Khalisa
─── ⋆⋅☆⋅⋆ ──જ⁀➴ Seperti pengantin baru pada umumnya, malam pertama pernikahan adalah malam puncak kebahagiaan. Di mana kami berdua sibuk di atas ranjang berukuran raksasa dengan taburan bunga dan aroma wewangian yang menguar di ruangan. Ratusan amplop menggunung dari bawah lantai dan beberapa kado tersusun di atas meja. Tapi ada satu kotak yang menarik perhatianku ke sana. Sebuah kotak dengan simbol hati, tak sengaja terjatuh dan terbelah. Jam tangan mewah itu menetas, kemudian memantulkan cahaya dari lampu gantung yang sama mewahnya dari atas kepala kami. "Mas, itu hadiah dari siapa?" tanyaku, dengan kesepuluh jari yang masih menempel di leher lelaki ini. "Nggak mungkin temanmu belikan barang semahal itu, kan?" "Oh, mungkin Om Hendar, Sayang," balasnya sambil melepaskan setelan hitam ala keraton Jawa lengkap beserta blangkonnya yang tadi ia gunakan untuk menyambut tamu. Singkap batik yang membungkus tubuh bagian bawahnya sudah terlepas, hanya menyisakan bokser tipis berwarna hitam doff. "Memangnya, kenapa?" "Enggak, cu—cuma, ummmmmhh," gumamku, namun tiba-tiba dibungkam oleh bibir tipis yang lembut. Masamnya cherry masih bisa kurasakan melalui sentuhannya. "Mas, kamu mau sekarang?" "Iya, dong, Sayang. Kan, ini malam pertama kita," bisiknya sambil membuka kancing kebaya putihku yang bermotif bunga. "Kalau enggak sekarang, terus, kapan lagi?" "Tapi, aku belum siap, loh, Mas." Bibirku sedikit mengerucut. Namun raut wajahku melunak saat telapak tangannya yang selembut beludru itu menyentuh pipi kemudian turun menarik bibirku ke samping. "Sayang, nggak apa-apa, kok. Sakitnya itu cuma di awal, waktu tusukan pertama aja, percaya, deh!" ucapnya menenangkanku. Tapi bukannya tenang, aku justru memikirkan hal yang tidak-tidak. "Kok kamu bisa tahu, sih, Mas? Kamu pernah ngelakuin ini sama siapa sebelum sama aku? Hah?" Dorongan keras dari kedua tanganku mendarat di dadanya, membuat dia sedikit roboh. Tapi, sesaat kemudian dia langsung mendekapku dengan raut wajah yang sulit kupahami. "Enggak ada satu pun, kamu yang pertama, Khalisa." "Halah. Bohong!" pekikku, berusaha melepaskan dekapannya. "Lepas, atau aku bakal teriak?" "I—iya." Begitu aku terbebas, kurapikan kebaya dan jilbabku. Akan jauh lebih baik kalau aku berada di depan, bersama saudara-saudara untuk menemani para tamu undangan. Mengingat sekarang masih jam delapan malam. Pasti masih ada saja tamu yang datang, apalagi sekarang malam minggu. Aku berdiri meninggalkannya, tapi sebelum tanganku berhasil menyentuh gagang pintu, "Khalisa!" Suara itu membuatku berhenti dan berkata, "Lebih baik kita nggak usah ngomong, sampai kamu benar-benar bisa membuktikannya, Mas!" "Khal—" "Sssttttt," potongku, sambil menggelengkan kepala. Aku sudah nggak peduli lagi, mungkin baginya ini hanya masalah sepele. Tapi menurutku ini masalah serius. Karena kebanyakan lelaki di dunia ini menginginkan pasangan yang masih belum tersentuh, masih perawan, dan mereka ingin jadi orang pertama yang mendapatkan sentuhan itu. Tapi kenapa semua itu nggak boleh berlaku untuk sebagian besar wanita, untukku? Aku mengabaikannya. Saat kugapai gagang pintu dan menariknya ke bawah, tiba-tiba sebuah jari sudah mendarat di atas