—Lila Winter
“Ruby!”Kuharap dia tahu apa yang dilakukannya.“Ruby, keluarlah. Ayo, kita pergi ke pemakaman.”Sepertinya, hanya dia yang keras kepala di hari kematian ibunya sendiri.“Bibi Esther akan bersedih jika melihat kau tidak ada di sana.”Hening.Walau dia ada di dalam, bersembunyi dan tidak bersuara, Ruby Marion akan terus keras kepala hingga akhir.“Okay. Jika itu maumu. Nanti, lain kali, jangan pernah mengeluh menyesal di depanku.”Tetap tidak ada jawaban apa pun. Aku sudah membujuk lebih dari lima belas menit di sini. Itu melelahkan bagiku. Cukup sudah!“Bagaimana?” Ray—adikku—di seberang terdengar gelisah.Dia saja tidak berhasil membujuk, apalagi aku.“Sama saja.”Helaan napas Ray terasa nyaring di telingaku. Kuputuskan untuk mengakhiri panggilan telepon secara sepihak. Bergegas masuk ke mobilku yang berada tepat di pekarangan rumah Ruby.Gerimis mulai turun tipis-tipis. Bahkan langit pun ikut bersedih atas kepergian bibi Esther.Kuinjak rem mendadak, ketika rasanya nyaris menabrak sesuatu di depan. Oh, bukan! Maksudku, ada yang tiba-tiba melompat cari mati ke depan mobilku.Kulihat seorang pria berada dalam posisi setengah berbaring di depan mobil. Mengenakan kaus lengan pendek hitam, topi dan masker yang berwarna sama.Segera berjongkok tubuhku untuk memeriksa keadaannya. “Hei, kenapa kau—”Dia mengeluarkan pistol. Tiba-tiba sekali. Mengarah padaku, walau secara tidak langsung. Dia bukan sedang menodongkan mulut benda itu ke kepalaku, tapi mengarahkannya lurus padaku.“Ikuti saja perintahku, Nona. Cepat masuk kembali ke mobilmu dan biarkan aku ikut bersamamu.”Walau terasa seperti ada sesuatu yang menghantam diriku, membuat kedua kakiku lemas ketika melihat senjata apinya yang mengarah padaku, aku berusaha tampak kuat. Seperti yang biasa kulakukan. Meski situasinya jauh berbeda.Aku sudah berada di balik kemudi. Menunggu arahan si pria bermasker, sambil berusaha mencari bantuan lewat cara apa pun yang memungkinkan dan yang bisa kupikirkan.“Jalan.”Meski kedua tanganku gemetar, namun aku berhasil melajukan kembali mobilku dengan baik di jalanan.Aku tidak berusaha meliriknya sama sekali. Hanya fokus menatap ke depan. Sementara pikiranku berkelana. Menyadari seketika bahwa aku tidak bisa menghadiri pemakaman bibi Esther. Sudah terlambat lebih dari tiga puluh menit!Gila. Aku duduk bersebelahan dengan pria bersenjata api. Bagaimana jika dia menembakku, lalu membuangku ke sungai untuk menghilangkan—“Belok kanan, Nona.”Akh, hampir saja aku mati terkejut karena mendengar suaranya. Bahkan kemudian, aku tidak sadar entah sejak kapan dia sudah melepaskan maskernya.Jalan yang dilalui mulai berbatu kerikil dengan lubang kecil di sana sini.Suara tembakan yang datang tiba-tiba dari belakang, membuatku tersentak. Hampir saja aku menghentikan mobilku, jika pria itu tidak mengingatkanku.“Fokus! Tetap menyetir, Nona. Jangan hiraukan apa pun. Antarkan saja aku ke tempat tujuanku, agar kau bisa selamat!”Bentakannya malah membuatku tenang. Setidaknya, aku aman karena dia memiliki senjata api di tangannya. Asal bukan pistol mainan saja.Jalanan semakin menguji nyali. Turunan yang licin dan berbatu. Bahkan yang tadinya gerimis tipis-tipis, kini sudah berganti menjadi hujan deras.