"Sengaja Abah kumpulkan kalian semua di sini karena Abah ingin melihat kalian berkumpul untuk yang terakhir kalinya. Abah berharap, semoga kita semua kelak akan tinggal bersama di surga-Nya. Karena itu, Abah berpesan pada kalian, anak cucuku untuk selalu menjaga silaturahmi dan selalu rukun serta hindari perselisihan dalam hal apa pun dengan sesama kalian, paham?" Nada suara pria tua itu terdengar sesak dan tak begitu lancar.
Aku menahan sedih.
Hari ini, Abah memang meminta kami sekeluarga untuk berkumpul. Keempat anaknya, hingga semua cucunya dikumpulkan, termasuk aku, adikku, dan ketujuh sepupuku lantas datang segera ke sini.
Kami memanggilnya dengan panggilan 'Abah' karena pria tua itu tak nyaman disebut kakek katanya.
Sayangnya, pria lucu yang kuhormati itu, jatuh sakit karena stroke yang dialaminya. Dan setelah dua tahun, tak ada perkembangan sama sekali.
"Kenapa?" Abah menanyai kami berdua."Kenapa Jihan dijodohkan dengan Mas Azam? Mas Azam, kan kakak sepupu sendiri?" Aku mencoba protes."Memangnya kenapa? Sepupu, kan boleh nikah?""Tapi, Bah. Kenapa harus dengan sepupu sendiri, memangnya tidak ada wanita lainnya? Jihan itu sudah kuanggap seperti adik kandungku sendiri!" Mas Azam juga protes."Sudahlah, Nak. Abimu dan Bibi Fatmamu juga sudah setuju. Lagian apa salahnya jika kamu menikah dengan sepupumu?""Tap-tapi, Bah!" Mas Azam terlihat bingung, begitu juga aku."Sudahlah, Zam. Kami juga sangat setuju kalau kamu menikahi Jihan. Karena hanya kamu yang mampu mengontrol sikapnya yang bar-bar itu!" sahut Mas Hasbi, dia juga sepupuku, anak dari Bibi Zainab.Semua keluarga yang hadir menyambut rencana itu dengan senang hati. Tapi, rupanya hanya aku dan Mas Azam saja yang keberatan.Acara musyawaroh keluarga pun selesai dengan hasil, kami akan dinikahkan malam harinya setelah sholat isyak. Sebab setelah maghrib ada orang-orang membaca tahl
"Apa maksudmu?" tanyaku tak mengerti. "Aku barusan dengar, kalau kamu menikah sama Mas Azam. Kamu kan, tahu aku sangat mencintai Mas Azam."Setelah berkata demikian, dia terdengar menangis begitu kencang.Aku memijit keningku, bingung. "Rin, ini tidak seperti yang kamu pikirkan!" "Kamu tega, Jihan, tega!" Ririn semakin menangis. "Maafkan aku, Rin! Aku dijodohkan sama abah!" "Kamu, kan bisa menolaknya?" "Tap–tapi, Rin!" "Kamu kan, tahu sendiri. Mas Azam itu kan hidupku, cinta pertamaku. Kamu sendiri makcomblangnya!" "Rin, dengerin penjelasanku dulu!" "Tak perlu dijelaskan lagi! Aku benci kamu. Aku tak mau punya sahabat sepertimu, lagi!"Tut! Ririn pun langsung menutup telponnya. Astaga! Aku baru ingat Ririn memang sangat mencintai Mas Azam. Bahkan aku yang selalu berusaha menyampaikan salam maupun surat dari Ririn untuk Mas Azam di kota. Saat itu kami masih sekolah, dan setelah lulus, Ririn masuk pesantren di Pasuruan, sedangkan aku hanya mengaji di pesantren di dek
Aku hanya diam. Meski sedikit pedih karena tak menyangka akan menjalani pernikahan seperti ini, aku hanya bisa menerima."Jihan, sekarang kita memang suami-istri, tapi aku belum bisa menerima kenyataan ini. Karena bagiku, kamu itu adikku. Jadi kamu tak keberatan, kan kamar kita pisah?" ucapnya lagi.Aku tersenyum. "Ya nggak lah, Mas. Malah itu yang kuharapkan. Sebenarnya aku juga sangat shock dengan keputusan abah. Karena aku juga menganggap Mas itu seperti kakak kandungku sendiri. Rasanya, gimana gitu kalau tiba-tiba kita harus jadi suami-istri.""Berarti perasaan kita sama. Kita mungkin memang saling menyayangi, tapi tak bisa saling mencintai sebagai suami-istri.""Iya, Mas. Aku juga gitu. Untungnya sekarang kita tinggal jauh dari keluarga kita. Jadi kita bisa menjalani hidup kita masing-masing.""Tadi, setelah dari masjid aku sudah lapor pak RT kalau aku bawa orang ke rumah ini dan besok aku antar kamu ke kampus.""Hore!" Aku kegirangan, karena memang itu tujuanku ke kota."Tapi, n
"Bagaimana besok? Kamu sudah siap ke kampus?" tanya Mas Azam, seakan ingin mengalihkan pembicaraannya tadi."Iya siap, Mas!""Kalau begitu, cepat tidur biar bisa bangun pagi. Jam 7 harus ada di kampus! Karena setelah itu, aku ada urusan.""Oke!"Setelah Mas Azam keluar dari kamarku, aku pun segera menelpon umi. "Halo, assalamualikum, Umi.""Waalaikumussalam, bagaimana? Sudah nyampe?" tanyanya dari seberang."Alhamdulillah, sudah, Mi!""Kalau begitu syukurlah. Ya sudah, Umi cuma mau tahu kabarmu saja. Umi tak mau mengganggu malam pertamamu. Selamat menikmati malam pertamamu ya, Sayang!"Hah?"Apaan sih Umi, Umi!"Tut!Ternyata umi langsung memutuskan sambungan telponnya.Malam pertama? Aku bahkan tak merasa sudah menikah! Mas Azam juga sepertinya tak mau menganggapku istrinya. Kakak sepupuku itu memang menyayangiku dan sikapnya sampai sekarang masih belum berubah. Tapi, hanya sebatas itu. Ya sudahlah, aku masih muda dan masa depanku masih panjang, kayaknya aku juga belum siap jadi
