"Khalisa, kamu nggak apa-apa, kan?" kejut Alzian, ketika melihatku bersama kedua pengawal yang saat ini menghilang di balik pintu. Matanya tak berhenti memperhatikan bahuku. "Kamu terluka?"
"Oh, ini? Ak—" "Nggak-nggak! Aku panggilkan dokter sekarang, ya? Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa!" Alzian menarik HP dari atas meja dan aku langsung menahannya ketika nada "tuutt" berbunyi. "Mas, aku nggak apa-apa. Cukup, aku mau kita istirahat. Aku capek," gumamku, sambil melewatinya menuju ranjang untuk melemparkan diri di atasnya. Saat hendak menarik selimut, mataku malah tertuju ke sana, ke bokser hitam Alzian yang kini terlihat semakin menonjol. "Tapi kalau kamu mau ambil madunya sekarang, aku siap, mas." Tanpa menunggu aba-aba, Alzian langsung melompat ke atas ranjang mengambil alih kedua tanganku dan membimbingnya menari di sebelah kepala kami. Mata kita saling mengunci satu sama lain. Hening, hanya suara kecupan yang mengisi kehampaan malam ini. Tiba-tiba suara lain muncul dari HP Alzian yang kami genggam, "Halo, Dr. Rennata, di sini. Ada yang tuan butuhkan?" Bibir kami semakin liar menuntun satu sama lain, tapi tak lama kemudian bibir Alzian malah tersesat menelusuri jejak yang pernah di lalui Heksa. Aku jadi teringat kejadian beberapa jam yang lalu di mobil. "Hallo. Ada yang bisa saya bantu?" HP Alzian tak berhenti mengoceh. Sedangkan kedua tangan kami saling menggenggam erat di atas kepala. Mungkin satu-satunya suara yang membalas adalah desahan kami berdua. "Baik. Hubungi kembali bila anda memerlukan konsultasi klinik. Terima kasih." Alzian menarik mundur kepalanya, tangan kami berpisah, begitu pula dengan HPnya yang entah melarikan diri ke mana. "Sayang, kamu yakin sekarang?" "Iya, terserah kam—" belum selesai kubicara, bibirnya kembali menyambung dengan cepat. Secepat tangannya yang menyapu bersih gaun yang kukenakan. "Serius, Khalisa? Kamu pakai GT-Man?" kejut Alzian, setelah membuang gaun pernikahanku ke lantai. Matanya ragu-ragu antara menatap dadaku yang sudah bebas tanpa sehelai benang atau celana dalam Heksa yang berjuang melindungi rahimku. "Ehhm, ta—tapi kamu lebih seksi pakai itu." Alzian menarik turun bokser hitam yang semenjak tadi belum sempat digantinya, bahkan gradasi warna karena basah masih kontras sekali sampai sekarang. Saat dia berhasil membuang celananya ke lantai, ada sesuatu yang mencuat dari bawah perutnya yang boleh dibilang buncit. Untuk pria dengan tinggi badan 165 dan berat 80kg, perut itu memang besar sekali, sampai-sampai aku harus lebih jeli lagi untuk mengintip cuatan belalainya yang kadang bersembunyi di balik pusar. Alzian jelas jauh berbeda dengan Heksa. "Oh, iya, Mas. Aku suka karena bahan kainnya lembut." Semoga saja alasanku cukup masuk akal di kepalanya. Aku langsung merenggangkan kedua kaki sembari menggodanya, "Emmh. Kamu sebenarnya penasaran sama dalemanku atau isinya sih, Mas?" "Dua-duanya!" Dia masih berdiri di sana. Menggigit bibir bawahnya kemudian menundukan badan ke arahku. Matanya mengunci ke celana dalam bercorak army milik Heksa. "Sayang, ayo bukain. Aku sudah gak tahan!" "Tapi janji dulu!" tawarku dengan tegas. Matanya terbelalak sampai-sampai alisnya naik satu senti. "Nggak ada pertanyaan waktu kita main. Dan... Jangan di dalam!" Aku bengong selama beberapa detik, menunggu dia yang lama sekali mencerna kalimatku. Semoga saja dia paham dengan apa yang kumaksud. Karena baru saja aku menampung milik Heksa yang sebesar Monas. Kalau harus