“Eungghhh…,” suara lenguhan terdengar saat Ryana baru saja menutup pintu apartemen yang baru saja dimasukinya. Membuat Ryana yang baru saja datang terlonjak kaget mendengarnya.
Gurat kekhawatiran tentang keadaan kekasihnya itu pun kini berganti dengan penasaran. Saat langkah kaki Ryana semakin masuk ke dalam apartemen tersebut.
Tubuhnya meremang. Bergidik. Dengan degupan jantung yang berpacu lebih cepat.
Ryana yang menajamkan indera pendengarannya itu pun kemudian menghentikan langkahnya saat mendapati sumber suara yang ternyata berasal dari kamar kekasihnya.
“Uh … mmm … bi-sakah le-bih ce-pat lagi, sayang?” suara seorang wanita terdengar. Sangat familiar. Tidak asing di telinga.
“Lebih cepat? Begini?” disambut suara baritone milik seorang pria yang juga sama tak asingnya di telinga.
“Ahhh!” wanita itu mendesah. Lantas meracau hebat. Mengiringi bunyi kecipak setelahnya.
“E-va … pu-nya-mu sa-ngat nik-mat, sa-yang,” ujar pria tersebut.
Membuat Ryana yang sudah berdiri tepat di daun pintu itu pun lantas merengut. Menyadari suara siapa yang barusan terdengar itu.
Wajah Ryana memerah. Amarahnya memuncak. Jantungnya semakin berpacu lebit cepat. Lalu, tanpa tedeng aling-aling lagi. Ryana yang murka pun kemudian membuka dengan kasar pintu kamar tersebut.
Braakk!
“Daniel, Eva!” pekik Ryana. Langkahnya cepat menyusuri ruang kamar. Berhenti tepat di samping ranjang. Lalu dengan segera melayangkan sebelah telapak tangannya ke arah sebuah wajah yang mematung menatapnya.
Plaaakk!
Dengungan suara terdengar kala tamparan itu mendarat sempurna di wajah Daniel. Lelaki itu kemudian tersungkur ke samping. Dengan posisi bagian bawah yang masih menjepit Eva.
Usai mendaratkan dengan sempurna telapak tangannya di wajah sisi kiri Daniel. Ryana pun kemudian beralih kepada wanita yang berada di bawahnya. Lantas menarik rambutnya.
“Wanita sialan!” cekik Ryana di leher Eva. Lalu sejurus kemudian juga ikut mendaratkan telapak tangannya di pipi mulus wanita itu.
Plaakk!
Eva juga ikut memaling ke samping. Kala telapak tangan Ryana berhasil menampar pipinya yang mulus. Wajahnya memerah. Sangat merah, diikuti daun telinga yang juga ikut memerah.
Melihat hal tersebut. Daniel pun tak tinggal diam. Lantas buru-buru mengeluarkan pusakanya yang masih tertancap di liang Eva. Berdiri di hadapan Ryana dengan posisi badan tanpa mengenakan apapun!
Menjijikkan!
“Cih!” Ryana mendecih. Saat matanya tanpa sengaja melihat bagian bawah Daniel yang masih menegang. Membuatnya malu, sekaligus jijik.
Bagaimana bisa dia melihat bagian bawah milik Daniel dengan posisi seperti sekarang. Ketahuan selingkuh. Dan lebih parahnya baru saja dicabut dari milik wanita selingkuhannya.
“Kalian berdua menjijikkan!” makinya.
“Cih!” Daniel yang sudah tak tahan lagi pun ikut mendecih.
“Jijik kau bilang?” Daniel tersenyum sinis. “Aku bahkan tak kalah jijik melihatmu yang sok suci, Ryana,” ujarnya kemudian.
Membuat Ryana tertegun di tempatnya.
Jijik? Bagaimana Daniel bisa mengatainya seperti itu. Setelah dua tahun hubungan yang mereka jalani. Dan Ryana memberikan segalanya kepada Daniel. Berupa uang, mobil, apartemen, kecuali kehormatannya sebagai wanita. Karena ingin menjadikannya sebagai kado terindah yang hanya diberikan di malam pertama setelah pernikahan.
