Dia masih tak bergerak. Mungkin sedang berusaha mencerna kata-kataku. Tanpa menunggu respon, akhirnya kata-kata itu keluar dari mulutku, "I love you, my Alzian!"
"Khal?" gumamnya. Suaranya terdengar berat, tertahan di tenggorokan. "Iya." "Ka—kamu bilang apa?" Raut wajahnya masih mencari-cari jawaban di mataku. Tapi dia nggak akan menemukannya di situ. Dia akan menemukannya di sini. Di bibirku yang mulai basah, "Mas, gak dengar?" desahku, "Atau emang pura-pura nggak dengar?" Dia geleng-geleng kepala. Ekspresinya polos. Sorot matanya sedikit lebih sayu daripada satu jam yang lalu, mungkin dia lelah. Baik. Mungkin dengan cara ini bisa membuatnya bergairah lagi. "Emmmmmmpp," begitu bibir kami menyatu, matanya seperti anak rusa. "Khal," desahnya lagi. Sekarang aku percaya dengan Alzian, suamiku. Karena menurut artikel yang pernah kubaca, lelaki yang belum pernah tersentuh oleh wanita, dia akan ejakulasi lebih cepat dari yang semestinya. Dan ini di luar dugaan, bahkan aku belum melepas semua pakaianku, tapi Alzian sudah menyerah. "Hhmm iya," balasku. "Kamu udah percaya sekarang?" "Iya." Bukannya membalas ciumanku, Alzian malah ngeloyor ke springbed. Menaruh kedua tangan di atas kepala, dan tonjolan di boksernya masih tampak antara campuran warna hitam dan putih. Meski sebenarnya aku agak jijik, tapi aku berusaha untuk duduk di atasnya. "Nggak, apa-apa, Mas." bisikku dengan kedua tangan bertumpu di dadanya yang bidang. "Mau secepat apa pun itu, aku nggak peduli." "Maaf, Sayang," balasnya sambil menoleh ke kiri. Bola matanya mulai terbenam. Dan secepat itu pula, dia tidur? Serius? Kamu meninggalkanku dalam keadaan begini? "ALZIAANNNNN!" teriakku dalam hati. Sialan. "Mas!!! Mas Alziaaan, bangun!!!" Aku menepuk kedua pipinya beberapa kali, tapi hanya dengkuran yang terdengar. Oke. Dia sudah tertidur pulas. Aku bergegas merapikan penampilanku di atas meja rias dan keluar untuk menenangkan diri. Di ruang tamu, tampaknya mertuaku sedang berkumpul dengan sanak saudaranya. Aku pun datang menghampiri dengan senyum yang dipaksakan, tapi Mamanya Alzian malah menghancurkan senyum itu dengan bilang, "Udah selesai honeymoonnya, Nduk? Baru jam segini, loh. Puas-puasin aja malam ini, kita nggak bakal ganggu, kok!" Bagaimana bisa puas, bahkan sebelum perang dia sudah lemas? Aku melempar tawa kecil yang kupaksakan sebagai balasannya, kemudian disambut tawa palsu dari keluarga besar yang lain, sepertinya mereka mulai keram, akibat duduk bersila berjam-jam di atas karpet mewah ini. "Bilangin suamimu, Nduk. Minum jamu sama telor dulu, sebelum main," kata salah satu kerabat mertua. "Biar kuat sampai hari kiamat!" "Kalau itu, sih bukan pakai telur, Tante. Tapi pakai semen beton," timpal Pandu, salah satu keponakan Alzian yang paling tua sekaligus yang paling bandel. Percakapan ini rasanya benar-benar menyindirku. Aku bahkan sempat memikirkan lagi bokser Alzian tadi. Kenapa bisa secepat itu, ya? "Oh, iya. Kak, Khal, di mana Kak Alzian?" tanya Pandu. Matanya hanya terfokus pada renda kebayaku yang berada di tengah dada. "Kok, gak ikutan kumpul?" Meski sedikit risih dengan mata nakalnya, tapi aku memaklumi, mengingat usianya yang baru beranjak remaja, ya, mungkin dia lagi ada di masa puber. "Masih