lanjut lagi menampung milik Alzian, mungkin itu bakal meningkatkan resiko aku tertular penyakit kelamin. Akhirnya Alzian bersuara, "Okay." Dia menyandarkan janggutnya tepat di atas belahan dadaku, lalu turun ke perut, kemudian jatuh ke ujung kain segitiga milik Heksa, "Janji. Sekarang ayo buka, sayang!" Tanpa sadar tanganku menarik celana dalam milik Heksa yang berjibaku melindungiku dari serangan Alzian. Saat tiba-tiba kain segitiga itu tersangkut di lutut, aku menekuk sebagian kakiku agar dia bisa pergi dengan bebas. Tapi, tiba-tiba saja ada hembusan napas yang begitu hangat menerpa pepohonan rindang di bawah sana. Aku hanya membatin di dalam hati, "Maafkan aku Heksa. Tapi aku harus melakukan ini, melayani suamiku. Andai saja kamu nggak terlambat Heksa." Bulu-bulu di leherku mulai berontak menahan hembusan napas Alzian yang begitu dekat dengan area paling sensitifku. Gairahku sedikit bangkit, dan aku mulai membenci diriku sendiri karena telah membiarkan Heksa kembali muncul di kehidupanku. "Sayang, kamu basah banget!" kejut Alzian, kemudian buru-buru mempersiapkan rudal tempur. Tawa puas tersirat di wajahnya dan bulir-bulir keringat di dahinya mulai terjun. Aku telah siap menahan rudal-rudal itu dengan menarik kedua lutut ke samping. Aku menutup mata dengan kedua tanganku. Berdoa agar dia benar-benar nggak mengeluarkannya di dalam. Meski aku yakin rasanya nggak akan sesakit dengan Heksa, tapi tetap saja ini menakutkan bagiku. Hening. Napasku semakin berat. Belum ada sentuhan yang kurasakan selain rasa hangat dan basah di atas perutku. "Sayang, kamu nggak perlu tutup mata!" desah Alzian di telingaku. Aku menarik jatuh tanganku dan membuka mata. Saat ku belokan kepalaku ke kanan, dia sudah sekarat di sampingku dengan tangan terjuntai ke atas. "Aku nggak semenyeramkan itu, kok. Hoooaaammss!!!" Aku melihat ke bawah, ke arah perut. Gumpalan jelly menggenang di pusarku. Aku menarik napas panjang lalu berteriak, "MAS ALZIAAAAANNN! KAMU KELUAR DULUAN LAGI?!!"Heksa────୨ৎ────જ⁀➴"Jadi, kenapa kamu tetap tinggalin dia di sana, sih, Heksa?" bentak Fenya yang sibuk menggulung perban di bahuku. Dia salah satu Komandan di akademi militer wanita, ya satu-satunya pembimbing yang paling galak sekaligus perhatian menurutku. "Padahal aku sudah nggak sabar mau lihat. Bagaimana, sih rupa wanita yang sudah bikin murid paling kuat di akademi ini jadi letoy.""Uh, sa—sakit," jeritku dengan mata melebar. Fenya pasang senyum jahilnya sambil mecubit bekas luka di bahuku. "Fenyaaaa! Sakit Fenyaaaa. Pleasee!""Nggak mungkin, pasti jauh lebih sakit di sana?" Matanya sempat melirik ke arah tonjolan kecil di celanaku, sebelum berpindah ke dada. "Ups, maksudku di sini," tangannya turun menunjuk ke belahan dadaku, kemudian melanjutkan kata-katanya, "Jadi, sakit banget, ya, Heksa?"Aku mengangguk dan mengeluh,"Dia cinta sama cowok itu, bahkan sekarang sudah jadi suaminya, Fenya. Dan aku nggak bisa apa-apa sekarang selain melepasnya."Fenya mengulurkan lengan dan me