bahuku, "Khalisaa?" "Hiiiihhhh," ketusku sambil menepis tangannya ke arah samping. "Kebayamu," ucapnya, ada sedikit getaran dalam suaranya. "Benerin dulu kebayamu kalau mau keluar." Aku berbalik, mata kami saling bertemu, ada genangan di pelupuk matanya. "Maksud kamu?" tanyaku. Dia menunjuk ke arah dadaku. Benar saja, akibat pergulatan kecil tadi, bra yang kukenakan jadi kendur dan melorot ke dalam, sehingga bulatan cokelat muda terlihat jelas menyembul dari dalam kebaya putih bermotif bunga yang sedikit transparan. "Oh, maaf," timpalku, sembari merapikannya. Saat aku kembali melihat lelaki ini, air matanya mulai jatuh, turun melintasi leher, dada, kemudian memudar di atas perutnya yang rata. Ada yang aneh saat aku memperhatikan bokser hitamnya. Ada tonjolan yang begitu jelas dan cairan warna putih tulang yang menyembur dari serat-serat kain. Jujur, aku masih tak paham, apakah itu air mata yang sempat menghilang tadi, atau ada air lain yang belum aku pahami. Aku mengangkat alis, "Mas Alzian? Ka—kamu?" Sebelum Alzian terkapar dengan sempurna di antara tumpukan amplop kondangan, aku menangkap lengannya. "Mas, kenapa? Kamu sakit?" Wajahnya pucat. Tangannya mencengkeram bokser dengan ekspresi yang sulit kujelaskan. Dia tergeletak sambil menatap lampu gantung. "Enggak, aku enggak apa-apa," gumamnya, tapi sorot matanya tidak sejalan dengan kata-kata itu. Jelas itu membuat keningku berkerut dan berkata, "Wajahmu pucat, loh, Mas." Dia hanya diam. Matanya bergetar, seolah sedang menimbang sesuatu. Lalu, dengan gerakan yang jelas dipaksakan, dia bangkit, berdiri dan mengangkat bahunya tinggi-tinggi. "Aku kuat, kok. Tuh, lihat, kan!" Aku masih berlutut di depannya, menatapnya dengan penuh tanya. Tapi saat itu juga, aroma aneh menyelinap ke hidungku. Seketika aku refleks menutup hidung. Mataku terbelalak melihat ke arah tonjolan di boksernya yang basah dan terlihat menjijikan. "Mas..." pekikku menggigit bibir, menahan tawa yang mendadak muncul. "Kamu udah keluar secepat ini?" Ekspresi Alzian langsung berubah. Seolah aku baru saja menusukkan belati di dadanya. Matanya berkedip beberapa kali, napasnya tercekat, dan bibirnya sedikit terbuka, berusaha mencari kata-kata yang tak kunjung juga keluar. Sampai akhirnya, yang keluar dari mulutnya hanyalah satu kata yang penuh kepasrahan, "Maaf." Aku mengangkat alis, "Maaf?" Nadaku naik satu oktaf. "Kamu bilang maaf? Iya?" Aku pun bangkit, mata kita sejajar. Bibirnya tampak gemetar saat mataku mengunci pandang padannya. "Aku sumpah, aku nggak tah—" "Sssstttt." Cepat-cepat jari telunjukku memotong bibirnya. Matanya membulat, seluruh tubuhnya tegang. Aku bisa melihat ketakutannya di sana. Mataku mengunci pandangannya selama beberapa detik, mencoba memahami apa yang ada di pikirannya. Dia pasti takut, dia pikir aku bakal marah, kecewa, atau bahkan mengggugat cerai hanya karena hal ini. Bodoh. Aku mendekat, membuat napasnya semakin tersenggal. "Mas..." bisikku lembut, menahan tawa yang hampir tak sengaja keluar. "Aku nggak marah." Dia tampak semakin bingung dan aku menatapnya dengan lembut. "Kita baru menikah sembilan jam yang lalu, Mas. Kamu pikir aku bakal langsung pergi cuma karena hal kayak gini?" Dia masih