Di luar hujan turun begitu deras. Disertai angin yang berhembus kencang. Di dalam mobil. Ryana duduk termangu, sambil memangku dagunya. Dia menangis sambil melihat keluar kaca. Melihat orang-orang yang tengah berteduh di emperan toko pinggir jalan.
Dadanya terasa sesak. Saat kembali membayangkan hal yang baru saja terjadi. Masih tak menyangka jika semua itu terjadi padanya. Ryana di khianati. Bahkan lebih parahnya oleh sahabatnya sendiri. Orang yang sudah selama lima tahun ini bersamanya. Dan sekarang malah mengkhinatinya!
“Nona tidak apa-apa?” sang supir bertanya saat dengan tak sengaja tadi melihat Ryana menangis dari spionnya. Dia khawatir. Takut, sesuatu yang buruk terjadi pada nonanya. Mungkin sakit?
“…Nggak, Pak. Saya nggak kenapa-napa,” sahut Ryana sambil mengusap air mata.
“Tapi, Nona, anda menangis,” kata supir itu lagi sambil menatap kembali wajah Ryana melalui spion depannya.
“Cuma kelilipan debu, Pak. Jadi ngeluarin air mata. Sebentar lagi juga baikan sendiri,” bohong Ryana.
Namun, supir yang bernama Pak Asep itu tak lantas percaya. Matanya terus menyelidik ke wajah Ryana, yang sangat jelas mengguratkan kekecewaan.
‘Apa ini ada hubungannya dengan, Daniel?’ pikir Pak Asep.
Pasalnya sebelumnya Ryana baik-baik saja sebelum tadi masuk ke apartemen Daniel. Namun, sekeluarnya dari sana Pak Asep melihat mata Ryana berkaca-kaca. Memancarkan kesedihan.
Ingin rasanya bertanya lebih lanjut. Namun, niat itu diurungkan karena tak ingin membuat Ryana tidak nyaman. Pak Asep sadar posisinya. Dia hanyalah sopir pribadi. Jadi, dia tidak berani melanjutkan pertanyaannya. Takut dikira lancang.
Mungkin, nanti di rumah. Pak Asep bisa meminta putrinya untuk bertanya pada Ryana. Tentang apa yang terjadi sebenarnya. Mengingat, betapa akrabnya mereka berdua.
Tapi … kemana putrinya sekarang? Bukankah hari ini adalah ulang tahun Ryana. Mengapa dia tidak ada?
‘Kemana perginya, Eva? Di tempat acara tadi pun dia tidak ada. Apa jangan-jangan, Eva, lupa jika hari ini adalah hari ulang tahun Nona Ryana?’ batin Pak Asep.
Eva adalah putri tunggal Asep dan juga istrinya yang bernama Marni. Keduanya bekerja kepada keluarga Adelard hampir sepuluh tahun lamanya. Marni sendiri menjabat sebagai asisten rumah tangga. Sementara Asep bekerja sebagai supir pribadi keluarga Adelard.
Keduanya merasa sangat beruntung karena bisa mendapatkan majikan seperti Martin Adelard. Tak pernah memandang rendah siapapun yang bekerja padanya. Meskipun itu tukang kebun, supir, asisten rumah tangga, penjaga, bahkan pengawal pribadi. Semuanya mendapatkan apresiasi yang sama dari Martin Adelard.
Bahkan baru-baru ini Martin kini membangun sebuah perumahan khusus tepat di belakang rumahnya untuk menampung keluarga pekerjanya!
Diingg!
Ponsel berbunyi. Milik Ryana yang menampilkan sebuah pesan. Itu dari Ibunya. Wanita paru baya yang bernama lengkap Mariana itu sedang mencari keberadaan putrinya.
Pasalnya tadi di tengah-tengah perayaan pesta ulang tahun putrinya. Mariana melihat Ryana tergesa-gesa meninggalkan ruangan. Pergi entah kemana.
[Nak, kamu sekarang ada di mana? Orang-orang di sini mencarimu. Mereka ingin mengucapkan selamat kepadamu.] Itu pesan dari Mariana yang lantas di balas.