Khalisa─── ⋆⋅☆⋅⋆ ──જ⁀➴Seperti pengantin baru pada umumnya, malam pertama pernikahan adalah malam puncak kebahagiaan. Di mana kami berdua sibuk di atas ranjang berukuran raksasa dengan taburan bunga dan aroma wewangian yang menguar di ruangan.Ratusan amplop menggunung dari bawah lantai dan beberapa kado tersusun di atas meja. Tapi ada satu kotak yang menarik perhatianku ke sana. Sebuah kotak dengan simbol hati, tak sengaja terjatuh dan terbelah. Jam tangan mewah itu menetas, kemudian memantulkan cahaya dari lampu gantung yang sama mewahnya dari atas kepala kami."Mas, itu hadiah dari siapa?" tanyaku, dengan kesepuluh jari yang masih menempel di leher lelaki ini. "Nggak mungkin temanmu belikan barang semahal itu, kan?""Oh, mungkin Om Hendar, Sayang," balasnya sambil melepaskan setelan hitam ala keraton Jawa lengkap beserta blangkonnya yang tadi ia gunakan untuk menyambut tamu. Singkap batik yang membungkus tubuh bagian bawahnya sudah terlepas, hanya menyisakan bokser tipis berwarna
Dia masih tak bergerak. Mungkin sedang berusaha mencerna kata-kataku. Tanpa menunggu respon, akhirnya kata-kata itu keluar dari mulutku, "I love you, my Alzian!""Khal?" gumamnya. Suaranya terdengar berat, tertahan di tenggorokan. "Iya." "Ka—kamu bilang apa?" Raut wajahnya masih mencari-cari jawaban di mataku. Tapi dia nggak akan menemukannya di situ. Dia akan menemukannya di sini. Di bibirku yang mulai basah, "Mas, gak dengar?" desahku, "Atau emang pura-pura nggak dengar?" Dia geleng-geleng kepala. Ekspresinya polos. Sorot matanya sedikit lebih sayu daripada satu jam yang lalu, mungkin dia lelah. Baik. Mungkin dengan cara ini bisa membuatnya bergairah lagi. "Emmmmmmpp," begitu bibir kami menyatu, matanya seperti anak rusa. "Khal," desahnya lagi. Sekarang aku percaya dengan Alzian, suamiku. Karena menurut artikel yang pernah kubaca, lelaki yang belum pernah tersentuh oleh wanita, dia akan ejakulasi lebih cepat dari yang semestinya. Dan ini di luar dugaan, bahkan aku belum mele
Untung saja reflekku secepat kilat, mengayunkan tangan kita ke samping. Tapi tetap saja peluru itu menembus tubuh Heksa. Bahu kanannya, bahu tempat di mana dulu air mataku sering jatuh. Sekarang justru darah yang ada di sana."Heksaaa!!" Air mataku terjun entah ke mana. Aku berlutut, senyum tenang mulai pudar dari wajah datarnya. Dia terbaring, tangannya berpisah dari Revolver itu, tergeletak begitu saja. Lemah, tapi tetap saja tatapan dingin itu mengunci mataku. "Kamu gila, Heksa!""Jadi, kenapa aku masih hidup, Khal?" gumam Heksa, berusaha meraih Revolvernya kembali. "Harusnya tempatku bukan di sini."Tanpa berpikir panjang, aku meraih pipinya dengan kedua tanganku. Seketika bibirku mendarat di bibirnya, rasanya masih sama seperti dulu, tipis, basah, lembut, dan tenang tanpa ada perlawanan.Apa dia selalu begitu?"Khal?" gumamnya sambil menatap langit.Bibir kami berpisah sebelum aku mengatakan, "Iya?""Kamu percaya, kalau perasaanku akan selalu seperti ini?"Aku mengangguk.Aku ras
Entah gerakan apa yang telah kami berdua lakukan, sampai-sampai hanya keringat yang menyelimuti kulit. Tubuh Heksa mulai licin, aroma atletis menguar dari tubuhnya. Kepalaku bersandar di kaca pintu dengan kedua lutut terangkat. Jemari kita masih besatu, menari dalam ruangan sempit ini."Khal?" desah Heksa di dalam bibirku sebelum berpisah. "Jadi, kamu benar-benar mencintai suamimu atau nggak?""Iya, aku mencintainya." Jawabanku membuatnya terkejut.Entah kenapa hentakan Heksa semakin kuat dan cepat. Meski aku setegah mati menahan rasa sakitnya, itu tak membuat Heksa menyerah. Justru membuatnya lebih beringas dan ekspresi wajahnya berubah. Sekarang ada setitik emosi di matanya."Bagus! Jadi aku nggak perlu bingung memutuskan.""Memutuskan untuk apa?""Aku nggak mau menitipkan buah cintaku kepada seseorang yang mencintai orang lain.""Jadi?""Anggap saja kita have-fun malam ini!"Have-fun?"Egois!" jeritku dalam hati.Tega sekali dia bicara seperti itu, setelah aku merelakan semua ini.