diam, seolah tak percaya dengan apa yang dia dengar. Aku tersenyum, lalu mendekatkan bibirku ke telinganya, "Kalau kamu masih punya tenaga," bisikku pelan, "kenapa nggak dicoba lagi?" Kali ini wajahnya menjadi jauh lebih pucat.Dia masih tak bergerak. Mungkin sedang berusaha mencerna kata-kataku. Tanpa menunggu respon, akhirnya kata-kata itu keluar dari mulutku, "I love you, my Alzian!""Khal?" gumamnya. Suaranya terdengar berat, tertahan di tenggorokan. "Iya." "Ka—kamu bilang apa?" Raut wajahnya masih mencari-cari jawaban di mataku. Tapi dia nggak akan menemukannya di situ. Dia akan menemukannya di sini. Di bibirku yang mulai basah, "Mas, gak dengar?" desahku, "Atau emang pura-pura nggak dengar?" Dia geleng-geleng kepala. Ekspresinya polos. Sorot matanya sedikit lebih sayu daripada satu jam yang lalu, mungkin dia lelah. Baik. Mungkin dengan cara ini bisa membuatnya bergairah lagi. "Emmmmmmpp," begitu bibir kami menyatu, matanya seperti anak rusa. "Khal," desahnya lagi. Sekarang aku percaya dengan Alzian, suamiku. Karena menurut artikel yang pernah kubaca, lelaki yang belum pernah tersentuh oleh wanita, dia akan ejakulasi lebih cepat dari yang semestinya. Dan ini di luar dugaan, bahkan aku belum mele
Untung saja reflekku secepat kilat, mengayunkan tangan kita ke samping. Tapi tetap saja peluru itu menembus tubuh Heksa. Bahu kanannya, bahu tempat di mana dulu air mataku sering jatuh. Sekarang justru darah yang ada di sana."Heksaaa!!" Air mataku terjun entah ke mana. Aku berlutut, senyum tenang mulai pudar dari wajah datarnya. Dia terbaring, tangannya berpisah dari Revolver itu, tergeletak begitu saja. Lemah, tapi tetap saja tatapan dingin itu mengunci mataku. "Kamu gila, Heksa!""Jadi, kenapa aku masih hidup, Khal?" gumam Heksa, berusaha meraih Revolvernya kembali. "Harusnya tempatku bukan di sini."Tanpa berpikir panjang, aku meraih pipinya dengan kedua tanganku. Seketika bibirku mendarat di bibirnya, rasanya masih sama seperti dulu, tipis, basah, lembut, dan tenang tanpa ada perlawanan.Apa dia selalu begitu?"Khal?" gumamnya sambil menatap langit.Bibir kami berpisah sebelum aku mengatakan, "Iya?""Kamu percaya, kalau perasaanku akan selalu seperti ini?"Aku mengangguk.Aku ras
Entah gerakan apa yang telah kami berdua lakukan, sampai-sampai hanya keringat yang menyelimuti kulit. Tubuh Heksa mulai licin, aroma atletis menguar dari tubuhnya. Kepalaku bersandar di kaca pintu dengan kedua lutut terangkat. Jemari kita masih besatu, menari dalam ruangan sempit ini."Khal?" desah Heksa di dalam bibirku sebelum berpisah. "Jadi, kamu benar-benar mencintai suamimu atau nggak?""Iya, aku mencintainya." Jawabanku membuatnya terkejut.Entah kenapa hentakan Heksa semakin kuat dan cepat. Meski aku setegah mati menahan rasa sakitnya, itu tak membuat Heksa menyerah. Justru membuatnya lebih beringas dan ekspresi wajahnya berubah. Sekarang ada setitik emosi di matanya."Bagus! Jadi aku nggak perlu bingung memutuskan.""Memutuskan untuk apa?""Aku nggak mau menitipkan buah cintaku kepada seseorang yang mencintai orang lain.""Jadi?""Anggap saja kita have-fun malam ini!"Have-fun?"Egois!" jeritku dalam hati.Tega sekali dia bicara seperti itu, setelah aku merelakan semua ini.
