"Heksa!" Suara wanita garang menggema di lapangan. Mataku langsung jatuh ke bagian dada Fenya, saat dia berlari menghampiriku. Menelan semua liur yang hampir tumpah ke sela bibirku, sebelum dia sampai tepat di atas wajahku sambil terengah-engah, "Hooh, huftt. Papa nyuruh bilangin ke kamu, kalau mobil yang kamu bawa ke mekanik kemarin, masih belum sembuh." Mobil?Oh, aku baru ingat. Orang-orang sering menyebutnya Rubicon. Ya, sejenis mobil Jeep Wrangler, begitu. Tapi lebih eksklusif dan yang jelas itu pasti mahal. Anehnya, si Rubicon ini justru aku bawa ke tempat mekanik kendaraan militer. Seharusnya ke bengkel spesialis, kan?"Ya, kata mekaniknya sih, mereka nggak punya sparepart. Jadi kemarin itu cuma diakalin aja sama mereka, biar bisa jalan gitu doang," jelasku panjang lebar, sambil menyodorkan botol minum ke arahnya yang langsung disambar begitu saja. "Tapi, itu perintah Papa kamu, loh. Lagian aku udah nyaranin juga ke bengkel spesialis, tapi Papa kamu malah kekeh."Fenya cepat-c
Khalisa────୨ৎ────જ⁀➴Sejak malam itu, malam-malamku di ranjang selalu ditemani wajah Heksa yang bertubuh Alzian. Setiap kali perut gemoy Alzian menyuntuh kulitku, di saat itulah dia langsung menyerah. Tapi, ekspresi menyerah di wajahnya, selalu saja kubayangkan kalau itu Heksa. Aku justru merasa puas melihat Heksa yang menyerah, dan aku suka.Bercumbu dengan Suami?Boro-boro, bahkan sebelum aku sempat meninggalkan pakaian, Alzian sudah kejang-kejang. Selalu begitu, dan aku bingung sebenarnya ada masalah apa dengan kesehatannya. Jadi di sinilah kita berada sekarang."Ibu nggak perlu khawatir, tidak ada masalah yang serius, kok. Hanya faktor psikologis saja," tutur Dokter sambil meracik beberapa kapsul dan sesekali mengedipkan mata genitnya, "Jadi, seperti yang saya sarankan, ya, Bu.""Nggak. Yang benar saja?" Protesku, tapi hanya tertahan di tenggorokan. Saat Alzian selesai dari tirai pemeriksaan oleh suster, kata-kataku malah menggema, "Oh, iya, kalau boleh tahu, nanti yang masturbas
"Mas, ingat kata dokter, kan?" jeritku dengan kedua tangan menahan dadanya yang seperti karpet beludru. Mataku menyelinap ke arah bawah sambil menunjuk, "Kamu harus mainin itu kamu dulu sebelum kita bercumbu!""Huuft, tapi aku udah gak tahan, Sayang." Desahan manja meraba telingaku. Berat sekali rasanya tubuh Alzian, sampai-sampai aku kehabisan napas. Meski pembatas antara kulit kita cukup tebal, tetap saja, tangannya terasa renyah di tubuhku. Menjelajahi setiap inchi lekukan dada yang masih bersembunyi di dalam sana."Mas, stop! Mending kita lakuin yang dianjurkan Dokter Rennata." Tanpa sadar reflekku malah membanting lehernya ke ranjang dan aku lompat dengan secepat kilat. Kuambil dua kapsul di dalam klip, lalu menyodorkanya dengan segelas air di tanganku. "Satu jam aja, Mas!"Aku mengawasi Alzian sampai obat itu benar-benar masuk ke dalam tenggorokannya. Aku beralih ke sisi ranjang, berdiri untuk mengambil posisi dan gerakan paling menggoda yang pernah kulakukan. Kulepas satu persa