di kamar, ngitungin amplop," balasku sopan. Tapi matanya tetap tidak bisa sopan. "Mbak Khal!" Ada suara ibu-ibu yang bertugas menerima tamu mengejutkanku. "Ada tamunya yang nyariin, di depan!" Aku bergegas menuju ruang pesta yang masih tampak ramai oleh tamu undangan. Tamu? Saudaraku? Atau teman-temanku? Aku gak yakin mereka bakal datang ke pesta pernikahanku yang berlangsung hari ini, karena memerlukan waktu delapan jam perjalanan dari kota tempat tinggalku. Lagi pula mereka sudah berjanji akan datang di pesta peresmian yang berlangsung di rumahku, minggu depan. Jadi jika ada tamu yang mencariku, aku yakin itu bukan teman-teman atau pun saudaraku. Aku hanya menemukan pria berpostur paling tinggi di antara kerumunan orang yang sedang berdiri sambil menyeruput gelas minuman. Rambutnya berantakan, bukan sengaja diacak, tapi tampaknya karena kelelahan. Dia pakai setelan jas warna abu-abu, dengan tas di tangan kirinya. "Maaf, permisi," ucapku dengan sopan kepada tamu-tamu yang sedang asyik mengobrol satu sama lain, saat aku melintas di depannya. "Permisi, nggih, Pak/Bu." Jarak kita semakin dekat, hanya tinggal beberpa langkah lagi. Postur tubuhnya mengingatkanku tentang seseorang yang selama ini mengurung diri di dalam pikiranku. Tapi, itu mustahil. Dia tidak mungkin datang untuk menemuiku dan suamiku. Tapi sayangnya tidak ada yang tidak mungkin di dunia ini. Bahkan setelah enam tahun lamanya, seseorang yang dulu tiba-tiba menghilang, sekarang dia bisa ada di depan mataku. "Heksa Antara?" Begitu namanya mengudara dari mulutku, dia langsung membalikkan badan. Menatapku. Aku masih ingat tatapan itu, tatapan yang sama saat terakhir kali kita bertemu, sebelum status kita berubah menjadi mantan. "Oh, Ehm. Selamat, ya, Khal!" Senyumnya, masih sama seperti dulu. Tenang, dingin, manis dan dibalut dengan ekspresinya yang datar. Tak ada yang berbeda darinya kecuali bulu tipis yang mulai tumbuh di sekitar bibir dan janggutnya. "Iya, makasih," balasku sambil memasang senyum pura-pura. Sebenarnya dalam hati? Berengsek. "Sini, kita perlu bicara!" Aku menggandengnya keluar pesta, ke depan rumah menuju halaman parkir yang kebetulan tinggal beberapa kendaraan saja. "Khal!" "Apa? Apa maksudmu ngilang gitu aja?" bentakku, tapi nyaris berbisik. "Dan sekarang kamu dengan mudahnya muncul gitu aja dipernikahanku? Mau kamu apa, sih Heksa?" "Khal, kam—" "Bajingan!" potongku. "Anjing kamu itu, tahu nggak?" "Iya, ak—" "Enam tahun, Heksa. Enam tahuuuun!!!" Kantong mataku penuh dengan air, menunggu tumpah. "Harusnya kamu putusin aku sebelum kamu pergi! Kenapa nggak kamu lakuin?" "Ma—" "Kamu block I*******m aku, semua sosial mediaku dan kamu private semua akunmu! Dasar psikopat!" Aku memutar badan, menyembunyikan tetesan air mata yang jelas mulai jatuh. "Sampai aku harus pinjem HPnya Daniar buat cari tahu semuanya, cuma buat ngelihat foto-foto mesra kamu beberapa bulan yang lalu!" Aku mulai sesenggukan. Entah apa yang aku tahan, tapi rasanya benar-benar sesak. Nafasku tak beraturan. "Maaf," balasnya. Satu kata yang membuat kepalaku meledak. "Maaf katamu? Setelah semua yang kamu lakuin ini?" "Aku nggak punya apa-apa waktu itu, Khal. Aku cuma kerja serabutan, dan kamu tahu itu." "Terus, kamu punya hak