Akhirnya aku sampai di kamarnya Alzian. Kamar di mana seharusnya aku berada. Meski ada sedikit penyesalan saat tadi aku memutuskan keluar, setidaknya sekarang aku sudah aman.Dia masih terlelap dengan bokser hitamnya. Memeluk bantal dengan posisi miring membelakangiku. Aku berdiri sejenak di ambang pintu dan berpikir, " Aku marah kalau Alzian pernah melakukannya dengan wanita lain, tapi kenapa justru aku sendiri yang melakukannya dengan Heksa?"Aku menutup pintu, menguncinya agar tak seorang pun bisa masuk ke kamar kami tanpa izin. Tapi saat aku balik badan ke arah springbed, Alzian sudah duduk manis dengan bantal di pangkuannya."Sayang, ronde ke dua, yuk?" pekiknya sambil melempar senyum jahil."Hah, a—apa?" balasku dengan terbata-bata. Aku cepat-cepat menuju kamar mandi, jangan sampai Alzian curiga. "Aku capek, mas, habis ngeladenin tamu-tamunya Mama.""Ayo, lah, aku udah naik lagi, nih!" Suara langkah kaki terdengar di belakangku, semakin dekat, sebelum kedua tangan berhasil mence
Kenapa dia bisa ada di sini?Aku segera merapikan kebayaku, mengamati ke sekeliling dengan sorot flash di HP. Saat kutujukan cahaya itu ke bawah perut, kedua belah pahaku telah berlumuran tinta putih. Dengan lengkah cepat aku menuju ke hadapannya."PLAKKK!!!" Stempel basah dari telapak tanganku menandai pipinya. Air mata tak sabar lagi menunggu turun dari pelupukku. "Heksa! Kamu gila ya! Mana Alzian? Kamu apakan dia, hah?"Senyum nakal yang semula menyempurnakan wajah culasnya, kini berubah dengan kerutan dahi. Matanya membelalak sedangkan bibirnya membentak, "Khalisa! Aku cinta kamu!" Dia bangkit dari sana untuk menyamai posisi wajah kita. "Harusnya kamu nikah sama aku, bukan dia!""Dan harusnya kamu, nggak menghilang begitu saja. Itu sama artinya kamu buang aku, tahu, gak?" Telunjukku menodong keningnya, baru kali ini aku bersikap garang kepada seseorang. Aku benci dia, aku benci semua yang dia lakukan kepadaku malam ini. "Kamu kira aku mau melakukan ini semua, sama kamu?"Heksa han
Aku tahu ini salah, membiarkan masa lalu hadir di tengah-tengah titik balikku. Merelakan Alzian telentang di sana, sedangkan aku harus melawan kepalaku sendiri. Pening. Berat.Dia hilang lagi, setelah ciuman tadi. Meninggalkan kalimatnya yang sampai kini belum bisa kucerna, "Kamu harus hati-hati sama keluarga suami kamu, Khal!"Begitu saja, dan dia langsung kabur entah ke mana. Hanya terdengar decakan sepatu yang menghantam lantai dengan cepat di lorong dan suara tembakan dari luar rumah.Semua yang terjadi malam ini membuatku berteriak, "Heksaaaa! Kenapa aku harus percaya sama kamu? Kamu itu siapa, sih sebenarnya?"Meski ruangan ini sudah kembali bercahaya, tapi tetap saja penglihatanku tentang masalah ini masih gelap. Aku berkeliling di ruangan ini, merapikan barang-barang yang sempat terjatuh dari meja dan ke kamar mandi untuk membasuh tubuhku yang sudah tidak suci lagi.Sepanjang perjalanan aku menemukan jejak merah Heksa menggenang di lantai marmer berwarna putih. Kita sama-sam
"Khalisa, kamu nggak apa-apa, kan?" kejut Alzian, ketika melihatku bersama kedua pengawal yang saat ini menghilang di balik pintu. Matanya tak berhenti memperhatikan bahuku. "Kamu terluka?" "Oh, ini? Ak—" "Nggak-nggak! Aku panggilkan dokter sekarang, ya? Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa!" Alzian menarik HP dari atas meja dan aku langsung menahannya ketika nada "tuutt" berbunyi. "Mas, aku nggak apa-apa. Cukup, aku mau kita istirahat. Aku capek," gumamku, sambil melewatinya menuju ranjang untuk melemparkan diri di atasnya. Saat hendak menarik selimut, mataku malah tertuju ke sana, ke bokser hitam Alzian yang kini terlihat semakin menonjol. "Tapi kalau kamu mau ambil madunya sekarang, aku siap, mas." Tanpa menunggu aba-aba, Alzian langsung melompat ke atas ranjang mengambil alih kedua tanganku dan membimbingnya menari di sebelah kepala kami. Mata kita saling mengunci satu sama lain. Hening, hanya suara kecupan yang mengisi kehampaan malam ini. Tiba-tiba suara lain muncul dari HP
