—Devon Woody
Bayangan keseluruhan diri Lila masih terus mengganggu pikiranku. Sebenarnya, aku kesal. Mendadak setiap kali ingin memejamkan mata, penampakan bibirnya yang sedang memanggilku, benar-benar terasa nyata. Bahkan suaranya ketika menyebut ‘Dev’ terus bergema di dalam kepalaku.Ini tidak adil!Pada perempuan di depanku ini, aku tidak pernah merasakan yang sedemikian parahnya. Walau jelas, wanitaku ini tidak akan terkalahkan oleh siapa pun.“Tuan Devon Woody?”Aku tegak dari dudukku. Perawat memanggil. Setengah tubuhnya muncul di pintu.“Sayang, sebentar ya?” Mengecup kening wanitaku sekilas, aku bergegas keluar.“Silakan, Tuan. Dokter Viggo ingin bicara dengan Anda.” Perawat membukakan pintu ruangan dokter untukku, setelah kami tiba.“Terima kasih.” Aku duduk setelah dipersilakan.“Nyonya Esme mengalami banyak kemajuan, Tuan Devon.”Bagus! Berita yang sangat bagus! “Lalu, apa—”“Dokter! Pasien Esme Woody sudah siuman!”Aku jadi yang pertama bergerak dari dudukku. Berlari segera ke kamar ruang inap istriku. Dia … akhirnya, dia bangun! Setelah hampir dua tahun koma, sekarang dia bangun!“Dev,” panggilnya lemah. Sepasang matanya yang indah, mengerjap bahagia, walau sinar matanya begitu redup.“Ya, Sayang. Ini aku.” Kudekati dan kupeluk tubuhnya dengan sangat hati-hati.Keharuan sekaligus kegembiraanku, harus ditunda sejenak karena dokter ingin melakukan pemeriksaan lanjutan pada Esme.Aku sudah memberitahukan kabar bahagia ini pada keluarga Hayden. Tidak butuh waktu yang terlalu lama, ayah dan ibu mertua sudah hadir dengan tangis bahagia yang membanjiri wajah mereka.Istriku adalah putri tunggal. Sementara dua saudarinya yang lain hanya anak angkat. Wajar saja jika ayah dan ibu mertua begitu bahagia akan kepulangan Esme setelah dua tahun lamanya berada dalam kondisi koma.Senja baru tiba, saat aku keluar dari rumah sakit menuju parkiran. Ponselku terus berdering. Panggilan dari keluargaku.“Halo, Ayah.” Membanting pintu mobil, aku duduk di balik kemudi. Panggilan setelah sekian lama.“Bagaimana kabarmu?”Basa-basi.“Kabarku baik, karena menantu Ayah akhirnya sudah siuman.”Ayah angkatku, terbatuk-batuk di seberang. Sebegitu terkejutkah?“Kupikir, kau sudah membuang wanita itu.”“Ayah!” Aku berusaha menahan diri. Meski aku tahu, ayah tidak akan pernah merubah pendapatnya tentang Esme yang menurutnya tidak pantas bersanding denganku. Karena istriku itu, lemah! Terlalu lemah untuk ada di tengah-tengah lingkungan keras kehidupan keluarga kami.“Jika dia bisa memberimu keturunan, tidak peduli apakah itu bayi laki-laki atau perempuan, barulah aku akan mengakuinya sebagai menantuku.”“Ayah, Esme baru saja bangun dari komanya. Kami butuh waktu untuk—”“Sudah sangat terlambat untuknya. Dia nyaris empat puluh tahun tidak lama lagi. Dengan tubuh lemahnya itu, bagaimana bisa dia hamil?”Kucubit pangkal hidungku sambil memejamkan mata. “Ayah. Apa ini yang ingin Ayah katakan? Setelah sekian lama kita tidak terlibat pembicaraan?”Helaan napas ayah yang mulai terdengar pendek-pendek itu menandakan bahwa kesehatannya tidaklah baik. Dia tua. Renta. Namun sanggup menceramahiku seharian hanya karena perkara pasangan hidup.