[Ryana sedang di jalan, Mom. Sebentar lagi balik.]
[Kamu keluar? Kemana? Ada urusan apa?]
[Ada urusan penting. Nanti Ryana ceritakan.]
Setelah menerima balasan tersebut. Mariana pun tidak lagi menanyakan apa-apa. Dia menyimpan ponselnya. Lantas kembali bergabung dengan Ibu-Ibu perkumpulan sosialitanya.
Ini memang ulang tahun Ryana. Namun, keluarga Adelard juga mengundang seluruh koleganya. Mereka membuat perayaan yang begitu meriah. Dengan menghadiri beberapa orang penyanyi ternama Ibukota.
Mobil melaju dengan cepat. Setelah tadi Pak Asep mendapat perintah dari Ryana. Lelaki paru baya yang berusia sekitar 47 tahun itu. Dengan gesit melajukan kendaraan hingga sampai di sebuah hotel tempat perayaan ulang tahun Ryana diselenggarakan.
Ryana pun lantas bergegas masuk ke dalam hotel. Menuju ke tempat berlangsungnya acara perayaan ulang tahunnya.
“Akhirnya kamu kembali juga, Nak!” Gurat kebahagian terpancar begitu jelas saat Mariana melihat wajah putrinya.
Ryana tersenyum kecut sambil menyembunyikan wajah sembabnya.
“Kamu nangis?” Menyadari perubahan wajah putrinya itu pun membuat Mariana khawatir.
“… eng-enggak, Mom. Tadi itu cuma kelilipan debu,” bohong Ryana. Kalimat sama yang tadi juga dipakainya saat Pak Asep bertanya padanya.
“Jangan bohong. Kamu itu bukan lagi kelilipan debu. Tapi kamu itu nangis seperti seorang …” Mariana menjeda kalimatnya. Sebelum akhirnya menarik putrinya ke keluar dari tempat tersebut.
Mariana membawanya pergi ke tempat yang sunyi. Untuk membicarakan apa yang sebenarnya terjadi.
“Ceritakan. Apa yang sebenarnya terjadi?” tanya Mariana. Suaranya terdengar tegas. Dengan tatapan menyelidik. Tau betul jika apa yang disampaikan putrinya tadi itu bohong.
“Nggak ada, Mom. Ryana cum—“
“Ryana. Tatap mata, Mommy. Bicaralah yang jujur kepada, Mommy. Apa yang sebenarnya terjadi sehingga membuatmu kacau seperti ini?”
Mendengar perkataan itu. Membuat Ryana lantas menjatuhkan tubuh kepada Ibunya. Tangisnya pecah, yang siambut usapan lembut di punggungnya.
“Tenanglah, Ryana, sabar. Ceritakan pada, Mommy. Maka, Mommy, jamin semuanya akan baik-baik saja.” Mariana terus mencoba menenangkan putrinya.
Hingga akhirnya Ryana pun menceritakan segalanya.
Ada perasaan sesak saat tadi Mariana mendengarkan segala keluh-kesah putrinya. Hatinya begitu sakit. Sangat sakit. Apalagi saat Mariana tau jika Eva lah yang menjadi sumber retaknya hubungan Ryana dan Daniel.
Mariana sendiri sangat menyayangkan kejadian ini. Ia sama sekali tak menyangka jika ternyata gadis yang selama ini dikenalnya begitu polos, lembut, sopan, patuh, dan juga terlihat tulus itu. Ternyata bisa menjadi seliar itu.
Tidak pernah terbayang sebelumnya tentang terjadinya kejadian seperti ini. Mariana sendiri pun sudah menganggap Eva seperti putrinya sendiri. Kepolosan, serta ketulusan Eva membuat hati Marina luluh. Hingga memberikan apapun yang diberikan kepada putrinya.
Namun, Mariana juga merasa bersyukur tentang adanya kejadian hari ini. Setidaknya sekarang Ryana sudah bisa terlepas dari Daniel. Matanya telah terbuka. Meskipun sebagai gantinya hati Ryana merasakan sakit.
