"Apa maksudmu?" tanyaku tak mengerti.
"Aku barusan dengar, kalau kamu menikah sama Mas Azam. Kamu kan, tahu aku sangat mencintai Mas Azam."Setelah berkata demikian, dia terdengar menangis begitu kencang.
Aku memijit keningku, bingung. "Rin, ini tidak seperti yang kamu pikirkan!"
"Kamu tega, Jihan, tega!" Ririn semakin menangis. "Maafkan aku, Rin! Aku dijodohkan sama abah!" "Kamu, kan bisa menolaknya?" "Tap–tapi, Rin!" "Kamu kan, tahu sendiri. Mas Azam itu kan hidupku, cinta pertamaku. Kamu sendiri makcomblangnya!" "Rin, dengerin penjelasanku dulu!" "Tak perlu dijelaskan lagi! Aku benci kamu. Aku tak mau punya sahabat sepertimu, lagi!"Tut!
Ririn pun langsung menutup telponnya. Astaga! Aku baru ingat Ririn memang sangat mencintai Mas Azam. Bahkan aku yang selalu berusaha menyampaikan salam maupun surat dari Ririn untuk Mas Azam di kota. Saat itu kami masih sekolah, dan setelah lulus, Ririn masuk pesantren di Pasuruan, sedangkan aku hanya mengaji di pesantren di dekat rumahku. Gimana ini, Ririn membenciku?Apa aku harus ke rumahnya dan minta maaf?
Aku semakin dilema dan merasa bersalah. Aku kok, merasa seperti menjadi perebut kekasih teman sendiri, ya!
Padahal, aku pun juga terpaksa.
Aku menghela napas.
Sayangnya, aku tak punya waktu.
Aku bahkan sudah siap diboyong ke kota lain oleh Mas Azam.
Rasanya hati ini terasa berat. Di saat untuk pertama kalinya aku akan pergi jauh dari keluarga besarku dalam waktu yang cukup lama.
Rumah orang tua kami berdekatan, bahkan berdampingan. Kedua orang tua kami pun saling menyayangi dan rukun karena mereka memang bersaudara. Saat aku dan Mas Azam berpamitan, kedua orang tua kami juga sebagian saudara lainnya ikut nimbrung dalam acara pelepasan aku dan Mas Azam ke kota. "Jihan, jangan lupa, kalau sudah sampai ke kota, kabari Umi!" pesan Umi saat memelukku dengar erat, seolah tak ingin melepasku. "Azam, aku titip Jihan padamu!" Sementara itu Abiku berbicara pada Mas Azam. Abi terlihat lebih tegar daripada Umi. Abi bahkan tak pernah menunjukkan cintanya padaku selama ini. Bahkan saat menjadi wali nikahku saja, dia tak menampakkan wajah haru atau bangga melihat anak gadisnya menikah. "Iya, pasti, Abi," jawab Mas Azam. Kulihat Mas Azam sudah terlihat tidak kaku menyebut abiku dengan panggilan abi. Padahal biasanya panggil Paman Hasyim. Sedangkan sampai sekarang aku seakan masih tak percaya kalau Mas Azam adalah suamiku. "Jihan sayang, kamu di sana baik-baik ya. Kamu tak perlu repot-repot masak. Karena Umi tahu kalau kamu tidak bisa masak. Tapi aku sudah bilang sama Azam agar dia ngajarin kamu nantinya, dan jika Azam macam-macam sama kamu, langsung bilang sama kami, ya!" Ucap Bi Wardah yang selama ini memang sayang padaku. Bahkan menurutku, Bi Wardah lebih menyayangiku dari Mas Azam. Karena dari dulu Bi Wardah sangat ingin punya anak perempuan. "Iya, Bi." aku hanya bisa mengiyakan permintaannya. "Kok Bibi? Umi, dong! Sekarang, aku ini sudah jadi mertuamu, loh!" Bi Wardah protes. "Iya, Mi!" Tuh kan!Aku masih kaku dengan keadaan ini. Dia memang bibiku yang sangat menyayangiku dan sekarang telah menjadi mertuaku.