buat menghilang gitu aja?" "Enggak, aku cuma mau benarin hidupku dulu." "Kenapa cuma hidupmu sendiri yang kamu pikirin?" pekikku sambil menusuk bahu kanannya dengan jari telunjuk. "Egois!" "Khal, kamu harus tenang!" Tangan kiri Heksa menggenggam lembut telunjukku. "Kamu bisa bunuh aku sekarang, kalau kamu mau." Aku mengangkat alis, tak sadar jika tangan kanannya sudah menggenggam Revolver G2 dengan posisi terbalik, mengacung ke dadanya. "He—Heksa? Apa-apaan?" kejutku, melihat ekspresinya masih datar. "Kenapa kamu bisa punya benda seperti itu?" "Selama enam tahun, nggak ada yang berubah dengan perasaanku, Khalisa. Yang kamu lihat itu, seniorku di angkatan, sekaligus yang memberikan benda ini kepadaku." Kedua tangannya kini berubah menjadi Revolver G2 yang siap meledak ketika kutekan. "Sekarang, kamu punya hak buat ngilangin aku dari kehidupan ini. Kehidupan yang aku benar-benar nggak tahu harus ngapain lagi." "Heksa! Kamu ap—" "Ssssttttt!" potong Heksa, kedua tangannya mengepal erat jemariku yang mulai gemetar. Ibu jarinya membimbing telunjukku untuk meledakkan jantungnya. "Kamu punya sepuluh detik... Cium aku... Atau... Kita sama-sama tekan pelatuknya." Hening. Hanya suara angin yang bersiul di telingaku. Satu... Kenapa dia tega melakukannya padaku? Menghilang, lalu muncul dengan cara seperti ini. Dua... Jadi selama ini, Heksa menungguku? Enam tahun? Tiga... Waktu dia menghilang, apa mungkin dia masuk sekolah militer? Empat... Memangnya aku bodoh, aku tak akan tertipu lagi. Apalagi menunggunya. Tidak Boleh. Lima... Lagi pula aku sudah memiliki Alzian. Suamiku. Enam... Kenapa Heksa begitu setia menungguku? Dan aku, malah terima perjodohan ini. Tujuh... Heksa tak mungkin melakukan hal senekat ini. Delapan... Cinta? Dia benaran? Atau cuma sekedar mengancamku? Lagi pula, aku sudah tak peduli sama cinta. Semua hanya omong kosong. Sembilan... Alzian? Tapi aku tak pernah mencintainya. Bahkan kita baru saja dijodohkan, mungkin belum ada dua bulan. Tapi Heksa? Sepuluh... Aku masih mencintainya. "Ja—jangaaaan!!!" Jeritanku menguar ketika ibu jari Heksa benar-benar mendorong telunjukku dan Revolver G2 yang mengarah tepat di jantungnya, meledak. DOOOOORRRUntung saja reflekku secepat kilat, mengayunkan tangan kita ke samping. Tapi tetap saja peluru itu menembus tubuh Heksa. Bahu kanannya, bahu tempat di mana dulu air mataku sering jatuh. Sekarang justru darah yang ada di sana."Heksaaa!!" Air mataku terjun entah ke mana. Aku berlutut, senyum tenang mulai pudar dari wajah datarnya. Dia terbaring, tangannya berpisah dari Revolver itu, tergeletak begitu saja. Lemah, tapi tetap saja tatapan dingin itu mengunci mataku. "Kamu gila, Heksa!""Jadi, kenapa aku masih hidup, Khal?" gumam Heksa, berusaha meraih Revolvernya kembali. "Harusnya tempatku bukan di sini."Tanpa berpikir panjang, aku meraih pipinya dengan kedua tanganku. Seketika bibirku mendarat di bibirnya, rasanya masih sama seperti dulu, tipis, basah, lembut, dan tenang tanpa ada perlawanan.Apa dia selalu begitu?"Khal?" gumamnya sambil menatap langit.Bibir kami berpisah sebelum aku mengatakan, "Iya?""Kamu percaya, kalau perasaanku akan selalu seperti ini?"Aku mengangguk.Aku ras