“Aku akan pindah ke belakang. Terus fokus mengemudi, tanpa menghiraukan apa pun. Terobos saja sungai dangkal berbatu di depan sana. Jangan berhenti sebelum aku memerintahkan itu padamu. Kau mengerti?”“Ya.” Berusaha untuk hanya fokus pada jalanan yang nyaris rusak, aku tahu saat dia sedang memerintahkan ini dan itu padaku, pria ini terus saja mengarahkan senjatanya padaku. Meski tidak menodongkan pistolnya tepat ke pelipisku.Jantungku berdebar begitu hebat. Lebih mengejutkan, ketika sungai dangkal berbatu sudah terlihat di depan mata.“Jangan ragu,” bisiknya. Tiba-tiba suaranya sudah ada di belakangku. Dekat telingaku. “Terobos saja. Kau pasti bisa, Nona.”Sekarang, kupikir dia memilihku karena jenis mobil yang kukendarai. Entah, jika itu salah duga.Mobil off-road dengan jenis SUV milikku ini memang tangguh di segala medan.Suara tembakan yang terdengar dekat, membuatku refleks menoleh ke belakang. Napasku tercekat di tenggorokan. Rasanya sesak.Seperti di film-film action, kulihat dia mengeluarkan setengah tubuhnya keluar jendela.Tidak sayang nyawa. Itu definisi yang tepat untuk mendeskripsikan pria ini. Padahal, jalanan berbatu seperti yang terlihat, memungkinkan tubuhnya terlempar keluar jendela.Kembali fokus. Kau di kehidupan nyata! Bukan syuting film.Dan, yap! Aku berhasil melewati sungai dangkal dengan dasar yang tidak menentu itu. Kelegaan berubah menjadi sesuatu yang menyenangkan.Aneh, memang. Bagaimana bisa? Padahal, ini bukan situasi di mana aku sedang-“Masuk ke semak-semak itu.” Suaranya terdengar lagi di belakangku.Setelah sungai, sekarang semak belukar? Dia ini buronan yang butuh tempat persembunyian atau bagaimana?“Lebih dalam sedikit lagi.”Aku memajukan mobilku perlahan. Kesayanganku ini memang luar biasa. Sampai-sampai dia menjadi saranaku untuk menyusul bibi Esther secepat mungkin.“Matikan mobilnya.”Segera kulakukan. Aku berusaha bernapas dengan teratur. Keadaan di sekitarku gelap karena tertutup semak-semak yang tingginya nyaris dua meter. Bahkan suara hujan deras yang menimpa mobil terasa menakutkan berkombinasi dengan gesekan daun-daun memanjang runcing.Rasa-rasanya, aku lebih takut ditemukan oleh binatang buas daripada para penjahat bersenjata.Padahal, apa bedanya mereka bagi orang biasa tanpa senjata untuk melawan?“Kita akan diam di sini selama beberapa jam.”Apa? Sontak aku menoleh melihatnya yang sudah kembali ke kursi di sampingku.“Kalau begitu, aku harus menghubungi keluargaku.”Dia menatapku. Baru kusadari seberapa mengerikan wajahnya itu. Dia pria dewasa yang mungkin lebih cocok kupanggil ‘paman’ daripada ‘kakak’ meski wajahnya tidak setua paman Eddie atau paman Winter-ku yang lain.Mengerikan dalam artian, dia seperti tidak memiliki gurat lembut sedikit pun, di wajah seriusnya itu. Kesannya seolah dia ini pembunuh berdarah dingin.Ah, ya. Aku memang pecinta film dengan genre action dan thriller.Dia masih belum menjawabku. Hanya terus mengamatiku. Lalu diam-diam mengumpat.Hei, aku bisa mendengar umpatanmu, Bro!“Kirim pesan, kalau begitu.”Okay. Aku mengerti bahasamu. Kau melarangku menelepon.