“Apa!”
“Tidak… tidak!”
Suara baritone terdengar keras di dalam sebuah kamar dengan warna putih abu-abu yang mendominasi. Bahkan saat ini Martin yang awalnya tengah santai duduk di sofa sambil membaca buku itu pun mendadak bangkit dari sana.
“Ini semua demi kebaikan, Ryana, Bang.” Mariana yang sudah terbiasa memanggil Martin dengan panggilan ‘Abang’ itu pun ingkut bangkit dari duduknya. Menyusul Martin yang berdiri sambil menyilangkan tangan di dada.
“Kebaikan, kebaikan apa? Bukankah putriku masih bisa melanjutkan studinya di tempat lain. Luar negeri misalnya?”
Wajah Martin terlihat menegang. Saat mereka mulai membahas tentang putrinya.
Itu semua terjadi karena tadi Mariana membuka percakapan tentang pemindahan Ryana yang akan dipindahkan di kota kelahirannya. Kota Medan.
Ryana yang awalnya kuliah di Universitas terbaik di Indonesia. Ingin dipindahkan ke Medan. Menyambung pendidikan di Universitas terbaik yang ada di kota itu.
“Abang, benar. Putri kita bisa melanjutkan studinya di luar negeri. Tapi, kondisinya sekarang tidak memungkinkan. Jika Ryana dipindahkan ke sana. Maka, tidak ada orang yang akan menjaganya. Menghiburnya.”
“Kita bisa membayar orang, Mary. Kita bisa membayar orang!”
“Aku mampu menggaji orang untuk menjaga putriku. Sangat mampu!” Martin menepuk-nepuk dadanya saat bicara dengan wajah yang sudah tampak memerah.
“Aku tau, Bang. Tapi … kita tidak bisa membiarkan putri kita sendirian di sana. Dia harus di dampingi oleh seseorang yang dekat dengannya.” Mariana mencoba menjelaskan.
“Kamu tau ‘kan kehidupan di luar negeri itu seperti apa? Apa kamu mau putrimu yang malang itu menjadi orang yang ‘liar’ di sana?”
Martin diam. Memikirkan setiap perkataan istrinya. Mariana benar. Jika mereka mengirim Ryana yang tengah kacau itu ke luar negeri. Maka, hasilnya tidak baik. Kehidupan di sana bebas. Benar-benar bebas. Bahkan, jika dia menitipkan Ryana di tempat keluarganya pun. Hasilnya tetap akan sama.
Kerabat Martin yang tinggal di Negara luar. Menganut prinsip hidup bebas. Tidak pernah membatasi pergaulan. Dengan siapapun itu. Bahkan terakhir, saat mereka berkunjung ke tempat kerabat Martin yang ada di luar. Martin melihat dengan jelas. Anak dari kerabatnya itu dengan bebas membawa pacarnya untuk menginap di kamarnya.
Memang benar-benar tidak ada aturan. Jadi, bagaimana bisa Martin mempercayakan Ryana di sana?
“Di Medan. Ryana bisa tinggal bersama orangtuaku, dan juga adikku. Aku yakin, mereka bisa menjaga Ryana. Sama seperti kita menjaganya. Bahkan kurasa bisa lebih ketat lagi.” Mariana terus mencoba meyakinkan Martin.
“Kamu tau, Bang, tentang, Firza?”
Martin mengerutkan kening. Pertanda tak mengerti.
“Teuku Firza Saymanuddin. Putra tunggal dari, Teuku Saymanuddin dan Nona Nurmala?” tanya Mariana. Membuat Martin mencoba mengingat.
“Beliau adalah pengusaha besar yang berasal dari Serambi Mekkah. Pemilik hampir setengah dari pertambangan minyak yang ada di negeri ini. Yang dulu pernah kuceritakan dan ingin sekali menjodohkan dengan, Ryana.” Mariana kembali mencoba mengingatkan tentang keinginannya satu tahun yang lalu.
Ingin menjodohkan Ryana dengan Firza. Putra tunggal dari sahabatnya. Nurmala. Namun, hal itu urung dilakukan mengingat Ryana telah memiliki Daniel. Bahkan Ryana sangat tergila-gila padanya.
Mariana sendiri bukan tipe orangtua yang akan memaksakan perjodohan. Dia paham betul perasaan anak muda. Kala tengah jatuh cinta. Dan menurut Mariana, asalkan lelaki itu bisa membahagiakan Ryana, kenapa tidak? Toh yang menjalani kehidupan rumah tangga kelak juga mereka. Jadi, biarkan saja mereka memilih.
