—Lila Winter
“Ruby!”Kuharap dia tahu apa yang dilakukannya.“Ruby, keluarlah. Ayo, kita pergi ke pemakaman.”Sepertinya, hanya dia yang keras kepala di hari kematian ibunya sendiri.“Bibi Esther akan bersedih jika melihat kau tidak ada di sana.”Hening.Walau dia ada di dalam, bersembunyi dan tidak bersuara, Ruby Marion akan terus keras kepala hingga akhir.“Okay. Jika itu maumu. Nanti, lain kali, jangan pernah mengeluh menyesal di depanku.”Tetap tidak ada jawaban apa pun. Aku sudah membujuk lebih dari lima belas menit di sini. Itu melelahkan bagiku. Cukup sudah!“Bagaimana?” Ray—adikku—di seberang terdengar gelisah.Dia saja tidak berhasil membujuk, apalagi aku.“Sama saja.”Helaan napas Ray terasa nyaring di telingaku. Kuputuskan untuk mengakhiri panggilan telepon secara sepihak. Bergegas masuk ke mobilku yang berada tepat di pekarangan rumah Ruby.Gerimis mulai turun tipis-tipis. Bahkan langit pun ikut bersedih atas kepergian bibi Esther.Kuinjak rem mendadak, ketika rasanya nyaris menabrak sesuatu di depan. Oh, bukan! Maksudku, ada yang tiba-tiba melompat cari mati ke depan mobilku.Kulihat seorang pria berada dalam posisi setengah berbaring di depan mobil. Mengenakan kaus lengan pendek hitam, topi dan masker yang berwarna sama.Segera berjongkok tubuhku untuk memeriksa keadaannya. “Hei, kenapa kau—”Dia mengeluarkan pistol. Tiba-tiba sekali. Mengarah padaku, walau secara tidak langsung. Dia bukan sedang menodongkan mulut benda itu ke kepalaku, tapi mengarahkannya lurus padaku.“Ikuti saja perintahku, Nona. Cepat masuk kembali ke mobilmu dan biarkan aku ikut bersamamu.”Walau terasa seperti ada sesuatu yang menghantam diriku, membuat kedua kakiku lemas ketika melihat senjata apinya yang mengarah padaku, aku berusaha tampak kuat. Seperti yang biasa kulakukan. Meski situasinya jauh berbeda.Aku sudah berada di balik kemudi. Menunggu arahan si pria bermasker, sambil berusaha mencari bantuan lewat cara apa pun yang memungkinkan dan yang bisa kupikirkan.“Jalan.”Meski kedua tanganku gemetar, namun aku berhasil melajukan kembali mobilku dengan baik di jalanan.Aku tidak berusaha meliriknya sama sekali. Hanya fokus menatap ke depan. Sementara pikiranku berkelana. Menyadari seketika bahwa aku tidak bisa menghadiri pemakaman bibi Esther. Sudah terlambat lebih dari tiga puluh menit!Gila. Aku duduk bersebelahan dengan pria bersenjata api. Bagaimana jika dia menembakku, lalu membuangku ke sungai untuk menghilangkan—“Belok kanan, Nona.”Akh, hampir saja aku mati terkejut karena mendengar suaranya. Bahkan kemudian, aku tidak sadar entah sejak kapan dia sudah melepaskan maskernya.Jalan yang dilalui mulai berbatu kerikil dengan lubang kecil di sana sini.Suara tembakan yang datang tiba-tiba dari belakang, membuatku tersentak. Hampir saja aku menghentikan mobilku, jika pria itu tidak mengingatkanku.“Fokus! Tetap menyetir, Nona. Jangan hiraukan apa pun. Antarkan saja aku ke tempat tujuanku, agar kau bisa selamat!”Bentakannya malah membuatku tenang. Setidaknya, aku aman karena dia memiliki senjata api di tangannya. Asal bukan pistol mainan saja.Jalanan semakin menguji nyali. Turunan yang licin dan berbatu. Bahkan yang tadinya gerimis tipis-tipis, kini sudah berganti menjadi hujan deras.“Aku akan pindah ke belakang. Terus fokus mengemudi, tanpa menghiraukan apa pun. Terobos saja sungai dangkal berbatu di depan sana. Jangan berhenti sebelum aku memerintahkan itu padamu. Kau mengerti?”