Masih ada rinduAgnes terdiam, bibirnya yang masih ranum itu seakan berat untuk menjawabnya, sementara tatapan matanya terlihat sedang berusaha menghindari tatapan mataku. Selain itu, aku juga merasa bahagia, karena ternyata dia masih mengenakan hijab bahkan gamis yang dikenakannya gamis yang lebar dan longgar."Alhamdulillah, ternyata dia masih memeluk agama islam, dan aku bisa melihat dia semakin cantik dan anggun, dan..., ya Allah, aku benar-benar sangat terpesona padanya, saat ini, aku sangat merindukanya," guman batinku."Kamu di sini sama Jihan?" Ucapnya padaku, tapi aku tak segera menjawabnya karena aku masih terjebak oleh rasa yang tiba-tiba muncul lagi. Iya, aku sedang terpesona padanya.Bagaimana aku tidak terpesona, di depanku ada seorang wanita chindo yang cantik mengenakan jilbab dan gamis syar'i, terlebih lagi dia adalah wanita yang pernah menjadi kekasih bahkan pernah menjadi istriku. Andai dia masih halal untukku, sungguh aku ingin memeluknya lebih lama dengan erat da
Pertemuan Agnes dan Jihan.Ada rasa sesal yang tiba-tiba mendera hatiku saat kembali bertemu dengan seseorang yang pernah ada dalam bagian hidupku, yaitu orang yang pernah dicintai suamiku. ~~~~~♡♡♡~~~~(POV author)"Mas, aku ijin mau keluar!" Ucap Jihan pada Azam yang sedang duduk di kursi kesayangannya di studio miliknya."Mau kemana, biar aku anter!" "Tidak usah, aku biasa sendiri, aku cuma beli sesuatu di minimarket, kemarin kelupaan.""Tapi kamu itu jarang keluar sendiri, loh!" Azam merasa kawatir."Nggakpapa, deket sini kok, palingan nanti cuma mau mampir beli seblak atau mi ayam. Mas jangan kawatir, aku sudah bisa naik motor lagi, kok!""Tapi...,""Aku ini bukan anak kecil lagi, Mas!" Jihan merasa kesal."Ya sudah, hati-hati ya!" Dengan berat hati, Azam akhirnya mengijinkannya, Azam masih kawatir pada Jihan, sebab saat itu dia masih nifas karena tiga minggu sebelumnya habis keguguran.Setelah salim pada suaminya, Jihan pun segera berangkat dengan senyu
Sudah takdir(Masih flashback)Hati Agnes selalu merasa bersalah karena menjadi orang ketiga dalam hubungan Azam dan Jihan seperti yang bicarakan Jihan padanya.Apalagi saat ia bertemu ayah Azam, ada rasa bersalah yang selalu menyergap di setiap langkahnya."Meski ayah Azam tidak mempermasalahkan keberadaanku sebagai istri kedua Azam, tapi dari tatapannya sangat jelas menyiratkan bahwa dia berharap aku pergi sebagaimana Jihan sangat mengharapkan aku pergi dari kehidupan mereka. Sedikit banyak, aku bisa membaca ekpresi orang lain apalagi orang itu berbicara padaku secara langsung, jadi aku tahu apa yang di harapkan Jihan maupun Ayah nya Azam.Sepertinya aku memang harus pergi dari kehidupan mereka, meskipun sebenarnya aku tahu aku sangat mencintai Azam, apalagi dia adalah cinta pertamaku. Ya, aku memang harus pergi dari mereka, cukup buah hati kami ini yang menemaniku. Karena aku ingin Azam bahagia dengan Jihan. Aku ingin melihat orang yang aku cintai bahagia.Aku tak bisa bayangkan
"Sengaja Abah kumpulkan kalian semua di sini karena Abah ingin melihat kalian berkumpul untuk yang terakhir kalinya. Abah berharap, semoga kita semua kelak akan tinggal bersama di surga-Nya. Karena itu, Abah berpesan pada kalian, anak cucuku untuk selalu menjaga silaturahmi dan selalu rukun serta hindari perselisihan dalam hal apa pun dengan sesama kalian, paham?" Nada suara pria tua itu terdengar sesak dan tak begitu lancar.Aku menahan sedih.Hari ini, Abah memang meminta kami sekeluarga untuk berkumpul. Keempat anaknya, hingga semua cucunya dikumpulkan, termasuk aku, adikku, dan ketujuh sepupuku lantas datang segera ke sini.Kami memanggilnya dengan panggilan 'Abah' karena pria tua itu tak nyaman disebut kakek katanya.Sayangnya, pria lucu yang kuhormati itu, jatuh sakit karena stroke yang dialaminya. Dan setelah dua tahun, tak ada perkembangan sama sekali. "Iya, Abah. Kami akan selalu mengingat dan melaksanakan pesan Abah!" Om Hasan menyahut. Beliau adalah anak tertua yang sang