Akhirnya aku sampai di kamarnya Alzian. Kamar di mana seharusnya aku berada. Meski ada sedikit penyesalan saat tadi aku memutuskan keluar, setidaknya sekarang aku sudah aman.Dia masih terlelap dengan bokser hitamnya. Memeluk bantal dengan posisi miring membelakangiku. Aku berdiri sejenak di ambang pintu dan berpikir, " Aku marah kalau Alzian pernah melakukannya dengan wanita lain, tapi kenapa justru aku sendiri yang melakukannya dengan Heksa?"Aku menutup pintu, menguncinya agar tak seorang pun bisa masuk ke kamar kami tanpa izin. Tapi saat aku balik badan ke arah springbed, Alzian sudah duduk manis dengan bantal di pangkuannya."Sayang, ronde ke dua, yuk?" pekiknya sambil melempar senyum jahil."Hah, a—apa?" balasku dengan terbata-bata. Aku cepat-cepat menuju kamar mandi, jangan sampai Alzian curiga. "Aku capek, mas, habis ngeladenin tamu-tamunya Mama.""Ayo, lah, aku udah naik lagi, nih!" Suara langkah kaki terdengar di belakangku, semakin dekat, sebelum kedua tangan berhasil mence
Kenapa dia bisa ada di sini?Aku segera merapikan kebayaku, mengamati ke sekeliling dengan sorot flash di HP. Saat kutujukan cahaya itu ke bawah perut, kedua belah pahaku telah berlumuran tinta putih. Dengan lengkah cepat aku menuju ke hadapannya."PLAKKK!!!" Stempel basah dari telapak tanganku menandai pipinya. Air mata tak sabar lagi menunggu turun dari pelupukku. "Heksa! Kamu gila ya! Mana Alzian? Kamu apakan dia, hah?"Senyum nakal yang semula menyempurnakan wajah culasnya, kini berubah dengan kerutan dahi. Matanya membelalak sedangkan bibirnya membentak, "Khalisa! Aku cinta kamu!" Dia bangkit dari sana untuk menyamai posisi wajah kita. "Harusnya kamu nikah sama aku, bukan dia!""Dan harusnya kamu, nggak menghilang begitu saja. Itu sama artinya kamu buang aku, tahu, gak?" Telunjukku menodong keningnya, baru kali ini aku bersikap garang kepada seseorang. Aku benci dia, aku benci semua yang dia lakukan kepadaku malam ini. "Kamu kira aku mau melakukan ini semua, sama kamu?"Heksa han
Aku tahu ini salah, membiarkan masa lalu hadir di tengah-tengah titik balikku. Merelakan Alzian telentang di sana, sedangkan aku harus melawan kepalaku sendiri. Pening. Berat.Dia hilang lagi, setelah ciuman tadi. Meninggalkan kalimatnya yang sampai kini belum bisa kucerna, "Kamu harus hati-hati sama keluarga suami kamu, Khal!"Begitu saja, dan dia langsung kabur entah ke mana. Hanya terdengar decakan sepatu yang menghantam lantai dengan cepat di lorong dan suara tembakan dari luar rumah.Semua yang terjadi malam ini membuatku berteriak, "Heksaaaa! Kenapa aku harus percaya sama kamu? Kamu itu siapa, sih sebenarnya?"Meski ruangan ini sudah kembali bercahaya, tapi tetap saja penglihatanku tentang masalah ini masih gelap. Aku berkeliling di ruangan ini, merapikan barang-barang yang sempat terjatuh dari meja dan ke kamar mandi untuk membasuh tubuhku yang sudah tidak suci lagi.Sepanjang perjalanan aku menemukan jejak merah Heksa menggenang di lantai marmer berwarna putih. Kita sama-sam
