*Pukul 08.00 malam mereka tidak kunjung kembali juga bahkan tidak menelpon sama sekali. Ayah yang mulai gelisah di tempat pembaringannya terlihat terus-menerus menatap ponsel dan menghubungi tapi tidak dijawab.Beliau terlihat sangat khawatir bahkan lebih khawatir dibanding ketika Bunda atau salah satu dari anggota keluarga kami sakit. Aku ingin sekali menyindirnya tapi kali ini Bunda tidak membiarkanku. Mungkin karena itu akan membuatku semakin berdosa jadi sebagai ibu bunda melarangku untuk bersikap melampaui batas."Daripada duduk saja mari siapkan makan malam," ujar Bunda sambil mengajakku beranjak ke dapur."Untuk apa kita siapkan makan malam di rumah orang Apakah mereka dijamin mau memakan masakan Bunda?" tanyaku."Uhm, setidaknya kita masak untuk ayah.""Ah, baiklah," jawabku sambil menghela napas.Aku dan bunda ke dapur, membuka kulkas dan mengambil sosis dan ayam, aku mengoreng sosis sementara, bunda masak ayam saus asam manis kesukaan ayah. Usai masak kami bawakan nasi han
Aku melenggang melewati mereka semua, naik menyusuri tangga dengan langkah elegan, dengan dagu yang terangkat, dan hati yang puas karena telah berhasil mengucapkan apa yang aku inginkan.Benar aku telah menghinakan semua orang dan yang paling parah aku telah menghinakan Ayahku sendiri. Ya, dia pantas mendapatkannya atas semua perbuatannya. Fakta itu adalah hal yang tidak mampu dia pungkiri karena kalau kondisinya sebagai pria miskin yang tidak begitu tinggi jabatannya, ketika menikahi seorang wanita kaya yang punya banyak warisan dan berasal dari keluarga terhormat, maka mau tidak mau ayah akan selalu menundukkan diri dan mengalah. Itu artinya Ayah tidak akan punya hak untuk berpendapat atau mengambil keputusan. Sungguh Ayah telah menukar harga dirinya dengan uang. Sungguh dia telah menggadaikan marwah dirinya hanya demi kenikmatan sesaat yang belum tentu dia benar-benar akan bahagia dengan itu.*"Kau puas mengatakan itu di hadapan mereka?" tanya bunda ketika kami berbaring di temp
"betul sekali, jangankan mendidik diriku mendidik dirinya dan mentalnya saja dia tidak bisa," jawabku sambil mengambil tas selalu melenggang pergi.Ayah terkejut, ibu dan Tante Priska juga, aku tak peduli, aku hanya tertawa lalu menjauh."Lihat anak itu, aku tak yakin kalau dia adalah anak dan keturunan Hafiz yang sopan santun dan bijaksana," ujar Tante Priska. Aku yang sedang berjalan langsung menghentikan langkah dan tersinggung sekali langsung saja aku balikan badan dan berlari sekencang mungkin lalu menarik rambutnya yang panjang.Kujambak dia sampai tiba-tiba terjatuh dan tersungkur ke lantai.Brak!Ah!Semua orang terkejut mendengar jeritan tante Priska begitu pula Ayah yang ingin membela istrinya tapi tidak kuasa karena masih sakit."Beraninya kau meragukan keabsahan aku keturunan siapa!""Kurang ajar!" Ujar Ayah tante Priska yang tiba-tiba mendekat dan berusaha menamparku tapi aku segera mundur menjauh darinya sehingga tamparan itu tidak kena."Kakek Hamid, aku juga meragukan
*Sore yang damai dengan angin berembus sepoi-sepoi mengundang diri ini untuk duduk di sofa santai dekat taman mini yang ada di samping rumah. Kunikmati udara yang berembus sambil melihat daun tanaman hias yang ikut bergoyang oleh terpaan angin.Pikiranku menerawang, perasaanku hampa meski ayah dan bunda masih ada, pandanganku terarah pada foto keluarga saat lebaran tahun lalu, ada nenek dan kami duduk dengan pose senyum penuh bahagia. Saat itu semuanya terasa sempurna, hidup kami selaras dan harmonis seperti air yang mengalir dalam sejuknya sungai yang Bayangi pohon rindang. Kehadiran Tante Priska seperti badai yang menggulung, seperti erupsi gunung berapi yang memporak-porandakan semuanya."Ah, ayah, semua ini karena ayah, Tuhan mengapa ini terjadi." Aku menggumam sendiri sambil menahan air mata yang bergulir di pipi."Apa yang kau pikirkan?" tiba tiba Bunda hadir dari belakangku."Tidak ada," jawabku lirih, kuhapus segera air mata agar bunda tak melihatnya. Wanita berhati lembut i
