Share

Nasehat Umi

"Kenapa?" Abah menanyai kami berdua.

"Kenapa Jihan dijodohkan dengan Mas Azam? Mas Azam, kan kakak sepupu sendiri?" Aku mencoba protes.

"Memangnya kenapa? Sepupu, kan boleh nikah?"

"Tapi, Bah. Kenapa harus dengan sepupu sendiri, memangnya tidak ada wanita lainnya? Jihan itu sudah kuanggap seperti adik kandungku sendiri!" Mas Azam juga protes.

"Sudahlah, Nak. Abimu dan Bibi Fatmamu juga sudah setuju. Lagian apa salahnya jika kamu menikah dengan sepupumu?"

"Tap-tapi, Bah!" Mas Azam terlihat bingung, begitu juga aku.

"Sudahlah, Zam. Kami juga sangat setuju kalau kamu menikahi Jihan. Karena hanya kamu yang mampu mengontrol sikapnya yang bar-bar itu!" sahut Mas Hasbi, dia juga sepupuku, anak dari Bibi Zainab.

Semua keluarga yang hadir menyambut rencana itu dengan senang hati. Tapi, rupanya hanya aku dan Mas Azam saja yang keberatan.

Acara musyawaroh keluarga pun selesai dengan hasil, kami akan dinikahkan malam harinya setelah sholat isyak. Sebab setelah maghrib ada orang-orang membaca tahlilan di masjid, karena hari itu malam jumat.

Setelah isyak, kami pun dinikahkan secara sederhana di masjid yang berdiri di tanah milik abah di mana di utara masjid itu ada sebuah pesantren yang mana pengasuhnya adalah kakak dari abah.

Kami memang tinggal di lingkungan pesantren, karena saudara dari Abah merupakan pengasuh pesantren tersebut.

Saat Mas Azam mengucapkan ijab qabul di hadapan banyak orang—para santri yang juga hadir—aku tak merasakan deg-degan seperti kata orang-orang, dan aku hanya mendengar prosesi itu melalui toa masjid yang menggema.

Aku disuruh menunggunya di ruang tengah menemani Abah yang terbaring, dengan riasan ala kadarnya. Aku juga ditemani Mbak Hesti, Mbak Nurul—sepupuku yang lain— serta para bibiku.

Tak lama kemudian, Mas Azam dituntun beberapa orang menuju tempat di mana aku berada untuk memberikan uang mahar dan ummiku menyuruhku untuk menerima dan mencium punggung tangan Mas Azam sebagai penghormatan. Sementara itu, Mas Azam meletakkan tangannya di ubun-ubunku dalam waktu yang agak lama dan ia pun membacakan sesuatu.

Setelah prosesi itu selesai, Abah memanggil kami untuk berada di samping kanan dan kirinya.

"Azam, sekarang Abah lega dan merasa tenang, karena Jihan berada di tangan yang tepat. Jagalah hubungan pernikahan kalian, demi kebaikan keluarga besar kita, jangan kecewakan kami. Abah percaya padamu!"

Mas Azam terdiam, ia bahkan terlihat khawatir melihat Abah yang suaranya sudah mulai menghilang hingga Abah mengucapkan kalimat syahadat dengan lancar. Namun, akhirnya suaranya benar-benar hilang.

"Abah ...!" Kami semua panik.

"Abaaaah ...!" Begitu juga para orang tua kami, mereka ikut panik hingga akhirnya kami menyadari kalau Keluarga besar kami telah kehilangan seorang panutan yang sangat bijaksana.

Tak terasa, tujuh hari berlalu.....

Selama itu juga, kami sekeluarga sibuk dengan para tamu yang berta'ziyah dan acara tahlilan selama tujuh hari.

Para tamu yang berta'ziyah memang datang silih berganti, karena keluarga kami memang keluarga besar. Abah sendiri berasal dari Madura dan mbah putri orang Malang selatan, sehingga saudara abah dan anak cucu dari saudara abah maupun mbah putri hadir semua. Mereka juga menginap selama tiga hari bahkan ada yang sampai tujuh hari.

Saking sibuknya, selama seminggu itu, aku dan Mas Azam sampai tidak menyadari kalau sebenarnya kami ini sudah menjadi suami-istri, sebab kami juga masih tidur di kamar masing-masing.

Di hari kedelapan, barulah umiku menyampaikan bahwa aku harus ikut Mas Azam ke Kota Surabaya dan kuliah di sana bahkan tinggal serumah dengan Mas Azam.

Mas Azam memang sudah punya rumah sendiri di kota. Dari dulu dia memang mandiri dan suka berbisnis, jadi wajar jika di usianya yang terbilang muda, dia sudah bisa punya rumah sendiri.

Dengan telaten, Umi mempersiapkan baju-baju yang akan kubawa ke rumah Mas Azam, sambil menceramahiku.

"Di kota, kamu tidak boleh sering keluar. Kalau waktunya kuliah, ya kuliah. Kalau waktunya pulang, ya pulang!"

"Iya, Umi," jawabku santai.

"Ingat ya, kamu harus nurut sama Azam, apalagi sekarang dia suamimu!"

'Suami?' Sejenak aku termenung. Jadi benar ya, Mas Azam suamiku?'

"Memangnya kenapa, sih, Mi? Aku kok, dijodohin sama Mas Azam? Setidaknya sama gus siapa gitu!"