Namun, sekarang semuanya beda. Ryana dan Daniel sudah resmi berpisah. Bahkan Ryana sudah menaruh benci yang teramat dalam kepada Daniel. Membuat Mariana merasa sangat yakin jika Ryana dan Daniel tidak akan pernah lagi bersama.
Ini saatnya Mariana menjalankan tugas. Menunjukkan seorang pria yang benar-benar pantas untuk putrinya. Meskipun begitu … Mariana tetap ingin semuanya berjalan natural. Hanya butuh sedikit pengaturan, untuk memperkenalkan keduanya. Selebihnya, jika memang keduanya sama-sama tak saling suka. Apa boleh buat? Mariana tidak akan memaksa. Mungkin bukan jodoh?
Sementara itu Martin yang mulai berkutat dengan ingatannya satu tahun yang lalu. Lantas menganggukkan kepala.
“Ya, aku ingat sekarang! Firza yang tubuhnya jangkung itu ‘kan? Yang sekarang menjadi dosen di Universitas yang ada di Medan?”
Mariana mengangguk. Akhirnya suaminya berhasil mengingat tentang Firza. Membuatnya senang. Dengan begitu, Mariana bisa mulai menjalankan siasat tersebut dengan suaminya.
***
“Hoooaaahhh…,”
Pagi menjelang dan Ryana terbangun. Mengepakkan kedua sayapnya, untuk meregangkan tubuhnya. Ryana kemudian mengucek matanya yang sembab. Akibat menangis semalaman. Kantung matanya bahkan terlihat menghitam dan juga sedikit bengkak.
Tadi malam hampir pukul empat subuh Ryana menangis. Lantas terlelap tak sadarkan diri. Selang tiga jam kemudian. Ryana yang terlelap akhirnya terjaga. Saat kokok ayam terdengar di balik jendela kamar.
Tepat di bawah balkon kamar. Martin memelihara dua ekor ayam jago dengan fasilitas kandang yang sangat memadai. Meskipun kandang ayam. Namun, tempat tersebut sama sekali tak berbau. Selalu bersih dan wangi.
Kecanggihan alat yang ada di kandang. Membuat kotoran ayam tidak menyengat ke sana-sini. Memiliki pembersih otomatis jika ada kotoran yang menempel di lantai.
Benda itu khusus ia buat hanya untuk dua ayamnya. Martin tempah dengan upah yang mencapai hampir lima puluh juta rupiah. Jadi, wajar saja jika kandang itu sangat canggih. Upah tempahannya saja sudah mencapai angka lima puluh juta rupiah. Belum bahan baku pembuatannya.
Ryana berjalan linglung. Membuka kain hordeng yang menutupi jendela. Kakinya melangkah dengan gontai menyusuri kamar. Lantas berhenti ketika sudah sampai di depan jendela.
Ryana menarik horden jendela. Menggesernya ke samping. Lantas beralih ke kamar mandi. Mengikuti panggilan alam yang sudah membisiki diri.
“Hemmm … leganya,” lirih Ryana dengan malas saat langkahnya hendak memasuki kembali area kamar. Matanya sedikit menyipit. Kembali meminta hak nya untuk istirahat. Namun, saat Ryana hampir sampai di ranjangnya. Sebuah notifikasi pesan menghentikan langkahnya.
Ryana kemudian membalikkan badan. Berjalan ke arah meja rias. Guna mengambil ponselnya.
Sebuah pesan chat masuk dari nomor yang tak dikenal. Mengirimkan sebuah video kepada Ryana. Tanpa banya pikir dan rasa curiga. Ryana membuka isi video yang dikirim kepadanya. Membuat matanya membelalak. Lantas meletakkan kembali ponselnya.
Sebuah adegan me sum tengah dipertontonkan di sana. Tentang sepasang anak muda yang sedang bercinta. Mereka terlihat sangat menikmati. Terdengar jelas dari gerakan serta suara yang terus merintih. Mengundang untuk memuaskan diri.
Hati Ryana kembali sakit, sangat sakit bahkan dari sebelumnya. Masih tak menyangka jika orang-orang yang dipercayainya ternyata sudah berkhianat. Namun, semua itu terlihat jelas kemarin saat Ryana mengunjungi apartemen Daniel.
Sebuah notifikasi pesan tentang tidak jadi hadirnya Daniel diperayaan ulang tahunnya dikarenakan sedang sakit membuatnya khawatir. Membuat Ryana memutuskan untuk segera menjenguk. Memastikan keadaan kekasihnya baik-baik saja.
Namun, apa yang didapat? Daniel ternyata baik-baik saja. Lelaki itu bahkan terlihat sangat bergairah saat menunggangi Eva di bawahnya.
“Uhh … sial!” umpat Ryana.
