"Mas, ingat kata dokter, kan?" jeritku dengan kedua tangan menahan dadanya yang seperti karpet beludru. Mataku menyelinap ke arah bawah sambil menunjuk, "Kamu harus mainin itu kamu dulu sebelum kita bercumbu!""Huuft, tapi aku udah gak tahan, Sayang." Desahan manja meraba telingaku. Berat sekali rasanya tubuh Alzian, sampai-sampai aku kehabisan napas. Meski pembatas antara kulit kita cukup tebal, tetap saja, tangannya terasa renyah di tubuhku. Menjelajahi setiap inchi lekukan dada yang masih bersembunyi di dalam sana."Mas, stop! Mending kita lakuin yang dianjurkan Dokter Rennata." Tanpa sadar reflekku malah membanting lehernya ke ranjang dan aku lompat dengan secepat kilat. Kuambil dua kapsul di dalam klip, lalu menyodorkanya dengan segelas air di tanganku. "Satu jam aja, Mas!"Aku mengawasi Alzian sampai obat itu benar-benar masuk ke dalam tenggorokannya. Aku beralih ke sisi ranjang, berdiri untuk mengambil posisi dan gerakan paling menggoda yang pernah kulakukan. Kulepas satu persa
Khalisa─── ⋆⋅☆⋅⋆ ──જ⁀➴Seperti pengantin baru pada umumnya, malam pertama pernikahan adalah malam puncak kebahagiaan. Di mana kami berdua sibuk di atas ranjang berukuran raksasa dengan taburan bunga dan aroma wewangian yang menguar di ruangan.Ratusan amplop menggunung dari bawah lantai dan beberapa kado tersusun di atas meja. Tapi ada satu kotak yang menarik perhatianku ke sana. Sebuah kotak dengan simbol hati, tak sengaja terjatuh dan terbelah. Jam tangan mewah itu menetas, kemudian memantulkan cahaya dari lampu gantung yang sama mewahnya dari atas kepala kami."Mas, itu hadiah dari siapa?" tanyaku, dengan kesepuluh jari yang masih menempel di leher lelaki ini. "Nggak mungkin temanmu belikan barang semahal itu, kan?""Oh, mungkin Om Hendar, Sayang," balasnya sambil melepaskan setelan hitam ala keraton Jawa lengkap beserta blangkonnya yang tadi ia gunakan untuk menyambut tamu. Singkap batik yang membungkus tubuh bagian bawahnya sudah terlepas, hanya menyisakan bokser tipis berwarna
Dia masih tak bergerak. Mungkin sedang berusaha mencerna kata-kataku. Tanpa menunggu respon, akhirnya kata-kata itu keluar dari mulutku, "I love you, my Alzian!""Khal?" gumamnya. Suaranya terdengar berat, tertahan di tenggorokan. "Iya." "Ka—kamu bilang apa?" Raut wajahnya masih mencari-cari jawaban di mataku. Tapi dia nggak akan menemukannya di situ. Dia akan menemukannya di sini. Di bibirku yang mulai basah, "Mas, gak dengar?" desahku, "Atau emang pura-pura nggak dengar?" Dia geleng-geleng kepala. Ekspresinya polos. Sorot matanya sedikit lebih sayu daripada satu jam yang lalu, mungkin dia lelah. Baik. Mungkin dengan cara ini bisa membuatnya bergairah lagi. "Emmmmmmpp," begitu bibir kami menyatu, matanya seperti anak rusa. "Khal," desahnya lagi. Sekarang aku percaya dengan Alzian, suamiku. Karena menurut artikel yang pernah kubaca, lelaki yang belum pernah tersentuh oleh wanita, dia akan ejakulasi lebih cepat dari yang semestinya. Dan ini di luar dugaan, bahkan aku belum mele
