Waktu sudah menunjukkan hampir pukul setengah enam sore. Saat Ryana turun dari pesawat yang ditumpangi. Langit mendung ditambah tiupan angin. Menerbangkan rambut ikal Ryana ke belakang.
Kacamata berbingkai coklat Ryana lepas sambil menyusuri luar bandara. Di mana tempat penjemputan penumpang, yang sudah di tunggu oleh keluarga.
“Ryana!”
Sebuah tangan melambai sambil menyerukan suara. Ryana yang tadi menatap lurus ke depan. Sekarang mengalihkan pandangan ke samping. Seorang wanita cantik berjalan menghampiri Ryana. Menyimpulkan senyumnya. Lantas memeluk Ryana kala mendekat.
“Akhirnya kita ketemu lagi, sayang.” Wanita itu mengusap punggung Ryana. Membelai lembut penuh kasih sayang.
“Tante, Widya.”
Namanya Widya. Adik kandung dari Mariana. Ibu Ryana. Wanita yang terlihat seperti gadis berumur dua puluh lima tahun. Padahal aslinya sudah berumur tiga puluh lima tahun.
Wajah awet mudanya membuat banyak lelaki salah tingkah. Lantas jatuh cinta. Tak peduli dengan usia yang sebenarnya. Tetap saja mereka menginginkan Widya untuk menjadi kekasihnya. Atau bahkan menjadi suaminya?
Rata-rata pria yang menginginka Widya berkisaran di umur dua puluh tujuh sampai tiga puluh. Jauh lebih muda darinya.
Widya adalah seorang janda beranak satu. Suaminya meninggal dalam sebuah kecelakaan dua tahun yang lalu. Namun, sampai sekarang Widya sendiri sama sekali tidak menginginkan untuk memiliki lelaki lain. Masih nyaman sendiri, menikmati harinya mengurusi anak satu-satunya sendiri.
Dari hasil pernikahan dengan almarhum suami. Widya memiliki satu orang putri yang sekarang berumur sepuluh tahun. Isabell namanya. Nama indah yang diberikan almarhum papanya.
Puas merayakan pertemu dengan saling berpelukan. Widya kemudian mengajak Ryana pulang bersama. Barang bawaan Ryana sendiri di angkut oleh orang utusan Widya. Sehingga kini keduanya dapat dengan bebas melenggang bersama. Tanpa harus memikirkan beban apapun.
Pagi tadi saat Ryana baru saja selesai menghapus video tak senonoh yang dikirim oleh orang tak dikenal. Seseorang tiba-tiba saja masuk ke dalam Ryana. Lantas membuatnya terkejut.
Sempat terdengar suara Ryana yang berseru saat bertanya “Siapa?!” namun tidak ada jawaban. Membuat Ryana lantas dengan cepat membalikkan badan dan melihat jika itu ternyata Ibunya.
Mariana masuk ke dalam kamar putrinya tanpa mengetuk terlebih dahulu. Hal yang belum pernah dilakukan sebelumnya. Sehingga wajar saja jika hal itu membuat Ryana terkejut.
Baru saja Ryana dikejutkan oleh kiriman video dari orang tak dikenal. Malah kini harus mendengar suara derapan langkah yang membuat jantungnya hampir saja copot!
Kedatangan Mariana ternyata adalah untuk memberikan tiket pesawat keberangkatannya ke Medan. Membuat Ryana sempat menolak. Namun, tak berselang lama menerima. Setelah mendengar setiap penjelasan dari Ibunya.
Mariana mengatakan jika lebih baik sekarang untuk sementara waktu Ryana tinggal di Medan. Bersama Nenek, dan juga Tantenya. Meneruskan studinya di sana.
Daripada tinggal di sini dan terus larut dalam sakit hati. Lebih baik pergi jauh untuk menenangkan diri. Setidaknya di Medan ia bisa bersama orang yang sangat disayang setelah kedua orangtuanya. Nenek serta Tante yang selalu menyayanginya. Memberikan begitu banyak perhatian padanya. Bahkan, sampai kasur pun setiap malam sebelum tidur Tante Widya selalu datang untuk membersihkan debu yang mungkin menempel di kasurnya.