“Ya.” Berusaha untuk hanya fokus pada jalanan yang nyaris rusak, aku tahu saat dia sedang memerintahkan ini dan itu padaku, pria ini terus saja mengarahkan senjatanya padaku. Meski tidak menodongkan pistolnya tepat ke pelipisku.Jantungku berdebar begitu hebat. Lebih mengejutkan, ketika sungai dangkal berbatu sudah terlihat di depan mata.“Jangan ragu,” bisiknya. Tiba-tiba suaranya sudah ada di belakangku. Dekat telingaku. “Terobos saja. Kau pasti bisa, Nona.”Sekarang, kupikir dia memilihku karena jenis mobil yang kukendarai. Entah, jika itu salah duga.Mobil off-road dengan jenis SUV milikku ini memang tangguh di segala medan.Suara tembakan yang terdengar dekat, membuatku refleks menoleh ke belakang. Napasku tercekat di tenggorokan. Rasanya sesak.Seperti di film-film action, kulihat dia mengeluarkan setengah tubuhnya keluar jendela.Tidak sayang nyawa. Itu definisi yang tepat untuk mendeskripsikan pria ini. Padahal, jalanan berbatu seperti yang terlihat, memungkinkan tubuhnya terlempar keluar jendela.Kembali fokus. Kau di kehidupan nyata! Bukan syuting film.Dan, yap! Aku berhasil melewati sungai dangkal dengan dasar yang tidak menentu itu. Kelegaan berubah menjadi sesuatu yang menyenangkan.Aneh, memang. Bagaimana bisa? Padahal, ini bukan situasi di mana aku sedang-“Masuk ke semak-semak itu.” Suaranya terdengar lagi di belakangku.Setelah sungai, sekarang semak belukar? Dia ini buronan yang butuh tempat persembunyian atau bagaimana?“Lebih dalam sedikit lagi.”Aku memajukan mobilku perlahan. Kesayanganku ini memang luar biasa. Sampai-sampai dia menjadi saranaku untuk menyusul bibi Esther secepat mungkin.“Matikan mobilnya.”Segera kulakukan. Aku berusaha bernapas dengan teratur. Keadaan di sekitarku gelap karena tertutup semak-semak yang tingginya nyaris dua meter. Bahkan suara hujan deras yang menimpa mobil terasa menakutkan berkombinasi dengan gesekan daun-daun memanjang runcing.Rasa-rasanya, aku lebih takut ditemukan oleh binatang buas daripada para penjahat bersenjata.Padahal, apa bedanya mereka bagi orang biasa tanpa senjata untuk melawan?“Kita akan diam di sini selama beberapa jam.”Apa? Sontak aku menoleh melihatnya yang sudah kembali ke kursi di sampingku.“Kalau begitu, aku harus menghubungi keluargaku.”Dia menatapku. Baru kusadari seberapa mengerikan wajahnya itu. Dia pria dewasa yang mungkin lebih cocok kupanggil ‘paman’ daripada ‘kakak’ meski wajahnya tidak setua paman Eddie atau paman Winter-ku yang lain.Mengerikan dalam artian, dia seperti tidak memiliki gurat lembut sedikit pun, di wajah seriusnya itu. Kesannya seolah dia ini pembunuh berdarah dingin.Ah, ya. Aku memang pecinta film dengan genre action dan thriller.Dia masih belum menjawabku. Hanya terus mengamatiku. Lalu diam-diam mengumpat.Hei, aku bisa mendengar umpatanmu, Bro!“Kirim pesan, kalau begitu.”Okay. Aku mengerti bahasamu. Kau melarangku menelepon.“Setelah selesai, berikan ponselmu padaku. Kita tidak boleh terlacak oleh siapa pun.”Aku menolak. Jelas saja. “Mereka tidak mengenalku. Bagaimana mungkin—”“Menurut saja, Nona. Nyawamu itu berharga.”Sejak dulu, aku pihak yang tidak senang berdebat. Sehingga kuturuti saja. Jariku mulai mengetik, sementara dia terus memperhatikan layar ponselku. Aku tahu itu.Kusodorkan begitu saja ponselku padanya. Tentu saja setelah menonaktifkannya.Hujan deras seperti menulikan telingaku. Aku tidak mendengar apa pun, tapi pria di sampingku ini memintaku tidak bersuara. Dia sedang coba mendengar sesuatu setelah memperingatiku lewat isyarat jari telunjuk di bibir.Apa kami ketahuan?Aku menunggu sambil menahan napas. Semakin tidak karuan saat dia mendekatkan wajahnya padaku. Oh, bukan. Bibirnya ke telingaku.