Namun, sekarang yang terlihat adalah. Ryana lah yang mendapati Daniel sedang bercinta dengan sahabatnya.
Mereka berdua yang menjijikkan. Bukan dia!
“Apa? Apa sekarang kau terkejut melihatku dengan, Eva?” tanya Daniel dengan tatapan remeh.
Bukannya merasa bersalah karena telah meduakan cinta tulus Ryana. Lelaki itu malah memandang rendah terhadap kekasihnya itu.
“Aku dan Eva telah bersama. Kami telah bersama bahkan dari satu tahun yang lalu!” seru Daniel kemudian.
Ryana tercengang. Mata hitam gadis itu membulat sempurna. Barusan Daniel mengatakan hubungannya dan Eva sudah terjalin dari satu tahun yang lalu. Bukankah berarti selama satu tahun ini dia sudah di tipu oleh kekasih dan sahabatnya sendiri?
Selama ini Ryana selalu menceritakan keluh-kesahnya kepada Eva. Eva pun tidak menunjukkan gelagat apa-apa. Sebagai sahabat yang baik. Wanita itu selalu memberikan masukan, serta dukungan positif untuk hubungan Ryana dan Daniel. Namun, sekarang nyatanya adalah. Ryana telah di tipu mentah-mentah oleh sahabatnya sendiri!
“Kurang ajar! Jadi selama ini kalian berdua telah bermain dibelakangku?!” pekik Ryana dengan sebelah tangan yang sudah terkepal erat.
“Ya. Kau benar, Ryana. Selama satu tahun ini kami berdua memang telah bermain di belakangmu. Bahkan, rencananya aku ingin segera mengakhiri hubunganku denganmu. Tapi sayangnya, Eva, melarangku karena dia kasihan kepadamu,” ujar Daniel.
Ya, Eva, memang mengatakan hal itu. Dia melarang Daniel untuk memutuskan Ryana. Karena merasa kasihan kepada sahabatnya. Namun, sejujurnya alasan utamanya bukan itu. Eva, yang sebenarnya tidak tulus menjalani persahabatan dengan Ryana. Hanya ingin Daniel memanfaatkan Ryana. Untuk mengeruk harta Ryana.
Wanita itu menjalankan siasatnya sebagai wanita baik yang berhati suci. Memprovokasi Daniel dengan sedemikian rupa untuk meminta ini dan itu kepada Ryana. Daniel pun kemudian menuruti, dan Ryana yang bodoh menyanggupi. Sebelum memberikan semua yang Daniel inginkan. Ryana terlebih dulu menceritakan perihal tersebut kepada Eva. Meminta sarannya. Dan Eva selalu mendorong Ryana untuk memberikan segalanya dengan rasa bahagia.
Jelas saja. Semua yang Daniel minta akan jadi miliknya. Jadi, bukankah dia tidak punya alasan untuk membiarkan Ryana tidak mewujudkan permintaan dari kekasih gelapnya?
Mata hati Ryana perlahan membuka. Gadis itu perlahan sadar dengan apa yang terjadi sebenarnya. Daniel selalu meminta ini dan itu kepada Ryana. Dan Eva selalu mendorongnya untuk memberikan semuanya.
“Kamu licik, Eva! Licik!” Ryana memekik. Wajahnya menoleh kepada Eva. Hatinya terasa panas saat tadi mendengar Daniel mengatakan jika Eva menaruh kasihan padanya hingga membuat Daniel urung memutuskan hubungan.
Ini tidak sesederhana kedengarannya. Jika sebelumnya hati Ryana tertutup karena rasa percaya kepada kekasih dan sahabatnya. Kali ini tidak. Gadis itu paham betul apa yang terjadi sekarang. Eva dan Daniel memanfaatkkannya. Mereka berdua telah memanfaatkannya!
Plaaak!