Bukan karena status Daniel yang berasal dari kalangan biasa. Membuat Mariana lantas tak suka padanya. Sebenarnya dengan predikat yang disandangnya sebagai mahasiswa terbaik di kampus. Sudah cukup bagi Mariana untuk menerima Daniel sebagai menantunya.
Toh Daniel pintar. Jika diberi jabatan di perusahaan. Pasti Daniel bisa menjalankan tugasnya dengan baik. Namun, belakangan Daniel kerap meminta ini dan itu pada Ryana. Dari yang awalnya hanya meminjam uang. Lantas lama kelamaan semakin menuntut sampai berani meminta dibelikan mobil dan apartemen!
Bukan tidak menasehati putrinya untuk tidak memberikan apa yang Daniel minta. Mariana telah mencobanya. Namun, Ryana keras hati tak menerima. Hatinya telah tertutup begitu pun pikirannya. Rasa kasih sayang terhadap Daniel yang begitu besar. Mampu membutakan pikirannya.
Ryana tanpa sungkan memberikan segalanya. Bahkan mobil dan apartemen pun dibelikan Ryana atas nama Daniel kekasihnya.
“Mommy … maafin, Ryana.” Ryana terisak. Air matanya terus membanjiri pipinya.
Andai saat itu Ryana mendengar perkataan Ibunya. Pasti dia tidak akan sesakit ini. Paling tidak Ryana tidak akan merasa sangat menyesal karena telah menghamburkan tabungannya untuk membelikan Daniel mobil dan apartemen.
“Sudahlah, sayang. Toh, semua ini juga sudah terjadi. Anggap ini sebagai pembelajaran untuk kamu kedepannya. Jangan mudah percaya sama orang, apalagi sampai memberikan segalanya.” Dengan sabar Mariana membimbing putrinya. Supaya tak sedih lagi. Memberikannya kekuatan. Untuk bisa bangkit kembali.
“Apa!”“Tidak… tidak!”Suara baritone terdengar keras di dalam sebuah kamar dengan warna putih abu-abu yang mendominasi. Bahkan saat ini Martin yang awalnya tengah santai duduk di sofa sambil membaca buku itu pun mendadak bangkit dari sana.“Ini semua demi kebaikan, Ryana, Bang.” Mariana yang sudah terbiasa memanggil Martin dengan panggilan ‘Abang’ itu pun ingkut bangkit dari duduknya. Menyusul Martin yang berdiri sambil menyilangkan tangan di dada.“Kebaikan, kebaikan apa? Bukankah putriku masih bisa melanjutkan studinya di tempat lain. Luar negeri misalnya?”Wajah Martin terlihat menegang. Saat mereka mulai membahas tentang putrinya.Itu semua terjadi karena tadi Mariana membuka percakapan tentang pemindahan Ryana yang akan dipindahkan di kota kelahirannya. Kota Medan.R
Waktu sudah menunjukkan hampir pukul setengah enam sore. Saat Ryana turun dari pesawat yang ditumpangi. Langit mendung ditambah tiupan angin. Menerbangkan rambut ikal Ryana ke belakang.Kacamata berbingkai coklat Ryana lepas sambil menyusuri luar bandara. Di mana tempat penjemputan penumpang, yang sudah di tunggu oleh keluarga.“Ryana!”Sebuah tangan melambai sambil menyerukan suara. Ryana yang tadi menatap lurus ke depan. Sekarang mengalihkan pandangan ke samping. Seorang wanita cantik berjalan menghampiri Ryana. Menyimpulkan senyumnya. Lantas memeluk Ryana kala mendekat.“Akhirnya kita ketemu lagi, sayang.” Wanita itu mengusap punggung Ryana. Membelai lembut penuh kasih sayang.“Tante, Widya.”Namanya Widya. Adik kandung dari Mariana. Ibu Ryana. Wanita yang terlihat seperti gadis berumur dua puluh lima tahun. Padahal asli