Untung saja reflekku secepat kilat, mengayunkan tangan kita ke samping. Tapi tetap saja peluru itu menembus tubuh Heksa. Bahu kanannya, bahu tempat di mana dulu air mataku sering jatuh. Sekarang justru darah yang ada di sana."Heksaaa!!" Air mataku terjun entah ke mana. Aku berlutut, senyum tenang mulai pudar dari wajah datarnya. Dia terbaring, tangannya berpisah dari Revolver itu, tergeletak begitu saja. Lemah, tapi tetap saja tatapan dingin itu mengunci mataku. "Kamu gila, Heksa!""Jadi, kenapa aku masih hidup, Khal?" gumam Heksa, berusaha meraih Revolvernya kembali. "Harusnya tempatku bukan di sini."Tanpa berpikir panjang, aku meraih pipinya dengan kedua tanganku. Seketika bibirku mendarat di bibirnya, rasanya masih sama seperti dulu, tipis, basah, lembut, dan tenang tanpa ada perlawanan.Apa dia selalu begitu?"Khal?" gumamnya sambil menatap langit.Bibir kami berpisah sebelum aku mengatakan, "Iya?""Kamu percaya, kalau perasaanku akan selalu seperti ini?"Aku mengangguk.Aku ras
Entah gerakan apa yang telah kami berdua lakukan, sampai-sampai hanya keringat yang menyelimuti kulit. Tubuh Heksa mulai licin, aroma atletis menguar dari tubuhnya. Kepalaku bersandar di kaca pintu dengan kedua lutut terangkat. Jemari kita masih besatu, menari dalam ruangan sempit ini."Khal?" desah Heksa di dalam bibirku sebelum berpisah. "Jadi, kamu benar-benar mencintai suamimu atau nggak?""Iya, aku mencintainya." Jawabanku membuatnya terkejut.Entah kenapa hentakan Heksa semakin kuat dan cepat. Meski aku setegah mati menahan rasa sakitnya, itu tak membuat Heksa menyerah. Justru membuatnya lebih beringas dan ekspresi wajahnya berubah. Sekarang ada setitik emosi di matanya."Bagus! Jadi aku nggak perlu bingung memutuskan.""Memutuskan untuk apa?""Aku nggak mau menitipkan buah cintaku kepada seseorang yang mencintai orang lain.""Jadi?""Anggap saja kita have-fun malam ini!"Have-fun?"Egois!" jeritku dalam hati.Tega sekali dia bicara seperti itu, setelah aku merelakan semua ini.
Akhirnya aku sampai di kamarnya Alzian. Kamar di mana seharusnya aku berada. Meski ada sedikit penyesalan saat tadi aku memutuskan keluar, setidaknya sekarang aku sudah aman.Dia masih terlelap dengan bokser hitamnya. Memeluk bantal dengan posisi miring membelakangiku. Aku berdiri sejenak di ambang pintu dan berpikir, " Aku marah kalau Alzian pernah melakukannya dengan wanita lain, tapi kenapa justru aku sendiri yang melakukannya dengan Heksa?"Aku menutup pintu, menguncinya agar tak seorang pun bisa masuk ke kamar kami tanpa izin. Tapi saat aku balik badan ke arah springbed, Alzian sudah duduk manis dengan bantal di pangkuannya."Sayang, ronde ke dua, yuk?" pekiknya sambil melempar senyum jahil."Hah, a—apa?" balasku dengan terbata-bata. Aku cepat-cepat menuju kamar mandi, jangan sampai Alzian curiga. "Aku capek, mas, habis ngeladenin tamu-tamunya Mama.""Ayo, lah, aku udah naik lagi, nih!" Suara langkah kaki terdengar di belakangku, semakin dekat, sebelum kedua tangan berhasil mence
Kenapa dia bisa ada di sini?Aku segera merapikan kebayaku, mengamati ke sekeliling dengan sorot flash di HP. Saat kutujukan cahaya itu ke bawah perut, kedua belah pahaku telah berlumuran tinta putih. Dengan lengkah cepat aku menuju ke hadapannya."PLAKKK!!!" Stempel basah dari telapak tanganku menandai pipinya. Air mata tak sabar lagi menunggu turun dari pelupukku. "Heksa! Kamu gila ya! Mana Alzian? Kamu apakan dia, hah?"Senyum nakal yang semula menyempurnakan wajah culasnya, kini berubah dengan kerutan dahi. Matanya membelalak sedangkan bibirnya membentak, "Khalisa! Aku cinta kamu!" Dia bangkit dari sana untuk menyamai posisi wajah kita. "Harusnya kamu nikah sama aku, bukan dia!""Dan harusnya kamu, nggak menghilang begitu saja. Itu sama artinya kamu buang aku, tahu, gak?" Telunjukku menodong keningnya, baru kali ini aku bersikap garang kepada seseorang. Aku benci dia, aku benci semua yang dia lakukan kepadaku malam ini. "Kamu kira aku mau melakukan ini semua, sama kamu?"Heksa han