Benar-benar perhatian yang luar biasa. Bahkan terkadang, Ryana sendiri heran melihatnya. Tantenya adalah tipe wanita yang sangat bersih. Berbeda sekali dengan dirinya yang suka mengorek upil dulu sebelum tidur.
Ryana yang tengah galau pun akhirnya setuju untuk terbang ke Medan hari itu juga. Demi bisa melupakan sakit hatinya. Demi bisa move on dari Daniel dan sahabat pengkhianatnya.
Setibanya di kediaman Nenek. Ryana langsung menghamburkan diri ke dalam rumah. Dia mencari Neneknya yang saat ini sedang membantu memasak di dapur untuk menyambut kedatangan cucunya.
Ryana memeluk Neneknya dari belakang. Dengan dagu yang ditempelkan di bahu sang Nenek. Aroma wangi masakan pun tercium. Menusuk ke hidungnya. Begitu menggugah selera. Sampai-sampai Ryana jadi lapar tiba-tiba hanya karenaa mencium aroma masakan sang Nenek.
“Cucuku sudah sampai.” Nenek mengelus lembut pipi Ryana sambil menyunggingkan senyuman. Senyum yang begitu tulus dari wajah keriputnya.
“Ryana, laper, Nek.” Ryana mengelus perutnya yang rata. Nenek semakin mengembangkan senyumnya.
Meskipun sekarang Ryana sudah besar. Tetap saja dia terlihat seperti seorang anak kecil jika sedang berhadapan dengan Neneknya. Terlebih jika sudah mencium aroma masakan yang dibuat oleh sang Nenek. Maka keluarlah sudah sosok kecil Ryana di depannya.
Widya mengantarkan Ryana ke kamarnya. Ikut masuk ke dalam untuk memastikan kebersihan kamar. Padahal tadi sebelum berangkat untuk menjemput Ryana. Widya sudah terlebih dulu memerintahkan asisten rumah tangga untuk membersihkan kamar yang akan ditempati Ryana.
Namun, meskipun begitu tetap saja Widya mengeceknya. Memastikan dengan detail setiap debu yang mungkin masih tersisa. Menempel di meja.
“Hmm … akhirnya.” Ryana yang merasa pegal diseluruh badan itu lantas segera menghamburkan tubuhnya ke ranjang. Merasakan kenyamanan yang tak terhingga. Sampai-sampai Ryana mengusap-usap kain seprey yang membungkus kasur.
Hampir setengah hari ini Ryana terus-terusan duduk. Berkutat di bandar. Karena ada beberapa kendala. Jadwal terbang yang harusnya lebih cepat dari sebelumnya. Malah di tunda sampai dua jam lamanya.
Belum lagi duduk di pesawat. Lalu duduk di mobil dalam perjalanan pulang. Rasanya tulang-tulang Ryana seperti remuk redam. Seakan-akan tulang belakangnya ingin bengkok karena duduk terlalu lama.
“Ryana!” Widya menarik tangan Ryana. Menjauhkannya dari ranjang. Sikap overprotektifnya mulai keluar. Membuat Ryana mendengus kesal karenanya.
“Huuhh … Tante, ranjang ini bersih nggak berdebu. Jadi tolong biarkan Ryana sekarang rebahan sebentar, oke?”
“Nggak! Sebelum, Tante, pastiin sendiri kebersihannya.”
Widya lantas mengambil penyedot debu yang memang sudah ada di sana. Membersihkan kasur Ryana agar bisa segera ditempati olehnya. Tapi sebelum itu, “Sambil nunggui, Tante, selesai bersihin kasur kamu. Lebih baik sekarang kamu masuk ke kamar mandi. Bersihin diri. Baru habis itu rebahan. Pakaian kamu itu bawa debu loh. Jadi cepetan ganti,” titah Widya.