"Kenapa?" Abah menanyai kami berdua."Kenapa Jihan dijodohkan dengan Mas Azam? Mas Azam, kan kakak sepupu sendiri?" Aku mencoba protes."Memangnya kenapa? Sepupu, kan boleh nikah?""Tapi, Bah. Kenapa harus dengan sepupu sendiri, memangnya tidak ada wanita lainnya? Jihan itu sudah kuanggap seperti adik kandungku sendiri!" Mas Azam juga protes."Sudahlah, Nak. Abimu dan Bibi Fatmamu juga sudah setuju. Lagian apa salahnya jika kamu menikah dengan sepupumu?""Tap-tapi, Bah!" Mas Azam terlihat bingung, begitu juga aku."Sudahlah, Zam. Kami juga sangat setuju kalau kamu menikahi Jihan. Karena hanya kamu yang mampu mengontrol sikapnya yang bar-bar itu!" sahut Mas Hasbi, dia juga sepupuku, anak dari Bibi Zainab.Semua keluarga yang hadir menyambut rencana itu dengan senang hati. Tapi, rupanya hanya aku dan Mas Azam saja yang keberatan.Acara musyawaroh keluarga pun selesai dengan hasil, kami akan dinikahkan malam harinya setelah sholat isyak. Sebab setelah maghrib ada orang-orang membaca tahl
"Apa maksudmu?" tanyaku tak mengerti. "Aku barusan dengar, kalau kamu menikah sama Mas Azam. Kamu kan, tahu aku sangat mencintai Mas Azam."Setelah berkata demikian, dia terdengar menangis begitu kencang.Aku memijit keningku, bingung. "Rin, ini tidak seperti yang kamu pikirkan!" "Kamu tega, Jihan, tega!" Ririn semakin menangis. "Maafkan aku, Rin! Aku dijodohkan sama abah!" "Kamu, kan bisa menolaknya?" "Tap–tapi, Rin!" "Kamu kan, tahu sendiri. Mas Azam itu kan hidupku, cinta pertamaku. Kamu sendiri makcomblangnya!" "Rin, dengerin penjelasanku dulu!" "Tak perlu dijelaskan lagi! Aku benci kamu. Aku tak mau punya sahabat sepertimu, lagi!"Tut! Ririn pun langsung menutup telponnya. Astaga! Aku baru ingat Ririn memang sangat mencintai Mas Azam. Bahkan aku yang selalu berusaha menyampaikan salam maupun surat dari Ririn untuk Mas Azam di kota. Saat itu kami masih sekolah, dan setelah lulus, Ririn masuk pesantren di Pasuruan, sedangkan aku hanya mengaji di pesantren di dek
Aku hanya diam. Meski sedikit pedih karena tak menyangka akan menjalani pernikahan seperti ini, aku hanya bisa menerima."Jihan, sekarang kita memang suami-istri, tapi aku belum bisa menerima kenyataan ini. Karena bagiku, kamu itu adikku. Jadi kamu tak keberatan, kan kamar kita pisah?" ucapnya lagi.Aku tersenyum. "Ya nggak lah, Mas. Malah itu yang kuharapkan. Sebenarnya aku juga sangat shock dengan keputusan abah. Karena aku juga menganggap Mas itu seperti kakak kandungku sendiri. Rasanya, gimana gitu kalau tiba-tiba kita harus jadi suami-istri.""Berarti perasaan kita sama. Kita mungkin memang saling menyayangi, tapi tak bisa saling mencintai sebagai suami-istri.""Iya, Mas. Aku juga gitu. Untungnya sekarang kita tinggal jauh dari keluarga kita. Jadi kita bisa menjalani hidup kita masing-masing.""Tadi, setelah dari masjid aku sudah lapor pak RT kalau aku bawa orang ke rumah ini dan besok aku antar kamu ke kampus.""Hore!" Aku kegirangan, karena memang itu tujuanku ke kota."Tapi, n
"Bagaimana besok? Kamu sudah siap ke kampus?" tanya Mas Azam, seakan ingin mengalihkan pembicaraannya tadi."Iya siap, Mas!""Kalau begitu, cepat tidur biar bisa bangun pagi. Jam 7 harus ada di kampus! Karena setelah itu, aku ada urusan.""Oke!"Setelah Mas Azam keluar dari kamarku, aku pun segera menelpon umi. "Halo, assalamualikum, Umi.""Waalaikumussalam, bagaimana? Sudah nyampe?" tanyanya dari seberang."Alhamdulillah, sudah, Mi!""Kalau begitu syukurlah. Ya sudah, Umi cuma mau tahu kabarmu saja. Umi tak mau mengganggu malam pertamamu. Selamat menikmati malam pertamamu ya, Sayang!"Hah?"Apaan sih Umi, Umi!"Tut!Ternyata umi langsung memutuskan sambungan telponnya.Malam pertama? Aku bahkan tak merasa sudah menikah! Mas Azam juga sepertinya tak mau menganggapku istrinya. Kakak sepupuku itu memang menyayangiku dan sikapnya sampai sekarang masih belum berubah. Tapi, hanya sebatas itu. Ya sudahlah, aku masih muda dan masa depanku masih panjang, kayaknya aku juga belum siap jadi