Aku tahu ini salah, membiarkan masa lalu hadir di tengah-tengah titik balikku. Merelakan Alzian telentang di sana, sedangkan aku harus melawan kepalaku sendiri. Pening. Berat.Dia hilang lagi, setelah ciuman tadi. Meninggalkan kalimatnya yang sampai kini belum bisa kucerna, "Kamu harus hati-hati sama keluarga suami kamu, Khal!"Begitu saja, dan dia langsung kabur entah ke mana. Hanya terdengar decakan sepatu yang menghantam lantai dengan cepat di lorong dan suara tembakan dari luar rumah.Semua yang terjadi malam ini membuatku berteriak, "Heksaaaa! Kenapa aku harus percaya sama kamu? Kamu itu siapa, sih sebenarnya?"Meski ruangan ini sudah kembali bercahaya, tapi tetap saja penglihatanku tentang masalah ini masih gelap. Aku berkeliling di ruangan ini, merapikan barang-barang yang sempat terjatuh dari meja dan ke kamar mandi untuk membasuh tubuhku yang sudah tidak suci lagi.Sepanjang perjalanan aku menemukan jejak merah Heksa menggenang di lantai marmer berwarna putih. Kita sama-sam
"Mas, ingat kata dokter, kan?" jeritku dengan kedua tangan menahan dadanya yang seperti karpet beludru. Mataku menyelinap ke arah bawah sambil menunjuk, "Kamu harus mainin itu kamu dulu sebelum kita bercumbu!""Huuft, tapi aku udah gak tahan, Sayang." Desahan manja meraba telingaku. Berat sekali rasanya tubuh Alzian, sampai-sampai aku kehabisan napas. Meski pembatas antara kulit kita cukup tebal, tetap saja, tangannya terasa renyah di tubuhku. Menjelajahi setiap inchi lekukan dada yang masih bersembunyi di dalam sana."Mas, stop! Mending kita lakuin yang dianjurkan Dokter Rennata." Tanpa sadar reflekku malah membanting lehernya ke ranjang dan aku lompat dengan secepat kilat. Kuambil dua kapsul di dalam klip, lalu menyodorkanya dengan segelas air di tanganku. "Satu jam aja, Mas!"Aku mengawasi Alzian sampai obat itu benar-benar masuk ke dalam tenggorokannya. Aku beralih ke sisi ranjang, berdiri untuk mengambil posisi dan gerakan paling menggoda yang pernah kulakukan. Kulepas satu persa
Khalisa────୨ৎ────જ⁀➴Sejak malam itu, malam-malamku di ranjang selalu ditemani wajah Heksa yang bertubuh Alzian. Setiap kali perut gemoy Alzian menyuntuh kulitku, di saat itulah dia langsung menyerah. Tapi, ekspresi menyerah di wajahnya, selalu saja kubayangkan kalau itu Heksa. Aku justru merasa puas melihat Heksa yang menyerah, dan aku suka.Bercumbu dengan Suami?Boro-boro, bahkan sebelum aku sempat meninggalkan pakaian, Alzian sudah kejang-kejang. Selalu begitu, dan aku bingung sebenarnya ada masalah apa dengan kesehatannya. Jadi di sinilah kita berada sekarang."Ibu nggak perlu khawatir, tidak ada masalah yang serius, kok. Hanya faktor psikologis saja," tutur Dokter sambil meracik beberapa kapsul dan sesekali mengedipkan mata genitnya, "Jadi, seperti yang saya sarankan, ya, Bu.""Nggak. Yang benar saja?" Protesku, tapi hanya tertahan di tenggorokan. Saat Alzian selesai dari tirai pemeriksaan oleh suster, kata-kataku malah menggema, "Oh, iya, kalau boleh tahu, nanti yang masturbas