"Memangnya kamu seorang ning?"

"Ya, nggak juga sih!"

"Kenapa kami sepakat menjodohkanmu dengan Azam? Itu karena kami tahu, kamu itu terlalu bar-bar dalam bersikap, berkemauan keras, kalau mau sesuatu harus ditepati. Umi sama abimu sampe kewalahan, dan sejauh ini hanya Azam yang bisa kami percayai menjadi pawangmu!" ucap Umi sambil menata gamisku ke dalam koper, sedangkan aku sibuk makan kue apem yang dibungkus dengan daun pisang berbentuk kesukaanku, sisa kue untuk tahlilan tujuh hari Abah tadi malam.

"Pake pawang segala, dikiranya aku ini ular apa!" ucapku sambil mengunyah.

"Pokoknya ingat pesan mendiang abah di hari terakhirnya. Jaga hubunganmu dengan Azam. Dia sekarang suamimu. Hubungan kalian sangat berpengaruh pada hubungan keluarga besar ini. Dari dulu keluarga Al Rasyid ini selalu hidup rukun, damai, dan saling menyayangi. Jadi jangan sampai hubungan kalian rusak!"

Ucapan Umi tiba-tiba membuatku dilema, hubungan kami seolah menjadi tekanan untuk kami. Tapi, yang dikatakan Umi memang benar, sih. Dalam keluarga kami semuanya baik-baik terhadap yang lainnya. Tidak ada yang julid maupun dengki. Bahkan semuanya saling membantu jika ada saudara yang terkena kesusahan.

Tapi mengapa pernikahanku dengan Mas Azam justru menjadi tekanan bagiku? Sebab aku sama sekali tak mencintai Mas Azam. Bagiku dia adalah kakakku sendiri. Jadi bagaimana mungkin tiba-tiba dia menjadi suamiku?

"Jihan! Jihan!"

Suara umi mengejutkanku.

"Apa, sih mi?"

"Kok ngelamun? Umi lagi bicara sama kamu!"

"Eh, iya, Mi. Kenapa?"

"Nanti di kota, kamu kan tinggal serumah sama Azam sebagai suami-istri, terus kamu kuliah. Umi sarankan meski kamu kuliah, sebaiknya kamu tidak usah ikut KB. Biar rahimmu tidak keterusan kering. Soalnya di sini ada teman Umi, yang waktu mudanya ikut KB, malah keterusan sampe dua puluh tahun tidak bisa hamil."

"Umi malah ghibah!"

"Siapa yang ghibah! Umi cuma nasehatin kamu!"

"Terus, kalau aku hamil, kuliahku bagaimana?"

"Kan kalau di perguruan tinggi masih tetap bisa ikut kuliah meski sudah hamil?"

"Umi ini gimana, katanya mau mendukung cita-cita Jihan. Kok, malah disuruh hamil!"

"Sudahlah, hamil itu memang sudah kodrat perempuan. Cita-citamu nomer sepuluh!"

"Umi jahat. Tak mau mendukung cita-cita Jihan!"

"Huush! Jahat gimana? Cuma disuruh hamil dibilang jahat!"

"Ngomongin hamil, malam pertama saja belum!" ucapku pelan.

"Ya memang belum. Kan, keluarga kita sedang berduka. Jadi malam pertamamu habiskan di rumah Azam saja, ya!"

"Umi ini, malu ah! Masak ngomongin malam pertama putrinya!"

"Memang kenapa? Umi dulu juga bicara tentang malam pertama sama mbah putrimu!"

"Seriusan? Emangnya Umi bahas gimana sama mbah putri?"

"Mbah putri cuma menyarankan kalau umi harus lebih mendalami lagi kitab quratul uyun. Udah, gitu aja! Kamu sudah khatam, kan kitab itu?"

"I-ya, Mi!" Aku pura-pura iya, padahal aku belum khatam.

"Ya sudah. Nanti kalau sudah tinggal bersama Azam, kamu harus bersikap sebagai istri yang baik. Jaga ucapanmu, jangan kasar, dan layani makannya serta bajunya dengan baik!"

"Umi, kan tahu Jihan tak bisa masak!"

"Makanya kalau disuruh bantu Umi masak tuh, jangan malas! Kalau sudah menikah gini, gimana? Tapi untungnya, mertuamu bibimu sendiri."

"Iya, sih. Om Hasan sama Bi Wardah baik bahkan sangat menyayangi Jihan."

"Itu enaknya menikah sama sepupu. Tapi Azam bisa masak, kok! Biar nanti Umi bilang sama dia, supaya ngajarin kamu masak!"

"Iya, Umi."

"Sudah, kopermu sudah siap! Sekarang kamu siap-siap, dandan, dan sudahi makannya itu! Nyemil mulu!"

Aku mengangguk.

Setelah prepare kopernya siap, Umi memilih langsung keluar.

Hanya saja saat aku mau ke kamar mandi, handphone-ku berdering.

Rupanya sahabatku, Ririn yang menghubungi. Dia berada di pesantren, biasanya dia menghubungiku jika pulang dari pesantren.

"Halo?!"

"Jihan, kamu jahat! Tega kamu menikamku dari belakang!"

Suara Ririn terdengar sangat marah.

Deg!

Ada apa ini?

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status