Heksa────୨ৎ────જ⁀➴"Jadi, kenapa kamu tetap tinggalin dia di sana, sih, Heksa?" bentak Fenya yang sibuk menggulung perban di bahuku. Dia salah satu Komandan di akademi militer wanita, ya satu-satunya pembimbing yang paling galak sekaligus perhatian menurutku. "Padahal aku sudah nggak sabar mau lihat. Bagaimana, sih rupa wanita yang sudah bikin murid paling kuat di akademi ini jadi letoy.""Uh, sa—sakit," jeritku dengan mata melebar. Fenya pasang senyum jahilnya sambil mecubit bekas luka di bahuku. "Fenyaaaa! Sakit Fenyaaaa. Pleasee!""Nggak mungkin, pasti jauh lebih sakit di sana?" Matanya sempat melirik ke arah tonjolan kecil di celanaku, sebelum berpindah ke dada. "Ups, maksudku di sini," tangannya turun menunjuk ke belahan dadaku, kemudian melanjutkan kata-katanya, "Jadi, sakit banget, ya, Heksa?"Aku mengangguk dan mengeluh,"Dia cinta sama cowok itu, bahkan sekarang sudah jadi suaminya, Fenya. Dan aku nggak bisa apa-apa sekarang selain melepasnya."Fenya mengulurkan lengan dan me
Heksa────୨ৎ────જ⁀➴"Jadi, kenapa kamu tetap tinggalin dia di sana, sih, Heksa?" bentak Fenya yang sibuk menggulung perban di bahuku. Dia salah satu Komandan di akademi militer wanita, ya satu-satunya pembimbing yang paling galak sekaligus perhatian menurutku. "Padahal aku sudah nggak sabar mau lihat. Bagaimana, sih rupa wanita yang sudah bikin murid paling kuat di akademi ini jadi letoy.""Uh, sa—sakit," jeritku dengan mata melebar. Fenya pasang senyum jahilnya sambil mecubit bekas luka di bahuku. "Fenyaaaa! Sakit Fenyaaaa. Pleasee!""Nggak mungkin, pasti jauh lebih sakit di sana?" Matanya sempat melirik ke arah tonjolan kecil di celanaku, sebelum berpindah ke dada. "Ups, maksudku di sini," tangannya turun menunjuk ke belahan dadaku, kemudian melanjutkan kata-katanya, "Jadi, sakit banget, ya, Heksa?"Aku mengangguk dan mengeluh,"Dia cinta sama cowok itu, bahkan sekarang sudah jadi suaminya, Fenya. Dan aku nggak bisa apa-apa sekarang selain melepasnya."Fenya mengulurkan lengan dan me
"Khalisa, kamu nggak apa-apa, kan?" kejut Alzian, ketika melihatku bersama kedua pengawal yang saat ini menghilang di balik pintu. Matanya tak berhenti memperhatikan bahuku. "Kamu terluka?" "Oh, ini? Ak—" "Nggak-nggak! Aku panggilkan dokter sekarang, ya? Aku nggak mau kamu kenapa-kenapa!" Alzian menarik HP dari atas meja dan aku langsung menahannya ketika nada "tuutt" berbunyi. "Mas, aku nggak apa-apa. Cukup, aku mau kita istirahat. Aku capek," gumamku, sambil melewatinya menuju ranjang untuk melemparkan diri di atasnya. Saat hendak menarik selimut, mataku malah tertuju ke sana, ke bokser hitam Alzian yang kini terlihat semakin menonjol. "Tapi kalau kamu mau ambil madunya sekarang, aku siap, mas." Tanpa menunggu aba-aba, Alzian langsung melompat ke atas ranjang mengambil alih kedua tanganku dan membimbingnya menari di sebelah kepala kami. Mata kita saling mengunci satu sama lain. Hening, hanya suara kecupan yang mengisi kehampaan malam ini. Tiba-tiba suara lain muncul dari HP
