Usai mengatakan itu keluarga Tante Riska mengeluarkan sejumlah uang untuk kami, mereka meletakkan amplop coklat yang begitu tebalnya entah untuk apa tujuannya."Kalian juga bisa mendapatkan penawaran lebih Kalau tidak mau tinggal dengan Priska, kami akan membayar kalian berapapun kalian inginkan.""Bagaimana kalau aku minta uang miliaran Apa kalian bisa?""Maka pertanyaan harus dikembalikan padamu, Apakah setelah menjual suamimu miliaran rupiah, apakah kau akan merasa puas dan ikhlas melupakannya?" tanya ayah Tante Priska.".... Jika di dalam hati kalian masih tersisa cinta maka janganlah bersikap munafik dan menahan perasaan. Kenapa tidak hidup berdampingan dan mencoba menjadi saudara lalu saling berbagi dalam suka dan duka. Apa susahnya semua itu?" tanya Kakek Hamid."Jika demikian aturlah caranya," ujar Bunda sambil menutup percakapan."Kalau begitu terimalah uang ini dari kami sebagai bentuk permintaan maaf dan bela sungkawa. Kami tidak bermaksud membeli harga diri kalian, tapi ka
"Ada apa lagi Rindi?" ibunda tante Priska bertanya kepada tante Rindi perihal Mengapa Tante Riri terlihat begitu panik dan tante Priska terdengar menangis dari seberang sana."Ini ... Kakak nggak sengaja nabrak orang dan orangnya lagi gawat di rumah sakit, dia lagi ditahan di pos pengamanan, karena warga sekitar sedang mengamuk.""Apa?! Ayo bergegas ke sana dan hubungi polisi jangan sampai ada terjadi sesuatu kepada Priska," jawab ayahnya sambil mengajak anggota keluarganya.Tanpa mengatakan apapun kepada ayah mereka berempat langsung pergi bergegas begitu saja meninggalkan aku dan Bunda serta Ayah yang terkapar dengan wajah bingung.Melihat kepergian mereka Ayah hanya bisa menghalalkan nafas sambil menggelengkan kepala dan berdecak kecil."Ayah nggak mau ikut?" kepada ayah yang terlihat ingin bangun tapi tidak sanggup."Pertanyaanmu rasanya tidak perlu Ayah jawab.""Baguslah, sekarang hanya tersisa kami berdua yang akan menjaga dan mengurusi ayah. Faktanya keluarga kedua tidak akan l
*Pukul 08.00 malam mereka tidak kunjung kembali juga bahkan tidak menelpon sama sekali. Ayah yang mulai gelisah di tempat pembaringannya terlihat terus-menerus menatap ponsel dan menghubungi tapi tidak dijawab.Beliau terlihat sangat khawatir bahkan lebih khawatir dibanding ketika Bunda atau salah satu dari anggota keluarga kami sakit. Aku ingin sekali menyindirnya tapi kali ini Bunda tidak membiarkanku. Mungkin karena itu akan membuatku semakin berdosa jadi sebagai ibu bunda melarangku untuk bersikap melampaui batas."Daripada duduk saja mari siapkan makan malam," ujar Bunda sambil mengajakku beranjak ke dapur."Untuk apa kita siapkan makan malam di rumah orang Apakah mereka dijamin mau memakan masakan Bunda?" tanyaku."Uhm, setidaknya kita masak untuk ayah.""Ah, baiklah," jawabku sambil menghela napas.Aku dan bunda ke dapur, membuka kulkas dan mengambil sosis dan ayam, aku mengoreng sosis sementara, bunda masak ayam saus asam manis kesukaan ayah. Usai masak kami bawakan nasi han
Aku melenggang melewati mereka semua, naik menyusuri tangga dengan langkah elegan, dengan dagu yang terangkat, dan hati yang puas karena telah berhasil mengucapkan apa yang aku inginkan.Benar aku telah menghinakan semua orang dan yang paling parah aku telah menghinakan Ayahku sendiri. Ya, dia pantas mendapatkannya atas semua perbuatannya. Fakta itu adalah hal yang tidak mampu dia pungkiri karena kalau kondisinya sebagai pria miskin yang tidak begitu tinggi jabatannya, ketika menikahi seorang wanita kaya yang punya banyak warisan dan berasal dari keluarga terhormat, maka mau tidak mau ayah akan selalu menundukkan diri dan mengalah. Itu artinya Ayah tidak akan punya hak untuk berpendapat atau mengambil keputusan. Sungguh Ayah telah menukar harga dirinya dengan uang. Sungguh dia telah menggadaikan marwah dirinya hanya demi kenikmatan sesaat yang belum tentu dia benar-benar akan bahagia dengan itu.*"Kau puas mengatakan itu di hadapan mereka?" tanya bunda ketika kami berbaring di temp