“Tidak aman. Kita harus pergi. Kau harus menyetir lagi. Lebih fokus lagi. Apa kau siap?”Memangnya aku punya pilihan? Aku mengangguk. Tanganku siap menyalakan mesin mobil, ketika tangannya mencegah gerakanku.“Jangan sekarang. Tunggu aba-aba dariku.”“Oh, okay.” Aku melihat tangannya yang bertumpu di tanganku. Kokoh dengan urat yang menonjol di sana sini. Tubuhnya tidak terlalu terbentuk, tapi kupikir, lebih bagus dari paman-pamanku yang seperti raksasa.Hujan kian mulai berangsur reda. Namun pria ini jelas sudah tidak berniat sama sekali untuk memberiku aba-aba.Gawat bila aku tertidur di sini. Kulirik si pria yang terus sibuk melakukan pengintaian lewat pendengarannya.Dengan gerak perlahan dan hati-hati, dia membuka pintu, lalu keluar dari mobil dengan hati-hati.Dia mau ke mana?Tatapan kami tiba-tiba saling bertemu. Dia memberi isyarat dengan tangannya, agar aku tetap di tempatku.Hujan sudah benar-benar reda, tapi pria itu belum juga kembali. Suara semak-semak sesekali terdengar bergesekan karena tertiup angin.Apa dia menipuku? Mungkin saja saat ini dia sudah berlari menjauhi tempat ini. Menyelamatkan dirinya sendiri.Merasa perlu bertindak dan menyaksikan sendiri, aku turun dari mobilku dengan perlahan, hati-hati. Semak-semak ini sedikit luas dengan keadaan yang mencekam.Hanya bermodal nekat, aku coba keluar dari semak. Baru satu langkah, tanganku sudah ditarik dari arah samping. Aku sungguh berharap bahwa yang melakukannya itu, pria tadi.Memang dia. Namun ekspresinya siap membunuhku saat ini.Punggungku terasa sakit menabrak badan mobil sisi samping. Dia mendorongku cukup kuat. Berengsek memang! Ini sakit sekali.“Kau mau mengantarkan nyawamu dengan suka rela?” Dia bertanya setengah berbisik, setengah menggeram. Marah, matanya berkilat penuh kemarahan.“Kau terlalu lama meninggalkanku seorang diri tanpa kepastian. Aku ragu kau akan kembali. Jadi, aku memeriksa keadaan untuk memastikan.”—Lila WinterDia menarikku dari posisi bersandar di mobil. Mengusap-usap punggungku, tanpa mengatakan apa pun. Bahkan tidak menatapku sama sekali. Sedikit mendongak, aku melihat pandangannya lurus melewati kepalaku.Dia bertubuh tinggi. Aku berada tepat sedikit di bawah pundaknya. Padahal, aku tidak begitu pendek. Seratus enam puluh tujuh, sepertinya.Apa dia berusaha minta maaf karena sudah membuatku terdorong keras seperti tadi?Aneh saat kubiarkan dia mengusap-usap punggungku, seolah kami ini akrab.Hei, apa karena dia membuatku merasa tertekan?Hmm, mungkin.Biasanya, hal ini hanya dilakukan oleh ayah dan para pamanku. Untuk Ray, bahkan aku tidak mengizinkannya menyentuhku.“Masuk. Jangan keluar sebelum aku memintamu, Nona. Aku sungguh-sungguh saat memperingatimu.” Dia menatapku kali ini. Dengan matanya yang meneliti.Apa yang coba dia teliti dariku?“Dapatkan dia dan potong lehernya! Bawa kepalanya untuk Bos!”Jantungku serasa meluncur jatuh ketika mendengar suara penuh amarah da