Ia merasa sangat sial karena matanya harus menyaksikan kembali ketegangan yang menyakitkan diri. Adegan tak senonoh yang kemarih dilihatnya. Sekarang malah terpampang nyata kembali di depan mata. Berasal dari sebuah nomor tak dikenal. Mengirimkan video panas dari dua orang yang dikenal.
Kira-kira siapa yang mengirimkan itu?
Entahlah … Ryana pun tak tau. Tepat setelah Ryana berhasil membasmi videonya. Memblokir nomor tak dikenal. Gadis itu merasakan seseorang baru saja masuk ke dalam kamar!
“Siapa?!”
Waktu sudah menunjukkan hampir pukul setengah enam sore. Saat Ryana turun dari pesawat yang ditumpangi. Langit mendung ditambah tiupan angin. Menerbangkan rambut ikal Ryana ke belakang.Kacamata berbingkai coklat Ryana lepas sambil menyusuri luar bandara. Di mana tempat penjemputan penumpang, yang sudah di tunggu oleh keluarga.“Ryana!”Sebuah tangan melambai sambil menyerukan suara. Ryana yang tadi menatap lurus ke depan. Sekarang mengalihkan pandangan ke samping. Seorang wanita cantik berjalan menghampiri Ryana. Menyimpulkan senyumnya. Lantas memeluk Ryana kala mendekat.“Akhirnya kita ketemu lagi, sayang.” Wanita itu mengusap punggung Ryana. Membelai lembut penuh kasih sayang.“Tante, Widya.”Namanya Widya. Adik kandung dari Mariana. Ibu Ryana. Wanita yang terlihat seperti gadis berumur dua puluh lima tahun. Padahal asli
Semilir angin menari-nari, menggerakkan dedaunan dari sebuah pohon yang tumbuh subur di halaman samping rumah. Dingin, menusuk kulit. Secangkir teh hangat yang tadi diletak di meja. Kini di angkat, diarahkan ke bibir. Lalu menyesapnya.Hmm … terasa nikmat. Apalagi saat ini disajikan dengan pisang kepok rebus buatan Nenek. Makanan yang tak pernah disajikan Ibunya di Jakarta.Kelapa parut bercampurkan sedikit gula menjadi topping dari pisang rebus yang disajikan. Biasanya Ryana memakannya begitu saja, tanpa mencampur campuran parutan kelapa dan gula. Namun, malam ini entah mengapa Ryana ingin mencampur topping di pisangnya.Makanan manis adalah penambah mood bagi Ryana. Apalagi disaat tengah galau seperti ini. Biasanya jika di Jakarta, Ryana akan menghabiskan sepuluh bungkus bites coklat di kamarnya. Namun, karena baru tiba di Medan. Ryana belum sempat mampir ke mini market untuk memburu bites coklatnya.&nbs
Mentari menyapa, hangat masuk melalui jendela kamar yang tadi malam dibiarkan terbuka. Bukan sengaja, namun terlupa karena kegelagapan tadi malam akibat ketahuan mengintip tetangga yang sedang bersedih di balkon kamar.Langkah diseret, menyibak horden jendela. Mencuri intip dari sana, apakah orang yang tadi malam dilihat ada duduk di balkon kamarnya?Kosong. Hanya mentari yang menyilaukan mata. Cuma sebuah gitar yang terlihat didudukkan di kursi sebelah meja. Langkah Ryana beralih ke pintu balkon kamarnya. Menarik handle, lantas membuka. Udara segar dihirup bebas, sambil mengepakkan sayap. Layaknya burung-burung kecil yang bersiap untuk terbang.Entah mengapa, udara pagi di rumah Nenek terasa lebih segar dari pada di rumah nya. Mungkin, karena di sekitar halaman rumah, Nenek menanam aneka pohon yang menghasilkan buah. Seperti sawo, kiwi, mangga, dan jambu. Ada juga pohon pinang yang di tanam berjejer di samping hal
Dua orang lelaki berbadan tegap, berdiri dengan tatapan jahat. Siap, untuk melempar sepasang muda-mudi yang tak bisa membayar.Daniel dan Eva, rakyat jelata yang bergaya seperti anak konglomerat. Sering menghabiskan waktu di tempat-tempat berkelas, dengan kartu limited yang Ryana berikan.Seperti pagi ini, mereka memilih sarapan di sebuah resto ternama yang ada di Jakarta. Namun, siapa sangka jika saat membayar, kartu yang limited yang Daniel berikan tidak dapat membayar.Alih-alih mengira jika mesin gesek kartu telah rusak. Siapa sangka, ternyata semua itu terjadi karena kartu limited yang Daniel berikan sudah tidak dapat lagi berfungsi. Dibekukan seluruh dananya.Peluh bercucuran, membasahi dahi. Di dalam ruangan yang cukup yerjaga kelembabannya. Sepasang muda-mudi tersebut, terdiam tak berdaya. Alih-alih memikirkan kabur, keberadaan dua bodyguard berbadan besar membuat nyali keduanya ciut.