“Setelah selesai, berikan ponselmu padaku. Kita tidak boleh terlacak oleh siapa pun.”Aku menolak. Jelas saja. “Mereka tidak mengenalku. Bagaimana mungkin—”“Menurut saja, Nona. Nyawamu itu berharga.”Sejak dulu, aku pihak yang tidak senang berdebat. Sehingga kuturuti saja. Jariku mulai mengetik, sementara dia terus memperhatikan layar ponselku. Aku tahu itu.Kusodorkan begitu saja ponselku padanya. Tentu saja setelah menonaktifkannya.Hujan deras seperti menulikan telingaku. Aku tidak mendengar apa pun, tapi pria di sampingku ini memintaku tidak bersuara. Dia sedang coba mendengar sesuatu setelah memperingatiku lewat isyarat jari telunjuk di bibir.Apa kami ketahuan?Aku menunggu sambil menahan napas. Semakin tidak karuan saat dia mendekatkan wajahnya padaku. Oh, bukan. Bibirnya ke telingaku.“Tidak aman. Kita harus pergi. Kau harus menyetir lagi. Lebih fokus lagi. Apa kau siap?”Memangnya aku punya pilihan? Aku mengangguk. Tanganku siap menyalakan mesin mobil, ketika tangannya mencegah gerakanku.“Jangan sekarang. Tunggu aba-aba dariku.”“Oh, okay.” Aku melihat tangannya yang bertumpu di tanganku. Kokoh dengan urat yang menonjol di sana sini. Tubuhnya tidak terlalu terbentuk, tapi kupikir, lebih bagus dari paman-pamanku yang seperti raksasa.Hujan kian mulai berangsur reda. Namun pria ini jelas sudah tidak berniat sama sekali untuk memberiku aba-aba.Gawat bila aku tertidur di sini. Kulirik si pria yang terus sibuk melakukan pengintaian lewat pendengarannya.Dengan gerak perlahan dan hati-hati, dia membuka pintu, lalu keluar dari mobil dengan hati-hati.Dia mau ke mana?Tatapan kami tiba-tiba saling bertemu. Dia memberi isyarat dengan tangannya, agar aku tetap di tempatku.Hujan sudah benar-benar reda, tapi pria itu belum juga kembali. Suara semak-semak sesekali terdengar bergesekan karena tertiup angin.Apa dia menipuku? Mungkin saja saat ini dia sudah berlari menjauhi tempat ini. Menyelamatkan dirinya sendiri.Merasa perlu bertindak dan menyaksikan sendiri, aku turun dari mobilku dengan perlahan, hati-hati. Semak-semak ini sedikit luas dengan keadaan yang mencekam.Hanya bermodal nekat, aku coba keluar dari semak. Baru satu langkah, tanganku sudah ditarik dari arah samping. Aku sungguh berharap bahwa yang melakukannya itu, pria tadi.Memang dia. Namun ekspresinya siap membunuhku saat ini.Punggungku terasa sakit menabrak badan mobil sisi samping. Dia mendorongku cukup kuat. Berengsek memang! Ini sakit sekali.“Kau mau mengantarkan nyawamu dengan suka rela?” Dia bertanya setengah berbisik, setengah menggeram. Marah, matanya berkilat penuh kemarahan.“Kau terlalu lama meninggalkanku seorang diri tanpa kepastian. Aku ragu kau akan kembali. Jadi, aku memeriksa keadaan untuk memastikan.”—Lila WinterDia menarikku dari posisi bersandar di mobil. Mengusap-usap punggungku, tanpa mengatakan apa pun. Bahkan tidak menatapku sama sekali. Sedikit mendongak, aku melihat pandangannya lurus melewati kepalaku.Dia bertubuh tinggi. Aku berada tepat sedikit di bawah pundaknya. Padahal, aku tidak begitu pendek. Seratus enam puluh tujuh, sepertinya.Apa dia berusaha minta maaf karena sudah membuatku terdorong keras seperti tadi?Aneh saat kubiarkan dia mengusap-usap punggungku, seolah kami ini akrab.Hei, apa karena dia membuatku merasa tertekan?Hmm, mungkin.Biasanya, hal ini hanya dilakukan oleh ayah dan para pamanku. Untuk Ray, bahkan aku tidak mengizinkannya menyentuhku.“Masuk. Jangan keluar sebelum aku memintamu, Nona. Aku sungguh-sungguh saat memperingatimu.” Dia menatapku kali ini. Dengan matanya yang meneliti.Apa yang coba dia teliti dariku?“Dapatkan dia dan potong lehernya! Bawa kepalanya untuk Bos!”Jantungku serasa meluncur jatuh ketika mendengar suara penuh amarah da