"Iya, dia itu youtuber, Teman Cerita. Biasanya menceritakan suatu kejadian yang lagi viral, atau kasus kriminal, atau tema lainnya di chanel miliknya. Dan kamu tahu, nggak? Subcriber-nya itu sekarang sudah mencapai lima juta. Tapi, jangan katakan kamu juga tak tahu tentang ini. Jangan bohong, ah!""Aku beneran tak tahu, aku tak punya youtube atau akun medsos lainnya. Yang aku punya hanya F* saja. Karena orang tuaku melarangnya, kalau mau nonton k-drama, aku biasanya nonton punya temanku.""Ya ampun, Han. Zaman sudah secanggih gini, kamu masih gaptek?"Aku hanya tersenyum. "Mau bagaimana lagi? Orang tuaku memang tak ingin anak-anaknya terbawa arus pergaulan yang tidak benar karena medsos.""Tapi ya tidak segitunya, kalee!"Percakapan kami pun terus berlanjut. Karena Hera ternyata ... benar-benar suka "mengobrol". Tapi karena dia juga, tak terasa, waktu berlalu dengan cepat.Kini, sudah saatnya untuk pulang. Namun, aku kebingungan karena ponselku belum ada kuotanya!Uang saku yang di
"Mas itu mikirnya kejahuan," ucapku kesal, tapi dalam hati aku merasa senang karena aku dibilang cantik. Wanita mana, sih yang tak senang jika dibilang cantik?Hanya saja, aku teringat satu hal!"Eh, Mas, kata temanku, Mas itu katanya youtuber, ya?" tanyaku, mengganti topik pertanyaan."Emang kenapa?""Gak apa-apa, sih. Tapi, aku baru tahu dari orang lain, terus katanya mas juga dosen di kampusku, Memangnya kenapa Mas berhenti jadi dosen?""Sudah, jangan bahas itu," ucap Mas Azam tak nyaman, "Oh, iya. Kamu sudah makan?" "Sudah, tadi makan bakso di kantin.""Ya sudah, kamu di rumah aja, jangan kemana-mana. Kalau lapar, ambil sendiri di dapur. Aku sedang ada urusan di luar," ucap mas Azam yang kemudian pergi lagi meninggalkanku sendiri di rumah yang sepi ini.Dan sejak kejadian itu, mas Azam selalu memperingatkanku agar tidak dekat dengan teman lelaki, jadi di kampus.Jadi, aku hanya dekat dengan Hera yang memang baik dan selalu ceria.Sedangkan kalau di rumah, aku tak boleh kemana-
Debaran jantungku semakin kencang tak terkendali. Parahnya, aku seperti tak bisa mengendalikan kedua bola mataku untuk tidak melihat pesonanya."Jihan?"Deg!Secepat kilat, aku membalikkan badanku dan pura-pura mengambil gelas untuk minum dengan tangan yang sedikit gemetar."Kamu masih di situ?" tanya mas Azam santai."Iya, a-ku haus. Cuacanya gerah," balasku asal saking gugupnya.Kemudian, aku mengambil air dan langsung meminumnya."Di luar, kan masih hujan, memangnya kamu merasa kegerahan?"Mati aku!Aku tak bisa menjawabnya. Karena itu juga, aku mengambil air lagi dan minum lagi. Aku khawatir ketahuan kalau aku tadi memandangnya.Tapi .... Kayaknya, mas Azam tak peduli dengan kegugupanku, karena ia sudah masuk ke kamarnya, dan setelah itu barulah aku berani menoleh dan menghembuskan nafas panjang, sebab sejak tadi seperti sesak nafas."Untung nggak ketahuan. Ya Allah, kenapa aku malah jadi seperti ketakutan seperti ini? Apa karena aku belum pernah melihat laki-laki bertel4nj4ng
"Kenapa? Apakah aku tak boleh menyukaimu?""Tidak, bukan begitu maksudku, anu...""Berarti kamu menyukaiku?" tanya Mas Alfin lagi."Bukan begitu! Aku tidak bisa!" Segera saja kuperjelas biar tidak salah paham.Tampaknya, Alfin kecewa. Tapi, aku harus bagaimana?Segera saja, aku meninggalkannya dan masuk ke kamarku, agar dia tak bertanya lagi."Mas Azam, sih! Tak mau berterus terang kalau aku istrinya, jadinya kan repot kalau aku di taksir temannya! Aku tak habis pikir, kenapa Mas Azam tak mau mengakui pernikahan kami. Dasar laki-laki, semaunya sendiri!" gerutuku.Aku bahkan tak berani keluar sampai teman Mas Azam itu benar-benar pegi!Untungnya, libur hanya sehari.Kuliahku mulai aktif lagi. Aku juga sudah bersiap duduk di mobil menunggu mas Azam.Namun saat dia sudah masuk, tiba-tiba dia bertanya hal serius."Kamu suka nggak sama, Alfin?""Mas ini gimana, aku ini, kan sudah menikah," jawabku sewot."Ya nggak, siapa tahu kamu menyukainya, dia kan ganteng, pinter dan sholeh!" Ck! Se