Aku buru-buru ambil pakaian dan kabur dari kamar Alzian, kamar di mana tempat kami memadu kasih lima belas menit yang lalu. Lagi-lagi kami gagal bercumbu, setelah dia merusak malam ini.Aku menepuk kepala berkali-kali sepanjang jalan, berharap bisa mencerna semua ini, "Apaan coba maksudnya dia kirim foto itu ke Dokter Rennata? Di depanku, istrinya sendiri. Alziaaaannn! Haargghh!!""Non, maaf. Kami nggak mengizinkan Non Khalisa keluar!” kata satpam yang menjaga pintu gerbang sambil menahanku dengan tongkat sikunya. Aku balas dengan tatapan harimau. Tapi dia tetap saja kekeh, "Maaf, Non. Tapi tuan besar yang minta!""Loh, kenapa? Apa hak mereka buat larang aku keluar rumah?" sahutku dengan lantang, sambil mengibaskan tangan, "Ahh, minggir! Ihhhh!"Satpam berhasil menarik mundur tubuhku setiap kali aku berusaha menerobos gerbang yang hanya tinggal sejengkal lagi. "Maaf, Non. Saya hanya menjalankan tugas."Bahkan setelah menikah, buat sekedar mencari angin di luar rumah saja rasanya susah
Langkah kaki Alzian terdengar semakin dekat, tergesa-gesa menuruni anak tangga dengan suara "gedebuk-gedebuk" yang tak sopan bagi seorang pria bangsawan seperti dia. Rambutnya masih acak-acakan, entah karena terburu-buru atau memang gaya hidupnya yang kacau, seperti perasaanku pada malam ini."Iihh, apa, sih. Enggak, enggak, enggak! Awas ya, aku bakal lari kalau kamu berani nyentuh aku!" ancamku, menggenggam tali ayunan dan bersiap meluncur ke langit."Terlambat, kamu nggak bakal bisa kabur, Sayang!" sahutnya tanpa sempat memakai alas kaki. Napasnya tersenggal dan, ya, ampun, dia masih belum pakai celana.Aku melompat turun dari ayunan, mendarat dengan cara yang tidak anggun di hadapan pria berdarah biru ini. Lututku sedikit goyah, tapi mataku menatapnya tajam, “Mau kamu apa, sih, Mas?! Mau ngajak main Dokter-dokteran? Skenarionya kamu pasien, Rennata dokternya, gitu? Terus aku perawat magangnya yang cuma disuruh cuci ranjang?”“Khalisa, apaan,sih! Please, jangan bawa-bawa ranjang."
Kita sampai di sofa, dia menerjunkan tubuhku begitu saja, lalu duduk di hadapanku dengan wajah penuh kerutan. Wajah yang jarang kulihat dari seorang Alzian yang biasanya sok cool, sok tampan, dan sok tahu segalanya. “Khalisa, jelasin sekarang!” Aku menatapnya tajam, mencoba membaca kemarahan dari matanya. Tapi masih belum yakin. Kecewa yang kutahan sejak tadi rasanya jauh lebih mendesak keluar. “Kamu bohongin aku sejak awal, Mas. Kalau sekarang aja kamu bisa nyembunyiin masa lalu kamu sama Rennata, siapa yang jamin kamu nggak bakal nyembunyiin sesuatu lagi nanti?” “Aku berusaha jujur, Khal. Tapi aku takut kehilangan kamu.” Aku tertawa pendek, getir. “Ha ha ha. Kehilangan? Kehilangan aku, atau tanah lahan itu.” Dia hanya mematung. Tangannya mengepal di atas lutut, menahan sesuatu yang mungkin akan meledak dari dalam dirinya. Lalu tiba-tiba dia berjalan ke rak kecil di dekat televisi, dan mengambil sebuah map cokelat. Dia menyerahkannya padaku. "Apa ini?" tanyaku curiga, menerima
Khalisa─── ⋆⋅☆⋅⋆ ──જ⁀➴Seperti pengantin baru pada umumnya, malam pertama pernikahan adalah malam puncak kebahagiaan. Di mana kami berdua sibuk di atas ranjang berukuran raksasa dengan taburan bunga dan aroma wewangian yang menguar di ruangan.Ratusan amplop menggunung dari bawah lantai dan beberapa kado tersusun di atas meja. Tapi ada satu kotak yang menarik perhatianku ke sana. Sebuah kotak dengan simbol hati, tak sengaja terjatuh dan terbelah. Jam tangan mewah itu menetas, kemudian memantulkan cahaya dari lampu gantung yang sama mewahnya dari atas kepala kami."Mas, itu hadiah dari siapa?" tanyaku, dengan kesepuluh jari yang masih menempel di leher lelaki ini. "Nggak mungkin temanmu belikan barang semahal itu, kan?""Oh, mungkin Om Hendar, Sayang," balasnya sambil melepaskan setelan hitam ala keraton Jawa lengkap beserta blangkonnya yang tadi ia gunakan untuk menyambut tamu. Singkap batik yang membungkus tubuh bagian bawahnya sudah terlepas, hanya menyisakan bokser tipis berwarna
