Tak tau harus menaruh muka di mana. Kembali berjumpa dengan kondisi yang memalukan. Ryana beringsut ke samping, bergegas pergi meninggalkan area wudhu laki-laki.
Kaki terjepit, tersangkut pada jerjak besi yang terpasang di gorong-gorong. Jatuh, terduduk di tanah mengotorkan rok sepangkal betis yang dikenakan.
“Aduh,” ringis Ryana. Mengaduh, merasakan sakit dibagian bokong yang menyentuh tanah.
Sebenarnya rasa sakit tak seberapa. Melainkan malunya, yang amat sangat luar biasa. Sudah salah tempat, terantuk, kaki terjepit, lantas tersungkur ke tanah. Sungguh, derita Ryana lengkaplah sudah.
Berdiri mematung, menyaksikan kejadian tersebut. Tiada satu pun yang berniat membantu Ryana. Tangan kotor, terasa pedih karena tadi sempat menahan tubuh supaya tidak telentang di tanah. Membuat, Ryana sulit memakai kedua telapak tangan untuk menopang berdiri dari sana.
Sebuah tan
Di pekarang masjid. Mata Widya menjelajah ke mana-mana. Sosok Ryana yang tadi tidak ditemukan di dalam, membuat hati seorang Widya resah. Seingat Widya tadi . . . saat datang ke masjid mereka bersama-sama. Namun berpisah ketika Widya yang terlebih dulu masuk ke dalam area wudhu wanita.Langsung masuk ke dalam masjid tanpa menunggu Ryana. Widya berpikir jika nanti Ryana akan menyusul masuk ke dalam setelah mengambil wudhu-nya. Tidak tau sama sekali apa yang terjadi di luar. Karena setelah masuk tadi. Widya langsung menunaikan shalat sunnah, sebelum mulai berjama’ah.'Nggak mungkin ‘kan, Ryana, balik ke rumah karena kesal setelah tadi kutinggalkan?' gumam Widya, dengan netra yang masih menelusuri setiap sudut pekarangan masjid.“Cari siapa, Mbak?” Firza mendekat. Saat melihat Widya yang sedang berdiri sendiri kebingungan.Mendengar sapaan yang familiar. Widya yang
Menggerakan kuat. Ryana semakin menggeliat. Gadis itu baru bangun saat Widya dengan lantang menyerukan suaranya tepat di daun telinga Ryana.“Ryana . . . wake up!”Tidak lagi menggeliat. Ryana langsung bangun memegang kedua telinga. Mengusapnya penuh sayang, setelah tadi teranianya, pekak. Akibat ulah Widya.“Uuuh . . . Tante,” protes Ryana. Mengerjap-ngerjapkan mata dengan rasa kantuk yang masih meraja.“Wake up, Ryana . . . wake up! Maghrib prayer before time runs up!” titah Widya menggunakan bahasa inggris, yang . . . sangat dimengerti oleh Ryana. Bahasa itu kerap digunakan Widya jika sudah dalam keadaan sangat kesal.“Ngantuk, Tan . . . shalat maghribnya besok aja.” Ryana menguap. Tangannya berulang-ulang ia katupkan dimulut. Menguap, karena kantuk yang belum terpuaskan. Ryana kemudian mengambil bantal guling y
Widya membenarkan rambut Ryana yang tadi sempat tertiup angin saat tadi diperjalanan menuju ke rumah Firza. Dengan sabar, penuh kelembutan Widya menata rambut Ryana supaya terlihat rapi. Tidak kusut saat nanti bertemu dengan Firza.“Tante, apa-apaan sih. Kenapa tiba-tiba sok sibuk mengatur rambut, Ryana?”“Biar cantiknya nambah. Perfect, sama seperti saat tadi masih di rumah.” Widya tersenyum puas. Setelah usai menata rambut Ryana. “Seharusnya tadi kamu pakai hijab. Biar lebih cantik,” sambungnya lagi sambil menyunggingan senyuman.“Idiih . . . ngapain? Cuma ke tetangga. Ngapain pake hijab?”“Berhijab itu bukan hanya nunggu pergi jauh. Sebagai seorang muslimah, kamu itu harus menjaga aurat. Apalagi di depan lelaki yang bukan mahram-mu,” ujar Widya.“Tante sendiri kenapa keluar nggak pake hijab?&rd