Menerpa lembut di kulit. Menggoyangkan ranting, menggugurkan daun kering. Saat angin mulai menyapu kasar, menerbangkan rambut ke belakang. Ryana lantas mengumpulkan helaian rambutnya, mengikat layaknya punuk unta.Sebuah pajero berwarna hitam melintas di depan rumah. Mencuri atensi Ryana karena jendela yang setengah diturunkan. Perhatiannya tertuju pada sosok yang ada di dalam. Mengemudi, dengan serius. Fokus ke arah depan.“Namanya, Firza. Dia pemilik rumah yang letaknya di samping kita,” ucap Widya. Fokus Ryana sampai tak berkedip. Membuat Widya berinisiatif mengenalkan siapa sang pria.“Ya, Ryana, tau.” keceplosan. “Ups!” mulutnya mengatup. Tangan membekap mulut. Widya menatap serius ke arah keponakannya. Berpikir, kapan keduanya berkenalan?“Kalian saling kenal?”Gelagapan. Ryana salang tingkah tak tau menjawab apa. Tak mungkin
Tak tau harus menaruh muka di mana. Kembali berjumpa dengan kondisi yang memalukan. Ryana beringsut ke samping, bergegas pergi meninggalkan area wudhu laki-laki.Kaki terjepit, tersangkut pada jerjak besi yang terpasang di gorong-gorong. Jatuh, terduduk di tanah mengotorkan rok sepangkal betis yang dikenakan.“Aduh,” ringis Ryana. Mengaduh, merasakan sakit dibagian bokong yang menyentuh tanah.Sebenarnya rasa sakit tak seberapa. Melainkan malunya, yang amat sangat luar biasa. Sudah salah tempat, terantuk, kaki terjepit, lantas tersungkur ke tanah. Sungguh, derita Ryana lengkaplah sudah.Berdiri mematung, menyaksikan kejadian tersebut. Tiada satu pun yang berniat membantu Ryana. Tangan kotor, terasa pedih karena tadi sempat menahan tubuh supaya tidak telentang di tanah. Membuat, Ryana sulit memakai kedua telapak tangan untuk menopang berdiri dari sana.Sebuah tan
Di pekarang masjid. Mata Widya menjelajah ke mana-mana. Sosok Ryana yang tadi tidak ditemukan di dalam, membuat hati seorang Widya resah. Seingat Widya tadi . . . saat datang ke masjid mereka bersama-sama. Namun berpisah ketika Widya yang terlebih dulu masuk ke dalam area wudhu wanita.Langsung masuk ke dalam masjid tanpa menunggu Ryana. Widya berpikir jika nanti Ryana akan menyusul masuk ke dalam setelah mengambil wudhu-nya. Tidak tau sama sekali apa yang terjadi di luar. Karena setelah masuk tadi. Widya langsung menunaikan shalat sunnah, sebelum mulai berjama’ah.'Nggak mungkin ‘kan, Ryana, balik ke rumah karena kesal setelah tadi kutinggalkan?' gumam Widya, dengan netra yang masih menelusuri setiap sudut pekarangan masjid.“Cari siapa, Mbak?” Firza mendekat. Saat melihat Widya yang sedang berdiri sendiri kebingungan.Mendengar sapaan yang familiar. Widya yang
Menggerakan kuat. Ryana semakin menggeliat. Gadis itu baru bangun saat Widya dengan lantang menyerukan suaranya tepat di daun telinga Ryana.“Ryana . . . wake up!”Tidak lagi menggeliat. Ryana langsung bangun memegang kedua telinga. Mengusapnya penuh sayang, setelah tadi teranianya, pekak. Akibat ulah Widya.“Uuuh . . . Tante,” protes Ryana. Mengerjap-ngerjapkan mata dengan rasa kantuk yang masih meraja.“Wake up, Ryana . . . wake up! Maghrib prayer before time runs up!” titah Widya menggunakan bahasa inggris, yang . . . sangat dimengerti oleh Ryana. Bahasa itu kerap digunakan Widya jika sudah dalam keadaan sangat kesal.“Ngantuk, Tan . . . shalat maghribnya besok aja.” Ryana menguap. Tangannya berulang-ulang ia katupkan dimulut. Menguap, karena kantuk yang belum terpuaskan. Ryana kemudian mengambil bantal guling y