"betul sekali, jangankan mendidik diriku mendidik dirinya dan mentalnya saja dia tidak bisa," jawabku sambil mengambil tas selalu melenggang pergi.Ayah terkejut, ibu dan Tante Priska juga, aku tak peduli, aku hanya tertawa lalu menjauh."Lihat anak itu, aku tak yakin kalau dia adalah anak dan keturunan Hafiz yang sopan santun dan bijaksana," ujar Tante Priska. Aku yang sedang berjalan langsung menghentikan langkah dan tersinggung sekali langsung saja aku balikan badan dan berlari sekencang mungkin lalu menarik rambutnya yang panjang.Kujambak dia sampai tiba-tiba terjatuh dan tersungkur ke lantai.Brak!Ah!Semua orang terkejut mendengar jeritan tante Priska begitu pula Ayah yang ingin membela istrinya tapi tidak kuasa karena masih sakit."Beraninya kau meragukan keabsahan aku keturunan siapa!""Kurang ajar!" Ujar Ayah tante Priska yang tiba-tiba mendekat dan berusaha menamparku tapi aku segera mundur menjauh darinya sehingga tamparan itu tidak kena."Kakek Hamid, aku juga meragukan
*Sore yang damai dengan angin berembus sepoi-sepoi mengundang diri ini untuk duduk di sofa santai dekat taman mini yang ada di samping rumah. Kunikmati udara yang berembus sambil melihat daun tanaman hias yang ikut bergoyang oleh terpaan angin.Pikiranku menerawang, perasaanku hampa meski ayah dan bunda masih ada, pandanganku terarah pada foto keluarga saat lebaran tahun lalu, ada nenek dan kami duduk dengan pose senyum penuh bahagia. Saat itu semuanya terasa sempurna, hidup kami selaras dan harmonis seperti air yang mengalir dalam sejuknya sungai yang Bayangi pohon rindang. Kehadiran Tante Priska seperti badai yang menggulung, seperti erupsi gunung berapi yang memporak-porandakan semuanya."Ah, ayah, semua ini karena ayah, Tuhan mengapa ini terjadi." Aku menggumam sendiri sambil menahan air mata yang bergulir di pipi."Apa yang kau pikirkan?" tiba tiba Bunda hadir dari belakangku."Tidak ada," jawabku lirih, kuhapus segera air mata agar bunda tak melihatnya. Wanita berhati lembut i
“Cukup dengan semua pertengkaran yang tidak ada ujungnya, aku lelah, hentikan saling menatap seperti musuh padahal sebenarnya aku tak pernah ingin kalian menjadi musuh, kita ini keluarga. Priska pulanglah, untuk malam ini aku akan di sini," ucap ayah.Untuk pertama kalinya aku senang mendengar Ayah mengatakan itu dalam artian akhirnya dia mau menghabiskan waktu bersama kami, Alhamdulillah akhirnya Ayah menyadari kalau kami juga butuh waktu bersamanya."Benaran Mas?""Iya, aku baik baik saja jadi kau tidak perlu khawatir. Besok pagi aku akan kembali.""Lihat kan, kini ayahku lebih mementingkan dirimu, dia lebih banyak menghabiskan waktu bersamamu dibandingkan dengan kami.""Itulah hebatnya aku," jawabnya sambil tersenyum sinis dan menjauh pergi.Setelah kepergian si jalang itu tinggallah aku bersama orang tuaku, kupandangi ayah dan ibuku yang saling canggung satu sama lain aku hanya menghela nafas panjang, kemudian aku mengajak mereka duduk di sofa untuk bicara.Saat melihat kedua oran
"Berikan uang itu padaku," ucapku sambil merampas uang merah itu dari tangan Radit, temanku langsung merajuk ekspresinya. "Mau ngapain sih.""Mau berbuat sesuatu yang ekstrim," jawabku sambil tersenyum."Eh, kamu mau ngapain sih, apa rencana kamu?"Tanpa memperdulikan temanku, aku ketaman sekolah untuk mencari Mang Udin, kuhampiri petugas tukang kebun itu lalu kubayar ia agar meminjamkan Gunting besar miliknya."Buat apa neng?""Buat prakarya Pak," jawabku. Kudatangi motor ibu tiriku di lokasi parkir khusus tamu lalu menggunting kabel rem belakang dan depan tanpa banyak berpikir Temanku Radit panik dan menggumam, berusaha mencegah, tapi aku yang sudah muak segera melakukan niatku."Aduh, ada CCTV loh.""Bodo amat.""Kalau keliatan orang kita bisa jadi kriminal.""Aku bilang bodo amat," jawabku sambil melangkah menjauh.Bel masuk berbunyi tepat saat aku mengembalikan gunting pada tukang kebun, aku dan Radit berjalan beriringan sambil terus saja sahabatku mengoceh dengan gelisah, dia