"Heksa!" Suara wanita garang menggema di lapangan. Mataku langsung jatuh ke bagian dada Fenya, saat dia berlari menghampiriku. Menelan semua liur yang hampir tumpah ke sela bibirku, sebelum dia sampai tepat di atas wajahku sambil terengah-engah, "Hooh, huftt. Papa nyuruh bilangin ke kamu, kalau mobil yang kamu bawa ke mekanik kemarin, masih belum sembuh." Mobil?Oh, aku baru ingat. Orang-orang sering menyebutnya Rubicon. Ya, sejenis mobil Jeep Wrangler, begitu. Tapi lebih eksklusif dan yang jelas itu pasti mahal. Anehnya, si Rubicon ini justru aku bawa ke tempat mekanik kendaraan militer. Seharusnya ke bengkel spesialis, kan?"Ya, kata mekaniknya sih, mereka nggak punya sparepart. Jadi kemarin itu cuma diakalin aja sama mereka, biar bisa jalan gitu doang," jelasku panjang lebar, sambil menyodorkan botol minum ke arahnya yang langsung disambar begitu saja. "Tapi, itu perintah Papa kamu, loh. Lagian aku udah nyaranin juga ke bengkel spesialis, tapi Papa kamu malah kekeh."Fenya cepat-c
Hari ini matahari terasa begitu cepat mengelilingi bumi. Warna merah gelapnya tenggelam secepat aku menyelesaikan hari latihan yang tentunya menyiksa sekali untukku. Apalagi setelah tahu kalau Khalisa memang sudah nggak bisa lagi kumiliki. Aku lelah, kubuang semua pakaian beraroma keringat yang baru saja kugunakan untuk latihan simulasi perang ke dalam ember, "Nggak. Aku nggak akan nyerah gitu aja, Khalisa." Menunggu airnya penuh sambil membayangkan kejadian tadi malam. "Kamu udah ambil first-timeku, dan kamu mau aku pergi? Ha ha ha. Itu nggak adil, Khalisa." Tanpa sadar satu tanganku sudah bertekuk di pinggang dan tangan yang lainnya menyerah di ujung kepala naga. Sungguh menyeramkan sampai-sampai aku harus menutup mata untuk menghindari semburannya. TOKKKK TOKKKK TOKKK Suara ketukan di belakang punggung membuatku kembali ke dunia nyata, "Cepetan! Kampret. Ini bukan toilet nenek moyangmu! Lama bener, sih, kayak perawan." Sial. Padahal aku sudah berusaha sejauh mungkin menghi
Khalisa, Khalisa, Khalisa. Cuma satu kata itu yang berulang kali kuucapkan sembari menanti langit-langit di atas wajahku ini runtuh. Hancur, seperti benakku saat ini. Tapi itu nggak mungkin, kecuali Onad dengan sengaja melompat dan ambruk di atas ranjangnya. "Udah lah, breeh!" gumam Onad dari atas langit yang kutatap. Iya, kami memang satu ranjang. Tetapi, dia beruntung karena bisa menempati ranjang susun paling puncak sejak pertama kali masuk asrama ini. "Cewek, kan bukan cuma dia doang?""Tahu, tuh. Dari kemaren Khalisa, Khalisa mulu yang dinyanyiin!" Timpal Biron dari bawah bumi. Cowok yang paling berisik kalau tidur, itu wajib banget dapat ranjang paling bawah. "Move on, dong, Heksa! Let it go, gitu, loh jadi cowok! Haduh, payah banget, sih, kamu!""Kalian berisik banget! Tidur, ngapain ngurusin orang?" ketusku, sambil memeriksa perban di bahu, sebelum memiringkan muka ke tembok. Ada ukiran kecil di sana dengan nama Khalisa dan tanggal di mana aku pergi meninggalkannya tanpa sat
Heksa────୨ৎ────જ⁀➴"Jadi, kenapa kamu tetap tinggalin dia di sana, sih, Heksa?" bentak Fenya yang sibuk menggulung perban di bahuku. Dia salah satu Komandan di akademi militer wanita, ya satu-satunya pembimbing yang paling galak sekaligus perhatian menurutku. "Padahal aku sudah nggak sabar mau lihat. Bagaimana, sih rupa wanita yang sudah bikin murid paling kuat di akademi ini jadi letoy.""Uh, sa—sakit," jeritku dengan mata melebar. Fenya pasang senyum jahilnya sambil mecubit bekas luka di bahuku. "Fenyaaaa! Sakit Fenyaaaa. Pleasee!""Nggak mungkin, pasti jauh lebih sakit di sana?" Matanya sempat melirik ke arah tonjolan kecil di celanaku, sebelum berpindah ke dada. "Ups, maksudku di sini," tangannya turun menunjuk ke belahan dadaku, kemudian melanjutkan kata-katanya, "Jadi, sakit banget, ya, Heksa?"Aku mengangguk dan mengeluh,"Dia cinta sama cowok itu, bahkan sekarang sudah jadi suaminya, Fenya. Dan aku nggak bisa apa-apa sekarang selain melepasnya."Fenya mengulurkan lengan dan me
