Triing!
Bel berbunyi pertanda murid-murid harus segera masuk ke ruang kelas sekarang. Semua anak didik kelas 3 SMA DARMAWANGSA bergegar memasuki kelas mereka. Pun Ryana dan Eva. Sepasang sahabat yang sudah berteman sejak duduk di bangku kelas 1 SMA itu pun sudah duduk di kursi mereka masing-masing.
Lembaran kertas ujian dibagikan. Dan semua anak murid mulai mengerjakan. Selang beberapa saat kemudian. Saat jarum jam sudah menunjukkan angka istirahat. Para murid yang sudah selesai mengerjakan soal ujian. Mulai berjalan menghampiri guru di depan kelas.
Mereka mengumpulkan lembaran ujian itu di meja. Kemudian bergegas pergi keluar kelas. Pun Ryana, dia yang telah selesai mengerjakan tugas. Lantas bergegas mengumpulkan lembar ujian. Meninggalkan Eva sendirian dalam tugasnya.
Bu Guru datang menghampiri. Mendekati meja Eva yang masih berkutat dengan soal ujian. Bu Guru dengan menyilangkan tangan di dada. Lalu berkata, “Belum siap?”
Eva menggeleng cepat.
“Belum, Bu. Dua soal lagi,” ujarnya dengan peluh yang terlihat di dahi.
Bu Guru bernama Nining itu pun kemudian menggeleng pelan.
“Eva … Eva … kamu itu kan bergaulnya sama, Ryana. Tapi kok nggak ketularan pintarnya sih?” Bu Nining bertanya santai. Namun, nada suaranya seperti sedang mencemooh.
Eva tak menggubris. Dia terus mengerjakan tugas. Menyelesaikan dua soal yang tersisa.
“Jika saya jadi kamu. Saya akan mencontoh, Ryana. Giat belajar, agar juga bisa menjadi juara kelas. Setidaknya bisa berada di peringkat kedua, atau ketiga. Jadi, saya tidak akan merasa kecil berdiri di samping, Ryana,” sambung Bu Nining.
Dan lagi-lagi Eva tidak menggubris. Tinggal satu soal lagi.Dan setelah itu, ia bisa bebas pergi dari sini. Menyusul Ryana yang pasti sedang menunggunya sekarang.
“Apa kamu tidak malu punya seorang sahabat yang pintar. Tapi, kamunya bodoh seperti ini?”
Tepat setelah Bu Nining melontarkan pertanyaan tersebut Eva pun telah menyelesaikan soalnya. Lalu memalingkan wajah sambil mengulurkan lembaran soalnya.
“Ini, Bu, sudah siap.”
Bu Nining mengambil lembar ujian tersebut. Sambil membenarkan kacamatanya. Sementara Eva bergegas cepat keluar dari kelas. Saat mata Bu Nining melihat Eva yang berjalan santai. Lantas wanita berperawakan gendut itu berkata, “Hei Eva! Jangan sok merasa hebat kamu karena berteman dengan Ryana. Kamu itu nggak ada apa-apanya dibandingkan Ryana. Ryana itu cantik, pintar, kaya. Sedangkan kamu apa? Bisa masuk sekolah di sini pun, itu semua berkat orangtua Ryana. Jika tidak, mana bisa kamu masuk ke sekolah bergengsi seperti ini!”
Bu Nining terlihat marah. Saat tadi ia menyerukan suara. Tidak pedulinya Eva terhadap setiap pengajuan pertanyaan yang ia lontarkan. Menjadi penyebab wanita gendut itu berkata seperti itu.
Eva hanya diam. Sempat menoleh dan mendengarkan. Namun, sejurus kemudian gadis itu pergi meninggalkan Bu Nining dengan raut wajah kesal.
Benar kata Bu Nining. Bisanya dia berada di sekolah itu semua berkat kebaikan Martin Adelard (Ayah Ryana). Kedua orantua Eva sudah bekerja cukup lama di keluarga Ryana. Dan saat Martin melihat Eva. Lelaki kelahiran Australia itu pun kemudian menyekolahkan Eva di tempat yang sama dengan putrinya.
Martin bahkan berpesan kepada Ryana. Agar mau membangun pertemanan dengan Eva. Dan Ryana yang penurut serta tak pernah memilih siapa yang akan dijadikan teman itu pun lantas menyambutnya dengan suka cita.
Di kantin sekolah. Eva melihat Ryana sedang duduk menunggunya. Dia meminum segelas jus melalui sedotan putih yang ada di gelas. Sementara satu gelas jus lagi sedang menanti sang pemilik. Ryana memesan dua gelas jus jeruk. Satu untuknya, dan satunya lagi untuk Eva.