Semilir angin menari-nari, menggerakkan dedaunan dari sebuah pohon yang tumbuh subur di halaman samping rumah. Dingin, menusuk kulit. Secangkir teh hangat yang tadi diletak di meja. Kini di angkat, diarahkan ke bibir. Lalu menyesapnya.Hmm … terasa nikmat. Apalagi saat ini disajikan dengan pisang kepok rebus buatan Nenek. Makanan yang tak pernah disajikan Ibunya di Jakarta.Kelapa parut bercampurkan sedikit gula menjadi topping dari pisang rebus yang disajikan. Biasanya Ryana memakannya begitu saja, tanpa mencampur campuran parutan kelapa dan gula. Namun, malam ini entah mengapa Ryana ingin mencampur topping di pisangnya.Makanan manis adalah penambah mood bagi Ryana. Apalagi disaat tengah galau seperti ini. Biasanya jika di Jakarta, Ryana akan menghabiskan sepuluh bungkus bites coklat di kamarnya. Namun, karena baru tiba di Medan. Ryana belum sempat mampir ke mini market untuk memburu bites coklatnya.&nbs
Mentari menyapa, hangat masuk melalui jendela kamar yang tadi malam dibiarkan terbuka. Bukan sengaja, namun terlupa karena kegelagapan tadi malam akibat ketahuan mengintip tetangga yang sedang bersedih di balkon kamar.Langkah diseret, menyibak horden jendela. Mencuri intip dari sana, apakah orang yang tadi malam dilihat ada duduk di balkon kamarnya?Kosong. Hanya mentari yang menyilaukan mata. Cuma sebuah gitar yang terlihat didudukkan di kursi sebelah meja. Langkah Ryana beralih ke pintu balkon kamarnya. Menarik handle, lantas membuka. Udara segar dihirup bebas, sambil mengepakkan sayap. Layaknya burung-burung kecil yang bersiap untuk terbang.Entah mengapa, udara pagi di rumah Nenek terasa lebih segar dari pada di rumah nya. Mungkin, karena di sekitar halaman rumah, Nenek menanam aneka pohon yang menghasilkan buah. Seperti sawo, kiwi, mangga, dan jambu. Ada juga pohon pinang yang di tanam berjejer di samping hal
Dua orang lelaki berbadan tegap, berdiri dengan tatapan jahat. Siap, untuk melempar sepasang muda-mudi yang tak bisa membayar.Daniel dan Eva, rakyat jelata yang bergaya seperti anak konglomerat. Sering menghabiskan waktu di tempat-tempat berkelas, dengan kartu limited yang Ryana berikan.Seperti pagi ini, mereka memilih sarapan di sebuah resto ternama yang ada di Jakarta. Namun, siapa sangka jika saat membayar, kartu yang limited yang Daniel berikan tidak dapat membayar.Alih-alih mengira jika mesin gesek kartu telah rusak. Siapa sangka, ternyata semua itu terjadi karena kartu limited yang Daniel berikan sudah tidak dapat lagi berfungsi. Dibekukan seluruh dananya.Peluh bercucuran, membasahi dahi. Di dalam ruangan yang cukup yerjaga kelembabannya. Sepasang muda-mudi tersebut, terdiam tak berdaya. Alih-alih memikirkan kabur, keberadaan dua bodyguard berbadan besar membuat nyali keduanya ciut.