Setelah banyak wejangan dan pelukan orang tua kami masing-masing, serta barang-barang yang di bawakan keluargaku sudah rampung masuk ke mobil, akhirnya acara pamitannya selesai juga. Tampak Om Hasan dan Abiku masih memberi wejangan yang serius pada Mas Azam. Entah apa yang mereka bicarakan, aku tak mendengarnya, karena aku sudah masuk ke dalam mobil. Setelah jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, akhirnya mereka pun melepas kepergian mobil kami dengan lambaian tangan dan keharuan. "Mas, aku pingin mampir dulu ke rumah temanku, boleh nggak?" Dua menit setelah mobil melaju, aku meminta izin pada Mas Azam agar mampir dulu ke rumah Ririn. "Iya boleh. Di mana rumahnya?" "Tuh, di pertigaan depan, dekat rumahnya Pak Anshori." Mas Azam segera menghentikan mobilnya dan tak lupa mengingatkan agar aku tidak lama-lama. "Assalamualaikum!" "Waalaikumussalam, eh Nak Jihan. Pasti mau cari Ririn ya?" Bi Sumi menyambutku dengan ramah. Apalagi aku sudah biasa main ke rumahnya. "Iya, Bi. Ririnnya ada?" "Ada di kamar. Kamu masuk saja!" Aku pun segera masuk dengan langkah pelan sekaligus ragu. "Rin!" Ternyata Ririn sedang duduk di ranjangnya dengan mata sembab. "Ngapain ke sini?" tanyanya ketus. "Rin, kamu jangan marah begitu, dong!!" Aku mendekatinya, tapi ia memalingkan wajah. "Rin, sebelum Abah meninggal, dia berwasiat agar Mas Azam menikahiku. Jadi aku tak ada niat sedikit pun untuk menikungmu, kamu jangan salah paham, ya!" Kuberanikan diri mengatakannya. Tapi Ririn hanya diam dan cuek. Sepertinya dia benar-benar marah padaku. "Ya, sudah kalau kamu tak mau mendengarkan penjelasanku, aku terima. Aku juga terima kalau kamu membenciku. Yang jelas, aku tak pernah ada niat menikungmu." Tak ada jawaban. Karena merasa tak nyaman, aku pun pamit. "Rin, pamit. Aku pergi, sekarang!" Aku semakin merasa tidak enak padanya. Tapi mau bagaimana lagi, semua sudah takdir dari Alloh. Kulihat Ririn masih diam dan mengacuhkanku. Akhirnya aku memutuskan untuk segera kembali ke mobil, di mana Mas Azam menungguku. "Kamu nangis?" tanya Mas Azam. "Enggak, kok!" "Ya sudah, kamu tak mau mampir-mampir lagi?" "Tidak, Mas!" "Oke, sekarang kita akan segera berangkat. Pekerjaanku sedang menungguku!" ***** Setelah menempuh perjalanan satu jam tiga puluh menit, akhirnya kami sampai juga di Kota Surabaya melalui Tol Pandaan menjelang adzan maghrib. Perlahan mobil yang dikemudikan Mas Azam masuk ke gang yang lumayan lebar dan sepi dari kendaraan lainnya. Tapi banyak orang yang lalu lalang. Terlihat dari mereka sepertinya mau ke masjid. Sebagian lagi baru pulang kerja dan ada yang hanya sekadar nongkrong. Mas Azam berhenti di sebuah rumah dengan pintu gerbang warna coklat. Perlahan ia turun untuk membuka gerbang itu sendiri dan kembali lagi ke mobil kemudian memasukkan mobil ke garasi. "Ini rumah Mas Azam?" tanyaku penasaran setelah masuk ke dalam rumah. "Iya." "Lumayan besar juga ya. Padahal ini termasuk kota, memangnya Mas Azam kerja apa, sih?" "Nanti juga tahu. Tapi, sebagian lagi uangnya dapat bantuan dari Abi." "Pasti mahal?" "Lumayan." "Atau ini yang KPR itu?" Mata Mas Azam melotot. "Bukanlah! Abi ikut menyumbang karena tak ingin aku beli yang KPR, agar hidupku bisa tenang tidak dikejar-kejar utang." Aku seketika tertawa canggung. Untungnya, adzan maghrib pun mulai menggema.Suaranya sangat nyaring yang berarti masjidnya dekat dari rumah ini!
"Aku mau ke masjid dulu, kamu sholat di sini saja. Masalah kamar biar nanti aku urus," pamitnya--meninggalkanku yang buru-buru mengambil wudhu untuk melaksanakan kewajibanku.Hanya saja, begitu pria itu pulang, aku terkejut kala Mas Azam tiba-tiba menghampiriku dengan cepat.
"Jihan, ini kamarku dan itu kamarmu!" ucapnya sembari menunjuk dua kamar berbeda.