—Devon WoodyKulirik sekilas wajahnya dari samping. Jujur, dia cantik dan menggairahkan. Masih muda, segar, sangat menawan.Kejantananku ikut liar sejak tadi, ketika dia duduk di atas pangkuanku. Namun, hebatnya, aku selalu bisa menjaga diriku. Hatiku, cintaku.“Kita harus pergi dari sini. Hujannya semakin deras.” Aku memberitahunya. Seperti tersadar dari lamunan, tubuhnya yang canggung bergerak menjauhiku dengan cekatan.“Okay.” Santai. Dingin. Tidak terbaca.Banyak kelebihan yang tergambar jelas pada diri wanita muda ini. Mungkin dia lebih cocok jadi adik dari salah satu teman-temanku atau bahkan keponakan mereka.Jelas dari wajahnya pun, dia tampak semuda itu.Rambut hitam melewati bahu dengan warna mata yang sama pekatnya.Dia tidak ragu atau canggung saat membantuku berjalan. Padahal, Otis dan Jack ada di sini. Jauh lebih bisa diandalkan.“Ambil mayat di dekat semak-semak, berikan pada Tyga.” Sambil memberi perintah, aku menangkap keterkejutan di sepasang mata gelapnya itu, walau
—Lila WinterMenikmati scone dan teh, tidak membuatku lupa bahwa ini bukan di rumah.Selera pria bernama Devon ini memang luar biasa. Ruangan kerja yang dominan dengan warna kayu. Rapi, namun tampak misterius. Terkesan ketinggalan zaman, tapi bernilai seni tinggi.“Kau seharusnya membersihkan dirimu dulu sebelum pulang.” Pria dewasa yang memang lebih cocok dipanggil hot uncle itu, berdiri di sampingku. Dekat pegangan kursi kayu berukir.“Aku tidak apa-apa.” Kuletakkan cangkir tehku kembali tanpa mengalihkan pandanganku darinya.“Orang tuamu akan bertanya kenapa penampilanmu seperti itu.”“Memangnya, seperti apa?” Sekarang, aku mengambil scone kedua. Rencananya, aku akan menghabiskannya sampai tidak bersisa di piring.Si hot uncle ini tiba-tiba duduk di sisiku. Membuatku terkejut dan menjatuhkan scone yang belum masuk ke mulutku.“Oh, maaf! Hei, hei. Jangan pungut!” Dia ikut menunduk, ketika aku siap memungut scone yang jatuh.Maksudku, agar segera kubuang, bukan kumasukkan ke mulutku.
—Lila WinterKepergian Ruby ke Graswall, meninggalkan tanggung jawab yang ditimpakan si gadis sialan itu padaku.Karena enggan menghubungi paman Eddie seperti pesan ibu, ayahnya Ruby itu mendatangiku ke rumah, ketika sarapan pagiku masih setengah jalan.Tidak tahu pasti ada konflik apa di masa lalu, antara ayah dan paman Eddie, mereka selalu terlihat canggung satu sama lain. Itu pun terjadi pagi ini di meja makan kami.Walau ayah menerima kedatangannya dengan tangan terbuka.“Apa? Peran untuk musik video?”“Ya. Hanya untuk satu lagu saja, Lila. Peluncuran albumnya tidak bisa ditunda sampai beberapa waktu. Musik videonya harus rilis bersamaan besok. Pengambilan gambar sebaiknya diselesaikan sore ini.”Jadi, apa urusannya denganku? Tidak kukatakan, tapi kutatap saja ayahnya Ruby ini dengan segala kebingungan. Agar dia paham, bahwa aku tidak ingin disangkutpautkan.“Bacalah ini.” Paman Eddie menyodorkan secarik kertas berisi tulisan tangan. Itu tulisan tangan Ruby. Si bocah sialan. Dia s