Dia masih tak bergerak. Mungkin sedang berusaha mencerna kata-kataku. Tanpa menunggu respon, akhirnya kata-kata itu keluar dari mulutku, "I love you, my Alzian!""Khal?" gumamnya. Suaranya terdengar berat, tertahan di tenggorokan. "Iya." "Ka—kamu bilang apa?" Raut wajahnya masih mencari-cari jawaban di mataku. Tapi dia nggak akan menemukannya di situ. Dia akan menemukannya di sini. Di bibirku yang mulai basah, "Mas, gak dengar?" desahku, "Atau emang pura-pura nggak dengar?" Dia geleng-geleng kepala. Ekspresinya polos. Sorot matanya sedikit lebih sayu daripada satu jam yang lalu, mungkin dia lelah. Baik. Mungkin dengan cara ini bisa membuatnya bergairah lagi. "Emmmmmmpp," begitu bibir kami menyatu, matanya seperti anak rusa. "Khal," desahnya lagi. Sekarang aku percaya dengan Alzian, suamiku. Karena menurut artikel yang pernah kubaca, lelaki yang belum pernah tersentuh oleh wanita, dia akan ejakulasi lebih cepat dari yang semestinya. Dan ini di luar dugaan, bahkan aku belum mele
Kita sampai di sofa, dia menerjunkan tubuhku begitu saja, lalu duduk di hadapanku dengan wajah penuh kerutan. Wajah yang jarang kulihat dari seorang Alzian yang biasanya sok cool, sok tampan, dan sok tahu segalanya. “Khalisa, jelasin sekarang!” Aku menatapnya tajam, mencoba membaca kemarahan dari matanya. Tapi masih belum yakin. Kecewa yang kutahan sejak tadi rasanya jauh lebih mendesak keluar. “Kamu bohongin aku sejak awal, Mas. Kalau sekarang aja kamu bisa nyembunyiin masa lalu kamu sama Rennata, siapa yang jamin kamu nggak bakal nyembunyiin sesuatu lagi nanti?” “Aku berusaha jujur, Khal. Tapi aku takut kehilangan kamu.” Aku tertawa pendek, getir. “Ha ha ha. Kehilangan? Kehilangan aku, atau tanah lahan itu.” Dia hanya mematung. Tangannya mengepal di atas lutut, menahan sesuatu yang mungkin akan meledak dari dalam dirinya. Lalu tiba-tiba dia berjalan ke rak kecil di dekat televisi, dan mengambil sebuah map cokelat. Dia menyerahkannya padaku. "Apa ini?" tanyaku curiga, menerima
Langkah kaki Alzian terdengar semakin dekat, tergesa-gesa menuruni anak tangga dengan suara "gedebuk-gedebuk" yang tak sopan bagi seorang pria bangsawan seperti dia. Rambutnya masih acak-acakan, entah karena terburu-buru atau memang gaya hidupnya yang kacau, seperti perasaanku pada malam ini."Iihh, apa, sih. Enggak, enggak, enggak! Awas ya, aku bakal lari kalau kamu berani nyentuh aku!" ancamku, menggenggam tali ayunan dan bersiap meluncur ke langit."Terlambat, kamu nggak bakal bisa kabur, Sayang!" sahutnya tanpa sempat memakai alas kaki. Napasnya tersenggal dan, ya, ampun, dia masih belum pakai celana.Aku melompat turun dari ayunan, mendarat dengan cara yang tidak anggun di hadapan pria berdarah biru ini. Lututku sedikit goyah, tapi mataku menatapnya tajam, “Mau kamu apa, sih, Mas?! Mau ngajak main Dokter-dokteran? Skenarionya kamu pasien, Rennata dokternya, gitu? Terus aku perawat magangnya yang cuma disuruh cuci ranjang?”“Khalisa, apaan,sih! Please, jangan bawa-bawa ranjang."
