Share

Kampus

"Bagaimana besok? Kamu sudah siap ke kampus?" tanya Mas Azam, seakan ingin mengalihkan pembicaraannya tadi.

"Iya siap, Mas!"

"Kalau begitu, cepat tidur biar bisa bangun pagi. Jam 7 harus ada di kampus! Karena setelah itu, aku ada urusan."

"Oke!"

Setelah Mas Azam keluar dari kamarku, aku pun segera menelpon umi. "Halo, assalamualikum, Umi."

"Waalaikumussalam, bagaimana? Sudah nyampe?" tanyanya dari seberang.

"Alhamdulillah, sudah, Mi!"

"Kalau begitu syukurlah. Ya sudah, Umi cuma mau tahu kabarmu saja. Umi tak mau mengganggu malam pertamamu. Selamat menikmati malam pertamamu ya, Sayang!"

Hah?

"Apaan sih Umi, Umi!"

Tut!

Ternyata umi langsung memutuskan sambungan telponnya.

Malam pertama? 

Aku bahkan tak merasa sudah menikah!

Mas Azam juga sepertinya tak mau menganggapku istrinya. 

Kakak sepupuku itu memang menyayangiku dan sikapnya sampai sekarang masih belum berubah.

Tapi, hanya sebatas itu.

Ya sudahlah, aku masih muda dan masa depanku masih panjang, kayaknya aku juga belum siap jadi istri.

Sekarang, aku mau fokus kuliah dan meraih cita-citaku!

Apalagi aku dan Mas Azam memang sama-sama tidak punya perasaan cinta. Jadi aku akan menjalani takdir Allah ini sesuai arus yang mengalir!

****

Keesokan paginya ... 

Sesuai janji Mas Azam, ia akan mengantarkanku ke kampus sekaligus mengurus pendaftarannya. Katanya, aku akan masuk kampus Universitas Erlangga karena aku sendiri tak tahu. Aku memang sangat ingin kuliah, tapi aku tak tahu jika ternyata aku akan kuliah di Kota Pahlawan ini.

Pagi-pagi, aku sudah siap dengan outfit ala kadarnya, sebagaimana kebiasaanku di desaku. Rok plisket warna mustard dengan atasan warna milo dan jilbab segi empat yang lebar warna senada. Saat aku bercermin, aku sangat bersemangat dan merasa cantik. Ya, meskipun aku tak bisa pake make-up dengan baik, setidaknya aku selalu wajib pakai lip gloss. Alisku termasuk tebal, jadi tak perlu dilukis.

Melihat alisku, aku jadi teringat alis Mas Azam. Iya, meski kami hanya sepupuan, ternyata wajah kami hampir mirip terutama di bagian alis yang sama-sama tebal.

"Apa memang benar kalau berjodoh itu, wajahnya mirip? Tapi, kan kita memang sepupuan, jadi wajar kan, mirip?"

"Cemong, sudah siap belum? Nih, sarapan dulu! Aku sudah masakin kesukaanmu, telur balado!"

Tiba-tiba lamunanku tentang alis Mas Azam ambyar karena teriakannya.

Mas Azam memanggilku dari meja makan yang ternyata dia sudah menyiapkan segalanya.

Mas Azam memang dari dulu suka memanggilku Cemong. Karena waktu kecil, umiku selalu membedakiku sampai cemong, dan mas Azam selalu meledekku. Hingga sudah besar pun dia masih memanggilku Cemong.

"Wah, sudah lama aku tak makan masakan Mas Azam!" seruku saat aku sudah sampai di meja makan.

Melihat makanan itu, aku langsung berselera dan segera menyergapnya, karena masakan Mas Azam memang enak. Ia bahkan sudah biasa masak kalau pas pulang kampung.

"Kamu pakai itu ke kampus?"

"Iya, memangnya gak cocok?"

"Euhm ... enggak sih gak papa. Lebih baik begitu daripada outfit zaman sekarang. Berjilbab, tapi bawahnya ketat. Awas, pilih jilbab yang lebar agar menutupi dadamu. Apalagi milikmu itu lumayan menonjol, jadi jangan sampai terlihat."

Aku mendadak merasa marah dan malu. Aku pun menutup dadaku dengan kedua tangan menyilang. "Jadi, selama ini Mas memperhatikan dadaku?"

Mas Azam mendadak terdiam, sepertinya ia merasa salah tingkah.

"Ti–tidak, bukan begitu! Aku hanya menyarankanmu kalau pakai jilbab itu yang menutupi dada, karena kebanyakan laki-laki itu selalu refleks melihat dada wanita jika tidak tertutup atau pakaiannya ketat!" ucap Mas Azam yang sedikit gugup.

"Berarti Mas suka melihat dada perempuan?"

Kali ini, aku bahkan sangat syok! Mas Azam yang kuhormati, bisa begitu?!

"Ti–tidak, aku tidak seperti itu! Aku hanya ...."