Sebuah tamparan mendarat di wajah Ryana saat wanita itu hendak mendaratkan sekali lagi tamparannya di wajah Eva. Daniel menamparnya, karena tak senang melihat perilaku kasar Ryana yang ditujukan kepada Eva. Bagaimana bisa gadis itu menatap, berteriak, bahkan bertindak kasar seperti itu terhadap wanita yang dipujanya?
Daniel tidak akan membiarkan hal tersebut!
“Keluar kau dari sini sekarang!” usir Daniel dengan sorot mata yang tajam.
“Keluar, cih!” Ryana mendesah. “Ini apartemenku. Di beli dengan uangku. Seharusnya kalianlah yang keluar dari sini!” Ryana tak mau kalah.
“Tempat ini memang dibeli dengan uangmu. Tapi semuanya tertera atas namaku. Jadi, segera keluar dari tempat ini. Kalau tidak, maka aku tak akan segan-segan menyeretmu keluar dari sini!”
Mendengar Ryana di usir. Eva yang telah menyelimuti dirinya dengan selimut tebal lantas tersenyum. Dia memang tidak mengatakan apa-apa. Bahkan tidak menyahuti, atau membalas perlakuan Ryana. Namun, dari senyumnya. Wanita itu terlihat begitu puas dengan apa yang terjadi sekarang.
Toh, Ryana telah melihat semuanya. Jadi, biarkan saja dia. Ada Daniel di sana, dan lelaki itu sudah cukup untuk menghadapi Ryana.
Triing!Bel berbunyi pertanda murid-murid harus segera masuk ke ruang kelas sekarang. Semua anak didik kelas 3 SMA DARMAWANGSA bergegar memasuki kelas mereka. Pun Ryana dan Eva. Sepasang sahabat yang sudah berteman sejak duduk di bangku kelas 1 SMA itu pun sudah duduk di kursi mereka masing-masing.Lembaran kertas ujian dibagikan. Dan semua anak murid mulai mengerjakan. Selang beberapa saat kemudian. Saat jarum jam sudah menunjukkan angka istirahat. Para murid yang sudah selesai mengerjakan soal ujian. Mulai berjalan menghampiri guru di depan kelas.Mereka mengumpulkan lembaran ujian itu di meja. Kemudian bergegas pergi keluar kelas. Pun Ryana, dia yang telah selesai mengerjakan tugas. Lantas bergegas mengumpulkan lembar ujian. Meninggalkan Eva sendirian dalam tugasnya.Bu Guru datang menghampiri. Mendekati meja Eva yang masih berkutat dengan soal ujian. Bu Guru dengan menyilangkan tang
Di luar hujan turun begitu deras. Disertai angin yang berhembus kencang. Di dalam mobil. Ryana duduk termangu, sambil memangku dagunya. Dia menangis sambil melihat keluar kaca. Melihat orang-orang yang tengah berteduh di emperan toko pinggir jalan.Dadanya terasa sesak. Saat kembali membayangkan hal yang baru saja terjadi. Masih tak menyangka jika semua itu terjadi padanya. Ryana di khianati. Bahkan lebih parahnya oleh sahabatnya sendiri. Orang yang sudah selama lima tahun ini bersamanya. Dan sekarang malah mengkhinatinya!“Nona tidak apa-apa?” sang supir bertanya saat dengan tak sengaja tadi melihat Ryana menangis dari spionnya. Dia khawatir. Takut, sesuatu yang buruk terjadi pada nonanya. Mungkin sakit?“…Nggak, Pak. Saya nggak kenapa-napa,” sahut Ryana sambil mengusap air mata.“Tapi, Nona, anda menangis,” kata supir itu lagi sambil menatap kembali wajah
“Apa!”“Tidak… tidak!”Suara baritone terdengar keras di dalam sebuah kamar dengan warna putih abu-abu yang mendominasi. Bahkan saat ini Martin yang awalnya tengah santai duduk di sofa sambil membaca buku itu pun mendadak bangkit dari sana.“Ini semua demi kebaikan, Ryana, Bang.” Mariana yang sudah terbiasa memanggil Martin dengan panggilan ‘Abang’ itu pun ingkut bangkit dari duduknya. Menyusul Martin yang berdiri sambil menyilangkan tangan di dada.“Kebaikan, kebaikan apa? Bukankah putriku masih bisa melanjutkan studinya di tempat lain. Luar negeri misalnya?”Wajah Martin terlihat menegang. Saat mereka mulai membahas tentang putrinya.Itu semua terjadi karena tadi Mariana membuka percakapan tentang pemindahan Ryana yang akan dipindahkan di kota kelahirannya. Kota Medan.R
