Gelapnya Malam

Akhirnya aku sampai di kamarnya Alzian. Kamar di mana seharusnya aku berada. Meski ada sedikit penyesalan saat tadi aku memutuskan keluar, setidaknya sekarang aku sudah aman.

Dia masih terlelap dengan bokser hitamnya. Memeluk bantal dengan posisi miring membelakangiku. Aku berdiri sejenak di ambang pintu dan berpikir, " Aku marah kalau Alzian pernah melakukannya dengan wanita lain, tapi kenapa justru aku sendiri yang melakukannya dengan Heksa?"

Aku menutup pintu, menguncinya agar tak seorang pun bisa masuk ke kamar kami tanpa izin. Tapi saat aku balik badan ke arah springbed, Alzian sudah duduk manis dengan bantal di pangkuannya.

"Sayang, ronde ke dua, yuk?" pekiknya sambil melempar senyum jahil.

"Hah, a—apa?" balasku dengan terbata-bata. Aku cepat-cepat menuju kamar mandi, jangan sampai Alzian curiga. "Aku capek, mas, habis ngeladenin tamu-tamunya Mama."

"Ayo, lah, aku udah naik lagi, nih!" Suara langkah kaki terdengar di belakangku, semakin dekat, sebelum kedua tangan berhasil mencegahku masuk ke kamar mandi. Alzian memelukku sambil berkata, "Atau kamu mau melakukannya di kamar mandi? Golden shower?"

Aku menangkis pelukannya dan segera kabur ke dalam kamar mandi sambil mengunci pintunya cepat-cepat.

"Khalisa!" teriak Alzian sembari mengetok pintu. "Buka, kita mandi bareng aja! Kita suami-istri, kan?"

Terus, bagaimana dengan semua ini?

Kalau Alzian sampai tahu aku masih berdarah-darah, dia pasti curiga. Apalagi celana dalam yang kupakai saat ini, jenis celana dalam yang khusus dibuat untuk kaum lelaki. Dia pun juga tahu jadwal haidku, karena aku sering marah-marah kepadanya di saat sedang datang bulan. Darah ini benar-benar membuatku bingung sekarang.

Aku menepuk kepalaku sendiri, "Bodoh, bodoh, bodoh, kamu Khalisa! Ayo, sekarang pikirkan cara biar dia nggak curiga!"

"Khalisa! Kamu mau bukain atau aku buka sendiri? Kamu lupa ya, ini kamarku."

Benar juga, Alzian pasti punya kunci cadangan untuk membuka pintu ini. Aku harus cepat, jadi aku hanya memejamkan mata dan ambil napas dalam-dalam. Akhirnya, satu ide muncul di kepala dan langsung kulontarkan, "Tapi, mas... bisa, nggak kalau kita mainnya sambil, gelap-gelapan?"

Hening.

Tiga puluh detik berlalu tanpa suara. Aku yakin Alzian mulai curiga. Pikiranku mulai kalang kabut. Apa yang harus kulakukan sekarang?

"Mas, Alzian?" panggilku, memastikan dia baik-baik saja. Tapi tetap saja tak ada suara dari balik pintu. "Kamu, nggak apa-apa, kan, Mas?"

Akhirnya aku membuka pintu dan keluar dari kamar mandi. Aku tak bisa melihat apa-apa. Gelap, semua lampu di ruangan padam, termasuk lampu kamar mandi yang baru saja kutempati.

Aku berjalan entah ke mana, tanganku meraba-raba sekitar sambil menerjang sesuatu di depan. Sepertinya ada beberapa benda yang jatuh. Sekarang, seseorang sedang memelukku dari belakang. Aku yakin itu pasti Alzian.

"Mas, kamu bikin aku takut!" bisikku. Aku bisa merasakan tangannya yang sedang berusaha menurunkan celana dalamku sampai ke pergelangan kaki. "Jadi kamu mau main sambil gelap-gelapan?"

Aku lega, akhirnya dia menyetujui permintaanku. Karena akan sangat berbahaya jika sampai aku ketahuan. Apalagi kalau dia tahu mantanku menumpahkan benih cintanya di dalam.

Dia hanya mengendus telingaku, memberikan kode setuju, sebelum akhirnya melumatnya dengan lembut.