Sambil berjalan menghampiri Ryana yang duduk di kursi meja sudut kantin. Eva melihat begitu banyak pasang mata yang memperhatikan Ryana. Murid lelaki, dan juga perempuan. Semuanya memperhatikan Ryana.
Saat lewat di depan Ryana. Semuanya tersenyum hormat. Menyapanya, sambil sedikit berbasa-basi dengan Ryana. Bahkan murid lelaki pun dengan tatapan kagum memuji Ryana. Mendamba, ingin menjadi kekasihnya.
Terbesit rasa iri di hati. Melihat bagaimana semua murid begitu memperhatikan Ryana. Apalagi jika mengingat tentang apa yang tadi Bu Nining katakan di kelas. Membuat hati Eva mengerang keras. Ia cemburu, sangat cemburu dengan Ryana yang memiliki segalanya!
Tidak hanya memiliki wajah cantik serta kulit yang bagus. Tubuh Ryana juga terlihat sempurna ditambah lesung pipit yang menyempurnakan senyumnya. Pintar, dengan latar orang berada. Bahkan keluarga yang begitu disegani di Jakarta. Membuat Ryana seolah layaknya putri dari kerajaan.
Andai saja posisi bisa di tukar. Ingin sekali rasanya Eva memiliki keluarga terpandang seperti orangtua Ryana. Namun, kenyataannya adalah kedua orangtua Eva hanyalah pekerja di rumah keluarga Ryana. Eva hanyalah seorang anak pembantu yang kebetulan memiliki kesempatan bersekolah di SMA terfavorit yang ada di Jakarta. Jika bukan karena kebaikan Martin Adelard. Maka, mungkin sekarang dia hanya bisa bersekolah di SMA biasa.
Setelah tamat SMA. Martin Adelard bahkan menyekuliahkan Eva di kampus yang sama dengan Ryana. Meskipun nilainya tidak cukup. Namun, dengan kekuasaan yang Martin punya. Eva akhirnya bisa melanjutkan pendidikannya di Universitas yang sama dengan Ryana. Universitas ternama dengan peringkat 1 yang terbaik di Indonesia!
Eva sangat senang. Tidak sia-sia baginya menjadi teman dekat Ryana. Meskipun merasa tersaingi. Namun, berkat bujukan Ryana pada orangtuanya akhirnya Eva juga bisa melanjutkan pendidikannya di kampus terbaik tersebut.
Di kampus itu. Eva pun mulai melancarkan aksinya. Ia menargetkan laki-laki kaya untuk bisa didapatkan. Berharap, kelak kehidupannya akan membaik dengan menikahi salah satu mahasiswa kaya yang ada di sana.
Namun, kenyataan tak sesuai harapan. Mahasiswa kaya yang Eva targetkan tidak menganggap serius hubungannya dengan Eva. Setelah mendapatkan apa yang diinginkan. Eva memberikan dengan sukarela sesuatu yang berharga dari dirinya. Rendy si mahasiswa kaya itu kemudian pergi meninggalkan Eva. Memutuskan hubungan dengannya.
Eva menangis. Sakit hati. Mendapatkan perlakuan seperti itu. Semuanya telah ia beri. Hingga tak ada lagi yang tersisa dalam diri. Semuanya telah diberikan kepada Rendy. Si mahasiswa kaya yang telah menjadi kekasih hati. Namun, setelah mendapatkan semuanya. Rendy puas bermain dengan Eva. Lelaki itu malah pergi dengan tak tau diri!
Benar-benar sial!
Disaat ia tengah merasakan sakit hati karena baru saja ditinggalkan kekasih. Eva melihat Ryana yang begitu mesra dengan Daniel. Dan terbesitlah rencana jahat dalam diri. Berencana menjerat Daniel untuk dijadikan kekasih.
Meskipun Eva tau jika Daniel bukan berasal dari keluarga kaya. Namun, Daniel sangat tampan dan rupawan. Membuat Eva tak mempedulikan lagi tentang status serta materi yang ingin dia cari. Meskipun Daniel tidak kaya. Namun, Daniel adalah salah satu mahasiswa berprestasi di kampusnya. Dan juga dia sangat tampan!
Hari demi hari berlalu. Eva pun mulai melancarkan aksinya. Dengan memasang wajah polos tanpa dosa. Serta taktik menjadi gadis lemah yang tulus. Akhirnya Eva bisa mendapatkan Daniel dengan cara membuatnya tidur dengannya.
Alhasil Daniel pun lantas terjerat dengan Eva. Apalagi, Eva tanpa sungkan memberikan apa yang Ryana tak bisa berikan. Santapan cuma-cuma setiap kali Daniel menginginkannya. Dengan dalih, jika hal tersebut diberikan Eva sebagai tanda bukti cintanya.