Waktu sudah menunjukkan hampir pukul setengah enam sore. Saat Ryana turun dari pesawat yang ditumpangi. Langit mendung ditambah tiupan angin. Menerbangkan rambut ikal Ryana ke belakang.Kacamata berbingkai coklat Ryana lepas sambil menyusuri luar bandara. Di mana tempat penjemputan penumpang, yang sudah di tunggu oleh keluarga.“Ryana!”Sebuah tangan melambai sambil menyerukan suara. Ryana yang tadi menatap lurus ke depan. Sekarang mengalihkan pandangan ke samping. Seorang wanita cantik berjalan menghampiri Ryana. Menyimpulkan senyumnya. Lantas memeluk Ryana kala mendekat.“Akhirnya kita ketemu lagi, sayang.” Wanita itu mengusap punggung Ryana. Membelai lembut penuh kasih sayang.“Tante, Widya.”Namanya Widya. Adik kandung dari Mariana. Ibu Ryana. Wanita yang terlihat seperti gadis berumur dua puluh lima tahun. Padahal asli
Semilir angin menari-nari, menggerakkan dedaunan dari sebuah pohon yang tumbuh subur di halaman samping rumah. Dingin, menusuk kulit. Secangkir teh hangat yang tadi diletak di meja. Kini di angkat, diarahkan ke bibir. Lalu menyesapnya.Hmm … terasa nikmat. Apalagi saat ini disajikan dengan pisang kepok rebus buatan Nenek. Makanan yang tak pernah disajikan Ibunya di Jakarta.Kelapa parut bercampurkan sedikit gula menjadi topping dari pisang rebus yang disajikan. Biasanya Ryana memakannya begitu saja, tanpa mencampur campuran parutan kelapa dan gula. Namun, malam ini entah mengapa Ryana ingin mencampur topping di pisangnya.Makanan manis adalah penambah mood bagi Ryana. Apalagi disaat tengah galau seperti ini. Biasanya jika di Jakarta, Ryana akan menghabiskan sepuluh bungkus bites coklat di kamarnya. Namun, karena baru tiba di Medan. Ryana belum sempat mampir ke mini market untuk memburu bites coklatnya.&nbs
Mentari menyapa, hangat masuk melalui jendela kamar yang tadi malam dibiarkan terbuka. Bukan sengaja, namun terlupa karena kegelagapan tadi malam akibat ketahuan mengintip tetangga yang sedang bersedih di balkon kamar.Langkah diseret, menyibak horden jendela. Mencuri intip dari sana, apakah orang yang tadi malam dilihat ada duduk di balkon kamarnya?Kosong. Hanya mentari yang menyilaukan mata. Cuma sebuah gitar yang terlihat didudukkan di kursi sebelah meja. Langkah Ryana beralih ke pintu balkon kamarnya. Menarik handle, lantas membuka. Udara segar dihirup bebas, sambil mengepakkan sayap. Layaknya burung-burung kecil yang bersiap untuk terbang.Entah mengapa, udara pagi di rumah Nenek terasa lebih segar dari pada di rumah nya. Mungkin, karena di sekitar halaman rumah, Nenek menanam aneka pohon yang menghasilkan buah. Seperti sawo, kiwi, mangga, dan jambu. Ada juga pohon pinang yang di tanam berjejer di samping hal
Dua orang lelaki berbadan tegap, berdiri dengan tatapan jahat. Siap, untuk melempar sepasang muda-mudi yang tak bisa membayar.Daniel dan Eva, rakyat jelata yang bergaya seperti anak konglomerat. Sering menghabiskan waktu di tempat-tempat berkelas, dengan kartu limited yang Ryana berikan.Seperti pagi ini, mereka memilih sarapan di sebuah resto ternama yang ada di Jakarta. Namun, siapa sangka jika saat membayar, kartu yang limited yang Daniel berikan tidak dapat membayar.Alih-alih mengira jika mesin gesek kartu telah rusak. Siapa sangka, ternyata semua itu terjadi karena kartu limited yang Daniel berikan sudah tidak dapat lagi berfungsi. Dibekukan seluruh dananya.Peluh bercucuran, membasahi dahi. Di dalam ruangan yang cukup yerjaga kelembabannya. Sepasang muda-mudi tersebut, terdiam tak berdaya. Alih-alih memikirkan kabur, keberadaan dua bodyguard berbadan besar membuat nyali keduanya ciut.