Menerpa lembut di kulit. Menggoyangkan ranting, menggugurkan daun kering. Saat angin mulai menyapu kasar, menerbangkan rambut ke belakang. Ryana lantas mengumpulkan helaian rambutnya, mengikat layaknya punuk unta.Sebuah pajero berwarna hitam melintas di depan rumah. Mencuri atensi Ryana karena jendela yang setengah diturunkan. Perhatiannya tertuju pada sosok yang ada di dalam. Mengemudi, dengan serius. Fokus ke arah depan.“Namanya, Firza. Dia pemilik rumah yang letaknya di samping kita,” ucap Widya. Fokus Ryana sampai tak berkedip. Membuat Widya berinisiatif mengenalkan siapa sang pria.“Ya, Ryana, tau.” keceplosan. “Ups!” mulutnya mengatup. Tangan membekap mulut. Widya menatap serius ke arah keponakannya. Berpikir, kapan keduanya berkenalan?“Kalian saling kenal?”Gelagapan. Ryana salang tingkah tak tau menjawab apa. Tak mungkin
Tak tau harus menaruh muka di mana. Kembali berjumpa dengan kondisi yang memalukan. Ryana beringsut ke samping, bergegas pergi meninggalkan area wudhu laki-laki.Kaki terjepit, tersangkut pada jerjak besi yang terpasang di gorong-gorong. Jatuh, terduduk di tanah mengotorkan rok sepangkal betis yang dikenakan.“Aduh,” ringis Ryana. Mengaduh, merasakan sakit dibagian bokong yang menyentuh tanah.Sebenarnya rasa sakit tak seberapa. Melainkan malunya, yang amat sangat luar biasa. Sudah salah tempat, terantuk, kaki terjepit, lantas tersungkur ke tanah. Sungguh, derita Ryana lengkaplah sudah.Berdiri mematung, menyaksikan kejadian tersebut. Tiada satu pun yang berniat membantu Ryana. Tangan kotor, terasa pedih karena tadi sempat menahan tubuh supaya tidak telentang di tanah. Membuat, Ryana sulit memakai kedua telapak tangan untuk menopang berdiri dari sana.Sebuah tan
Di pekarang masjid. Mata Widya menjelajah ke mana-mana. Sosok Ryana yang tadi tidak ditemukan di dalam, membuat hati seorang Widya resah. Seingat Widya tadi . . . saat datang ke masjid mereka bersama-sama. Namun berpisah ketika Widya yang terlebih dulu masuk ke dalam area wudhu wanita.Langsung masuk ke dalam masjid tanpa menunggu Ryana. Widya berpikir jika nanti Ryana akan menyusul masuk ke dalam setelah mengambil wudhu-nya. Tidak tau sama sekali apa yang terjadi di luar. Karena setelah masuk tadi. Widya langsung menunaikan shalat sunnah, sebelum mulai berjama’ah.'Nggak mungkin ‘kan, Ryana, balik ke rumah karena kesal setelah tadi kutinggalkan?' gumam Widya, dengan netra yang masih menelusuri setiap sudut pekarangan masjid.“Cari siapa, Mbak?” Firza mendekat. Saat melihat Widya yang sedang berdiri sendiri kebingungan.Mendengar sapaan yang familiar. Widya yang
“Ry, kamu kenapa?” tanya Widya mengerutkan dahinya. Menatap bingung kepada Ryana yang terkekeh tanpa sebab. Pun dengan Firza, lelaki itu memasang ekspresi yang sama seperti Widya. Bingung melihat sikap Ryana yang . . . terkekeh tanpa sebab?‘Mampus!’ Ryana menggerutu dalam hati sambil menyipitkan matanya.Mengulum senyum. Kikuk. Ryana menggaruk-garuk belakang kepala yang tidak gatal. Netra mengerling ke sekeliling. Mengalihkan pandangan dari Firza yang kini sudah mengerutkan dahi. Bingung. Menatap tajam ke arahnya.“Hehehe, Ryana nggak apa-apa kok, Tan.” Cengegesan. Senyumnya masih sama kikuk. Bahkan lebih dari yang tadi.“Benar kamu nggak apa-apa?” tanya Widya memastikan. Menatap khawatir kepada ponakan satu-satunya, anak dari Kakaknya.Widya berpikir, apakah sebegitu stress-nya Ryana sampai-sampai terke