Ryana berpaling dengan wajah kesal. Masuk ke kamar mandi sambil memanyunkan mulutnya. Satu-satunya hal yang tidak disukai Ryana adalah. Widya lebih cerewet dari Ibunya. Bahkan tingkat kelevelan cerewet mencapai 10xlipat dari Ibunya.
Ahhh … sebal!
Usai mengisi perut bersama Nenek, Tante, dan juga Isabell. Ryana bergegas masuk ke dalam kamar untuk merebahkan tubuhnya. Namun, sebelum berhasil memejamkan mata. Tiba-tiba saja Widya kembali masuk ke kamar.
“Tante,” lirih Ryana.
“Kamu udah sholat?” tanya Widya. Ryana menggeleng pertanda tidak. Lalu Widya menyerahkan seperangkat mukena lengkap dengan sarung dan juga sajadah kepada Ryana.
“Ini pakai buat sholat. Kita nggak tau akan sampai kapan umur kita. Jadi, perbanyaklah ibadah. Lagipula setelah sholat akan membuat hati kita lebih tenang. Cocok untuk ngusir kegalauan dengan cara lebih mendekatkan diri kepada, Tuhan.” Setelah menyerahkan seperangkat mukena kepada Ryana. Widya pun lantas melenggang keluar kamar.
Ryana hanya tersenyum. Tipis. Memperhatikan punggung Widya yang menghilang di balik pintu.
Tantenya sudah berubah? Sejak kapan? Apa jangan-jangan sejak dua tahun yang lalu?
Semilir angin menari-nari, menggerakkan dedaunan dari sebuah pohon yang tumbuh subur di halaman samping rumah. Dingin, menusuk kulit. Secangkir teh hangat yang tadi diletak di meja. Kini di angkat, diarahkan ke bibir. Lalu menyesapnya.Hmm … terasa nikmat. Apalagi saat ini disajikan dengan pisang kepok rebus buatan Nenek. Makanan yang tak pernah disajikan Ibunya di Jakarta.Kelapa parut bercampurkan sedikit gula menjadi topping dari pisang rebus yang disajikan. Biasanya Ryana memakannya begitu saja, tanpa mencampur campuran parutan kelapa dan gula. Namun, malam ini entah mengapa Ryana ingin mencampur topping di pisangnya.Makanan manis adalah penambah mood bagi Ryana. Apalagi disaat tengah galau seperti ini. Biasanya jika di Jakarta, Ryana akan menghabiskan sepuluh bungkus bites coklat di kamarnya. Namun, karena baru tiba di Medan. Ryana belum sempat mampir ke mini market untuk memburu bites coklatnya.&nbs
Mentari menyapa, hangat masuk melalui jendela kamar yang tadi malam dibiarkan terbuka. Bukan sengaja, namun terlupa karena kegelagapan tadi malam akibat ketahuan mengintip tetangga yang sedang bersedih di balkon kamar.Langkah diseret, menyibak horden jendela. Mencuri intip dari sana, apakah orang yang tadi malam dilihat ada duduk di balkon kamarnya?Kosong. Hanya mentari yang menyilaukan mata. Cuma sebuah gitar yang terlihat didudukkan di kursi sebelah meja. Langkah Ryana beralih ke pintu balkon kamarnya. Menarik handle, lantas membuka. Udara segar dihirup bebas, sambil mengepakkan sayap. Layaknya burung-burung kecil yang bersiap untuk terbang.Entah mengapa, udara pagi di rumah Nenek terasa lebih segar dari pada di rumah nya. Mungkin, karena di sekitar halaman rumah, Nenek menanam aneka pohon yang menghasilkan buah. Seperti sawo, kiwi, mangga, dan jambu. Ada juga pohon pinang yang di tanam berjejer di samping hal
Dua orang lelaki berbadan tegap, berdiri dengan tatapan jahat. Siap, untuk melempar sepasang muda-mudi yang tak bisa membayar.Daniel dan Eva, rakyat jelata yang bergaya seperti anak konglomerat. Sering menghabiskan waktu di tempat-tempat berkelas, dengan kartu limited yang Ryana berikan.Seperti pagi ini, mereka memilih sarapan di sebuah resto ternama yang ada di Jakarta. Namun, siapa sangka jika saat membayar, kartu yang limited yang Daniel berikan tidak dapat membayar.Alih-alih mengira jika mesin gesek kartu telah rusak. Siapa sangka, ternyata semua itu terjadi karena kartu limited yang Daniel berikan sudah tidak dapat lagi berfungsi. Dibekukan seluruh dananya.Peluh bercucuran, membasahi dahi. Di dalam ruangan yang cukup yerjaga kelembabannya. Sepasang muda-mudi tersebut, terdiam tak berdaya. Alih-alih memikirkan kabur, keberadaan dua bodyguard berbadan besar membuat nyali keduanya ciut.