“Cukup dengan semua pertengkaran yang tidak ada ujungnya, aku lelah, hentikan saling menatap seperti musuh padahal sebenarnya aku tak pernah ingin kalian menjadi musuh, kita ini keluarga. Priska pulanglah, untuk malam ini aku akan di sini," ucap ayah.Untuk pertama kalinya aku senang mendengar Ayah mengatakan itu dalam artian akhirnya dia mau menghabiskan waktu bersama kami, Alhamdulillah akhirnya Ayah menyadari kalau kami juga butuh waktu bersamanya."Benaran Mas?""Iya, aku baik baik saja jadi kau tidak perlu khawatir. Besok pagi aku akan kembali.""Lihat kan, kini ayahku lebih mementingkan dirimu, dia lebih banyak menghabiskan waktu bersamamu dibandingkan dengan kami.""Itulah hebatnya aku," jawabnya sambil tersenyum sinis dan menjauh pergi.Setelah kepergian si jalang itu tinggallah aku bersama orang tuaku, kupandangi ayah dan ibuku yang saling canggung satu sama lain aku hanya menghela nafas panjang, kemudian aku mengajak mereka duduk di sofa untuk bicara.Saat melihat kedua oran
"Berikan uang itu padaku," ucapku sambil merampas uang merah itu dari tangan Radit, temanku langsung merajuk ekspresinya. "Mau ngapain sih.""Mau berbuat sesuatu yang ekstrim," jawabku sambil tersenyum."Eh, kamu mau ngapain sih, apa rencana kamu?"Tanpa memperdulikan temanku, aku ketaman sekolah untuk mencari Mang Udin, kuhampiri petugas tukang kebun itu lalu kubayar ia agar meminjamkan Gunting besar miliknya."Buat apa neng?""Buat prakarya Pak," jawabku. Kudatangi motor ibu tiriku di lokasi parkir khusus tamu lalu menggunting kabel rem belakang dan depan tanpa banyak berpikir Temanku Radit panik dan menggumam, berusaha mencegah, tapi aku yang sudah muak segera melakukan niatku."Aduh, ada CCTV loh.""Bodo amat.""Kalau keliatan orang kita bisa jadi kriminal.""Aku bilang bodo amat," jawabku sambil melangkah menjauh.Bel masuk berbunyi tepat saat aku mengembalikan gunting pada tukang kebun, aku dan Radit berjalan beriringan sambil terus saja sahabatku mengoceh dengan gelisah, dia
Begitulah saat orang tua menghancurkan anak mereka sendiri dengan ucapan dan tingkah, orang dewasa tidak pernah sadar bahwa apa yang mereka lakukan, hal kecil yang mereka katakan akan berdampak sangat menyakitkan dan buruk. Satu kesalahan bisa berdampak perubahan selamanya dalam diri seorang anak.Kutemukan diriku sebagai sosok yang hancur, rapuh dalam kekecewaan, tumbuh jadi pribadi yang tidak puas dan pendendam. Padahal masih muda, aku kejam, sulit memaafkan dan tidak mudah mempercayai orang. Sungguh, apa yang dilakukan ayah telah merubah hidupku keseluruhannya. Aku membencinya, rasa itu bercampur dengan rasa cinta dan sakit yang mendalam.Ayah mengusap air matanya dan mencoba menenangkan diri sementara bunda hanya terdiam. "Sekarang apa yang akan kau lakukan naifa?""Terserah Mas saja, aku memang sudah memanjakan anak sehingga ia tumbuh sesuka hatinya. Kini terserah kau saja Mas.""Maukah jika anakmu kuserahkan pada pihak yang berwajib untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya?"
Aku terpuruk, kini, aku terpuruk di hadapan semua orang. Ibu Tante Priska sudah ambil keputusan, semua orang diam dan artinya semua orang setuju aku dihukum. Kupandangi wajah bunda dengan penuh harap sementara ibuku itu menggeleng lemah dan jatuh air matanya."Bunda...." Mendengar aku memelas putus asa,segera saja bunda bangun dan menghambur ke arah Oma Fatin. Dia menyentuh kaki wanita itu lalu memohon di sana."Hampura ibu, sekali lagi maaf... Kasihanilah anak saya... Dia masih belum sadar dan berpikir jernih, ia masih kecil.""Justru karena dia kecil aku akan mendidiknya. Kau juga ... kau juga wanita yang tak tahu diuntung, aku sudah membantu kesulitan ekonomi keluargamu, Priska juga banyak membantu, kenapa tak sedikit pun kau hendak mengendalikan sikap anakmu? Kalau kau tegas, peristiwa ini tidak akan pernah terjadi!" ucap Oma Fatin. dengan kemarahan yang benar benar parah.Aku menyadari bahwa kesalahanku sudah fatal, aku menyesal tidak mendengar ucapan Radit. Aku tahu anak muda s