Aku buru-buru ambil pakaian dan kabur dari kamar Alzian, kamar di mana tempat kami memadu kasih lima belas menit yang lalu. Lagi-lagi kami gagal bercumbu, setelah dia merusak malam ini.Aku menepuk kepala berkali-kali sepanjang jalan, berharap bisa mencerna semua ini, "Apaan coba maksudnya dia kirim foto itu ke Dokter Rennata? Di depanku, istrinya sendiri. Alziaaaannn! Haargghh!!""Non, maaf. Kami nggak mengizinkan Non Khalisa keluar!” kata satpam yang menjaga pintu gerbang sambil menahanku dengan tongkat sikunya. Aku balas dengan tatapan harimau. Tapi dia tetap saja kekeh, "Maaf, Non. Tapi tuan besar yang minta!""Loh, kenapa? Apa hak mereka buat larang aku keluar rumah?" sahutku dengan lantang, sambil mengibaskan tangan, "Ahh, minggir! Ihhhh!"Satpam berhasil menarik mundur tubuhku setiap kali aku berusaha menerobos gerbang yang hanya tinggal sejengkal lagi. "Maaf, Non. Saya hanya menjalankan tugas."Bahkan setelah menikah, buat sekedar mencari angin di luar rumah saja rasanya susah
"Mas, ingat kata dokter, kan?" jeritku dengan kedua tangan menahan dadanya yang seperti karpet beludru. Mataku menyelinap ke arah bawah sambil menunjuk, "Kamu harus mainin itu kamu dulu sebelum kita bercumbu!""Huuft, tapi aku udah gak tahan, Sayang." Desahan manja meraba telingaku. Berat sekali rasanya tubuh Alzian, sampai-sampai aku kehabisan napas. Meski pembatas antara kulit kita cukup tebal, tetap saja, tangannya terasa renyah di tubuhku. Menjelajahi setiap inchi lekukan dada yang masih bersembunyi di dalam sana."Mas, stop! Mending kita lakuin yang dianjurkan Dokter Rennata." Tanpa sadar reflekku malah membanting lehernya ke ranjang dan aku lompat dengan secepat kilat. Kuambil dua kapsul di dalam klip, lalu menyodorkanya dengan segelas air di tanganku. "Satu jam aja, Mas!"Aku mengawasi Alzian sampai obat itu benar-benar masuk ke dalam tenggorokannya. Aku beralih ke sisi ranjang, berdiri untuk mengambil posisi dan gerakan paling menggoda yang pernah kulakukan. Kulepas satu persa
Khalisa────୨ৎ────જ⁀➴Sejak malam itu, malam-malamku di ranjang selalu ditemani wajah Heksa yang bertubuh Alzian. Setiap kali perut gemoy Alzian menyuntuh kulitku, di saat itulah dia langsung menyerah. Tapi, ekspresi menyerah di wajahnya, selalu saja kubayangkan kalau itu Heksa. Aku justru merasa puas melihat Heksa yang menyerah, dan aku suka.Bercumbu dengan Suami?Boro-boro, bahkan sebelum aku sempat meninggalkan pakaian, Alzian sudah kejang-kejang. Selalu begitu, dan aku bingung sebenarnya ada masalah apa dengan kesehatannya. Jadi di sinilah kita berada sekarang."Ibu nggak perlu khawatir, tidak ada masalah yang serius, kok. Hanya faktor psikologis saja," tutur Dokter sambil meracik beberapa kapsul dan sesekali mengedipkan mata genitnya, "Jadi, seperti yang saya sarankan, ya, Bu.""Nggak. Yang benar saja?" Protesku, tapi hanya tertahan di tenggorokan. Saat Alzian selesai dari tirai pemeriksaan oleh suster, kata-kataku malah menggema, "Oh, iya, kalau boleh tahu, nanti yang masturbas
