Keluarga Sunya

Aku tahu ini salah, membiarkan masa lalu hadir di tengah-tengah titik balikku. Merelakan Alzian telentang di sana, sedangkan aku harus melawan kepalaku sendiri.

Pening.

Berat.

Dia hilang lagi, setelah ciuman tadi. Meninggalkan kalimatnya yang sampai kini belum bisa kucerna, "Kamu harus hati-hati sama keluarga suami kamu, Khal!"

Begitu saja, dan dia langsung kabur entah ke mana. Hanya terdengar decakan sepatu yang menghantam lantai dengan cepat di lorong dan suara tembakan dari luar rumah.

Semua yang terjadi malam ini membuatku berteriak, "Heksaaaa! Kenapa aku harus percaya sama kamu? Kamu itu siapa, sih sebenarnya?"

Meski ruangan ini sudah kembali bercahaya, tapi tetap saja penglihatanku tentang masalah ini masih gelap. Aku berkeliling di ruangan ini, merapikan barang-barang yang sempat terjatuh dari meja dan ke kamar mandi untuk membasuh tubuhku yang sudah tidak suci lagi.

Sepanjang perjalanan aku menemukan jejak merah Heksa menggenang di lantai marmer berwarna putih. Kita sama-sama berdarah malam ini, bedanya dia terluka di dada, sedangkan aku di pangkal paha.

Sial.

Aku hendak kembali ke ruangangan pesta untuk memastikan keluarga baruku. Tapi belum sampai di ambang pintu, Alzian buka suara, "Ehhmm, arrhhghh, Kha—Khalisa!"

Aku menoleh ke samping ranjang, tempat Alzian tergeletak, dia cuma memegangi kepalanya dan meneruskan kalimatnya, "Ada apa ini? Tadinya aku mau matiin lampu kamar, tiba-tiba seperti ada yang menggigitku di leher, dan...."

"Ada perampok!" potongku, cepat-cepat menuju pintu dan menarik turun gagangnya. "Kalau kamu masih di sana saja, kamu gak bakal tahu apa yang terjadi. Ayo, buruan!"

Aku melangkah cepat dengan menarik gaunku sedikit ke atas. Di ruang tamu, tampak banyak orang menutup hidung dengan menarik kerah bajunya. Ada kepulan gas yang membuatku turut menutup mata, rasanya perih dan aromanya sangat menyengat.

"Ada apa ini?" gumamku dalam hati. Aku terus berlari kecil, berusaha keluar dari rumah ini, karena asapnya semakin membuatku sesak. Untung saja ada seseorang yang menarik tanganku lalu menuntun ke depan, di mana kedua mertuaku dan saudara-saudara lainnya berkumpul.

"Pa, ini ada apa, sih, sebenarnya?" tanyaku, menatap bolak-balik antara pria berpakaian serba hitam dengan senjata Laras panjangnya dan ayah mertuaku yang mencoba menyembunyikan kecemasannya di balik senyum sinis itu.

"Nggak apa-apa, Nduk. Kamu tenang aja, ya, Sayang," sahutnya, berusaha menenangkan.

Aku tertunduk lesu, mencoba mempercayai kalimat itu. Tetapi, semakin aku memutar mata ke sekeliling dan melihat pria-pria kekar bersenjata yang mengelilingi kami, jujur, hanya rasa takut yang tersisa.

Kenapa begitu banyak peristiwa di malam pertamaku?

Sekarang, pertanyaan itu berputar-putar di kepalaku. Entah apa yang telah kuperbuat kepada keluarga Sunya, sampai-sampai aku harus menerima konsekuensinya. Keluarga yang sudah berpuluh-puluh tahun menguasai aset mineral di negara ini, tepatnya emas dan uranium. Begitu, sih yang sering dimuat oleh breaking news.

Tapi apa pun itu, aku bodoh amat. Sekarang pikiranku malah tertuju kepada Heksa, setelah salah seorang pria bersenjata menyodorkan celana dalam putih yang robek, atau lebih tepatnya terputus di bagian ujung segitiganya, "Maaf, Boss. Cuma ini yang bisa kami temukan di dekat jejak darahnya. Mereka sudah melarikan diri."

"Hemm. Coba lihat!" kata Ayah mertuaku sambil memeriksanya dengan ekspresi jijik. "Huftt. Bau! Cawet siapa, sih. Gak pernah di ganti?"

Aku langsung menutup mulutku dengan kedua tangan dan memalingkan pandanganku ke arah rumah. Tapi suara mereka masih bisa kudengar.

"Tolong kamu bawa ke ruanganku. Cek identitasnya dari cairan yang menempel di cawet itu!" lanjut mertuaku dengan nada serius. "Terus, bilangin yang lainnya buat perketat pengawalan di sekitar rumah! Jangan ada yang tidur, okay?"

"Siap, Boss!" Serentak semua pengawal menundukan kepala, lalu membubarkan diri masing-masing.

Sedangkan aku cuma mematung di sini dengan wajah merah muda, mengingat semua kejadian tadi bersama Heksa. Mencoba mencerna teka-teki ini. Bahkan aku sendiri nggak tahu siapa sebenarnya Pak Sahar Sunya yang menjadi mertuaku, ayah dari Alzian.

Apakah dia ketua gangster atau mafia?

Ah, itu nggak mungkin.