Karena merasa marah sekaligus malu, aku beranjak dari meja makan itu dan membawa piringku untuk makan di ruangan tengah agar tak dilihat Mas Azam lagi.

Suasana juga mulai terasa canggung.

Tapi, Mas Azam justru menghampiri untuk membujukku, "Maafkan aku. Aku tak bermaksud memandangmu dengan pandangan nakal. Kamu jangan marah gitu, dong!"

"Lagipula, apa salah aku melihat itu-mu. Kita kan, suami–istri yang bahkan halal untuk melihat semuanya. Aku hanya tak mau kalau laki-laki lain melihat itu dengan pandangan sy4hwat."

Lagi-lagi aku terdiam dan mencerna ucapan Mas Azam.

Iya, dia memang suamiku. Jadi kenapa aku harus marah saat dia mengucapkan hal sensitif itu?

Tujuannya hanya agar orang lain tak melihatnya. Aku mencoba membujuk diriku sendiri.

Meski demikian, kala di dalam mobil, aku tak berani melihat Mas Azam yang sedang fokus menyetir.

Hampir sepuluh menit, tak ada pembicaraan di antara kami. Aku masih merasa canggung dan malu. Sementara Mas Azam juga terlihat canggung.

"Sudahlah, Cemong! Kamu jangan marah lagi. Aku tak sengaja mengatakan hal itu dan aku juga tak bermaksud mengatakan itu dengan pandangan sy4hwat. Aku hanya bicara sebagai seorang kakak pada adiknya. Karena aku laki-laki, jadi aku tahu pikiran laki-laki."

Mas Azam pun mulai ceramah, tapi aku tak begitu peduli dengan ucapannya karena aku sibuk dengan pikiranku.

Aku memang agak berbeda dari temanku yang lain. Berat badanku mencapai 53 kg di usiaku yang masih 19 tahun ini. Padahal teman-temanku, rata-rata hanya 38 sampai 47 kg. Tapi aku tak terlalu tinggi....

Meskipun begitu, aku yang paling cantik di antara mereka. Bercyanda. Itu kata umiku saja, sih! Hehe.

Tapi mungkin karena badanku yang lumayan berisi inilah, yang membuat dadaku terlihat menonjol sehingga membuat Mas Azam bicara jujur seperti tadi.

"Cemong, Cemong, sudah nyampe. Ayo turun!"

Ucapan Mas Azam mengejutkanku, dan benar ternyata aku memang sudah sampai di sebuah parkiran dan kulihat bangunan megah Universitas Airlangga gagah menjulang, seperti yang di ceritakan mas Azam. Karena aku memilih jurusan sastra, jadi aku berada di kampus B.

Setelah semua urusan selesai, Mas Azam pamit dan tak lupa ia berpesan agar aku tak mengatakan pada siapa pun jika kita sudah menikah.

Meski aku baru jadi mahasiswi, ternyata mata kuliah sudah aktif. Karena memang aku masuk di tengah semester dan aku belum punya teman yang aku kenal. Saat jam istirahat, saat aku melaksanakan sholat duhur, ada seorang teman yang mendekatiku.

"Hai, kenalkan aku Hera!"

Dia menjabat tanganku dan aku pun memperkenalkan diri. "Jihan Aulia."

"Eh, Jihan. Tadi aku lihat kamu di antar Pak Azam, ya? Pasti dia kakakmu, karena wajah kalian itu mirip banget, apa lagi alismu ini, persis banget," ucap Hera antusias. Sepertinya dia tipe wanita yang ramah dan ceria.

"Dia kakak sepupuku."

"Wau, pantes mirip! Tapi kalian lebih pantas jadi adik–kakak. Oh iya, kita sekarang berteman, ya! Kapan-kapan aku mau, dong main ke rumahmu! Kamu pastinya tinggal di rumahnya Pak Azam, kan?

"Iya."

"Asyik ...! Aku pasti bisa sering ketemu dia," serunya dengan nada pelan, tapi aku mendengarnya.

"Memangnya kamu kenal sama Mas Azam?"

"Enggak, sih. Cuma siapa coba yang tidak kenal Pak Azam. Dia itu dosen terfavorit di kampus ini. Selain ganteng, pinter, cool, keren, sukses lagi. Tapi sayang, Pak Azam tiba-tiba mengundurkan diri sebulan yang lalu. Padahal dia dosen terpopuler di kampus ini," ujar Hera penuh semangat.

"Apa? Dia dosen?" ulangku, tak percaya.

"Iya, masak kamu tak tahu?"

"Enggak. Mas Azam bilangnya hanya jadi TU di kampusnya, juga punya usaha sendiri katanya jualan apa gitu, aku kurang tahu."

"Jangan-jangan kamu juga tak tahu kalau dia juga seorang youtuber?"

"Youtuber?" Kali ini, aku menahan napas.

Apa aku benar-benar tidak mengenal sepupu yang sudah jadi suamiku itu, ya?



Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status