Heksa────୨ৎ────જ⁀➴"Jadi, kenapa kamu tetap tinggalin dia di sana, sih, Heksa?" bentak Fenya yang sibuk menggulung perban di bahuku. Dia salah satu Komandan di akademi militer wanita, ya satu-satunya pembimbing yang paling galak sekaligus perhatian menurutku. "Padahal aku sudah nggak sabar mau lihat. Bagaimana, sih rupa wanita yang sudah bikin murid paling kuat di akademi ini jadi letoy.""Uh, sa—sakit," jeritku dengan mata melebar. Fenya pasang senyum jahilnya sambil mecubit bekas luka di bahuku. "Fenyaaaa! Sakit Fenyaaaa. Pleasee!""Nggak mungkin, pasti jauh lebih sakit di sana?" Matanya sempat melirik ke arah tonjolan kecil di celanaku, sebelum berpindah ke dada. "Ups, maksudku di sini," tangannya turun menunjuk ke belahan dadaku, kemudian melanjutkan kata-katanya, "Jadi, sakit banget, ya, Heksa?"Aku mengangguk dan mengeluh,"Dia cinta sama cowok itu, bahkan sekarang sudah jadi suaminya, Fenya. Dan aku nggak bisa apa-apa sekarang selain melepasnya."Fenya mengulurkan lengan dan me
"Khalisa, kamu nggak apa-apa, kan?" kejut Alzian, ketika melihatku bersama kedua pengawal yang saat ini menghilang di balik pintu. Matanya tak berhenti memperhatikan bahuku. "Kamu terluka?" "Oh, ini? Ak—" "Nggak-nggak! Aku panggilkan dokter sekarang, ya? Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa!" Alzian menarik HP dari atas meja dan aku langsung menahannya ketika nada "tuutt" berbunyi. "Mas, aku nggak apa-apa. Cukup, aku mau kita istirahat. Aku capek," gumamku, sambil melewatinya menuju ranjang untuk melemparkan diri di atasnya. Saat hendak menarik selimut, mataku malah tertuju ke sana, ke bokser hitam Alzian yang kini terlihat semakin menonjol. "Tapi kalau kamu mau ambil madunya sekarang, aku siap, mas." Tanpa menunggu aba-aba, Alzian langsung melompat ke atas ranjang mengambil alih kedua tanganku dan membimbingnya menari di sebelah kepala kami. Mata kita saling mengunci satu sama lain. Hening, hanya suara kecupan yang mengisi kehampaan malam ini. Tiba-tiba suara lain muncul dari HP
Aku tahu ini salah, membiarkan masa lalu hadir di tengah-tengah titik balikku. Merelakan Alzian telentang di sana, sedangkan aku harus melawan kepalaku sendiri. Pening. Berat.Dia hilang lagi, setelah ciuman tadi. Meninggalkan kalimatnya yang sampai kini belum bisa kucerna, "Kamu harus hati-hati sama keluarga suami kamu, Khal!"Begitu saja, dan dia langsung kabur entah ke mana. Hanya terdengar decakan sepatu yang menghantam lantai dengan cepat di lorong dan suara tembakan dari luar rumah.Semua yang terjadi malam ini membuatku berteriak, "Heksaaaa! Kenapa aku harus percaya sama kamu? Kamu itu siapa, sih sebenarnya?"Meski ruangan ini sudah kembali bercahaya, tapi tetap saja penglihatanku tentang masalah ini masih gelap. Aku berkeliling di ruangan ini, merapikan barang-barang yang sempat terjatuh dari meja dan ke kamar mandi untuk membasuh tubuhku yang sudah tidak suci lagi.Sepanjang perjalanan aku menemukan jejak merah Heksa menggenang di lantai marmer berwarna putih. Kita sama-sam