Menerpa lembut di kulit. Menggoyangkan ranting, menggugurkan daun kering. Saat angin mulai menyapu kasar, menerbangkan rambut ke belakang. Ryana lantas mengumpulkan helaian rambutnya, mengikat layaknya punuk unta.Sebuah pajero berwarna hitam melintas di depan rumah. Mencuri atensi Ryana karena jendela yang setengah diturunkan. Perhatiannya tertuju pada sosok yang ada di dalam. Mengemudi, dengan serius. Fokus ke arah depan.“Namanya, Firza. Dia pemilik rumah yang letaknya di samping kita,” ucap Widya. Fokus Ryana sampai tak berkedip. Membuat Widya berinisiatif mengenalkan siapa sang pria.“Ya, Ryana, tau.” keceplosan. “Ups!” mulutnya mengatup. Tangan membekap mulut. Widya menatap serius ke arah keponakannya. Berpikir, kapan keduanya berkenalan?“Kalian saling kenal?”Gelagapan. Ryana salang tingkah tak tau menjawab apa. Tak mungkin
Tak tau harus menaruh muka di mana. Kembali berjumpa dengan kondisi yang memalukan. Ryana beringsut ke samping, bergegas pergi meninggalkan area wudhu laki-laki.Kaki terjepit, tersangkut pada jerjak besi yang terpasang di gorong-gorong. Jatuh, terduduk di tanah mengotorkan rok sepangkal betis yang dikenakan.“Aduh,” ringis Ryana. Mengaduh, merasakan sakit dibagian bokong yang menyentuh tanah.Sebenarnya rasa sakit tak seberapa. Melainkan malunya, yang amat sangat luar biasa. Sudah salah tempat, terantuk, kaki terjepit, lantas tersungkur ke tanah. Sungguh, derita Ryana lengkaplah sudah.Berdiri mematung, menyaksikan kejadian tersebut. Tiada satu pun yang berniat membantu Ryana. Tangan kotor, terasa pedih karena tadi sempat menahan tubuh supaya tidak telentang di tanah. Membuat, Ryana sulit memakai kedua telapak tangan untuk menopang berdiri dari sana.Sebuah tan
Di pekarang masjid. Mata Widya menjelajah ke mana-mana. Sosok Ryana yang tadi tidak ditemukan di dalam, membuat hati seorang Widya resah. Seingat Widya tadi . . . saat datang ke masjid mereka bersama-sama. Namun berpisah ketika Widya yang terlebih dulu masuk ke dalam area wudhu wanita.Langsung masuk ke dalam masjid tanpa menunggu Ryana. Widya berpikir jika nanti Ryana akan menyusul masuk ke dalam setelah mengambil wudhu-nya. Tidak tau sama sekali apa yang terjadi di luar. Karena setelah masuk tadi. Widya langsung menunaikan shalat sunnah, sebelum mulai berjama’ah.'Nggak mungkin ‘kan, Ryana, balik ke rumah karena kesal setelah tadi kutinggalkan?' gumam Widya, dengan netra yang masih menelusuri setiap sudut pekarangan masjid.“Cari siapa, Mbak?” Firza mendekat. Saat melihat Widya yang sedang berdiri sendiri kebingungan.Mendengar sapaan yang familiar. Widya yang
Menggerakan kuat. Ryana semakin menggeliat. Gadis itu baru bangun saat Widya dengan lantang menyerukan suaranya tepat di daun telinga Ryana.“Ryana . . . wake up!”Tidak lagi menggeliat. Ryana langsung bangun memegang kedua telinga. Mengusapnya penuh sayang, setelah tadi teranianya, pekak. Akibat ulah Widya.“Uuuh . . . Tante,” protes Ryana. Mengerjap-ngerjapkan mata dengan rasa kantuk yang masih meraja.“Wake up, Ryana . . . wake up! Maghrib prayer before time runs up!” titah Widya menggunakan bahasa inggris, yang . . . sangat dimengerti oleh Ryana. Bahasa itu kerap digunakan Widya jika sudah dalam keadaan sangat kesal.“Ngantuk, Tan . . . shalat maghribnya besok aja.” Ryana menguap. Tangannya berulang-ulang ia katupkan dimulut. Menguap, karena kantuk yang belum terpuaskan. Ryana kemudian mengambil bantal guling y