Toh, Eva juga sudah kehilangan kehormatannya. Jika pun dia tidak melakukannya dengan Daniel. Kehormatannya itu juga tidak akan pernah kembali lagi padanya. Jadi, ya sekalian sajalah. Nyemplung untuk bisa mendapatkan apa yang diinginkan.
Dan hal itu berhasil. Eva berhasil menaklukkan Daniel hingga bertekuk lutut padanya. Dengan alibi gadis yang baik dan lemah. Eva bisa mempengaruhi Daniel untuk mendapatkan apa yang diinginkan.
Di luar hujan turun begitu deras. Disertai angin yang berhembus kencang. Di dalam mobil. Ryana duduk termangu, sambil memangku dagunya. Dia menangis sambil melihat keluar kaca. Melihat orang-orang yang tengah berteduh di emperan toko pinggir jalan.Dadanya terasa sesak. Saat kembali membayangkan hal yang baru saja terjadi. Masih tak menyangka jika semua itu terjadi padanya. Ryana di khianati. Bahkan lebih parahnya oleh sahabatnya sendiri. Orang yang sudah selama lima tahun ini bersamanya. Dan sekarang malah mengkhinatinya!“Nona tidak apa-apa?” sang supir bertanya saat dengan tak sengaja tadi melihat Ryana menangis dari spionnya. Dia khawatir. Takut, sesuatu yang buruk terjadi pada nonanya. Mungkin sakit?“…Nggak, Pak. Saya nggak kenapa-napa,” sahut Ryana sambil mengusap air mata.“Tapi, Nona, anda menangis,” kata supir itu lagi sambil menatap kembali wajah
“Apa!”“Tidak… tidak!”Suara baritone terdengar keras di dalam sebuah kamar dengan warna putih abu-abu yang mendominasi. Bahkan saat ini Martin yang awalnya tengah santai duduk di sofa sambil membaca buku itu pun mendadak bangkit dari sana.“Ini semua demi kebaikan, Ryana, Bang.” Mariana yang sudah terbiasa memanggil Martin dengan panggilan ‘Abang’ itu pun ingkut bangkit dari duduknya. Menyusul Martin yang berdiri sambil menyilangkan tangan di dada.“Kebaikan, kebaikan apa? Bukankah putriku masih bisa melanjutkan studinya di tempat lain. Luar negeri misalnya?”Wajah Martin terlihat menegang. Saat mereka mulai membahas tentang putrinya.Itu semua terjadi karena tadi Mariana membuka percakapan tentang pemindahan Ryana yang akan dipindahkan di kota kelahirannya. Kota Medan.R
Waktu sudah menunjukkan hampir pukul setengah enam sore. Saat Ryana turun dari pesawat yang ditumpangi. Langit mendung ditambah tiupan angin. Menerbangkan rambut ikal Ryana ke belakang.Kacamata berbingkai coklat Ryana lepas sambil menyusuri luar bandara. Di mana tempat penjemputan penumpang, yang sudah di tunggu oleh keluarga.“Ryana!”Sebuah tangan melambai sambil menyerukan suara. Ryana yang tadi menatap lurus ke depan. Sekarang mengalihkan pandangan ke samping. Seorang wanita cantik berjalan menghampiri Ryana. Menyimpulkan senyumnya. Lantas memeluk Ryana kala mendekat.“Akhirnya kita ketemu lagi, sayang.” Wanita itu mengusap punggung Ryana. Membelai lembut penuh kasih sayang.“Tante, Widya.”Namanya Widya. Adik kandung dari Mariana. Ibu Ryana. Wanita yang terlihat seperti gadis berumur dua puluh lima tahun. Padahal asli
Semilir angin menari-nari, menggerakkan dedaunan dari sebuah pohon yang tumbuh subur di halaman samping rumah. Dingin, menusuk kulit. Secangkir teh hangat yang tadi diletak di meja. Kini di angkat, diarahkan ke bibir. Lalu menyesapnya.Hmm … terasa nikmat. Apalagi saat ini disajikan dengan pisang kepok rebus buatan Nenek. Makanan yang tak pernah disajikan Ibunya di Jakarta.Kelapa parut bercampurkan sedikit gula menjadi topping dari pisang rebus yang disajikan. Biasanya Ryana memakannya begitu saja, tanpa mencampur campuran parutan kelapa dan gula. Namun, malam ini entah mengapa Ryana ingin mencampur topping di pisangnya.Makanan manis adalah penambah mood bagi Ryana. Apalagi disaat tengah galau seperti ini. Biasanya jika di Jakarta, Ryana akan menghabiskan sepuluh bungkus bites coklat di kamarnya. Namun, karena baru tiba di Medan. Ryana belum sempat mampir ke mini market untuk memburu bites coklatnya.&nbs
