Share

MALAM PERTAMA DENGAN KAKAK SEPUPU
MALAM PERTAMA DENGAN KAKAK SEPUPU
Penulis: Moza_reeya

Wasiat Abah

"Sengaja Abah kumpulkan kalian semua di sini karena Abah ingin melihat kalian berkumpul untuk yang terakhir kalinya. Abah berharap, semoga kita semua kelak akan tinggal bersama di surga-Nya. Karena itu, Abah berpesan pada kalian, anak cucuku untuk selalu menjaga silaturahmi dan selalu rukun serta hindari perselisihan dalam hal apa pun dengan sesama kalian, paham?" Nada suara pria tua itu terdengar sesak dan tak begitu lancar.

Aku menahan sedih.

Hari ini, Abah memang meminta kami sekeluarga untuk berkumpul. Keempat anaknya, hingga semua cucunya dikumpulkan, termasuk aku, adikku, dan ketujuh sepupuku lantas datang segera ke sini.

Kami memanggilnya dengan panggilan 'Abah' karena pria tua itu tak nyaman disebut kakek katanya.

Sayangnya, pria lucu yang kuhormati itu, jatuh sakit karena stroke yang dialaminya. Dan setelah dua tahun, tak ada perkembangan sama sekali. 

"Iya, Abah. Kami akan selalu mengingat dan melaksanakan pesan Abah!" Om Hasan menyahut. Beliau adalah anak tertua yang sangat disegani oleh keluarga besar kami.

"Untuk masalah warisan, saya nasehatkan, agar bisa diberikan pada kalian bertiga sesuai syariat Islam. Jadi, kalian tidak perlu memperebutkan lagi nanti. Hasan, Zainab, Nur, dan Fatma, apakah kalian ikhlas dengan pembagian di dalam syariat ini?"

"Kami ikhlas, Abah! Karena kami tahu, dari dulu Abah selalu memperlakukan kami dengan adil, dan pembagian secara syariat islam adalah yang paling adil," jawab anak Abah yang bernama Fatimah, yang tak lain adalah ibuku sendiri.

"Apakah kalian ridho jika Hasan mendapatkan bagian dua kali lebih banyak dari kalian sesuai perhitungan ilmu Faraidh?"

"Iya, kami ridho. Karena apa yang diatur syariat Islam, itulah yang terbaik bagi ummat." Bi Zainab juga menjawab.

"Alhamdulillah, memang anak-anak seperti inilah yang Abah harapkan. Semoga hidup kalian dan keluarga kalian selalu dalam lindungan Alloh serta selalu dilancarkan dalam setiap urusan dan juga rizki!"

"Aamiin!"

Kami semua meng-aamiin-kan ucapan Abah dengan rasa haru sekaligus sedih.

Aku sangat bersyukur lahir di dalam keluarga yang harmonis dan rukun seperti ini. Semuanya memang tak lepas dari peran serta Abah dan mendiang mbah putri yang sangat serius juga ikhlas merawat dan mendidik anak-anaknya. Itu juga yang dilakukan orang tua kami kepada kami para anaknya.

"Dan ada satu lagi yang ingin Abah sampaikan pada kalian semua."

Mendadak semua terdiam lagi, menanti ucapan Abah selanjutnya.

"Sebelum Abah pergi dan bertemu mbah putri kalian di alam sana, abah ingin menyampaikan satu hal yang harus kalian turuti!" ucap Abah dengan nada serius.

"Azam!" Abah memanggil Mas Azam, anak kedua Om Hasan.

"Iya, Abah." Mas Azam mendekati Abah.

"Kamu itu, sudah dewasa dan sudah mampu hidup mandiri di kota. Sebelum abahmu ini pergi, Abah ingin melihatmu menikah."

Ucapan Abah, membuat Mas Azam terlihat pucat dan tegang. Dia terlihat tertekan karena disuruh cepat kawin begini. Ya, memang seharusnya dia segera nikah, karena usianya sudah 27 tahun, yang mana semua sepupuku sudah menikah di usia 25 tahun.

Sementara aku sendiri masih berusia sembilan belas tahun, jadi masih lama.

"Mengerti kamu, Azam?"

"Enggeh, kulo ngerti, Bah. Insya Alloh secepatnya Azam akan mencari calon istri."

"Tak perlu dicari, Abah sudah menyiapkan calon istri untukmu."

Kulihat Mas Azam terlihat panik, karena selama ini dia selalu menghindari pertanyaan kapan kawin dan sekarang ia malah di jodohkan, aku sangat suka melihat ekspresi wajahnya itu.

"Jihan!"

Aku terperanjat, ternyata Abah juga menyebut namaku. Kenapa ini?

"Iya, Bah. Saya di sini." Aku juga segera mendekati Abah.

"Setelah lulus dari Aliyah, sepertinya kamu selalu merengek minta melanjutkan kuliah, iya kan?"

"Iya, Abah! Saya memang sangat ingin melanjutkan kuliah sama seperti Mas Azam, Mas Hasbi, dan Mas Ali. Masak yang boleh kuliah hanya cucu laki-laki, saya kan juga pingin," ucapku manja.

"Abah izinkan kamu kuliah!"

"Beneran, Bah?" Aku bahagia dan rasanya tak percaya.

"Iya!"

"Tapi, kamu harus ditemani mahrommu!"

"Maksud, Abah?"

"Kami sudah sepakat untuk menikahkanmu dengan Azam."

"Apaaa?"

Aku dan Mas Azam kaget berbarengan dan aku melihat wajah Mas Azam yang syok, begitu juga denganku.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status