—Devon WoodyKulirik sekilas wajahnya dari samping. Jujur, dia cantik dan menggairahkan. Masih muda, segar, sangat menawan.Kejantananku ikut liar sejak tadi, ketika dia duduk di atas pangkuanku. Namun, hebatnya, aku selalu bisa menjaga diriku. Hatiku, cintaku.“Kita harus pergi dari sini. Hujannya semakin deras.” Aku memberitahunya. Seperti tersadar dari lamunan, tubuhnya yang canggung bergerak menjauhiku dengan cekatan.“Okay.” Santai. Dingin. Tidak terbaca.Banyak kelebihan yang tergambar jelas pada diri wanita muda ini. Mungkin dia lebih cocok jadi adik dari salah satu teman-temanku atau bahkan keponakan mereka.Jelas dari wajahnya pun, dia tampak semuda itu.Rambut hitam melewati bahu dengan warna mata yang sama pekatnya.Dia tidak ragu atau canggung saat membantuku berjalan. Padahal, Otis dan Jack ada di sini. Jauh lebih bisa diandalkan.“Ambil mayat di dekat semak-semak, berikan pada Tyga.” Sambil memberi perintah, aku menangkap keterkejutan di sepasang mata gelapnya itu, walau
—Lila WinterMenikmati scone dan teh, tidak membuatku lupa bahwa ini bukan di rumah.Selera pria bernama Devon ini memang luar biasa. Ruangan kerja yang dominan dengan warna kayu. Rapi, namun tampak misterius. Terkesan ketinggalan zaman, tapi bernilai seni tinggi.“Kau seharusnya membersihkan dirimu dulu sebelum pulang.” Pria dewasa yang memang lebih cocok dipanggil hot uncle itu, berdiri di sampingku. Dekat pegangan kursi kayu berukir.“Aku tidak apa-apa.” Kuletakkan cangkir tehku kembali tanpa mengalihkan pandanganku darinya.“Orang tuamu akan bertanya kenapa penampilanmu seperti itu.”“Memangnya, seperti apa?” Sekarang, aku mengambil scone kedua. Rencananya, aku akan menghabiskannya sampai tidak bersisa di piring.Si hot uncle ini tiba-tiba duduk di sisiku. Membuatku terkejut dan menjatuhkan scone yang belum masuk ke mulutku.“Oh, maaf! Hei, hei. Jangan pungut!” Dia ikut menunduk, ketika aku siap memungut scone yang jatuh.Maksudku, agar segera kubuang, bukan kumasukkan ke mulutku.
—Lila WinterKepergian Ruby ke Graswall, meninggalkan tanggung jawab yang ditimpakan si gadis sialan itu padaku.Karena enggan menghubungi paman Eddie seperti pesan ibu, ayahnya Ruby itu mendatangiku ke rumah, ketika sarapan pagiku masih setengah jalan.Tidak tahu pasti ada konflik apa di masa lalu, antara ayah dan paman Eddie, mereka selalu terlihat canggung satu sama lain. Itu pun terjadi pagi ini di meja makan kami.Walau ayah menerima kedatangannya dengan tangan terbuka.“Apa? Peran untuk musik video?”“Ya. Hanya untuk satu lagu saja, Lila. Peluncuran albumnya tidak bisa ditunda sampai beberapa waktu. Musik videonya harus rilis bersamaan besok. Pengambilan gambar sebaiknya diselesaikan sore ini.”Jadi, apa urusannya denganku? Tidak kukatakan, tapi kutatap saja ayahnya Ruby ini dengan segala kebingungan. Agar dia paham, bahwa aku tidak ingin disangkutpautkan.“Bacalah ini.” Paman Eddie menyodorkan secarik kertas berisi tulisan tangan. Itu tulisan tangan Ruby. Si bocah sialan. Dia s
—Devon WoodyBayangan keseluruhan diri Lila masih terus mengganggu pikiranku. Sebenarnya, aku kesal. Mendadak setiap kali ingin memejamkan mata, penampakan bibirnya yang sedang memanggilku, benar-benar terasa nyata. Bahkan suaranya ketika menyebut ‘Dev’ terus bergema di dalam kepalaku.Ini tidak adil!Pada perempuan di depanku ini, aku tidak pernah merasakan yang sedemikian parahnya. Walau jelas, wanitaku ini tidak akan terkalahkan oleh siapa pun.“Tuan Devon Woody?”Aku tegak dari dudukku. Perawat memanggil. Setengah tubuhnya muncul di pintu.“Sayang, sebentar ya?” Mengecup kening wanitaku sekilas, aku bergegas keluar.“Silakan, Tuan. Dokter Viggo ingin bicara dengan Anda.” Perawat membukakan pintu ruangan dokter untukku, setelah kami tiba.“Terima kasih.” Aku duduk setelah dipersilakan.“Nyonya Esme mengalami banyak kemajuan, Tuan Devon.”Bagus! Berita yang sangat bagus! “Lalu, apa—”“Dokter! Pasien Esme Woody sudah siuman!”Aku jadi yang pertama bergerak dari dudukku. Berlari seger