Mentari menyapa, hangat masuk melalui jendela kamar yang tadi malam dibiarkan terbuka. Bukan sengaja, namun terlupa karena kegelagapan tadi malam akibat ketahuan mengintip tetangga yang sedang bersedih di balkon kamar.Langkah diseret, menyibak horden jendela. Mencuri intip dari sana, apakah orang yang tadi malam dilihat ada duduk di balkon kamarnya?Kosong. Hanya mentari yang menyilaukan mata. Cuma sebuah gitar yang terlihat didudukkan di kursi sebelah meja. Langkah Ryana beralih ke pintu balkon kamarnya. Menarik handle, lantas membuka. Udara segar dihirup bebas, sambil mengepakkan sayap. Layaknya burung-burung kecil yang bersiap untuk terbang.Entah mengapa, udara pagi di rumah Nenek terasa lebih segar dari pada di rumah nya. Mungkin, karena di sekitar halaman rumah, Nenek menanam aneka pohon yang menghasilkan buah. Seperti sawo, kiwi, mangga, dan jambu. Ada juga pohon pinang yang di tanam berjejer di samping hal
Dua orang lelaki berbadan tegap, berdiri dengan tatapan jahat. Siap, untuk melempar sepasang muda-mudi yang tak bisa membayar.Daniel dan Eva, rakyat jelata yang bergaya seperti anak konglomerat. Sering menghabiskan waktu di tempat-tempat berkelas, dengan kartu limited yang Ryana berikan.Seperti pagi ini, mereka memilih sarapan di sebuah resto ternama yang ada di Jakarta. Namun, siapa sangka jika saat membayar, kartu yang limited yang Daniel berikan tidak dapat membayar.Alih-alih mengira jika mesin gesek kartu telah rusak. Siapa sangka, ternyata semua itu terjadi karena kartu limited yang Daniel berikan sudah tidak dapat lagi berfungsi. Dibekukan seluruh dananya.Peluh bercucuran, membasahi dahi. Di dalam ruangan yang cukup yerjaga kelembabannya. Sepasang muda-mudi tersebut, terdiam tak berdaya. Alih-alih memikirkan kabur, keberadaan dua bodyguard berbadan besar membuat nyali keduanya ciut.
Menerpa lembut di kulit. Menggoyangkan ranting, menggugurkan daun kering. Saat angin mulai menyapu kasar, menerbangkan rambut ke belakang. Ryana lantas mengumpulkan helaian rambutnya, mengikat layaknya punuk unta.Sebuah pajero berwarna hitam melintas di depan rumah. Mencuri atensi Ryana karena jendela yang setengah diturunkan. Perhatiannya tertuju pada sosok yang ada di dalam. Mengemudi, dengan serius. Fokus ke arah depan.“Namanya, Firza. Dia pemilik rumah yang letaknya di samping kita,” ucap Widya. Fokus Ryana sampai tak berkedip. Membuat Widya berinisiatif mengenalkan siapa sang pria.“Ya, Ryana, tau.” keceplosan. “Ups!” mulutnya mengatup. Tangan membekap mulut. Widya menatap serius ke arah keponakannya. Berpikir, kapan keduanya berkenalan?“Kalian saling kenal?”Gelagapan. Ryana salang tingkah tak tau menjawab apa. Tak mungkin
Tak tau harus menaruh muka di mana. Kembali berjumpa dengan kondisi yang memalukan. Ryana beringsut ke samping, bergegas pergi meninggalkan area wudhu laki-laki.Kaki terjepit, tersangkut pada jerjak besi yang terpasang di gorong-gorong. Jatuh, terduduk di tanah mengotorkan rok sepangkal betis yang dikenakan.“Aduh,” ringis Ryana. Mengaduh, merasakan sakit dibagian bokong yang menyentuh tanah.Sebenarnya rasa sakit tak seberapa. Melainkan malunya, yang amat sangat luar biasa. Sudah salah tempat, terantuk, kaki terjepit, lantas tersungkur ke tanah. Sungguh, derita Ryana lengkaplah sudah.Berdiri mematung, menyaksikan kejadian tersebut. Tiada satu pun yang berniat membantu Ryana. Tangan kotor, terasa pedih karena tadi sempat menahan tubuh supaya tidak telentang di tanah. Membuat, Ryana sulit memakai kedua telapak tangan untuk menopang berdiri dari sana.Sebuah tan