—Devon WoodyBayangan keseluruhan diri Lila masih terus mengganggu pikiranku. Sebenarnya, aku kesal. Mendadak setiap kali ingin memejamkan mata, penampakan bibirnya yang sedang memanggilku, benar-benar terasa nyata. Bahkan suaranya ketika menyebut ‘Dev’ terus bergema di dalam kepalaku.Ini tidak adil!Pada perempuan di depanku ini, aku tidak pernah merasakan yang sedemikian parahnya. Walau jelas, wanitaku ini tidak akan terkalahkan oleh siapa pun.“Tuan Devon Woody?”Aku tegak dari dudukku. Perawat memanggil. Setengah tubuhnya muncul di pintu.“Sayang, sebentar ya?” Mengecup kening wanitaku sekilas, aku bergegas keluar.“Silakan, Tuan. Dokter Viggo ingin bicara dengan Anda.” Perawat membukakan pintu ruangan dokter untukku, setelah kami tiba.“Terima kasih.” Aku duduk setelah dipersilakan.“Nyonya Esme mengalami banyak kemajuan, Tuan Devon.”Bagus! Berita yang sangat bagus! “Lalu, apa—”“Dokter! Pasien Esme Woody sudah siuman!”Aku jadi yang pertama bergerak dari dudukku. Berlari seger
—Lila WinterKami hanya saling memuaskan satu sama lain. Tidak lebih. Kurasa, dia paham tentang keperawanan yang sempat kuutarakan padanya kemarin lalu.Ponsel Dev berdering. Tepat ketika kami berpelukan setelah selesai merasa setengah terpuaskan, itu bagiku. Entah untuknya. Mungkin dia sudah puas hanya dengan mulutku saja. Aku belum. Kuakui itu.Dev menjawab panggilannya, tanpa merapikan diri. Maksudku, dia tidak peduli dengan rambutnya yang acak-acakan, kemeja kusut dan kancing kemeja bagian atasnya yang terbuka. Langsung keluar dari mobil dan berbicara ditelepon. Aku tidak mendengar apa pun dari sini. Lagipula, aku tidak peduli.Seharusnya, aku membeli ponsel sebelum pergi syuting tadi pagi. Aku lupa.“Di mana rumahmu?”Aku menatapnya yang bicara di depan pintu mobil yang terbuka. “Satu belokan lagi.” Itu rumah paman Eddie. Aku perlu ke sana untuk memastikan sesuatu. Walau Ruby tidak mungkin ada di sana. Gadis bengal itu tidak akan pulang dengan sendirinya.“Okay.” Dia malah masuk
—Lila Winter“Kau takut?” bisikku. Dan kulihat Gray mengangguk. “Yang benar saja.” Kudorong wajahnya menjauh dariku.“Lilaaa!” Seperti bocah, Gray bersiap memelukku. Malahan merengek. Di luar, Pretty Wings masih saja berusaha membuka pintu dan menggedor-gedor kaca jendela mobil.“Jangan berisik. Diam dan lihat apa yang dia lakukan pada mobilmu.” Aku mengerut marah, sekaligus menunjuk ke arah Pretty Wings yang sedang beraksi.“Lila, aku benar-benar ketakutan.” Gray memberitahuku lagi. Sangat dekat. Nyaris mencium daun telingaku.Aku memberinya ekspresi tidak tertarik. Mengabaikannya dan lebih memperhatikan apa yang sedang dikerjakan Pretty Wings di luar sana.Hei, hei. Dasar orang gila! Tiba-tiba saja dia meraih sebuah batu besar tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ah, benar-benar gila!“Gray, cepat keluar!”“Apa?”“Keluar kataku.”“Tapi—”“Kau mau dilempari batu olehnya?” Mendorongnya ke arah pintu, aku tidak tahan dengan gerak lamban dan ragu-ragu darinya.Gray akhirnya menurut setelah