Aku hanya diam. Meski sedikit pedih karena tak menyangka akan menjalani pernikahan seperti ini, aku hanya bisa menerima."Jihan, sekarang kita memang suami-istri, tapi aku belum bisa menerima kenyataan ini. Karena bagiku, kamu itu adikku. Jadi kamu tak keberatan, kan kamar kita pisah?" ucapnya lagi.Aku tersenyum. "Ya nggak lah, Mas. Malah itu yang kuharapkan. Sebenarnya aku juga sangat shock dengan keputusan abah. Karena aku juga menganggap Mas itu seperti kakak kandungku sendiri. Rasanya, gimana gitu kalau tiba-tiba kita harus jadi suami-istri.""Berarti perasaan kita sama. Kita mungkin memang saling menyayangi, tapi tak bisa saling mencintai sebagai suami-istri.""Iya, Mas. Aku juga gitu. Untungnya sekarang kita tinggal jauh dari keluarga kita. Jadi kita bisa menjalani hidup kita masing-masing.""Tadi, setelah dari masjid aku sudah lapor pak RT kalau aku bawa orang ke rumah ini dan besok aku antar kamu ke kampus.""Hore!" Aku kegirangan, karena memang itu tujuanku ke kota."Tapi, n
"Bagaimana besok? Kamu sudah siap ke kampus?" tanya Mas Azam, seakan ingin mengalihkan pembicaraannya tadi."Iya siap, Mas!""Kalau begitu, cepat tidur biar bisa bangun pagi. Jam 7 harus ada di kampus! Karena setelah itu, aku ada urusan.""Oke!"Setelah Mas Azam keluar dari kamarku, aku pun segera menelpon umi. "Halo, assalamualikum, Umi.""Waalaikumussalam, bagaimana? Sudah nyampe?" tanyanya dari seberang."Alhamdulillah, sudah, Mi!""Kalau begitu syukurlah. Ya sudah, Umi cuma mau tahu kabarmu saja. Umi tak mau mengganggu malam pertamamu. Selamat menikmati malam pertamamu ya, Sayang!"Hah?"Apaan sih Umi, Umi!"Tut!Ternyata umi langsung memutuskan sambungan telponnya.Malam pertama? Aku bahkan tak merasa sudah menikah! Mas Azam juga sepertinya tak mau menganggapku istrinya. Kakak sepupuku itu memang menyayangiku dan sikapnya sampai sekarang masih belum berubah. Tapi, hanya sebatas itu. Ya sudahlah, aku masih muda dan masa depanku masih panjang, kayaknya aku juga belum siap jadi
"Iya, dia itu youtuber, Teman Cerita. Biasanya menceritakan suatu kejadian yang lagi viral, atau kasus kriminal, atau tema lainnya di chanel miliknya. Dan kamu tahu, nggak? Subcriber-nya itu sekarang sudah mencapai lima juta. Tapi, jangan katakan kamu juga tak tahu tentang ini. Jangan bohong, ah!""Aku beneran tak tahu, aku tak punya youtube atau akun medsos lainnya. Yang aku punya hanya F* saja. Karena orang tuaku melarangnya, kalau mau nonton k-drama, aku biasanya nonton punya temanku.""Ya ampun, Han. Zaman sudah secanggih gini, kamu masih gaptek?"Aku hanya tersenyum. "Mau bagaimana lagi? Orang tuaku memang tak ingin anak-anaknya terbawa arus pergaulan yang tidak benar karena medsos.""Tapi ya tidak segitunya, kalee!"Percakapan kami pun terus berlanjut. Karena Hera ternyata ... benar-benar suka "mengobrol". Tapi karena dia juga, tak terasa, waktu berlalu dengan cepat.Kini, sudah saatnya untuk pulang. Namun, aku kebingungan karena ponselku belum ada kuotanya!Uang saku yang di
"Mas itu mikirnya kejahuan," ucapku kesal, tapi dalam hati aku merasa senang karena aku dibilang cantik. Wanita mana, sih yang tak senang jika dibilang cantik?Hanya saja, aku teringat satu hal!"Eh, Mas, kata temanku, Mas itu katanya youtuber, ya?" tanyaku, mengganti topik pertanyaan."Emang kenapa?""Gak apa-apa, sih. Tapi, aku baru tahu dari orang lain, terus katanya mas juga dosen di kampusku, Memangnya kenapa Mas berhenti jadi dosen?""Sudah, jangan bahas itu," ucap Mas Azam tak nyaman, "Oh, iya. Kamu sudah makan?" "Sudah, tadi makan bakso di kantin.""Ya sudah, kamu di rumah aja, jangan kemana-mana. Kalau lapar, ambil sendiri di dapur. Aku sedang ada urusan di luar," ucap mas Azam yang kemudian pergi lagi meninggalkanku sendiri di rumah yang sepi ini.Dan sejak kejadian itu, mas Azam selalu memperingatkanku agar tidak dekat dengan teman lelaki, jadi di kampus.Jadi, aku hanya dekat dengan Hera yang memang baik dan selalu ceria.Sedangkan kalau di rumah, aku tak boleh kemana-