Aku tahu ini salah, membiarkan masa lalu hadir di tengah-tengah titik balikku. Merelakan Alzian telentang di sana, sedangkan aku harus melawan kepalaku sendiri. Pening. Berat.Dia hilang lagi, setelah ciuman tadi. Meninggalkan kalimatnya yang sampai kini belum bisa kucerna, "Kamu harus hati-hati sama keluarga suami kamu, Khal!"Begitu saja, dan dia langsung kabur entah ke mana. Hanya terdengar decakan sepatu yang menghantam lantai dengan cepat di lorong dan suara tembakan dari luar rumah.Semua yang terjadi malam ini membuatku berteriak, "Heksaaaa! Kenapa aku harus percaya sama kamu? Kamu itu siapa, sih sebenarnya?"Meski ruangan ini sudah kembali bercahaya, tapi tetap saja penglihatanku tentang masalah ini masih gelap. Aku berkeliling di ruangan ini, merapikan barang-barang yang sempat terjatuh dari meja dan ke kamar mandi untuk membasuh tubuhku yang sudah tidak suci lagi.Sepanjang perjalanan aku menemukan jejak merah Heksa menggenang di lantai marmer berwarna putih. Kita sama-sam
Kenapa dia bisa ada di sini?Aku segera merapikan kebayaku, mengamati ke sekeliling dengan sorot flash di HP. Saat kutujukan cahaya itu ke bawah perut, kedua belah pahaku telah berlumuran tinta putih. Dengan lengkah cepat aku menuju ke hadapannya."PLAKKK!!!" Stempel basah dari telapak tanganku menandai pipinya. Air mata tak sabar lagi menunggu turun dari pelupukku. "Heksa! Kamu gila ya! Mana Alzian? Kamu apakan dia, hah?"Senyum nakal yang semula menyempurnakan wajah culasnya, kini berubah dengan kerutan dahi. Matanya membelalak sedangkan bibirnya membentak, "Khalisa! Aku cinta kamu!" Dia bangkit dari sana untuk menyamai posisi wajah kita. "Harusnya kamu nikah sama aku, bukan dia!""Dan harusnya kamu, nggak menghilang begitu saja. Itu sama artinya kamu buang aku, tahu, gak?" Telunjukku menodong keningnya, baru kali ini aku bersikap garang kepada seseorang. Aku benci dia, aku benci semua yang dia lakukan kepadaku malam ini. "Kamu kira aku mau melakukan ini semua, sama kamu?"Heksa han
Akhirnya aku sampai di kamarnya Alzian. Kamar di mana seharusnya aku berada. Meski ada sedikit penyesalan saat tadi aku memutuskan keluar, setidaknya sekarang aku sudah aman.Dia masih terlelap dengan bokser hitamnya. Memeluk bantal dengan posisi miring membelakangiku. Aku berdiri sejenak di ambang pintu dan berpikir, " Aku marah kalau Alzian pernah melakukannya dengan wanita lain, tapi kenapa justru aku sendiri yang melakukannya dengan Heksa?"Aku menutup pintu, menguncinya agar tak seorang pun bisa masuk ke kamar kami tanpa izin. Tapi saat aku balik badan ke arah springbed, Alzian sudah duduk manis dengan bantal di pangkuannya."Sayang, ronde ke dua, yuk?" pekiknya sambil melempar senyum jahil."Hah, a—apa?" balasku dengan terbata-bata. Aku cepat-cepat menuju kamar mandi, jangan sampai Alzian curiga. "Aku capek, mas, habis ngeladenin tamu-tamunya Mama.""Ayo, lah, aku udah naik lagi, nih!" Suara langkah kaki terdengar di belakangku, semakin dekat, sebelum kedua tangan berhasil mence
Entah gerakan apa yang telah kami berdua lakukan, sampai-sampai hanya keringat yang menyelimuti kulit. Tubuh Heksa mulai licin, aroma atletis menguar dari tubuhnya. Kepalaku bersandar di kaca pintu dengan kedua lutut terangkat. Jemari kita masih besatu, menari dalam ruangan sempit ini."Khal?" desah Heksa di dalam bibirku sebelum berpisah. "Jadi, kamu benar-benar mencintai suamimu atau nggak?""Iya, aku mencintainya." Jawabanku membuatnya terkejut.Entah kenapa hentakan Heksa semakin kuat dan cepat. Meski aku setegah mati menahan rasa sakitnya, itu tak membuat Heksa menyerah. Justru membuatnya lebih beringas dan ekspresi wajahnya berubah. Sekarang ada setitik emosi di matanya."Bagus! Jadi aku nggak perlu bingung memutuskan.""Memutuskan untuk apa?""Aku nggak mau menitipkan buah cintaku kepada seseorang yang mencintai orang lain.""Jadi?""Anggap saja kita have-fun malam ini!"Have-fun?"Egois!" jeritku dalam hati.Tega sekali dia bicara seperti itu, setelah aku merelakan semua ini.