“Ry, kamu kenapa?” tanya Widya mengerutkan dahinya. Menatap bingung kepada Ryana yang terkekeh tanpa sebab. Pun dengan Firza, lelaki itu memasang ekspresi yang sama seperti Widya. Bingung melihat sikap Ryana yang . . . terkekeh tanpa sebab?‘Mampus!’ Ryana menggerutu dalam hati sambil menyipitkan matanya.Mengulum senyum. Kikuk. Ryana menggaruk-garuk belakang kepala yang tidak gatal. Netra mengerling ke sekeliling. Mengalihkan pandangan dari Firza yang kini sudah mengerutkan dahi. Bingung. Menatap tajam ke arahnya.“Hehehe, Ryana nggak apa-apa kok, Tan.” Cengegesan. Senyumnya masih sama kikuk. Bahkan lebih dari yang tadi.“Benar kamu nggak apa-apa?” tanya Widya memastikan. Menatap khawatir kepada ponakan satu-satunya, anak dari Kakaknya.Widya berpikir, apakah sebegitu stress-nya Ryana sampai-sampai terke
“Eungghhh…,” suara lenguhan terdengar saat Ryana baru saja menutup pintu apartemen yang baru saja dimasukinya. Membuat Ryana yang baru saja datang terlonjak kaget mendengarnya.Gurat kekhawatiran tentang keadaan kekasihnya itu pun kini berganti dengan penasaran. Saat langkah kaki Ryana semakin masuk ke dalam apartemen tersebut.Tubuhnya meremang. Bergidik. Dengan degupan jantung yang berpacu lebih cepat.Ryana yang menajamkan indera pendengarannya itu pun kemudian menghentikan langkahnya saat mendapati sumber suara yang ternyata berasal dari kamar kekasihnya.“Uh … mmm … bi-sakah le-bih ce-pat lagi, sayang?” suara seorang wanita terdengar. Sangat familiar. Tidak asing di telinga.“Lebih cepat? Begini?” disambut suara baritone milik seorang pria yang juga sama tak asingnya di telinga.“Ahhh!”
Triing!Bel berbunyi pertanda murid-murid harus segera masuk ke ruang kelas sekarang. Semua anak didik kelas 3 SMA DARMAWANGSA bergegar memasuki kelas mereka. Pun Ryana dan Eva. Sepasang sahabat yang sudah berteman sejak duduk di bangku kelas 1 SMA itu pun sudah duduk di kursi mereka masing-masing.Lembaran kertas ujian dibagikan. Dan semua anak murid mulai mengerjakan. Selang beberapa saat kemudian. Saat jarum jam sudah menunjukkan angka istirahat. Para murid yang sudah selesai mengerjakan soal ujian. Mulai berjalan menghampiri guru di depan kelas.Mereka mengumpulkan lembaran ujian itu di meja. Kemudian bergegas pergi keluar kelas. Pun Ryana, dia yang telah selesai mengerjakan tugas. Lantas bergegas mengumpulkan lembar ujian. Meninggalkan Eva sendirian dalam tugasnya.Bu Guru datang menghampiri. Mendekati meja Eva yang masih berkutat dengan soal ujian. Bu Guru dengan menyilangkan tang
Di luar hujan turun begitu deras. Disertai angin yang berhembus kencang. Di dalam mobil. Ryana duduk termangu, sambil memangku dagunya. Dia menangis sambil melihat keluar kaca. Melihat orang-orang yang tengah berteduh di emperan toko pinggir jalan.Dadanya terasa sesak. Saat kembali membayangkan hal yang baru saja terjadi. Masih tak menyangka jika semua itu terjadi padanya. Ryana di khianati. Bahkan lebih parahnya oleh sahabatnya sendiri. Orang yang sudah selama lima tahun ini bersamanya. Dan sekarang malah mengkhinatinya!“Nona tidak apa-apa?” sang supir bertanya saat dengan tak sengaja tadi melihat Ryana menangis dari spionnya. Dia khawatir. Takut, sesuatu yang buruk terjadi pada nonanya. Mungkin sakit?“…Nggak, Pak. Saya nggak kenapa-napa,” sahut Ryana sambil mengusap air mata.“Tapi, Nona, anda menangis,” kata supir itu lagi sambil menatap kembali wajah
“Apa!”“Tidak… tidak!”Suara baritone terdengar keras di dalam sebuah kamar dengan warna putih abu-abu yang mendominasi. Bahkan saat ini Martin yang awalnya tengah santai duduk di sofa sambil membaca buku itu pun mendadak bangkit dari sana.“Ini semua demi kebaikan, Ryana, Bang.” Mariana yang sudah terbiasa memanggil Martin dengan panggilan ‘Abang’ itu pun ingkut bangkit dari duduknya. Menyusul Martin yang berdiri sambil menyilangkan tangan di dada.“Kebaikan, kebaikan apa? Bukankah putriku masih bisa melanjutkan studinya di tempat lain. Luar negeri misalnya?”Wajah Martin terlihat menegang. Saat mereka mulai membahas tentang putrinya.Itu semua terjadi karena tadi Mariana membuka percakapan tentang pemindahan Ryana yang akan dipindahkan di kota kelahirannya. Kota Medan.R