Debaran jantungku semakin kencang tak terkendali. Parahnya, aku seperti tak bisa mengendalikan kedua bola mataku untuk tidak melihat pesonanya."Jihan?"Deg!Secepat kilat, aku membalikkan badanku dan pura-pura mengambil gelas untuk minum dengan tangan yang sedikit gemetar."Kamu masih di situ?" tanya mas Azam santai."Iya, a-ku haus. Cuacanya gerah," balasku asal saking gugupnya.Kemudian, aku mengambil air dan langsung meminumnya."Di luar, kan masih hujan, memangnya kamu merasa kegerahan?"Mati aku!Aku tak bisa menjawabnya. Karena itu juga, aku mengambil air lagi dan minum lagi. Aku khawatir ketahuan kalau aku tadi memandangnya.Tapi .... Kayaknya, mas Azam tak peduli dengan kegugupanku, karena ia sudah masuk ke kamarnya, dan setelah itu barulah aku berani menoleh dan menghembuskan nafas panjang, sebab sejak tadi seperti sesak nafas."Untung nggak ketahuan. Ya Allah, kenapa aku malah jadi seperti ketakutan seperti ini? Apa karena aku belum pernah melihat laki-laki bertel4nj4ng
"Kenapa? Apakah aku tak boleh menyukaimu?""Tidak, bukan begitu maksudku, anu...""Berarti kamu menyukaiku?" tanya Mas Alfin lagi."Bukan begitu! Aku tidak bisa!" Segera saja kuperjelas biar tidak salah paham.Tampaknya, Alfin kecewa. Tapi, aku harus bagaimana?Segera saja, aku meninggalkannya dan masuk ke kamarku, agar dia tak bertanya lagi."Mas Azam, sih! Tak mau berterus terang kalau aku istrinya, jadinya kan repot kalau aku di taksir temannya! Aku tak habis pikir, kenapa Mas Azam tak mau mengakui pernikahan kami. Dasar laki-laki, semaunya sendiri!" gerutuku.Aku bahkan tak berani keluar sampai teman Mas Azam itu benar-benar pegi!Untungnya, libur hanya sehari.Kuliahku mulai aktif lagi. Aku juga sudah bersiap duduk di mobil menunggu mas Azam.Namun saat dia sudah masuk, tiba-tiba dia bertanya hal serius."Kamu suka nggak sama, Alfin?""Mas ini gimana, aku ini, kan sudah menikah," jawabku sewot."Ya nggak, siapa tahu kamu menyukainya, dia kan ganteng, pinter dan sholeh!" Ck! Se
"Mas!" teriakku. Segera saja aku melepaskan diri dari pelukan itu dan melototinya. "Ya sudah! Kalau tidak boleh, kita berangkat sekarang, nanti aku telat!" Aku pura-pura kesal.Padahal dalam hati, aku memang sudah mulai merasa nyaman jika berada dalam pelukan mas Azam. Toh, dia suamiku, aku halal memeluknya, bahkan jika aku menci*mnya itu pun boleh. Ups.. kenapa aku berpikiran seperti ini, sih?Tapi memang benar, Mas Azam adalah suamiku, laki-laki yang halal ku peluk tapi belum bisa kumiliki.Saling menyayangi, tapi tak saling mencintai.Sudah terikat ikatan halal, tapi entah mengapa seakan tak bisa saling memiliki. Ini sungguh rumit. Sepupuku, suamiku.Dari lubuk hati yang paling dalam, sebenarnya hatiku perih dan sakit di perlakukan seperti ini.Aku istri sahnya, aku halal untuknya, tapi seolah-olah aku haram disentuh. Mengapa serumit ini?Selain itu, ada satu masalah yang baru kusadari....Karena Mas Azam selalu melarangku berteman dengan teman cowok, aku jadi males berteman dengan
Ya udah, kalau begitu, makananmu kita bungkus saja, setelah itu kita ke apotek, beli obat mag, habis itu aku antar kamu ke rumahmu!" Ucap Hera.Aku hanya mengangguk pasrah dengan ucapan Hera, karena tiba-tiba saja rasanya malas untuk bicara. Sepertinya, setelah melihat Mas Azam bersama bu Agnes, aku merasa hatiku perih, dan rasa perih itu menjalar ke lambungku, sehingga mag ku kumat, bahkan kepalaku juga terasa cenat cenut. Aku pernah mendengar desas-desus dari Hera maupun dari teman-teman yang lainnya yang memang suka gosip, kalau bu Agnes atau yang sering di panggil ci Agnes itu memang sudah lama punya hubungan dengan seseorang yang katanya beda etnik sehingga masih sembunyi-sembunyi, dan sungguh aku tak menyangka jika laki-laki itu ternyata mas Azam, kakak sepupuku sekaligus suamiku."Jihan, Jihan, kamu baik-baik saja, kan?" Ucap Hera sambil menyantap spageti pesanan nya."Aku balik duluan, ya!" Jawabku dengan lemah karena tubuhku mendadak tak punya tenaga."Tunggu bentar!" Hera t