Menerpa lembut di kulit. Menggoyangkan ranting, menggugurkan daun kering. Saat angin mulai menyapu kasar, menerbangkan rambut ke belakang. Ryana lantas mengumpulkan helaian rambutnya, mengikat layaknya punuk unta.Sebuah pajero berwarna hitam melintas di depan rumah. Mencuri atensi Ryana karena jendela yang setengah diturunkan. Perhatiannya tertuju pada sosok yang ada di dalam. Mengemudi, dengan serius. Fokus ke arah depan.“Namanya, Firza. Dia pemilik rumah yang letaknya di samping kita,” ucap Widya. Fokus Ryana sampai tak berkedip. Membuat Widya berinisiatif mengenalkan siapa sang pria.“Ya, Ryana, tau.” keceplosan. “Ups!” mulutnya mengatup. Tangan membekap mulut. Widya menatap serius ke arah keponakannya. Berpikir, kapan keduanya berkenalan?“Kalian saling kenal?”Gelagapan. Ryana salang tingkah tak tau menjawab apa. Tak mungkin
“Ry, kamu kenapa?” tanya Widya mengerutkan dahinya. Menatap bingung kepada Ryana yang terkekeh tanpa sebab. Pun dengan Firza, lelaki itu memasang ekspresi yang sama seperti Widya. Bingung melihat sikap Ryana yang . . . terkekeh tanpa sebab?‘Mampus!’ Ryana menggerutu dalam hati sambil menyipitkan matanya.Mengulum senyum. Kikuk. Ryana menggaruk-garuk belakang kepala yang tidak gatal. Netra mengerling ke sekeliling. Mengalihkan pandangan dari Firza yang kini sudah mengerutkan dahi. Bingung. Menatap tajam ke arahnya.“Hehehe, Ryana nggak apa-apa kok, Tan.” Cengegesan. Senyumnya masih sama kikuk. Bahkan lebih dari yang tadi.“Benar kamu nggak apa-apa?” tanya Widya memastikan. Menatap khawatir kepada ponakan satu-satunya, anak dari Kakaknya.Widya berpikir, apakah sebegitu stress-nya Ryana sampai-sampai terke
Widya membenarkan rambut Ryana yang tadi sempat tertiup angin saat tadi diperjalanan menuju ke rumah Firza. Dengan sabar, penuh kelembutan Widya menata rambut Ryana supaya terlihat rapi. Tidak kusut saat nanti bertemu dengan Firza.“Tante, apa-apaan sih. Kenapa tiba-tiba sok sibuk mengatur rambut, Ryana?”“Biar cantiknya nambah. Perfect, sama seperti saat tadi masih di rumah.” Widya tersenyum puas. Setelah usai menata rambut Ryana. “Seharusnya tadi kamu pakai hijab. Biar lebih cantik,” sambungnya lagi sambil menyunggingan senyuman.“Idiih . . . ngapain? Cuma ke tetangga. Ngapain pake hijab?”“Berhijab itu bukan hanya nunggu pergi jauh. Sebagai seorang muslimah, kamu itu harus menjaga aurat. Apalagi di depan lelaki yang bukan mahram-mu,” ujar Widya.“Tante sendiri kenapa keluar nggak pake hijab?&rd
Menggerakan kuat. Ryana semakin menggeliat. Gadis itu baru bangun saat Widya dengan lantang menyerukan suaranya tepat di daun telinga Ryana.“Ryana . . . wake up!”Tidak lagi menggeliat. Ryana langsung bangun memegang kedua telinga. Mengusapnya penuh sayang, setelah tadi teranianya, pekak. Akibat ulah Widya.“Uuuh . . . Tante,” protes Ryana. Mengerjap-ngerjapkan mata dengan rasa kantuk yang masih meraja.“Wake up, Ryana . . . wake up! Maghrib prayer before time runs up!” titah Widya menggunakan bahasa inggris, yang . . . sangat dimengerti oleh Ryana. Bahasa itu kerap digunakan Widya jika sudah dalam keadaan sangat kesal.“Ngantuk, Tan . . . shalat maghribnya besok aja.” Ryana menguap. Tangannya berulang-ulang ia katupkan dimulut. Menguap, karena kantuk yang belum terpuaskan. Ryana kemudian mengambil bantal guling y
