figura yang memang sengaja dipamerkan pada mata siapa saja.Sesekali bibir Keiro tersenyum dan mengangguk. Entah apa yang dipikirkan otak pintarnya itu.Sampai ia yang akhirnya sadar sudah tidak sendirian, berpaling dari potret-potret yang lekat ia pandangi lalu berdiri tegak.Senyum yang kuhafal tercetak setelah ia diam beberapa saat. Sementara suara langkahnya memecah kesunyian yang tercipta.Tanpa kata, Keiro yang menghampiriku langsung memeluk.Rasanya, jika aku tidak sed
Ucapanku membuat mas Rendra yang mulutnya terbuka menelan kalimat apapun yang ingin ia ucapkan. Mimpinya pasti sangat tidak menyenangkan tapi, "aku tidak akan pergi kemanapun."Ulangku pada lelaki gagah yang tidak menyukai mimpinya.Aku ingin mati, menyerah pada hidup. Itu adalah kebenaran.Tapi, keinginan yang sudah terlintas dalam diri itu urung kulakukan.Dan rasanya, aku jadi sangat menyesal saat melihat sorot mas Rendra yang begitu terpengaruh dengan mimpi yang ia miliki.Melihatnya, rasanya aku di sadarkan kembali pada siapa diriku.Aku adalah anak yang orang tuanya memilih kematian.Ayah dan ibu yang sudah terkubur, tidak melihat bagaimana aku dan adikku menjalani hidup.Sementara aku dan adikku yang keduanya tinggalkan, harus menjalani kehidupan karena waktu kami terus dan harus berjalan.Santo bisa tertawa pada dunianya karena ia masih terlalu kecil untuk paham pada perubahan dalam hidup kami yang harus berpindah-pindah tempat tinggal. Pun, mampu tertawa karena bagi Santo yan
"Saya sama bapak-bapak itu urusan sayalah, Mbak Runi." Mbak Imah yang menghapus mata basahnya berucap, "saya belanja dulu ya, Mbak, biar dapat yang segar-segar.""Ya, Mbak Im," balasku pada wanita yang keluar dari pintu samping yang belum lama ia masuki.Meninggalkanku yang membuka kulkas lalu mengeluarkan bahan-bahan yang kubutuhkan sebagai pelengkap nasi yang akan kugoreng.Telur, sosis, pokcay, dan aku mengembalikan wortel yang sudah kupegang ke dalam kulkas saat mengingat mas Rendra yang kurasa masih tidur.Aroma bawang putih yang harum langsung memenuhi dapur pun saat bawang merah dan potongan cabe kumasukkan ke dalam wajan berisi minyak dan bawang putih yang sudah menguning.Dua telur kumasukkan lalu ku aduk rata dan setelah bentuknya pas tak terlalu lembek lagi, aku memasukkan sosis kemudian pokcay yang jadi menyusut saat terkena panas wajan.Tidak butuh waktu lama, nasi yang sudah mbak Imah siapkan, kumasukkan bersama sejumput garam dan penyedap rasa yang terbuat dari bubuk ja
RASA.Pernahkah kamu bertanya seperti apa ia berupa? Seperti apa itu berwarna? Ataukah bagaimana bentuknya?Jika rasa memiki rupa, seperti apa wajah bahagianya?Wajah sedihnya?wajah kecewanya?Wajah senyumnya?Wajah takutnya?Wajah marahnya?Wajah malunya?Wajah senyumnya?Wajah ibanya?Wajah ingin tahunya?Wajah kekanakannya?Jika rasa memiki warna, apa ia akan seperti warna-warna yang kita kenal?Dan jika rasa berbentuk, seperti apa bentuknya?Apa ia memiliki ujung yang tumpul atau malah lancip penuh peringatan?Ataukah ia memliki garis lurus atau berkelok? ataukah putus-putus dengan jarak dan jeda?Jika rasa tidak hanya terasa namun memiliki bentuk yang nyata, akankah rasa membuat kita berkata, "oh, sudah kuduga" atau bahkan "bentuk macam apa ini!?"Jika dicerna lebih, mungkin lebih baik rasa tetap jadi rasa saja.Ia tak perlu berbentuk.Tidak perlu berwarna.Tidak perlu pula memiliki rupa.Karena rasa adalah sesuatu yang kita miliki, baik untuk kita selami sendiri atau ada tubu
"Terima kasih."Pedagang martabak yang menerima uang dariku tersenyum lebar. Pun, menatap kemana aku melangkah. Mungkin ia ingin tahu, kenapa wanita yang sedang hamil besar jalan sendirian tanpa seorangpun menemani. Lewat tengah malam lagi."Siapa, Met?""Orang komplek kayaknya.""Oh, tapi kok sendirian?""Mana kutahu, Sri. Yang penting uangnya gak berubah jadi daun saja."Kalimat yang mampu menyusup pada telinga, tak kuhiraukan. Meski tanganku yang membawa dua bungkus martabak mengeratkan pegangan.Langit di penghujung musim hujan terlihat cerah malam ini. bahkan rembulan yang bulat sempurna menambah keelokan bintang yang kelipnya menemani tiap langkah.Jalanan komplek sepi, meski sesekali ada saja kendaraan melewatiku yang langkahnya terasa lebih ringan."Apa kalian suka?" Ucapku yang berhenti sejenak karena kakiku protes meski perut yang kusentuh menunjukan kehidupan."Lain kali... lain kali kita jalan juga sama papa, ya?"Kalimat yang terucap itu bahkan terdengar kaku. pun terasa
Aku tahu, adikku yang terus tidur tidak mungkin memaafkanku yang ingin menyerah pada hidup. Hal yang sudah dilakukan orang tua kami dulu."Tidak mungkin Santo mau bertemu denganku sekalipun tuhan mengizinkan, kan Mas?"Mataku yang sembab kembali merasa perih, meski bibirku tersenyum saat kurasakan dua bayiku bergerak lincah, seolah menjawab ucapanku yang sedang bertanya pada ayah mereka.Gerakan keduanya menimbulkan sensasi yang kuhafal dan benar-benar kurasakan.Dan dua bocah yang tampak aktif dalam perutku ini tak ingin berhenti bergerak selama beberapa lama. Seolah mau menemaniku yang menatap ayah mereka sebelum mengusap perutku lagi."Ayo kita ketemu om Santo, banyak yang ingin mama katakan padanya."****Zreeg.Aku menutup pintu geser di belakangku sepelan saat aku membuka.Tidak ingin mengganggu apalagi membangunkan tiga tubuh yang tertidur lelap mendekap malam.Sesekali dengkuran terdengar dari satu-satunya pria yang tidur di samping ibu yang tangannya memeluk Bapak.Sementa