“Di sini, kakakmu membutuhkan bantuanmu.”Sudah kuduga. “Ada masalah besar yang terjadi?”“Kakakmu memiliki masalah dengan keluarga Heimir. Perihal kejadian di masa lalu yang pernah terjadi antara keluarga Casius dan Heimir. Jadi, bantulah dia.”Keluarga Casius, itu artinya, istri dari kakak angkatku.Padahal, sudah sejak berpuluh tahun lalu kami tidak saling berhubungan dengan keluarga Heimir. Walau keluarga itu sedikit sombong dan sok berkuasa, tapi kami mengabaikan mereka karena tidak ada masalah serius yang menyinggung satu sama lain.“Akan kupikirkan selagi menunggu masa pemulihan Esme.”“Dia tidak perlu ikut denganmu. Bukankah dia masih memiliki kedua orang tua? Biarkan sementara waktu dia tinggal bersama mereka.”Aku hanya bisa menghela napas. Mana mungkin bisa kutinggalkan Esme di Oland bersama ayah dan ibunya? Meski pastinya dia tidak akan melarangku pergi, aku tetap tidak ingin berpisah dengannya.Esme baru saja kembali, setelah dua tahun seakan pergi tidak berniat pulang ke pelukanku lagi. Mana mungkin aku menyia-nyiakan kesempatan yang sudah jelas teramat sangat berharga ini?“Berapa lama?”“Semakin cepat kau bantu menyelesaikan masalahnya, akan semakin cepat juga kau kembali pada istrimu.”“Aku butuh kepastian, Ayah. Aku perlu memberitahu Esme untuk berjaga-jaga.”“Beberapa minggu mungkin cukup.”Aku tahu, ayahku pun ragu akan hal itu. Mana mungkin bisa mencabut hingga ke akar permasalahannya dalam waktu sesingkat itu? “Aku perlu mempersiapkan keberangkatanku selama beberapa hari.”“Baiklah. Aku mengerti. Hubungi aku saat kau sudah bersiap-siap.”“Baik, Ayah. Sampai nanti.”Panggilan kuakhiri. Sebenarnya, mudah bagiku untuk menolak. Tapi sulit rasanya, jika aku ingin melakukannya pada keluarga ayah angkatku.Dia yang membebaskanku dari penderitaan yang nyaris membuatku ingin mati bunuh diri.Tiga belas tahun lalu, saat usiaku dua puluh tujuh tahun, ayah dan ibuku yang seorang pebisnis hebat, disiksa sampai mati oleh mafia paling berbahaya di kota kami. Mereka dibayar oleh musuh perusahaan.Orang tuaku disiksa di depan mataku. Aku berhasil melarikan diri, tapi ditabrak dan mobilku jatuh ke jurang.Ayah angkatkulah yang menyelamatkanku, saat aku bangun dari jurang dan merangkak ke jalanan.Ayah membantuku membalaskan dendamku atas kematian kedua orang tua kandungku. Sampai tuntas!Itu jadi alasan utama aku ingin berbakti dan melakukan apa pun, untuk keluarga ayah angkatku. Dia paling berjasa dalam hidupku yang sempat tidak ada artinya lagi waktu itu.Ah, aku butuh kopi! Kulajukan mobilku ke jalanan menuju kedi kopi yang letaknya hanya beberapa puluh meter dari rumah sakit. Aku harus berpikir tanpa perlu mendengar—Itu … Lila? Benar itu, Lila? Aku sedang tidak melihat hantunya Lila di bawah lampu jalan yang sudah menyala. Senja telah berlalu. Mungkin beberapa menit lalu. Tapi sedang apa gadis itu di sana?Lila turun dari sebuah mobil mewah, bukan SUV tangguh yang dinaikinya di pertemuan pertama kami. Terlihat dia melambai