Entah gerakan apa yang telah kami berdua lakukan, sampai-sampai hanya keringat yang menyelimuti kulit. Tubuh Heksa mulai licin, aroma atletis menguar dari tubuhnya. Kepalaku bersandar di kaca pintu dengan kedua lutut terangkat. Jemari kita masih besatu, menari dalam ruangan sempit ini."Khal?" desah Heksa di dalam bibirku sebelum berpisah. "Jadi, kamu benar-benar mencintai suamimu atau nggak?""Iya, aku mencintainya." Jawabanku membuatnya terkejut.Entah kenapa hentakan Heksa semakin kuat dan cepat. Meski aku setegah mati menahan rasa sakitnya, itu tak membuat Heksa menyerah. Justru membuatnya lebih beringas dan ekspresi wajahnya berubah. Sekarang ada setitik emosi di matanya."Bagus! Jadi aku nggak perlu bingung memutuskan.""Memutuskan untuk apa?""Aku nggak mau menitipkan buah cintaku kepada seseorang yang mencintai orang lain.""Jadi?""Anggap saja kita have-fun malam ini!"Have-fun?"Egois!" jeritku dalam hati.Tega sekali dia bicara seperti itu, setelah aku merelakan semua ini.
Akhirnya aku sampai di kamarnya Alzian. Kamar di mana seharusnya aku berada. Meski ada sedikit penyesalan saat tadi aku memutuskan keluar, setidaknya sekarang aku sudah aman.Dia masih terlelap dengan bokser hitamnya. Memeluk bantal dengan posisi miring membelakangiku. Aku berdiri sejenak di ambang pintu dan berpikir, " Aku marah kalau Alzian pernah melakukannya dengan wanita lain, tapi kenapa justru aku sendiri yang melakukannya dengan Heksa?"Aku menutup pintu, menguncinya agar tak seorang pun bisa masuk ke kamar kami tanpa izin. Tapi saat aku balik badan ke arah springbed, Alzian sudah duduk manis dengan bantal di pangkuannya."Sayang, ronde ke dua, yuk?" pekiknya sambil melempar senyum jahil."Hah, a—apa?" balasku dengan terbata-bata. Aku cepat-cepat menuju kamar mandi, jangan sampai Alzian curiga. "Aku capek, mas, habis ngeladenin tamu-tamunya Mama.""Ayo, lah, aku udah naik lagi, nih!" Suara langkah kaki terdengar di belakangku, semakin dekat, sebelum kedua tangan berhasil mence
Kenapa dia bisa ada di sini?Aku segera merapikan kebayaku, mengamati ke sekeliling dengan sorot flash di HP. Saat kutujukan cahaya itu ke bawah perut, kedua belah pahaku telah berlumuran tinta putih. Dengan lengkah cepat aku menuju ke hadapannya."PLAKKK!!!" Stempel basah dari telapak tanganku menandai pipinya. Air mata tak sabar lagi menunggu turun dari pelupukku. "Heksa! Kamu gila ya! Mana Alzian? Kamu apakan dia, hah?"Senyum nakal yang semula menyempurnakan wajah culasnya, kini berubah dengan kerutan dahi. Matanya membelalak sedangkan bibirnya membentak, "Khalisa! Aku cinta kamu!" Dia bangkit dari sana untuk menyamai posisi wajah kita. "Harusnya kamu nikah sama aku, bukan dia!""Dan harusnya kamu, nggak menghilang begitu saja. Itu sama artinya kamu buang aku, tahu, gak?" Telunjukku menodong keningnya, baru kali ini aku bersikap garang kepada seseorang. Aku benci dia, aku benci semua yang dia lakukan kepadaku malam ini. "Kamu kira aku mau melakukan ini semua, sama kamu?"Heksa han