Widya membenarkan rambut Ryana yang tadi sempat tertiup angin saat tadi diperjalanan menuju ke rumah Firza. Dengan sabar, penuh kelembutan Widya menata rambut Ryana supaya terlihat rapi. Tidak kusut saat nanti bertemu dengan Firza.“Tante, apa-apaan sih. Kenapa tiba-tiba sok sibuk mengatur rambut, Ryana?”“Biar cantiknya nambah. Perfect, sama seperti saat tadi masih di rumah.” Widya tersenyum puas. Setelah usai menata rambut Ryana. “Seharusnya tadi kamu pakai hijab. Biar lebih cantik,” sambungnya lagi sambil menyunggingan senyuman.“Idiih . . . ngapain? Cuma ke tetangga. Ngapain pake hijab?”“Berhijab itu bukan hanya nunggu pergi jauh. Sebagai seorang muslimah, kamu itu harus menjaga aurat. Apalagi di depan lelaki yang bukan mahram-mu,” ujar Widya.“Tante sendiri kenapa keluar nggak pake hijab?&rd
“Ry, kamu kenapa?” tanya Widya mengerutkan dahinya. Menatap bingung kepada Ryana yang terkekeh tanpa sebab. Pun dengan Firza, lelaki itu memasang ekspresi yang sama seperti Widya. Bingung melihat sikap Ryana yang . . . terkekeh tanpa sebab?‘Mampus!’ Ryana menggerutu dalam hati sambil menyipitkan matanya.Mengulum senyum. Kikuk. Ryana menggaruk-garuk belakang kepala yang tidak gatal. Netra mengerling ke sekeliling. Mengalihkan pandangan dari Firza yang kini sudah mengerutkan dahi. Bingung. Menatap tajam ke arahnya.“Hehehe, Ryana nggak apa-apa kok, Tan.” Cengegesan. Senyumnya masih sama kikuk. Bahkan lebih dari yang tadi.“Benar kamu nggak apa-apa?” tanya Widya memastikan. Menatap khawatir kepada ponakan satu-satunya, anak dari Kakaknya.Widya berpikir, apakah sebegitu stress-nya Ryana sampai-sampai terke
Widya membenarkan rambut Ryana yang tadi sempat tertiup angin saat tadi diperjalanan menuju ke rumah Firza. Dengan sabar, penuh kelembutan Widya menata rambut Ryana supaya terlihat rapi. Tidak kusut saat nanti bertemu dengan Firza.“Tante, apa-apaan sih. Kenapa tiba-tiba sok sibuk mengatur rambut, Ryana?”“Biar cantiknya nambah. Perfect, sama seperti saat tadi masih di rumah.” Widya tersenyum puas. Setelah usai menata rambut Ryana. “Seharusnya tadi kamu pakai hijab. Biar lebih cantik,” sambungnya lagi sambil menyunggingan senyuman.“Idiih . . . ngapain? Cuma ke tetangga. Ngapain pake hijab?”“Berhijab itu bukan hanya nunggu pergi jauh. Sebagai seorang muslimah, kamu itu harus menjaga aurat. Apalagi di depan lelaki yang bukan mahram-mu,” ujar Widya.“Tante sendiri kenapa keluar nggak pake hijab?&rd