Widya membenarkan rambut Ryana yang tadi sempat tertiup angin saat tadi diperjalanan menuju ke rumah Firza. Dengan sabar, penuh kelembutan Widya menata rambut Ryana supaya terlihat rapi. Tidak kusut saat nanti bertemu dengan Firza.“Tante, apa-apaan sih. Kenapa tiba-tiba sok sibuk mengatur rambut, Ryana?”“Biar cantiknya nambah. Perfect, sama seperti saat tadi masih di rumah.” Widya tersenyum puas. Setelah usai menata rambut Ryana. “Seharusnya tadi kamu pakai hijab. Biar lebih cantik,” sambungnya lagi sambil menyunggingan senyuman.“Idiih . . . ngapain? Cuma ke tetangga. Ngapain pake hijab?”“Berhijab itu bukan hanya nunggu pergi jauh. Sebagai seorang muslimah, kamu itu harus menjaga aurat. Apalagi di depan lelaki yang bukan mahram-mu,” ujar Widya.“Tante sendiri kenapa keluar nggak pake hijab?&rd
Menggerakan kuat. Ryana semakin menggeliat. Gadis itu baru bangun saat Widya dengan lantang menyerukan suaranya tepat di daun telinga Ryana.“Ryana . . . wake up!”Tidak lagi menggeliat. Ryana langsung bangun memegang kedua telinga. Mengusapnya penuh sayang, setelah tadi teranianya, pekak. Akibat ulah Widya.“Uuuh . . . Tante,” protes Ryana. Mengerjap-ngerjapkan mata dengan rasa kantuk yang masih meraja.“Wake up, Ryana . . . wake up! Maghrib prayer before time runs up!” titah Widya menggunakan bahasa inggris, yang . . . sangat dimengerti oleh Ryana. Bahasa itu kerap digunakan Widya jika sudah dalam keadaan sangat kesal.“Ngantuk, Tan . . . shalat maghribnya besok aja.” Ryana menguap. Tangannya berulang-ulang ia katupkan dimulut. Menguap, karena kantuk yang belum terpuaskan. Ryana kemudian mengambil bantal guling y
Di pekarang masjid. Mata Widya menjelajah ke mana-mana. Sosok Ryana yang tadi tidak ditemukan di dalam, membuat hati seorang Widya resah. Seingat Widya tadi . . . saat datang ke masjid mereka bersama-sama. Namun berpisah ketika Widya yang terlebih dulu masuk ke dalam area wudhu wanita.Langsung masuk ke dalam masjid tanpa menunggu Ryana. Widya berpikir jika nanti Ryana akan menyusul masuk ke dalam setelah mengambil wudhu-nya. Tidak tau sama sekali apa yang terjadi di luar. Karena setelah masuk tadi. Widya langsung menunaikan shalat sunnah, sebelum mulai berjama’ah.'Nggak mungkin ‘kan, Ryana, balik ke rumah karena kesal setelah tadi kutinggalkan?' gumam Widya, dengan netra yang masih menelusuri setiap sudut pekarangan masjid.“Cari siapa, Mbak?” Firza mendekat. Saat melihat Widya yang sedang berdiri sendiri kebingungan.Mendengar sapaan yang familiar. Widya yang
Tak tau harus menaruh muka di mana. Kembali berjumpa dengan kondisi yang memalukan. Ryana beringsut ke samping, bergegas pergi meninggalkan area wudhu laki-laki.Kaki terjepit, tersangkut pada jerjak besi yang terpasang di gorong-gorong. Jatuh, terduduk di tanah mengotorkan rok sepangkal betis yang dikenakan.“Aduh,” ringis Ryana. Mengaduh, merasakan sakit dibagian bokong yang menyentuh tanah.Sebenarnya rasa sakit tak seberapa. Melainkan malunya, yang amat sangat luar biasa. Sudah salah tempat, terantuk, kaki terjepit, lantas tersungkur ke tanah. Sungguh, derita Ryana lengkaplah sudah.Berdiri mematung, menyaksikan kejadian tersebut. Tiada satu pun yang berniat membantu Ryana. Tangan kotor, terasa pedih karena tadi sempat menahan tubuh supaya tidak telentang di tanah. Membuat, Ryana sulit memakai kedua telapak tangan untuk menopang berdiri dari sana.Sebuah tan