Kenapa dia bisa ada di sini?Aku segera merapikan kebayaku, mengamati ke sekeliling dengan sorot flash di HP. Saat kutujukan cahaya itu ke bawah perut, kedua belah pahaku telah berlumuran tinta putih. Dengan lengkah cepat aku menuju ke hadapannya."PLAKKK!!!" Stempel basah dari telapak tanganku menandai pipinya. Air mata tak sabar lagi menunggu turun dari pelupukku. "Heksa! Kamu gila ya! Mana Alzian? Kamu apakan dia, hah?"Senyum nakal yang semula menyempurnakan wajah culasnya, kini berubah dengan kerutan dahi. Matanya membelalak sedangkan bibirnya membentak, "Khalisa! Aku cinta kamu!" Dia bangkit dari sana untuk menyamai posisi wajah kita. "Harusnya kamu nikah sama aku, bukan dia!""Dan harusnya kamu, nggak menghilang begitu saja. Itu sama artinya kamu buang aku, tahu, gak?" Telunjukku menodong keningnya, baru kali ini aku bersikap garang kepada seseorang. Aku benci dia, aku benci semua yang dia lakukan kepadaku malam ini. "Kamu kira aku mau melakukan ini semua, sama kamu?"Heksa han
Akhirnya aku sampai di kamarnya Alzian. Kamar di mana seharusnya aku berada. Meski ada sedikit penyesalan saat tadi aku memutuskan keluar, setidaknya sekarang aku sudah aman.Dia masih terlelap dengan bokser hitamnya. Memeluk bantal dengan posisi miring membelakangiku. Aku berdiri sejenak di ambang pintu dan berpikir, " Aku marah kalau Alzian pernah melakukannya dengan wanita lain, tapi kenapa justru aku sendiri yang melakukannya dengan Heksa?"Aku menutup pintu, menguncinya agar tak seorang pun bisa masuk ke kamar kami tanpa izin. Tapi saat aku balik badan ke arah springbed, Alzian sudah duduk manis dengan bantal di pangkuannya."Sayang, ronde ke dua, yuk?" pekiknya sambil melempar senyum jahil."Hah, a—apa?" balasku dengan terbata-bata. Aku cepat-cepat menuju kamar mandi, jangan sampai Alzian curiga. "Aku capek, mas, habis ngeladenin tamu-tamunya Mama.""Ayo, lah, aku udah naik lagi, nih!" Suara langkah kaki terdengar di belakangku, semakin dekat, sebelum kedua tangan berhasil mence
Entah gerakan apa yang telah kami berdua lakukan, sampai-sampai hanya keringat yang menyelimuti kulit. Tubuh Heksa mulai licin, aroma atletis menguar dari tubuhnya. Kepalaku bersandar di kaca pintu dengan kedua lutut terangkat. Jemari kita masih besatu, menari dalam ruangan sempit ini."Khal?" desah Heksa di dalam bibirku sebelum berpisah. "Jadi, kamu benar-benar mencintai suamimu atau nggak?""Iya, aku mencintainya." Jawabanku membuatnya terkejut.Entah kenapa hentakan Heksa semakin kuat dan cepat. Meski aku setegah mati menahan rasa sakitnya, itu tak membuat Heksa menyerah. Justru membuatnya lebih beringas dan ekspresi wajahnya berubah. Sekarang ada setitik emosi di matanya."Bagus! Jadi aku nggak perlu bingung memutuskan.""Memutuskan untuk apa?""Aku nggak mau menitipkan buah cintaku kepada seseorang yang mencintai orang lain.""Jadi?""Anggap saja kita have-fun malam ini!"Have-fun?"Egois!" jeritku dalam hati.Tega sekali dia bicara seperti itu, setelah aku merelakan semua ini.