Menggerakan kuat. Ryana semakin menggeliat. Gadis itu baru bangun saat Widya dengan lantang menyerukan suaranya tepat di daun telinga Ryana.“Ryana . . . wake up!”Tidak lagi menggeliat. Ryana langsung bangun memegang kedua telinga. Mengusapnya penuh sayang, setelah tadi teranianya, pekak. Akibat ulah Widya.“Uuuh . . . Tante,” protes Ryana. Mengerjap-ngerjapkan mata dengan rasa kantuk yang masih meraja.“Wake up, Ryana . . . wake up! Maghrib prayer before time runs up!” titah Widya menggunakan bahasa inggris, yang . . . sangat dimengerti oleh Ryana. Bahasa itu kerap digunakan Widya jika sudah dalam keadaan sangat kesal.“Ngantuk, Tan . . . shalat maghribnya besok aja.” Ryana menguap. Tangannya berulang-ulang ia katupkan dimulut. Menguap, karena kantuk yang belum terpuaskan. Ryana kemudian mengambil bantal guling y
Di pekarang masjid. Mata Widya menjelajah ke mana-mana. Sosok Ryana yang tadi tidak ditemukan di dalam, membuat hati seorang Widya resah. Seingat Widya tadi . . . saat datang ke masjid mereka bersama-sama. Namun berpisah ketika Widya yang terlebih dulu masuk ke dalam area wudhu wanita.Langsung masuk ke dalam masjid tanpa menunggu Ryana. Widya berpikir jika nanti Ryana akan menyusul masuk ke dalam setelah mengambil wudhu-nya. Tidak tau sama sekali apa yang terjadi di luar. Karena setelah masuk tadi. Widya langsung menunaikan shalat sunnah, sebelum mulai berjama’ah.'Nggak mungkin ‘kan, Ryana, balik ke rumah karena kesal setelah tadi kutinggalkan?' gumam Widya, dengan netra yang masih menelusuri setiap sudut pekarangan masjid.“Cari siapa, Mbak?” Firza mendekat. Saat melihat Widya yang sedang berdiri sendiri kebingungan.Mendengar sapaan yang familiar. Widya yang
Tak tau harus menaruh muka di mana. Kembali berjumpa dengan kondisi yang memalukan. Ryana beringsut ke samping, bergegas pergi meninggalkan area wudhu laki-laki.Kaki terjepit, tersangkut pada jerjak besi yang terpasang di gorong-gorong. Jatuh, terduduk di tanah mengotorkan rok sepangkal betis yang dikenakan.“Aduh,” ringis Ryana. Mengaduh, merasakan sakit dibagian bokong yang menyentuh tanah.Sebenarnya rasa sakit tak seberapa. Melainkan malunya, yang amat sangat luar biasa. Sudah salah tempat, terantuk, kaki terjepit, lantas tersungkur ke tanah. Sungguh, derita Ryana lengkaplah sudah.Berdiri mematung, menyaksikan kejadian tersebut. Tiada satu pun yang berniat membantu Ryana. Tangan kotor, terasa pedih karena tadi sempat menahan tubuh supaya tidak telentang di tanah. Membuat, Ryana sulit memakai kedua telapak tangan untuk menopang berdiri dari sana.Sebuah tan
Menerpa lembut di kulit. Menggoyangkan ranting, menggugurkan daun kering. Saat angin mulai menyapu kasar, menerbangkan rambut ke belakang. Ryana lantas mengumpulkan helaian rambutnya, mengikat layaknya punuk unta.Sebuah pajero berwarna hitam melintas di depan rumah. Mencuri atensi Ryana karena jendela yang setengah diturunkan. Perhatiannya tertuju pada sosok yang ada di dalam. Mengemudi, dengan serius. Fokus ke arah depan.“Namanya, Firza. Dia pemilik rumah yang letaknya di samping kita,” ucap Widya. Fokus Ryana sampai tak berkedip. Membuat Widya berinisiatif mengenalkan siapa sang pria.“Ya, Ryana, tau.” keceplosan. “Ups!” mulutnya mengatup. Tangan membekap mulut. Widya menatap serius ke arah keponakannya. Berpikir, kapan keduanya berkenalan?“Kalian saling kenal?”Gelagapan. Ryana salang tingkah tak tau menjawab apa. Tak mungkin