Di pekarang masjid. Mata Widya menjelajah ke mana-mana. Sosok Ryana yang tadi tidak ditemukan di dalam, membuat hati seorang Widya resah. Seingat Widya tadi . . . saat datang ke masjid mereka bersama-sama. Namun berpisah ketika Widya yang terlebih dulu masuk ke dalam area wudhu wanita.Langsung masuk ke dalam masjid tanpa menunggu Ryana. Widya berpikir jika nanti Ryana akan menyusul masuk ke dalam setelah mengambil wudhu-nya. Tidak tau sama sekali apa yang terjadi di luar. Karena setelah masuk tadi. Widya langsung menunaikan shalat sunnah, sebelum mulai berjama’ah.'Nggak mungkin ‘kan, Ryana, balik ke rumah karena kesal setelah tadi kutinggalkan?' gumam Widya, dengan netra yang masih menelusuri setiap sudut pekarangan masjid.“Cari siapa, Mbak?” Firza mendekat. Saat melihat Widya yang sedang berdiri sendiri kebingungan.Mendengar sapaan yang familiar. Widya yang
Tak tau harus menaruh muka di mana. Kembali berjumpa dengan kondisi yang memalukan. Ryana beringsut ke samping, bergegas pergi meninggalkan area wudhu laki-laki.Kaki terjepit, tersangkut pada jerjak besi yang terpasang di gorong-gorong. Jatuh, terduduk di tanah mengotorkan rok sepangkal betis yang dikenakan.“Aduh,” ringis Ryana. Mengaduh, merasakan sakit dibagian bokong yang menyentuh tanah.Sebenarnya rasa sakit tak seberapa. Melainkan malunya, yang amat sangat luar biasa. Sudah salah tempat, terantuk, kaki terjepit, lantas tersungkur ke tanah. Sungguh, derita Ryana lengkaplah sudah.Berdiri mematung, menyaksikan kejadian tersebut. Tiada satu pun yang berniat membantu Ryana. Tangan kotor, terasa pedih karena tadi sempat menahan tubuh supaya tidak telentang di tanah. Membuat, Ryana sulit memakai kedua telapak tangan untuk menopang berdiri dari sana.Sebuah tan
Menerpa lembut di kulit. Menggoyangkan ranting, menggugurkan daun kering. Saat angin mulai menyapu kasar, menerbangkan rambut ke belakang. Ryana lantas mengumpulkan helaian rambutnya, mengikat layaknya punuk unta.Sebuah pajero berwarna hitam melintas di depan rumah. Mencuri atensi Ryana karena jendela yang setengah diturunkan. Perhatiannya tertuju pada sosok yang ada di dalam. Mengemudi, dengan serius. Fokus ke arah depan.“Namanya, Firza. Dia pemilik rumah yang letaknya di samping kita,” ucap Widya. Fokus Ryana sampai tak berkedip. Membuat Widya berinisiatif mengenalkan siapa sang pria.“Ya, Ryana, tau.” keceplosan. “Ups!” mulutnya mengatup. Tangan membekap mulut. Widya menatap serius ke arah keponakannya. Berpikir, kapan keduanya berkenalan?“Kalian saling kenal?”Gelagapan. Ryana salang tingkah tak tau menjawab apa. Tak mungkin