seadanya melalui raut datarnya. Aku bisa dengan jelas melihatnya dari sini. Dia tetap semenawan—ah, sudahlah. Jangan memulai sesuatu yang tidak akan bisa kau akhiri!Kedai kopi sudah di depan mata. Aku tidak harus mendatangi Lila, karena tidak ada yang ingin kubicarakan dengannya.Justru akan sangat memalukan, jika kuingat bagaimana diriku ingin sekali menyentuhnya. Bahkan terbersit keinginan untuk bercinta dengannya. Gila!Lila berjalan santai menuju kedai kopi yang ingin kutuju. Haruskah aku memutar balik saja? Pergi mencari kedai kopi lain atau kembali saja ke rumah sakit.Ingat, Esme baru saja siuman. Seharusnya aku bersama istriku saat ini. Bukan malah memilih menikmati kopi dan bertemu wanita lain yang nyaris membuat tubuhku panas dingin saat menatapnya diam-diam.Keberanianku lenyap, ketika wajah Esme melintas. Benar. Jangan seperti ini. Cukup menjadi bajingan dalam urusan lain, tapi jangan jadi pria berengsek untuk urusan perasaan. Terutama pada wanita.Aku sudah bersiap pergi, sebenarnya sudah memutar mobilku. Lalu yang kulihat malah ada pria muda menghampiri Lila yang baru saja keluar dengan dua papercup di tangannya.Sadar, kakiku menginjak rem kuat-kuat. Siapa pria muda itu? Lila sudah memiliki kekasih?Ponselku berdering, ketika aku berniat untuk turun dari mobil. Hei, Dev. Untuk apa kau turun? Apa yang ingin kau lakukan?Panggilan dari ayah mertua. Tanganku bergerak cepat, memang kurang ajar. Aku segera menonaktifkan ponselku. Meski hati dan akal sehatku melarang, aku tetap bergerak untuk keluar dari mobil dan menemui Lila.Rupanya Lila cuma menyerahkan papercup-nya dan membiarkan dirinya tetap tinggal di sini, sementara pria yang kuyakini sebagai kekasihnya itu, masuk ke mobil dan berlalu pergi.“Lila?”Gadis itu tidak menoleh. Seolah dia tahu siapa yang memanggilnya. Tubuhnya tegak dalam pandangan yang tidak teralihkan. “Kau ingin mengabaikanku?”Barulah dia menoleh dan menatapku. Bibirnya mengerut sebelum akhirnya menjawabku. “Kau yang lebih dulu mengabaikanku.”Dengan memukulku telak. Hanya satu kali pukulan. “Untuk masalah itu aku minta maaf. Kemarin ada hal yang mengganggu pikiranku.”Lila tidak menanggapi ucapanku. Dia bahkan mulai berjalan menjauhi kedai kopi. Kupikir, akan pergi meninggalkanku, rupanya malah melangkah menuju ke mobilku.Aku mengikutinya. Kopi kini tidak lagi penting.“Sebagai permintaan maaf, tolong antarkan aku pulang, Paman Dev.”Kutatap dia lekat-lekat. Paman? Aku jadi sakit hati mendengarnya memanggilku dengan sebutan itu. “Okay. Naiklah.” Kubiarkan dia membuka pintu untuk dirinya sendiri, sementara aku bergerak menuju ke tempatku.Lila tidak memilih duduk di sisiku. Dia ada di kursi belakang. Santai tanpa kata. Spontan aku merasa sangat kesal padanya.“Apa yang kau lakukan seharian ini?” Haruskah aku memuaskan rasa ingin tahuku?“Syuting.”“Wah, aku baru tahu jika kau itu aktris.”“Bukan. Aku bukan aktris. Hanya membantu sepupu dan pamanku untuk mengisi peran dalam sebuah musik video.”Ah, begitu. “Kerja bagus. Kau gadis baik.” Tanpa sadar, aku bersikap seolah kami akrab. