Widya membenarkan rambut Ryana yang tadi sempat tertiup angin saat tadi diperjalanan menuju ke rumah Firza. Dengan sabar, penuh kelembutan Widya menata rambut Ryana supaya terlihat rapi. Tidak kusut saat nanti bertemu dengan Firza.
“Tante, apa-apaan sih. Kenapa tiba-tiba sok sibuk mengatur rambut, Ryana?”
“Biar cantiknya nambah. Perfect, sama seperti saat tadi masih di rumah.” Widya tersenyum puas. Setelah usai menata rambut Ryana. “Seharusnya tadi kamu pakai hijab. Biar lebih cantik,” sambungnya lagi sambil menyunggingan senyuman.
“Idiih . . . ngapain? Cuma ke tetangga. Ngapain pake hijab?”
“Berhijab itu bukan hanya nunggu pergi jauh. Sebagai seorang muslimah, kamu itu harus menjaga aurat. Apalagi di depan lelaki yang bukan mahram-mu,” ujar Widya.
“Tante sendiri kenapa keluar nggak pake hijab?&rd
“Ry, kamu kenapa?” tanya Widya mengerutkan dahinya. Menatap bingung kepada Ryana yang terkekeh tanpa sebab. Pun dengan Firza, lelaki itu memasang ekspresi yang sama seperti Widya. Bingung melihat sikap Ryana yang . . . terkekeh tanpa sebab?‘Mampus!’ Ryana menggerutu dalam hati sambil menyipitkan matanya.Mengulum senyum. Kikuk. Ryana menggaruk-garuk belakang kepala yang tidak gatal. Netra mengerling ke sekeliling. Mengalihkan pandangan dari Firza yang kini sudah mengerutkan dahi. Bingung. Menatap tajam ke arahnya.“Hehehe, Ryana nggak apa-apa kok, Tan.” Cengegesan. Senyumnya masih sama kikuk. Bahkan lebih dari yang tadi.“Benar kamu nggak apa-apa?” tanya Widya memastikan. Menatap khawatir kepada ponakan satu-satunya, anak dari Kakaknya.Widya berpikir, apakah sebegitu stress-nya Ryana sampai-sampai terke
“Eungghhh…,” suara lenguhan terdengar saat Ryana baru saja menutup pintu apartemen yang baru saja dimasukinya. Membuat Ryana yang baru saja datang terlonjak kaget mendengarnya.Gurat kekhawatiran tentang keadaan kekasihnya itu pun kini berganti dengan penasaran. Saat langkah kaki Ryana semakin masuk ke dalam apartemen tersebut.Tubuhnya meremang. Bergidik. Dengan degupan jantung yang berpacu lebih cepat.Ryana yang menajamkan indera pendengarannya itu pun kemudian menghentikan langkahnya saat mendapati sumber suara yang ternyata berasal dari kamar kekasihnya.“Uh … mmm … bi-sakah le-bih ce-pat lagi, sayang?” suara seorang wanita terdengar. Sangat familiar. Tidak asing di telinga.“Lebih cepat? Begini?” disambut suara baritone milik seorang pria yang juga sama tak asingnya di telinga.“Ahhh!”
Triing!Bel berbunyi pertanda murid-murid harus segera masuk ke ruang kelas sekarang. Semua anak didik kelas 3 SMA DARMAWANGSA bergegar memasuki kelas mereka. Pun Ryana dan Eva. Sepasang sahabat yang sudah berteman sejak duduk di bangku kelas 1 SMA itu pun sudah duduk di kursi mereka masing-masing.Lembaran kertas ujian dibagikan. Dan semua anak murid mulai mengerjakan. Selang beberapa saat kemudian. Saat jarum jam sudah menunjukkan angka istirahat. Para murid yang sudah selesai mengerjakan soal ujian. Mulai berjalan menghampiri guru di depan kelas.Mereka mengumpulkan lembaran ujian itu di meja. Kemudian bergegas pergi keluar kelas. Pun Ryana, dia yang telah selesai mengerjakan tugas. Lantas bergegas mengumpulkan lembar ujian. Meninggalkan Eva sendirian dalam tugasnya.Bu Guru datang menghampiri. Mendekati meja Eva yang masih berkutat dengan soal ujian. Bu Guru dengan menyilangkan tang
Di luar hujan turun begitu deras. Disertai angin yang berhembus kencang. Di dalam mobil. Ryana duduk termangu, sambil memangku dagunya. Dia menangis sambil melihat keluar kaca. Melihat orang-orang yang tengah berteduh di emperan toko pinggir jalan.Dadanya terasa sesak. Saat kembali membayangkan hal yang baru saja terjadi. Masih tak menyangka jika semua itu terjadi padanya. Ryana di khianati. Bahkan lebih parahnya oleh sahabatnya sendiri. Orang yang sudah selama lima tahun ini bersamanya. Dan sekarang malah mengkhinatinya!“Nona tidak apa-apa?” sang supir bertanya saat dengan tak sengaja tadi melihat Ryana menangis dari spionnya. Dia khawatir. Takut, sesuatu yang buruk terjadi pada nonanya. Mungkin sakit?“…Nggak, Pak. Saya nggak kenapa-napa,” sahut Ryana sambil mengusap air mata.“Tapi, Nona, anda menangis,” kata supir itu lagi sambil menatap kembali wajah
“Apa!”“Tidak… tidak!”Suara baritone terdengar keras di dalam sebuah kamar dengan warna putih abu-abu yang mendominasi. Bahkan saat ini Martin yang awalnya tengah santai duduk di sofa sambil membaca buku itu pun mendadak bangkit dari sana.“Ini semua demi kebaikan, Ryana, Bang.” Mariana yang sudah terbiasa memanggil Martin dengan panggilan ‘Abang’ itu pun ingkut bangkit dari duduknya. Menyusul Martin yang berdiri sambil menyilangkan tangan di dada.“Kebaikan, kebaikan apa? Bukankah putriku masih bisa melanjutkan studinya di tempat lain. Luar negeri misalnya?”Wajah Martin terlihat menegang. Saat mereka mulai membahas tentang putrinya.Itu semua terjadi karena tadi Mariana membuka percakapan tentang pemindahan Ryana yang akan dipindahkan di kota kelahirannya. Kota Medan.R
Waktu sudah menunjukkan hampir pukul setengah enam sore. Saat Ryana turun dari pesawat yang ditumpangi. Langit mendung ditambah tiupan angin. Menerbangkan rambut ikal Ryana ke belakang.Kacamata berbingkai coklat Ryana lepas sambil menyusuri luar bandara. Di mana tempat penjemputan penumpang, yang sudah di tunggu oleh keluarga.“Ryana!”Sebuah tangan melambai sambil menyerukan suara. Ryana yang tadi menatap lurus ke depan. Sekarang mengalihkan pandangan ke samping. Seorang wanita cantik berjalan menghampiri Ryana. Menyimpulkan senyumnya. Lantas memeluk Ryana kala mendekat.“Akhirnya kita ketemu lagi, sayang.” Wanita itu mengusap punggung Ryana. Membelai lembut penuh kasih sayang.“Tante, Widya.”Namanya Widya. Adik kandung dari Mariana. Ibu Ryana. Wanita yang terlihat seperti gadis berumur dua puluh lima tahun. Padahal asli
Semilir angin menari-nari, menggerakkan dedaunan dari sebuah pohon yang tumbuh subur di halaman samping rumah. Dingin, menusuk kulit. Secangkir teh hangat yang tadi diletak di meja. Kini di angkat, diarahkan ke bibir. Lalu menyesapnya.Hmm … terasa nikmat. Apalagi saat ini disajikan dengan pisang kepok rebus buatan Nenek. Makanan yang tak pernah disajikan Ibunya di Jakarta.Kelapa parut bercampurkan sedikit gula menjadi topping dari pisang rebus yang disajikan. Biasanya Ryana memakannya begitu saja, tanpa mencampur campuran parutan kelapa dan gula. Namun, malam ini entah mengapa Ryana ingin mencampur topping di pisangnya.Makanan manis adalah penambah mood bagi Ryana. Apalagi disaat tengah galau seperti ini. Biasanya jika di Jakarta, Ryana akan menghabiskan sepuluh bungkus bites coklat di kamarnya. Namun, karena baru tiba di Medan. Ryana belum sempat mampir ke mini market untuk memburu bites coklatnya.&nbs
Mentari menyapa, hangat masuk melalui jendela kamar yang tadi malam dibiarkan terbuka. Bukan sengaja, namun terlupa karena kegelagapan tadi malam akibat ketahuan mengintip tetangga yang sedang bersedih di balkon kamar.Langkah diseret, menyibak horden jendela. Mencuri intip dari sana, apakah orang yang tadi malam dilihat ada duduk di balkon kamarnya?Kosong. Hanya mentari yang menyilaukan mata. Cuma sebuah gitar yang terlihat didudukkan di kursi sebelah meja. Langkah Ryana beralih ke pintu balkon kamarnya. Menarik handle, lantas membuka. Udara segar dihirup bebas, sambil mengepakkan sayap. Layaknya burung-burung kecil yang bersiap untuk terbang.Entah mengapa, udara pagi di rumah Nenek terasa lebih segar dari pada di rumah nya. Mungkin, karena di sekitar halaman rumah, Nenek menanam aneka pohon yang menghasilkan buah. Seperti sawo, kiwi, mangga, dan jambu. Ada juga pohon pinang yang di tanam berjejer di samping hal