Dua orang lelaki berbadan tegap, berdiri dengan tatapan jahat. Siap, untuk melempar sepasang muda-mudi yang tak bisa membayar.Daniel dan Eva, rakyat jelata yang bergaya seperti anak konglomerat. Sering menghabiskan waktu di tempat-tempat berkelas, dengan kartu limited yang Ryana berikan.Seperti pagi ini, mereka memilih sarapan di sebuah resto ternama yang ada di Jakarta. Namun, siapa sangka jika saat membayar, kartu yang limited yang Daniel berikan tidak dapat membayar.Alih-alih mengira jika mesin gesek kartu telah rusak. Siapa sangka, ternyata semua itu terjadi karena kartu limited yang Daniel berikan sudah tidak dapat lagi berfungsi. Dibekukan seluruh dananya.Peluh bercucuran, membasahi dahi. Di dalam ruangan yang cukup yerjaga kelembabannya. Sepasang muda-mudi tersebut, terdiam tak berdaya. Alih-alih memikirkan kabur, keberadaan dua bodyguard berbadan besar membuat nyali keduanya ciut.
Mentari menyapa, hangat masuk melalui jendela kamar yang tadi malam dibiarkan terbuka. Bukan sengaja, namun terlupa karena kegelagapan tadi malam akibat ketahuan mengintip tetangga yang sedang bersedih di balkon kamar.Langkah diseret, menyibak horden jendela. Mencuri intip dari sana, apakah orang yang tadi malam dilihat ada duduk di balkon kamarnya?Kosong. Hanya mentari yang menyilaukan mata. Cuma sebuah gitar yang terlihat didudukkan di kursi sebelah meja. Langkah Ryana beralih ke pintu balkon kamarnya. Menarik handle, lantas membuka. Udara segar dihirup bebas, sambil mengepakkan sayap. Layaknya burung-burung kecil yang bersiap untuk terbang.Entah mengapa, udara pagi di rumah Nenek terasa lebih segar dari pada di rumah nya. Mungkin, karena di sekitar halaman rumah, Nenek menanam aneka pohon yang menghasilkan buah. Seperti sawo, kiwi, mangga, dan jambu. Ada juga pohon pinang yang di tanam berjejer di samping hal
Semilir angin menari-nari, menggerakkan dedaunan dari sebuah pohon yang tumbuh subur di halaman samping rumah. Dingin, menusuk kulit. Secangkir teh hangat yang tadi diletak di meja. Kini di angkat, diarahkan ke bibir. Lalu menyesapnya.Hmm … terasa nikmat. Apalagi saat ini disajikan dengan pisang kepok rebus buatan Nenek. Makanan yang tak pernah disajikan Ibunya di Jakarta.Kelapa parut bercampurkan sedikit gula menjadi topping dari pisang rebus yang disajikan. Biasanya Ryana memakannya begitu saja, tanpa mencampur campuran parutan kelapa dan gula. Namun, malam ini entah mengapa Ryana ingin mencampur topping di pisangnya.Makanan manis adalah penambah mood bagi Ryana. Apalagi disaat tengah galau seperti ini. Biasanya jika di Jakarta, Ryana akan menghabiskan sepuluh bungkus bites coklat di kamarnya. Namun, karena baru tiba di Medan. Ryana belum sempat mampir ke mini market untuk memburu bites coklatnya.&nbs