—Lila WinterKami hanya saling memuaskan satu sama lain. Tidak lebih. Kurasa, dia paham tentang keperawanan yang sempat kuutarakan padanya kemarin lalu.Ponsel Dev berdering. Tepat ketika kami berpelukan setelah selesai merasa setengah terpuaskan, itu bagiku. Entah untuknya. Mungkin dia sudah puas hanya dengan mulutku saja. Aku belum. Kuakui itu.Dev menjawab panggilannya, tanpa merapikan diri. Maksudku, dia tidak peduli dengan rambutnya yang acak-acakan, kemeja kusut dan kancing kemeja bagian atasnya yang terbuka. Langsung keluar dari mobil dan berbicara ditelepon. Aku tidak mendengar apa pun dari sini. Lagipula, aku tidak peduli.Seharusnya, aku membeli ponsel sebelum pergi syuting tadi pagi. Aku lupa.“Di mana rumahmu?”Aku menatapnya yang bicara di depan pintu mobil yang terbuka. “Satu belokan lagi.” Itu rumah paman Eddie. Aku perlu ke sana untuk memastikan sesuatu. Walau Ruby tidak mungkin ada di sana. Gadis bengal itu tidak akan pulang dengan sendirinya.“Okay.” Dia malah masuk
—Lila Winter“Kau takut?” bisikku. Dan kulihat Gray mengangguk. “Yang benar saja.” Kudorong wajahnya menjauh dariku.“Lilaaa!” Seperti bocah, Gray bersiap memelukku. Malahan merengek. Di luar, Pretty Wings masih saja berusaha membuka pintu dan menggedor-gedor kaca jendela mobil.“Jangan berisik. Diam dan lihat apa yang dia lakukan pada mobilmu.” Aku mengerut marah, sekaligus menunjuk ke arah Pretty Wings yang sedang beraksi.“Lila, aku benar-benar ketakutan.” Gray memberitahuku lagi. Sangat dekat. Nyaris mencium daun telingaku.Aku memberinya ekspresi tidak tertarik. Mengabaikannya dan lebih memperhatikan apa yang sedang dikerjakan Pretty Wings di luar sana.Hei, hei. Dasar orang gila! Tiba-tiba saja dia meraih sebuah batu besar tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ah, benar-benar gila!“Gray, cepat keluar!”“Apa?”“Keluar kataku.”“Tapi—”“Kau mau dilempari batu olehnya?” Mendorongnya ke arah pintu, aku tidak tahan dengan gerak lamban dan ragu-ragu darinya.Gray akhirnya menurut setelah
—Devon Woody“Bagaimana?”“Apanya?” Kumainkan ujung rambutnya dengan santai. Tatapanku tidak mengarah padanya.“Permainan kita.”Ah, aku begitu enggan membahasnya. Sejak awal dimulai, aku terus berhati-hati. Cemas andai menyakitinya. Dia masih belum pulih benar. Aku bisa saja membuatnya kembali harus berbaring lama, andai menyerang terlalu brutal.“Cukup menyenangkan. Aku—”“Kau tampak tidak puas, Dev.” Dia menginterupsiku lewat elusannya di sekitar dadaku.“Itu wajar, bukan? Sudah lama sekali sejak terakhir kali kita melakukannya.”Jadi jangan tanya, selama dua tahun ini aku melampiaskannya pada siapa. Aku tidak akan mau menjawabnya.“Kau jadi pergi?”“Harus.”Istriku menghela napas. Entah keberatan atau tidak, sejak bangun dari koma hingga hari ini, sikapnya sedikit berubah.Dia nyaris tidak ingin lepas dariku. Walau dulu pun begitu, tapi yang ini lebih mengejutkan bagiku. Terlalu posesif.“Kenapa aku tidak boleh ikut?”Ini. Ini dia.Dulu, sebelum koma, Esme hampir tidak memiliki ke