Aku tahu ini salah, membiarkan masa lalu hadir di tengah-tengah titik balikku. Merelakan Alzian telentang di sana, sedangkan aku harus melawan kepalaku sendiri. Pening. Berat.Dia hilang lagi, setelah ciuman tadi. Meninggalkan kalimatnya yang sampai kini belum bisa kucerna, "Kamu harus hati-hati sama keluarga suami kamu, Khal!"Begitu saja, dan dia langsung kabur entah ke mana. Hanya terdengar decakan sepatu yang menghantam lantai dengan cepat di lorong dan suara tembakan dari luar rumah.Semua yang terjadi malam ini membuatku berteriak, "Heksaaaa! Kenapa aku harus percaya sama kamu? Kamu itu siapa, sih sebenarnya?"Meski ruangan ini sudah kembali bercahaya, tapi tetap saja penglihatanku tentang masalah ini masih gelap. Aku berkeliling di ruangan ini, merapikan barang-barang yang sempat terjatuh dari meja dan ke kamar mandi untuk membasuh tubuhku yang sudah tidak suci lagi.Sepanjang perjalanan aku menemukan jejak merah Heksa menggenang di lantai marmer berwarna putih. Kita sama-sam
"Khalisa, kamu nggak apa-apa, kan?" kejut Alzian, ketika melihatku bersama kedua pengawal yang saat ini menghilang di balik pintu. Matanya tak berhenti memperhatikan bahuku. "Kamu terluka?" "Oh, ini? Ak—" "Nggak-nggak! Aku panggilkan dokter sekarang, ya? Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa!" Alzian menarik HP dari atas meja dan aku langsung menahannya ketika nada "tuutt" berbunyi. "Mas, aku nggak apa-apa. Cukup, aku mau kita istirahat. Aku capek," gumamku, sambil melewatinya menuju ranjang untuk melemparkan diri di atasnya. Saat hendak menarik selimut, mataku malah tertuju ke sana, ke bokser hitam Alzian yang kini terlihat semakin menonjol. "Tapi kalau kamu mau ambil madunya sekarang, aku siap, mas." Tanpa menunggu aba-aba, Alzian langsung melompat ke atas ranjang mengambil alih kedua tanganku dan membimbingnya menari di sebelah kepala kami. Mata kita saling mengunci satu sama lain. Hening, hanya suara kecupan yang mengisi kehampaan malam ini. Tiba-tiba suara lain muncul dari HP
Heksa────୨ৎ────જ⁀➴"Jadi, kenapa kamu tetap tinggalin dia di sana, sih, Heksa?" bentak Fenya yang sibuk menggulung perban di bahuku. Dia salah satu Komandan di akademi militer wanita, ya satu-satunya pembimbing yang paling galak sekaligus perhatian menurutku. "Padahal aku sudah nggak sabar mau lihat. Bagaimana, sih rupa wanita yang sudah bikin murid paling kuat di akademi ini jadi letoy.""Uh, sa—sakit," jeritku dengan mata melebar. Fenya pasang senyum jahilnya sambil mecubit bekas luka di bahuku. "Fenyaaaa! Sakit Fenyaaaa. Pleasee!""Nggak mungkin, pasti jauh lebih sakit di sana?" Matanya sempat melirik ke arah tonjolan kecil di celanaku, sebelum berpindah ke dada. "Ups, maksudku di sini," tangannya turun menunjuk ke belahan dadaku, kemudian melanjutkan kata-katanya, "Jadi, sakit banget, ya, Heksa?"Aku mengangguk dan mengeluh,"Dia cinta sama cowok itu, bahkan sekarang sudah jadi suaminya, Fenya. Dan aku nggak bisa apa-apa sekarang selain melepasnya."Fenya mengulurkan lengan dan me
Khalisa─── ⋆⋅☆⋅⋆ ──જ⁀➴Seperti pengantin baru pada umumnya, malam pertama pernikahan adalah malam puncak kebahagiaan. Di mana kami berdua sibuk di atas ranjang berukuran raksasa dengan taburan bunga dan aroma wewangian yang menguar di ruangan.Ratusan amplop menggunung dari bawah lantai dan beberapa kado tersusun di atas meja. Tapi ada satu kotak yang menarik perhatianku ke sana. Sebuah kotak dengan simbol hati, tak sengaja terjatuh dan terbelah. Jam tangan mewah itu menetas, kemudian memantulkan cahaya dari lampu gantung yang sama mewahnya dari atas kepala kami."Mas, itu hadiah dari siapa?" tanyaku, dengan kesepuluh jari yang masih menempel di leher lelaki ini. "Nggak mungkin temanmu belikan barang semahal itu, kan?""Oh, mungkin Om Hendar, Sayang," balasnya sambil melepaskan setelan hitam ala keraton Jawa lengkap beserta blangkonnya yang tadi ia gunakan untuk menyambut tamu. Singkap batik yang membungkus tubuh bagian bawahnya sudah terlepas, hanya menyisakan bokser tipis berwarna