"Khalisa, kamu nggak apa-apa, kan?" kejut Alzian, ketika melihatku bersama kedua pengawal yang saat ini menghilang di balik pintu. Matanya tak berhenti memperhatikan bahuku. "Kamu terluka?" "Oh, ini? Ak—" "Nggak-nggak! Aku panggilkan dokter sekarang, ya? Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa!" Alzian menarik HP dari atas meja dan aku langsung menahannya ketika nada "tuutt" berbunyi. "Mas, aku nggak apa-apa. Cukup, aku mau kita istirahat. Aku capek," gumamku, sambil melewatinya menuju ranjang untuk melemparkan diri di atasnya. Saat hendak menarik selimut, mataku malah tertuju ke sana, ke bokser hitam Alzian yang kini terlihat semakin menonjol. "Tapi kalau kamu mau ambil madunya sekarang, aku siap, mas." Tanpa menunggu aba-aba, Alzian langsung melompat ke atas ranjang mengambil alih kedua tanganku dan membimbingnya menari di sebelah kepala kami. Mata kita saling mengunci satu sama lain. Hening, hanya suara kecupan yang mengisi kehampaan malam ini. Tiba-tiba suara lain muncul dari HP
Aku tahu ini salah, membiarkan masa lalu hadir di tengah-tengah titik balikku. Merelakan Alzian telentang di sana, sedangkan aku harus melawan kepalaku sendiri. Pening. Berat.Dia hilang lagi, setelah ciuman tadi. Meninggalkan kalimatnya yang sampai kini belum bisa kucerna, "Kamu harus hati-hati sama keluarga suami kamu, Khal!"Begitu saja, dan dia langsung kabur entah ke mana. Hanya terdengar decakan sepatu yang menghantam lantai dengan cepat di lorong dan suara tembakan dari luar rumah.Semua yang terjadi malam ini membuatku berteriak, "Heksaaaa! Kenapa aku harus percaya sama kamu? Kamu itu siapa, sih sebenarnya?"Meski ruangan ini sudah kembali bercahaya, tapi tetap saja penglihatanku tentang masalah ini masih gelap. Aku berkeliling di ruangan ini, merapikan barang-barang yang sempat terjatuh dari meja dan ke kamar mandi untuk membasuh tubuhku yang sudah tidak suci lagi.Sepanjang perjalanan aku menemukan jejak merah Heksa menggenang di lantai marmer berwarna putih. Kita sama-sam
Kenapa dia bisa ada di sini?Aku segera merapikan kebayaku, mengamati ke sekeliling dengan sorot flash di HP. Saat kutujukan cahaya itu ke bawah perut, kedua belah pahaku telah berlumuran tinta putih. Dengan lengkah cepat aku menuju ke hadapannya."PLAKKK!!!" Stempel basah dari telapak tanganku menandai pipinya. Air mata tak sabar lagi menunggu turun dari pelupukku. "Heksa! Kamu gila ya! Mana Alzian? Kamu apakan dia, hah?"Senyum nakal yang semula menyempurnakan wajah culasnya, kini berubah dengan kerutan dahi. Matanya membelalak sedangkan bibirnya membentak, "Khalisa! Aku cinta kamu!" Dia bangkit dari sana untuk menyamai posisi wajah kita. "Harusnya kamu nikah sama aku, bukan dia!""Dan harusnya kamu, nggak menghilang begitu saja. Itu sama artinya kamu buang aku, tahu, gak?" Telunjukku menodong keningnya, baru kali ini aku bersikap garang kepada seseorang. Aku benci dia, aku benci semua yang dia lakukan kepadaku malam ini. "Kamu kira aku mau melakukan ini semua, sama kamu?"Heksa han