—Devon Woody“Bagaimana?”“Apanya?” Kumainkan ujung rambutnya dengan santai. Tatapanku tidak mengarah padanya.“Permainan kita.”Ah, aku begitu enggan membahasnya. Sejak awal dimulai, aku terus berhati-hati. Cemas andai menyakitinya. Dia masih belum pulih benar. Aku bisa saja membuatnya kembali harus berbaring lama, andai menyerang terlalu brutal.“Cukup menyenangkan. Aku—”“Kau tampak tidak puas, Dev.” Dia menginterupsiku lewat elusannya di sekitar dadaku.“Itu wajar, bukan? Sudah lama sekali sejak terakhir kali kita melakukannya.”Jadi jangan tanya, selama dua tahun ini aku melampiaskannya pada siapa. Aku tidak akan mau menjawabnya.“Kau jadi pergi?”“Harus.”Istriku menghela napas. Entah keberatan atau tidak, sejak bangun dari koma hingga hari ini, sikapnya sedikit berubah.Dia nyaris tidak ingin lepas dariku. Walau dulu pun begitu, tapi yang ini lebih mengejutkan bagiku. Terlalu posesif.“Kenapa aku tidak boleh ikut?”Ini. Ini dia.Dulu, sebelum koma, Esme hampir tidak memiliki ke
—Lila WinterAku hamil.Tentu saja aku sudah kembali berhubungan dengan suamiku Ferdi, sejak hari itu. Dan aku yakin, ini bayi kami berdua. Darah dagingku dan Ferdi.Terkadang aku melupakan fakta yang lain, yang terasa salah, tapi selalu bisa terjadi kapan pun, di mana pun dan pada siapa pun.Devon Woody yang mendekati—ah, bukan. Bukan mendekati, tapi akan melangsungkan pernikahannya dengan sepupuku, si bodoh Ruby Marion.Itu lelucon baru, Lila! Konyol sekali melihatnya!Bukan lelucon, tapi fakta yang meresahkan. Terutama ketika perutku sudah mulai menunjukkan tanda-tanda membesar sampai aku tidak bisa melihat kedua kakiku lagi, karena tertutupi perut bulatku.“Ini bayiku, ‘kan?” bisik Dev setengah menggoda. Dia bahkan mengusap perutku dengan penuh kasih sayang. Matanya berkilat penuh harapan atau sesuatu yang lebih dari itu.Kami sedang berada di taman belakang rumah paman Eddie. Paman mengadakan pesta kecil untuk perayaan rumah baru, hadiah dari Ruby. Percuma menjadi penyanyi terken
—Devon WodyEsme tidak melepas tatapannya dariku, saat mendengar keinginan dan kebenaran yang kubawa padanya hari ini.“Terdengar tidak lucu.” Esme berusaha tertawa. Tawa canggung mengudara di sekelilingnya yang nyaris frustrasi. Seluruh tubuhnya mewakili perasaannya. Terlihat tidak berdaya. Hanya karena berita yang kusampaikan.‘Hanya karena?’ Hei, Dev, kau sungguh kejam!“Semua yang kuungkapkan dan yang sudah kau dengar, sama sekali bukan hal yang lucu, Esme.”Tawa itu hilang seketika. Menyisakan cuma segaris senyum miris yang dipaksakan. “Kenyataannya, kau baru mengakui hal ini setelah sekian lama berhasil membodohiku?”“Aku tidak membodohimu.” Maaf, mungkin kau merasa seperti itu selama ini. Buruk, memang. Kuakui, tidak akan kusangkal.“Tidak membodohiku, tapi kau mengikuti semua yang kukatakan seolah kau menolaknya, meski diam-diam kau memang menginginkannya, bukan?”“Ya.” Memudahkannya lebih baik dengan jawaban ya atau tidak.Esme mendengus, menggeleng-gelengkan kepalanya sejena