"Heksa!" Suara wanita garang menggema di lapangan. Mataku langsung jatuh ke bagian dada Fenya, saat dia berlari menghampiriku. Menelan semua liur yang hampir tumpah ke sela bibirku, sebelum dia sampai tepat di atas wajahku sambil terengah-engah, "Hooh, huftt. Papa nyuruh bilangin ke kamu, kalau mobil yang kamu bawa ke mekanik kemarin, masih belum sembuh." Mobil?Oh, aku baru ingat. Orang-orang sering menyebutnya Rubicon. Ya, sejenis mobil Jeep Wrangler, begitu. Tapi lebih eksklusif dan yang jelas itu pasti mahal. Anehnya, si Rubicon ini justru aku bawa ke tempat mekanik kendaraan militer. Seharusnya ke bengkel spesialis, kan?"Ya, kata mekaniknya sih, mereka nggak punya sparepart. Jadi kemarin itu cuma diakalin aja sama mereka, biar bisa jalan gitu doang," jelasku panjang lebar, sambil menyodorkan botol minum ke arahnya yang langsung disambar begitu saja. "Tapi, itu perintah Papa kamu, loh. Lagian aku udah nyaranin juga ke bengkel spesialis, tapi Papa kamu malah kekeh."Fenya cepat-c
Hari ini matahari terasa begitu cepat mengelilingi bumi. Warna merah gelapnya tenggelam secepat aku menyelesaikan hari latihan yang tentunya menyiksa sekali untukku. Apalagi setelah tahu kalau Khalisa memang sudah nggak bisa lagi kumiliki. Aku lelah, kubuang semua pakaian beraroma keringat yang baru saja kugunakan untuk latihan simulasi perang ke dalam ember, "Nggak. Aku nggak akan nyerah gitu aja, Khalisa." Menunggu airnya penuh sambil membayangkan kejadian tadi malam. "Kamu udah ambil first-timeku, dan kamu mau aku pergi? Ha ha ha. Itu nggak adil, Khalisa." Tanpa sadar satu tanganku sudah bertekuk di pinggang dan tangan yang lainnya menyerah di ujung kepala naga. Sungguh menyeramkan sampai-sampai aku harus menutup mata untuk menghindari semburannya. TOKKKK TOKKKK TOKKK Suara ketukan di belakang punggung membuatku kembali ke dunia nyata, "Cepetan! Kampret. Ini bukan toilet nenek moyangmu! Lama bener, sih, kayak perawan." Sial. Padahal aku sudah berusaha sejauh mungkin menghi
Khalisa, Khalisa, Khalisa. Cuma satu kata itu yang berulang kali kuucapkan sembari menanti langit-langit di atas wajahku ini runtuh. Hancur, seperti benakku saat ini. Tapi itu nggak mungkin, kecuali Onad dengan sengaja melompat dan ambruk di atas ranjangnya. "Udah lah, breeh!" gumam Onad dari atas langit yang kutatap. Iya, kami memang satu ranjang. Tetapi, dia beruntung karena bisa menempati ranjang susun paling puncak sejak pertama kali masuk asrama ini. "Cewek, kan bukan cuma dia doang?""Tahu, tuh. Dari kemaren Khalisa, Khalisa mulu yang dinyanyiin!" Timpal Biron dari bawah bumi. Cowok yang paling berisik kalau tidur, itu wajib banget dapat ranjang paling bawah. "Move on, dong, Heksa! Let it go, gitu, loh jadi cowok! Haduh, payah banget, sih, kamu!""Kalian berisik banget! Tidur, ngapain ngurusin orang?" ketusku, sambil memeriksa perban di bahu, sebelum memiringkan muka ke tembok. Ada ukiran kecil di sana dengan nama Khalisa dan tanggal di mana aku pergi meninggalkannya tanpa sat
Heksa────୨ৎ────જ⁀➴"Jadi, kenapa kamu tetap tinggalin dia di sana, sih, Heksa?" bentak Fenya yang sibuk menggulung perban di bahuku. Dia salah satu Komandan di akademi militer wanita, ya satu-satunya pembimbing yang paling galak sekaligus perhatian menurutku. "Padahal aku sudah nggak sabar mau lihat. Bagaimana, sih rupa wanita yang sudah bikin murid paling kuat di akademi ini jadi letoy.""Uh, sa—sakit," jeritku dengan mata melebar. Fenya pasang senyum jahilnya sambil mecubit bekas luka di bahuku. "Fenyaaaa! Sakit Fenyaaaa. Pleasee!""Nggak mungkin, pasti jauh lebih sakit di sana?" Matanya sempat melirik ke arah tonjolan kecil di celanaku, sebelum berpindah ke dada. "Ups, maksudku di sini," tangannya turun menunjuk ke belahan dadaku, kemudian melanjutkan kata-katanya, "Jadi, sakit banget, ya, Heksa?"Aku mengangguk dan mengeluh,"Dia cinta sama cowok itu, bahkan sekarang sudah jadi suaminya, Fenya. Dan aku nggak bisa apa-apa sekarang selain melepasnya."Fenya mengulurkan lengan dan me