Heksa────୨ৎ────જ⁀➴"Jadi, kenapa kamu tetap tinggalin dia di sana, sih, Heksa?" bentak Fenya yang sibuk menggulung perban di bahuku. Dia salah satu Komandan di akademi militer wanita, ya satu-satunya pembimbing yang paling galak sekaligus perhatian menurutku. "Padahal aku sudah nggak sabar mau lihat. Bagaimana, sih rupa wanita yang sudah bikin murid paling kuat di akademi ini jadi letoy.""Uh, sa—sakit," jeritku dengan mata melebar. Fenya pasang senyum jahilnya sambil mecubit bekas luka di bahuku. "Fenyaaaa! Sakit Fenyaaaa. Pleasee!""Nggak mungkin, pasti jauh lebih sakit di sana?" Matanya sempat melirik ke arah tonjolan kecil di celanaku, sebelum berpindah ke dada. "Ups, maksudku di sini," tangannya turun menunjuk ke belahan dadaku, kemudian melanjutkan kata-katanya, "Jadi, sakit banget, ya, Heksa?"Aku mengangguk dan mengeluh,"Dia cinta sama cowok itu, bahkan sekarang sudah jadi suaminya, Fenya. Dan aku nggak bisa apa-apa sekarang selain melepasnya."Fenya mengulurkan lengan dan me
"Khalisa, kamu nggak apa-apa, kan?" kejut Alzian, ketika melihatku bersama kedua pengawal yang saat ini menghilang di balik pintu. Matanya tak berhenti memperhatikan bahuku. "Kamu terluka?" "Oh, ini? Ak—" "Nggak-nggak! Aku panggilkan dokter sekarang, ya? Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa!" Alzian menarik HP dari atas meja dan aku langsung menahannya ketika nada "tuutt" berbunyi. "Mas, aku nggak apa-apa. Cukup, aku mau kita istirahat. Aku capek," gumamku, sambil melewatinya menuju ranjang untuk melemparkan diri di atasnya. Saat hendak menarik selimut, mataku malah tertuju ke sana, ke bokser hitam Alzian yang kini terlihat semakin menonjol. "Tapi kalau kamu mau ambil madunya sekarang, aku siap, mas." Tanpa menunggu aba-aba, Alzian langsung melompat ke atas ranjang mengambil alih kedua tanganku dan membimbingnya menari di sebelah kepala kami. Mata kita saling mengunci satu sama lain. Hening, hanya suara kecupan yang mengisi kehampaan malam ini. Tiba-tiba suara lain muncul dari HP
Aku tahu ini salah, membiarkan masa lalu hadir di tengah-tengah titik balikku. Merelakan Alzian telentang di sana, sedangkan aku harus melawan kepalaku sendiri. Pening. Berat.Dia hilang lagi, setelah ciuman tadi. Meninggalkan kalimatnya yang sampai kini belum bisa kucerna, "Kamu harus hati-hati sama keluarga suami kamu, Khal!"Begitu saja, dan dia langsung kabur entah ke mana. Hanya terdengar decakan sepatu yang menghantam lantai dengan cepat di lorong dan suara tembakan dari luar rumah.Semua yang terjadi malam ini membuatku berteriak, "Heksaaaa! Kenapa aku harus percaya sama kamu? Kamu itu siapa, sih sebenarnya?"Meski ruangan ini sudah kembali bercahaya, tapi tetap saja penglihatanku tentang masalah ini masih gelap. Aku berkeliling di ruangan ini, merapikan barang-barang yang sempat terjatuh dari meja dan ke kamar mandi untuk membasuh tubuhku yang sudah tidak suci lagi.Sepanjang perjalanan aku menemukan jejak merah Heksa menggenang di lantai marmer berwarna putih. Kita sama-sam