"Oke, sekarang kamu boleh lakuin apa pun yang kamu mau, Mas Alzian!" ucapku, hampir mendesah.

Ujung gaun belakangku tiba-tiba tersingkap sampai ke punggung. Aku bisa mendengar napasnya yang cepat dan tak beraturan. Bibirnya mengerang, dan mendesah semakin liar saat sesuatu yang begitu keras memasuki rahimku. Dan akhirnya aku pun menjerit kesakitan, "Oooh, mas, Alzian! Perih!"

Dia memelukku erat dari belakang, kemudian melucuti kancing-kancing gaunku dengan perlahan. Tangannya mulai menjamah seluruh dadaku, menarik paksa bra yang kukenakan. Suaranya membuatku semakin bergairah, "Oohhh."

Aku tak percaya, Alzian bisa bertahan selama ini. Apa mungkin karena gelap, jadi dia tak bisa melihat tubuhku sepenuhnya. Tapi ini lebih baik daripada tadi, belum sempat apa-apa sudah keluar.

"Mas, aku mau anak cewek!" gumamku, mencoba menggodanya agar dia cepat menyelesaikan ini.

"Hummm?" desahnya.

Gerakannya semakin cepat, tangan kirinya melekat pada bulatan kecil di dadaku, sedang yang satunya lagi sedang leluasa memilin ujung liang yang dia senggamai.

Aku mengejang hebat, antara sakit dan geli. Bahkan aku tak kuat untuk sekedar membuka mata. Ini benar-benar sosok Alzian yang kumau. Aku semakin cinta dengannya dan aku sungguh menyesal telah mengabaikannya tadi.

"Maafin aku, mas," ucapku yang hanya tertahan di tenggorokan.

Dia menggempurku dari belakang dengan sangat cepat dan liar. Sedangkan aku mulai menahan sakit di bagian dada akibat remasannya yang brutal. Dia menarik pinggangku ke bawah. Sekarang, aku duduk di pangkuannya.

"Mas, kamu gak mau cium aku?" tanyaku. Dia langsung memutar tubuhku ke pelukannya, dan aku langsung memejamkan mata.

Bibir kami saling membasahi, mengasihi, dan mungkin mencintai. Meski rasanya bukan lagi Cherry, tapi aku menyukainya. Apa pun tentang Alzian, suamiku.

Masih dengan mata terpejam, kedua tangannya mengajakku turun untuk menindihnya. Entah apa yang dia lakukan, sekarang aku berada di atasnya, menggoyangkan pinggulku sampai menemukan ritme yang pas. Rahimku terasa sesak, entah kenapa rasa perih di awal tadi berubah menjadi rasa yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata.

"I love you, Suamikuhh," desahku di dalam mulutnya.

Jemarinya kembali menemukan dadaku, membelai lembut di area paling sensitif dan aku kembali mengejang.

"Aahhh." Napasku tak beraturan, dia mulai ikut bergerak menyamai ritmeku. Kita sama-sama seirama, dan itu memaksaku berkata, "Mas, aku udah nggak kuat!"

Aku menyerah pada laki-laki yang sebelumnya aku anggap lemah. Laki-laki yang kupikir tak akan pernah bisa memuaskan hasratku, sampai aku memilih untuk melakukan hal bodoh dengan mantan kekasihku. Aku benar-benar bodoh.

Irama kita semakin cepat. Aku merasakan tubuhnya yang mulai kaku, bergetar dan berkeringat. Seluruh tubuhku juga mulai mengejang tak kuasa menahan desakannya.

"Mas, cukup! Aku capek!" pintaku. Tapi dia tak berhenti, malah menambah tempo irama kita. Hanya sakit, perih, nyeri, dan takut yang kurasakan sekarang.

"Ohhhh," desahnya. Dia menarikku hingga tubuh kami melekat satu sama lain. Bibir, hidung, dan mata kami sejajar. Saling merasakan hembusan napas masing-masing. Kami sama-sama membuka mata dan dia bilang, "Khalisa, aku nggak sengaja keluar di dalam lagi."

"Maksudnya? Lagi?" kejutku.

Aku buru-buru lompat untuk memisahkan diri dan mengambil HP yang ada di di kantong kebaya. Saat kuhidupkan flashnya, dia ada di sana. Pria yang sudah membuatku jadi gila.

Heksa Antara.