—Lila WinterSelesai sarapan, ayah memanggilku. Pembicaraan yang ingin kami lakukan. Sepagi ini, tidak ada siapa pun lagi di rumah kedua orang tuaku. Ibu yang terakhir kali kulihat, berpamitan untuk ke butik.Ray, Gray dan Ruby bahkan pergi lebih awal. Entah apa yang mereka bertiga rencanakan, yang jelas seolah hanya mereka saja yang tahu akan hal itu.“Ada yang terluka?” Pertanyaan pertama ayah setelah aku menutup pintu ruang kerjanya di belakangku.Aku menggeleng cepat. “Tidak ada luka parah. Hanya beberapa memar.”“Duduklah. Ayah akan langsung memberitahumu, karena pasti inilah yang paling ingin kau dengar secepatnya dari Ayah.” Menatapku dari kursi kerjanya, ayah mengambil satu di antara tumpukan dokumennya.Aku mendekat. Berdiri tepat di depan meja kerja ayahku. Menunggu dengan perasaan tidak tenang. Karena sejujurnya, aku tidak tahu hal apa yang ingin kuketahui secepatnya dari ayahku ini.“Bacalah. Kau harus memeriksa detailnya. Setelah itu, Ayah yang akan langsung mengantarkanm
—Devon WoodySisa tiga manusia lagi yang perlu kulumpuhkan untuk bisa mencapai ke atas, ke tempat Lila berada.Satu tembakan mendarat di kening pria yang ternyata berniat memukulku menggunakan balok, dari arah belakangku.Balok terjatuh bertepatan dengan kemunculan—ah, si bocah ternyata.Gray ada di sana. Berdiri tegak dan waspada pada keadaan. Pistolnya berada di sisi tubuhnya. Tergenggam seolah dia ahli dalam menggunakannya.“Ada berita buruk untukmu dan berita baik untuk Lila.” Gray si bocah, bicara dengan raut menjengkelkan.Kuabaikan rasa tidak sukaku dengan bertanya. “Ada apa?”“Ferdi masih hidup. Jadi, sebaiknya kau tahu apa yang harus kau lakukan mulai sekarang. Dia menunggu kepulangan Lila.”Apa? Masih hidup? Itu berita buruk untukku. Sangat buruk.“Urus sendiri sisanya. Aku yang akan menjemput Lila.” Berkata lagi, Gray segera berjalan mundur menjauhiku.Walau keberatan sekalipun, aku tidak bisa mencegahnya karena dua pria yang masih tersisa sudah menyerangku dengan pukulan.
—Lila WinterBenar. Jangan diam di tempat.Menyeka air mata, aku berdiri. Mencari cara untuk pergi dari sini, meski itu mustahil terjadi.Semua celah yang memungkinkan, terus kuperhatikan dan kuteliti. Tidak ada. Tidak ada celah yang kupikir bisa memberiku setitik harapan.Hingga satu jam terasa begitu cepat berlalu. Hanya tersisa dua puluh menit untukku yang tidak akan merubah pendirianku. Tidak untukmu, Aaron Heimir!Gemetar tubuhku. Berulang kali mondar-mandir dengan langkah tidak karuan di dalam kamar menyesakkan ini. Semakin waktunya terasa dekat, detak jantungku makin tidak karuan.Jam tua di dinding bahkan terlihat siap memberiku kejutan yang mengerikan.Mendadak, aku mendengar suara dan merasakan getaran yang membuatku semakin gemetaran. Ledakan!Seperti gempa bumi, aku panik dalam kebisuan diriku sendiri. Seakan momen di mana ledakan serta kebakaran di restoran terjadi, terulang kembali saat ini padaku.Hanya saja, kali ini aku sendirian. Tanpa Dev di sisiku.Segera, aku berl
—Lila WinterKurasa, aku hanya perlu bernapas dengan benar. Wajahku sudah dibenamkan berulang kali ke dalam air dingin, meski bukan air es, tetap saja itu teramat tidak menyenangkan. Perih seakan menembus paru-paruku, tidak hanya di mata dan hidung.“Jalang, sebaiknya kau bicara sebelum tuan besar turun tangan.” Peringatan pria yang sedang memegangi rambutku, mencengkeram erat hingga kepalaku terasa akan lepas dari tempatnya, membuatku yakin mereka serius sesuai dengan ancamannya.“Aku tidak paham kenapa mendadak wanita ini jadi bisu,” kesalnya lagi sambil membenamkan wajahku kembali ke dalam air. Kali ini aku berusaha menahannya dengan lebih baik. Karena apa? Karena siksaannya lebih lama dari yang sebelumnya. Kepalaku memutar ulang momen di mana tanganku memegang gagang telepon dan bicara dengan ayahku di seberang sana.“Nak, tetap bertahan selama beberapa jam. Ayah butuh sedikit lebih lama untuk mencapai tempatmu berada saat ini.”“Tapi, Ayah, aku tidak bisa meninggalkan Devon seor