Untung saja reflekku secepat kilat, mengayunkan tangan kita ke samping. Tapi tetap saja peluru itu menembus tubuh Heksa. Bahu kanannya, bahu tempat di mana dulu air mataku sering jatuh. Sekarang justru darah yang ada di sana."Heksaaa!!" Air mataku terjun entah ke mana. Aku berlutut, senyum tenang mulai pudar dari wajah datarnya. Dia terbaring, tangannya berpisah dari Revolver itu, tergeletak begitu saja. Lemah, tapi tetap saja tatapan dingin itu mengunci mataku. "Kamu gila, Heksa!""Jadi, kenapa aku masih hidup, Khal?" gumam Heksa, berusaha meraih Revolvernya kembali. "Harusnya tempatku bukan di sini."Tanpa berpikir panjang, aku meraih pipinya dengan kedua tanganku. Seketika bibirku mendarat di bibirnya, rasanya masih sama seperti dulu, tipis, basah, lembut, dan tenang tanpa ada perlawanan.Apa dia selalu begitu?"Khal?" gumamnya sambil menatap langit.Bibir kami berpisah sebelum aku mengatakan, "Iya?""Kamu percaya, kalau perasaanku akan selalu seperti ini?"Aku mengangguk.Aku ras
Dia masih tak bergerak. Mungkin sedang berusaha mencerna kata-kataku. Tanpa menunggu respon, akhirnya kata-kata itu keluar dari mulutku, "I love you, my Alzian!""Khal?" gumamnya. Suaranya terdengar berat, tertahan di tenggorokan. "Iya." "Ka—kamu bilang apa?" Raut wajahnya masih mencari-cari jawaban di mataku. Tapi dia nggak akan menemukannya di situ. Dia akan menemukannya di sini. Di bibirku yang mulai basah, "Mas, gak dengar?" desahku, "Atau emang pura-pura nggak dengar?" Dia geleng-geleng kepala. Ekspresinya polos. Sorot matanya sedikit lebih sayu daripada satu jam yang lalu, mungkin dia lelah. Baik. Mungkin dengan cara ini bisa membuatnya bergairah lagi. "Emmmmmmpp," begitu bibir kami menyatu, matanya seperti anak rusa. "Khal," desahnya lagi. Sekarang aku percaya dengan Alzian, suamiku. Karena menurut artikel yang pernah kubaca, lelaki yang belum pernah tersentuh oleh wanita, dia akan ejakulasi lebih cepat dari yang semestinya. Dan ini di luar dugaan, bahkan aku belum mele
Khalisa─── ⋆⋅☆⋅⋆ ──જ⁀➴Seperti pengantin baru pada umumnya, malam pertama pernikahan adalah malam puncak kebahagiaan. Di mana kami berdua sibuk di atas ranjang berukuran raksasa dengan taburan bunga dan aroma wewangian yang menguar di ruangan.Ratusan amplop menggunung dari bawah lantai dan beberapa kado tersusun di atas meja. Tapi ada satu kotak yang menarik perhatianku ke sana. Sebuah kotak dengan simbol hati, tak sengaja terjatuh dan terbelah. Jam tangan mewah itu menetas, kemudian memantulkan cahaya dari lampu gantung yang sama mewahnya dari atas kepala kami."Mas, itu hadiah dari siapa?" tanyaku, dengan kesepuluh jari yang masih menempel di leher lelaki ini. "Nggak mungkin temanmu belikan barang semahal itu, kan?""Oh, mungkin Om Hendar, Sayang," balasnya sambil melepaskan setelan hitam ala keraton Jawa lengkap beserta blangkonnya yang tadi ia gunakan untuk menyambut tamu. Singkap batik yang membungkus tubuh bagian bawahnya sudah terlepas, hanya menyisakan bokser tipis berwarna