"betul sekali, jangankan mendidik diriku mendidik dirinya dan mentalnya saja dia tidak bisa," jawabku sambil mengambil tas selalu melenggang pergi.Ayah terkejut, ibu dan Tante Priska juga, aku tak peduli, aku hanya tertawa lalu menjauh."Lihat anak itu, aku tak yakin kalau dia adalah anak dan keturunan Hafiz yang sopan santun dan bijaksana," ujar Tante Priska. Aku yang sedang berjalan langsung menghentikan langkah dan tersinggung sekali langsung saja aku balikan badan dan berlari sekencang mungkin lalu menarik rambutnya yang panjang.Kujambak dia sampai tiba-tiba terjatuh dan tersungkur ke lantai.Brak!Ah!Semua orang terkejut mendengar jeritan tante Priska begitu pula Ayah yang ingin membela istrinya tapi tidak kuasa karena masih sakit."Beraninya kau meragukan keabsahan aku keturunan siapa!""Kurang ajar!" Ujar Ayah tante Priska yang tiba-tiba mendekat dan berusaha menamparku tapi aku segera mundur menjauh darinya sehingga tamparan itu tidak kena."Kakek Hamid, aku juga meragukan
*Sore yang damai dengan angin berembus sepoi-sepoi mengundang diri ini untuk duduk di sofa santai dekat taman mini yang ada di samping rumah. Kunikmati udara yang berembus sambil melihat daun tanaman hias yang ikut bergoyang oleh terpaan angin.Pikiranku menerawang, perasaanku hampa meski ayah dan bunda masih ada, pandanganku terarah pada foto keluarga saat lebaran tahun lalu, ada nenek dan kami duduk dengan pose senyum penuh bahagia. Saat itu semuanya terasa sempurna, hidup kami selaras dan harmonis seperti air yang mengalir dalam sejuknya sungai yang Bayangi pohon rindang. Kehadiran Tante Priska seperti badai yang menggulung, seperti erupsi gunung berapi yang memporak-porandakan semuanya."Ah, ayah, semua ini karena ayah, Tuhan mengapa ini terjadi." Aku menggumam sendiri sambil menahan air mata yang bergulir di pipi."Apa yang kau pikirkan?" tiba tiba Bunda hadir dari belakangku."Tidak ada," jawabku lirih, kuhapus segera air mata agar bunda tak melihatnya. Wanita berhati lembut i
“Cukup dengan semua pertengkaran yang tidak ada ujungnya, aku lelah, hentikan saling menatap seperti musuh padahal sebenarnya aku tak pernah ingin kalian menjadi musuh, kita ini keluarga. Priska pulanglah, untuk malam ini aku akan di sini," ucap ayah.Untuk pertama kalinya aku senang mendengar Ayah mengatakan itu dalam artian akhirnya dia mau menghabiskan waktu bersama kami, Alhamdulillah akhirnya Ayah menyadari kalau kami juga butuh waktu bersamanya."Benaran Mas?""Iya, aku baik baik saja jadi kau tidak perlu khawatir. Besok pagi aku akan kembali.""Lihat kan, kini ayahku lebih mementingkan dirimu, dia lebih banyak menghabiskan waktu bersamamu dibandingkan dengan kami.""Itulah hebatnya aku," jawabnya sambil tersenyum sinis dan menjauh pergi.Setelah kepergian si jalang itu tinggallah aku bersama orang tuaku, kupandangi ayah dan ibuku yang saling canggung satu sama lain aku hanya menghela nafas panjang, kemudian aku mengajak mereka duduk di sofa untuk bicara.Saat melihat kedua oran
"Berikan uang itu padaku," ucapku sambil merampas uang merah itu dari tangan Radit, temanku langsung merajuk ekspresinya. "Mau ngapain sih.""Mau berbuat sesuatu yang ekstrim," jawabku sambil tersenyum."Eh, kamu mau ngapain sih, apa rencana kamu?"Tanpa memperdulikan temanku, aku ketaman sekolah untuk mencari Mang Udin, kuhampiri petugas tukang kebun itu lalu kubayar ia agar meminjamkan Gunting besar miliknya."Buat apa neng?""Buat prakarya Pak," jawabku. Kudatangi motor ibu tiriku di lokasi parkir khusus tamu lalu menggunting kabel rem belakang dan depan tanpa banyak berpikir Temanku Radit panik dan menggumam, berusaha mencegah, tapi aku yang sudah muak segera melakukan niatku."Aduh, ada CCTV loh.""Bodo amat.""Kalau keliatan orang kita bisa jadi kriminal.""Aku bilang bodo amat," jawabku sambil melangkah menjauh.Bel masuk berbunyi tepat saat aku mengembalikan gunting pada tukang kebun, aku dan Radit berjalan beriringan sambil terus saja sahabatku mengoceh dengan gelisah, dia
Begitulah saat orang tua menghancurkan anak mereka sendiri dengan ucapan dan tingkah, orang dewasa tidak pernah sadar bahwa apa yang mereka lakukan, hal kecil yang mereka katakan akan berdampak sangat menyakitkan dan buruk. Satu kesalahan bisa berdampak perubahan selamanya dalam diri seorang anak.Kutemukan diriku sebagai sosok yang hancur, rapuh dalam kekecewaan, tumbuh jadi pribadi yang tidak puas dan pendendam. Padahal masih muda, aku kejam, sulit memaafkan dan tidak mudah mempercayai orang. Sungguh, apa yang dilakukan ayah telah merubah hidupku keseluruhannya. Aku membencinya, rasa itu bercampur dengan rasa cinta dan sakit yang mendalam.Ayah mengusap air matanya dan mencoba menenangkan diri sementara bunda hanya terdiam. "Sekarang apa yang akan kau lakukan naifa?""Terserah Mas saja, aku memang sudah memanjakan anak sehingga ia tumbuh sesuka hatinya. Kini terserah kau saja Mas.""Maukah jika anakmu kuserahkan pada pihak yang berwajib untuk mempertanggung jawabkan perbuatannya?"
Aku terpuruk, kini, aku terpuruk di hadapan semua orang. Ibu Tante Priska sudah ambil keputusan, semua orang diam dan artinya semua orang setuju aku dihukum. Kupandangi wajah bunda dengan penuh harap sementara ibuku itu menggeleng lemah dan jatuh air matanya."Bunda...." Mendengar aku memelas putus asa,segera saja bunda bangun dan menghambur ke arah Oma Fatin. Dia menyentuh kaki wanita itu lalu memohon di sana."Hampura ibu, sekali lagi maaf... Kasihanilah anak saya... Dia masih belum sadar dan berpikir jernih, ia masih kecil.""Justru karena dia kecil aku akan mendidiknya. Kau juga ... kau juga wanita yang tak tahu diuntung, aku sudah membantu kesulitan ekonomi keluargamu, Priska juga banyak membantu, kenapa tak sedikit pun kau hendak mengendalikan sikap anakmu? Kalau kau tegas, peristiwa ini tidak akan pernah terjadi!" ucap Oma Fatin. dengan kemarahan yang benar benar parah.Aku menyadari bahwa kesalahanku sudah fatal, aku menyesal tidak mendengar ucapan Radit. Aku tahu anak muda s
Sungguh penasaran diri ini dengan Apa rencana ibuku. Dan seperti yang semua orang ketahui aku memang anak yang punya jiwa pemberontak maka aku putuskan untuk hari ini pura-pura meminta izin kepada wali kelas. Yang orang tuaku tahu aku tetap pergi ke sekolah dan mengenakan seragam Tapi yang sebenarnya terjadi aku malah akan mengikuti Bunda ke mana langkah dan kepergiannya aku ingin tahu apa yang akan dia lakukan dan apa rencananya ke depan. Memang tidak bagus terlalu kepo dan ingin tahu tapi aku benar-benar tidak bisa mengendalikan diri.Sini aku pelan-pelan mengikuti ibuku yang dari kejauhan terlihat berbelok ke Jalan Sudirman, sepertinya dia benar-benar akan ke rumah sakit untuk pergi menemui keluarga tante priska. Entah rencananya dan apa yang akan dia katakan aku dan jiwa bergejolak ingin tahuku meronta-ronta.Syukurnya Bunda tidak menyadari kalau aku mengikutinya dari kejauhan saat dia meletakkan motor di lokasi parkir hampir saja wanita tersayangku itu melirik kepada diri ini tap
"Merebut nyawa Putri Anda? maksudnya apa?""Ibu Priska Anindya telah diam-diam melangsungkan pernikahan dan kenyataannya itu yang tidak bisa diterima Putriku hingga Dia memutuskan untuk bunuh diri. Tadinya aku diam saja tapi lama-kelamaan wanita itu terus mengganggu kenyamanan keluargaku. Akhirnya aku kehilangan kesabaran dan tidak terima juga dengan perbuatan mereka....""Kenapa Ibu baru mengatakannya sekarang dan tidak melapor dari dulu," tanya lelaki dengan suara berat itu. Aku tidak melihat wajahnya tapi aku mendengar karakteristik suaranya yang benar-benar berwibawa."Saya memberi mereka kesempatan untuk berpisah dan memperbaiki semuanya tapi semakin hari semakin melunjak saja, malah sekarang suami saya mengabaikan kewajibannya kepada keluarga dan lebih memilih untuk bersama istri barunya, tentu dengan demikian hal itu menyulitkan kami sebagai istri dan anak yang bergantung kepada suami.""Kalau begitu Kenapa anda tidak melaporkan perbuatan suami Anda kepada instansinya?""Tent