Kenapa dia bisa ada di sini?Aku segera merapikan kebayaku, mengamati ke sekeliling dengan sorot flash di HP. Saat kutujukan cahaya itu ke bawah perut, kedua belah pahaku telah berlumuran tinta putih. Dengan lengkah cepat aku menuju ke hadapannya."PLAKKK!!!" Stempel basah dari telapak tanganku menandai pipinya. Air mata tak sabar lagi menunggu turun dari pelupukku. "Heksa! Kamu gila ya! Mana Alzian? Kamu apakan dia, hah?"Senyum nakal yang semula menyempurnakan wajah culasnya, kini berubah dengan kerutan dahi. Matanya membelalak sedangkan bibirnya membentak, "Khalisa! Aku cinta kamu!" Dia bangkit dari sana untuk menyamai posisi wajah kita. "Harusnya kamu nikah sama aku, bukan dia!""Dan harusnya kamu, nggak menghilang begitu saja. Itu sama artinya kamu buang aku, tahu, gak?" Telunjukku menodong keningnya, baru kali ini aku bersikap garang kepada seseorang. Aku benci dia, aku benci semua yang dia lakukan kepadaku malam ini. "Kamu kira aku mau melakukan ini semua, sama kamu?"Heksa han
Akhirnya aku sampai di kamarnya Alzian. Kamar di mana seharusnya aku berada. Meski ada sedikit penyesalan saat tadi aku memutuskan keluar, setidaknya sekarang aku sudah aman.Dia masih terlelap dengan bokser hitamnya. Memeluk bantal dengan posisi miring membelakangiku. Aku berdiri sejenak di ambang pintu dan berpikir, " Aku marah kalau Alzian pernah melakukannya dengan wanita lain, tapi kenapa justru aku sendiri yang melakukannya dengan Heksa?"Aku menutup pintu, menguncinya agar tak seorang pun bisa masuk ke kamar kami tanpa izin. Tapi saat aku balik badan ke arah springbed, Alzian sudah duduk manis dengan bantal di pangkuannya."Sayang, ronde ke dua, yuk?" pekiknya sambil melempar senyum jahil."Hah, a—apa?" balasku dengan terbata-bata. Aku cepat-cepat menuju kamar mandi, jangan sampai Alzian curiga. "Aku capek, mas, habis ngeladenin tamu-tamunya Mama.""Ayo, lah, aku udah naik lagi, nih!" Suara langkah kaki terdengar di belakangku, semakin dekat, sebelum kedua tangan berhasil mence
Entah gerakan apa yang telah kami berdua lakukan, sampai-sampai hanya keringat yang menyelimuti kulit. Tubuh Heksa mulai licin, aroma atletis menguar dari tubuhnya. Kepalaku bersandar di kaca pintu dengan kedua lutut terangkat. Jemari kita masih besatu, menari dalam ruangan sempit ini."Khal?" desah Heksa di dalam bibirku sebelum berpisah. "Jadi, kamu benar-benar mencintai suamimu atau nggak?""Iya, aku mencintainya." Jawabanku membuatnya terkejut.Entah kenapa hentakan Heksa semakin kuat dan cepat. Meski aku setegah mati menahan rasa sakitnya, itu tak membuat Heksa menyerah. Justru membuatnya lebih beringas dan ekspresi wajahnya berubah. Sekarang ada setitik emosi di matanya."Bagus! Jadi aku nggak perlu bingung memutuskan.""Memutuskan untuk apa?""Aku nggak mau menitipkan buah cintaku kepada seseorang yang mencintai orang lain.""Jadi?""Anggap saja kita have-fun malam ini!"Have-fun?"Egois!" jeritku dalam hati.Tega sekali dia bicara seperti itu, setelah aku merelakan semua ini.