—Devon WoodyApa pun yang Lila pikirkan adalah tentang kecurigaan.Entah sejak kapan, aku menyadarinya. Dia mencurigaiku.Walau seks kami berjalan lancar, bahkan teramat sangat lancar, kupastikan kecurigaannya padaku tidak bergeser sama sekali.Lila terlelap setelah berulang kali telinganya harus merasa terbiasa, ketika mulutku meneriakkan namanya.Turun dari ranjang dengan hati-hati, aku keluar menuju resepsionis motel untuk meminjam komputer.“Selamat pagi, Tuan. Masih terlalu pagi untuk bangun. Ada keluhan? Atau ada yang bisa kubantu?” sapanya ramah. Wanita muda seusia Lila, tampaknya.Aku tersenyum sekadarnya dengan mata fokus ke benda di sudut meja panjangnya. “Bisa aku meminjam laptopnya sebentar?”“Tentu, Tuan. Tolong tunggu sebentar.” Dia melakukan sesuatu dengan cepat, setelah akhirnya memutar benda itu agar menghadap ke arahku.“Silakan, Tuan.”“Terima kasih.” Tanpa basa-basi lain, segera mengirim email berisi pesan yang hanya aku dan si penerima saja yang tahu cara menerjem
—Lila Winter“Lila?”Kulihat Dev muncul dengan terengah-engah. Bergegas dia menghampiriku. Apa mungkin dia tahu bahwa Gray berhasil masuk dan menemuiku?“Kau baik-baik saja?” Malah sibuk meneliti setiap jengkal tubuhku. Menatapku cemas, lalu mendekapku erat-erat. “Ada apa?” Bertanya sambil kurasakan napasnya tidak teratur. Seakan Dev baru saja berlari sejauh ratusan meter.“Seseorang atau mungkin lebih dari itu, mencoba masuk. Padahal, keamanan yang kupasang di depan seharusnya berfungsi dengan baik. Mengirim sinyal cepat padaku. Namun kurasa, mereka terbiasa menerobos menggunakan cara yang bersih dan rapi.”Gray tidak sendiri?“Yang membuatku curiga, kenapa dia sengaja membuat kursi terjatuh, padahal tinggal sedikit lagi sampai orang itu bisa mencapai tempat di mana kita berada.”Jika penuturannya begitu, andai pemikiranku benar, Dev mencurigai sesuatu, tapi enggan mengungkapkannya padaku.Dan menurutku, Gray sengaja melakukannya untuk mengundang perhatian Dev. Membuat kami terpisah
—Lila WinterKuusap-usap puncak kepala hingga bagian belakang kepala Dev dengan tangan gemetar.Rasa sedihnya juga menjalar padaku. Menembus melalui kulitku, menusuk hingga ke tulang-tulangku.Air mataku ikut menetes kembali. Kesedihan, kepedihan, bahkan rasa sakitnya terasa sulit untuk menjauh.Kedua lengan Dev yang melingkar kuat di pinggangku menandakan, bahwa dia begitu ingin menyembunyikan tangisnya dariku.“Lila,” serak Dev. Kepalanya mendongak. Tatapannya mengunci tatapanku.Memang tidak kusembunyikan. Kubiarkan dia melihat air mataku. Kami sama-sama melihat tangis tanpa suara satu sama lain.“Hm?” Tanganku beralih ke wajahnya. Mengusap alis tebalnya, alih-alih menghapus air matanya.“Hatiku sakit.” Dev mengeluh. Baru kali ini kudengar.“Ya. Kita sama.” Suaraku nyaris hilang.Dev menarikku. Membuat dirinya duduk tegak, ketika tubuhku berada di atas pangkuannya. Kepalanya masuk ke bawah daguku. Bersembunyi di leherku. Kutepuk-tepuk punggungnya. Seolah sedang meninabobokan seoran