Dua orang lelaki berbadan tegap, berdiri dengan tatapan jahat. Siap, untuk melempar sepasang muda-mudi yang tak bisa membayar.Daniel dan Eva, rakyat jelata yang bergaya seperti anak konglomerat. Sering menghabiskan waktu di tempat-tempat berkelas, dengan kartu limited yang Ryana berikan.Seperti pagi ini, mereka memilih sarapan di sebuah resto ternama yang ada di Jakarta. Namun, siapa sangka jika saat membayar, kartu yang limited yang Daniel berikan tidak dapat membayar.Alih-alih mengira jika mesin gesek kartu telah rusak. Siapa sangka, ternyata semua itu terjadi karena kartu limited yang Daniel berikan sudah tidak dapat lagi berfungsi. Dibekukan seluruh dananya.Peluh bercucuran, membasahi dahi. Di dalam ruangan yang cukup yerjaga kelembabannya. Sepasang muda-mudi tersebut, terdiam tak berdaya. Alih-alih memikirkan kabur, keberadaan dua bodyguard berbadan besar membuat nyali keduanya ciut.
Mentari menyapa, hangat masuk melalui jendela kamar yang tadi malam dibiarkan terbuka. Bukan sengaja, namun terlupa karena kegelagapan tadi malam akibat ketahuan mengintip tetangga yang sedang bersedih di balkon kamar.Langkah diseret, menyibak horden jendela. Mencuri intip dari sana, apakah orang yang tadi malam dilihat ada duduk di balkon kamarnya?Kosong. Hanya mentari yang menyilaukan mata. Cuma sebuah gitar yang terlihat didudukkan di kursi sebelah meja. Langkah Ryana beralih ke pintu balkon kamarnya. Menarik handle, lantas membuka. Udara segar dihirup bebas, sambil mengepakkan sayap. Layaknya burung-burung kecil yang bersiap untuk terbang.Entah mengapa, udara pagi di rumah Nenek terasa lebih segar dari pada di rumah nya. Mungkin, karena di sekitar halaman rumah, Nenek menanam aneka pohon yang menghasilkan buah. Seperti sawo, kiwi, mangga, dan jambu. Ada juga pohon pinang yang di tanam berjejer di samping hal
Semilir angin menari-nari, menggerakkan dedaunan dari sebuah pohon yang tumbuh subur di halaman samping rumah. Dingin, menusuk kulit. Secangkir teh hangat yang tadi diletak di meja. Kini di angkat, diarahkan ke bibir. Lalu menyesapnya.Hmm … terasa nikmat. Apalagi saat ini disajikan dengan pisang kepok rebus buatan Nenek. Makanan yang tak pernah disajikan Ibunya di Jakarta.Kelapa parut bercampurkan sedikit gula menjadi topping dari pisang rebus yang disajikan. Biasanya Ryana memakannya begitu saja, tanpa mencampur campuran parutan kelapa dan gula. Namun, malam ini entah mengapa Ryana ingin mencampur topping di pisangnya.Makanan manis adalah penambah mood bagi Ryana. Apalagi disaat tengah galau seperti ini. Biasanya jika di Jakarta, Ryana akan menghabiskan sepuluh bungkus bites coklat di kamarnya. Namun, karena baru tiba di Medan. Ryana belum sempat mampir ke mini market untuk memburu bites coklatnya.&nbs