Untung saja reflekku secepat kilat, mengayunkan tangan kita ke samping. Tapi tetap saja peluru itu menembus tubuh Heksa. Bahu kanannya, bahu tempat di mana dulu air mataku sering jatuh. Sekarang justru darah yang ada di sana."Heksaaa!!" Air mataku terjun entah ke mana. Aku berlutut, senyum tenang mulai pudar dari wajah datarnya. Dia terbaring, tangannya berpisah dari Revolver itu, tergeletak begitu saja. Lemah, tapi tetap saja tatapan dingin itu mengunci mataku. "Kamu gila, Heksa!""Jadi, kenapa aku masih hidup, Khal?" gumam Heksa, berusaha meraih Revolvernya kembali. "Harusnya tempatku bukan di sini."Tanpa berpikir panjang, aku meraih pipinya dengan kedua tanganku. Seketika bibirku mendarat di bibirnya, rasanya masih sama seperti dulu, tipis, basah, lembut, dan tenang tanpa ada perlawanan.Apa dia selalu begitu?"Khal?" gumamnya sambil menatap langit.Bibir kami berpisah sebelum aku mengatakan, "Iya?""Kamu percaya, kalau perasaanku akan selalu seperti ini?"Aku mengangguk.Aku ras
Dia masih tak bergerak. Mungkin sedang berusaha mencerna kata-kataku. Tanpa menunggu respon, akhirnya kata-kata itu keluar dari mulutku, "I love you, my Alzian!""Khal?" gumamnya. Suaranya terdengar berat, tertahan di tenggorokan. "Iya." "Ka—kamu bilang apa?" Raut wajahnya masih mencari-cari jawaban di mataku. Tapi dia nggak akan menemukannya di situ. Dia akan menemukannya di sini. Di bibirku yang mulai basah, "Mas, gak dengar?" desahku, "Atau emang pura-pura nggak dengar?" Dia geleng-geleng kepala. Ekspresinya polos. Sorot matanya sedikit lebih sayu daripada satu jam yang lalu, mungkin dia lelah. Baik. Mungkin dengan cara ini bisa membuatnya bergairah lagi. "Emmmmmmpp," begitu bibir kami menyatu, matanya seperti anak rusa. "Khal," desahnya lagi. Sekarang aku percaya dengan Alzian, suamiku. Karena menurut artikel yang pernah kubaca, lelaki yang belum pernah tersentuh oleh wanita, dia akan ejakulasi lebih cepat dari yang semestinya. Dan ini di luar dugaan, bahkan aku belum mele
Khalisa─── ⋆⋅☆⋅⋆ ──જ⁀➴Seperti pengantin baru pada umumnya, malam pertama pernikahan adalah malam puncak kebahagiaan. Di mana kami berdua sibuk di atas ranjang berukuran raksasa dengan taburan bunga dan aroma wewangian yang menguar di ruangan.Ratusan amplop menggunung dari bawah lantai dan beberapa kado tersusun di atas meja. Tapi ada satu kotak yang menarik perhatianku ke sana. Sebuah kotak dengan simbol hati, tak sengaja terjatuh dan terbelah. Jam tangan mewah itu menetas, kemudian memantulkan cahaya dari lampu gantung yang sama mewahnya dari atas kepala kami."Mas, itu hadiah dari siapa?" tanyaku, dengan kesepuluh jari yang masih menempel di leher lelaki ini. "Nggak mungkin temanmu belikan barang semahal itu, kan?""Oh, mungkin Om Hendar, Sayang," balasnya sambil melepaskan setelan hitam ala keraton Jawa lengkap beserta blangkonnya yang tadi ia gunakan untuk menyambut tamu. Singkap batik yang membungkus tubuh bagian bawahnya sudah terlepas, hanya menyisakan bokser tipis berwarna