Menerpa lembut di kulit. Menggoyangkan ranting, menggugurkan daun kering. Saat angin mulai menyapu kasar, menerbangkan rambut ke belakang. Ryana lantas mengumpulkan helaian rambutnya, mengikat layaknya punuk unta.Sebuah pajero berwarna hitam melintas di depan rumah. Mencuri atensi Ryana karena jendela yang setengah diturunkan. Perhatiannya tertuju pada sosok yang ada di dalam. Mengemudi, dengan serius. Fokus ke arah depan.“Namanya, Firza. Dia pemilik rumah yang letaknya di samping kita,” ucap Widya. Fokus Ryana sampai tak berkedip. Membuat Widya berinisiatif mengenalkan siapa sang pria.“Ya, Ryana, tau.” keceplosan. “Ups!” mulutnya mengatup. Tangan membekap mulut. Widya menatap serius ke arah keponakannya. Berpikir, kapan keduanya berkenalan?“Kalian saling kenal?”Gelagapan. Ryana salang tingkah tak tau menjawab apa. Tak mungkin
Dua orang lelaki berbadan tegap, berdiri dengan tatapan jahat. Siap, untuk melempar sepasang muda-mudi yang tak bisa membayar.Daniel dan Eva, rakyat jelata yang bergaya seperti anak konglomerat. Sering menghabiskan waktu di tempat-tempat berkelas, dengan kartu limited yang Ryana berikan.Seperti pagi ini, mereka memilih sarapan di sebuah resto ternama yang ada di Jakarta. Namun, siapa sangka jika saat membayar, kartu yang limited yang Daniel berikan tidak dapat membayar.Alih-alih mengira jika mesin gesek kartu telah rusak. Siapa sangka, ternyata semua itu terjadi karena kartu limited yang Daniel berikan sudah tidak dapat lagi berfungsi. Dibekukan seluruh dananya.Peluh bercucuran, membasahi dahi. Di dalam ruangan yang cukup yerjaga kelembabannya. Sepasang muda-mudi tersebut, terdiam tak berdaya. Alih-alih memikirkan kabur, keberadaan dua bodyguard berbadan besar membuat nyali keduanya ciut.
Mentari menyapa, hangat masuk melalui jendela kamar yang tadi malam dibiarkan terbuka. Bukan sengaja, namun terlupa karena kegelagapan tadi malam akibat ketahuan mengintip tetangga yang sedang bersedih di balkon kamar.Langkah diseret, menyibak horden jendela. Mencuri intip dari sana, apakah orang yang tadi malam dilihat ada duduk di balkon kamarnya?Kosong. Hanya mentari yang menyilaukan mata. Cuma sebuah gitar yang terlihat didudukkan di kursi sebelah meja. Langkah Ryana beralih ke pintu balkon kamarnya. Menarik handle, lantas membuka. Udara segar dihirup bebas, sambil mengepakkan sayap. Layaknya burung-burung kecil yang bersiap untuk terbang.Entah mengapa, udara pagi di rumah Nenek terasa lebih segar dari pada di rumah nya. Mungkin, karena di sekitar halaman rumah, Nenek menanam aneka pohon yang menghasilkan buah. Seperti sawo, kiwi, mangga, dan jambu. Ada juga pohon pinang yang di tanam berjejer di samping hal
Semilir angin menari-nari, menggerakkan dedaunan dari sebuah pohon yang tumbuh subur di halaman samping rumah. Dingin, menusuk kulit. Secangkir teh hangat yang tadi diletak di meja. Kini di angkat, diarahkan ke bibir. Lalu menyesapnya.Hmm … terasa nikmat. Apalagi saat ini disajikan dengan pisang kepok rebus buatan Nenek. Makanan yang tak pernah disajikan Ibunya di Jakarta.Kelapa parut bercampurkan sedikit gula menjadi topping dari pisang rebus yang disajikan. Biasanya Ryana memakannya begitu saja, tanpa mencampur campuran parutan kelapa dan gula. Namun, malam ini entah mengapa Ryana ingin mencampur topping di pisangnya.Makanan manis adalah penambah mood bagi Ryana. Apalagi disaat tengah galau seperti ini. Biasanya jika di Jakarta, Ryana akan menghabiskan sepuluh bungkus bites coklat di kamarnya. Namun, karena baru tiba di Medan. Ryana belum sempat mampir ke mini market untuk memburu bites coklatnya.&nbs