Untung saja reflekku secepat kilat, mengayunkan tangan kita ke samping. Tapi tetap saja peluru itu menembus tubuh Heksa. Bahu kanannya, bahu tempat di mana dulu air mataku sering jatuh. Sekarang justru darah yang ada di sana."Heksaaa!!" Air mataku terjun entah ke mana. Aku berlutut, senyum tenang mulai pudar dari wajah datarnya. Dia terbaring, tangannya berpisah dari Revolver itu, tergeletak begitu saja. Lemah, tapi tetap saja tatapan dingin itu mengunci mataku. "Kamu gila, Heksa!""Jadi, kenapa aku masih hidup, Khal?" gumam Heksa, berusaha meraih Revolvernya kembali. "Harusnya tempatku bukan di sini."Tanpa berpikir panjang, aku meraih pipinya dengan kedua tanganku. Seketika bibirku mendarat di bibirnya, rasanya masih sama seperti dulu, tipis, basah, lembut, dan tenang tanpa ada perlawanan.Apa dia selalu begitu?"Khal?" gumamnya sambil menatap langit.Bibir kami berpisah sebelum aku mengatakan, "Iya?""Kamu percaya, kalau perasaanku akan selalu seperti ini?"Aku mengangguk.Aku ras
Dia masih tak bergerak. Mungkin sedang berusaha mencerna kata-kataku. Tanpa menunggu respon, akhirnya kata-kata itu keluar dari mulutku, "I love you, my Alzian!""Khal?" gumamnya. Suaranya terdengar berat, tertahan di tenggorokan. "Iya." "Ka—kamu bilang apa?" Raut wajahnya masih mencari-cari jawaban di mataku. Tapi dia nggak akan menemukannya di situ. Dia akan menemukannya di sini. Di bibirku yang mulai basah, "Mas, gak dengar?" desahku, "Atau emang pura-pura nggak dengar?" Dia geleng-geleng kepala. Ekspresinya polos. Sorot matanya sedikit lebih sayu daripada satu jam yang lalu, mungkin dia lelah. Baik. Mungkin dengan cara ini bisa membuatnya bergairah lagi. "Emmmmmmpp," begitu bibir kami menyatu, matanya seperti anak rusa. "Khal," desahnya lagi. Sekarang aku percaya dengan Alzian, suamiku. Karena menurut artikel yang pernah kubaca, lelaki yang belum pernah tersentuh oleh wanita, dia akan ejakulasi lebih cepat dari yang semestinya. Dan ini di luar dugaan, bahkan aku belum mele
Khalisa─── ⋆⋅☆⋅⋆ ──જ⁀➴Seperti pengantin baru pada umumnya, malam pertama pernikahan adalah malam puncak kebahagiaan. Di mana kami berdua sibuk di atas ranjang berukuran raksasa dengan taburan bunga dan aroma wewangian yang menguar di ruangan.Ratusan amplop menggunung dari bawah lantai dan beberapa kado tersusun di atas meja. Tapi ada satu kotak yang menarik perhatianku ke sana. Sebuah kotak dengan simbol hati, tak sengaja terjatuh dan terbelah. Jam tangan mewah itu menetas, kemudian memantulkan cahaya dari lampu gantung yang sama mewahnya dari atas kepala kami."Mas, itu hadiah dari siapa?" tanyaku, dengan kesepuluh jari yang masih menempel di leher lelaki ini. "Nggak mungkin temanmu belikan barang semahal itu, kan?""Oh, mungkin Om Hendar, Sayang," balasnya sambil melepaskan setelan hitam ala keraton Jawa lengkap beserta blangkonnya yang tadi ia gunakan untuk menyambut tamu. Singkap batik yang membungkus tubuh bagian bawahnya sudah terlepas, hanya menyisakan bokser tipis berwarna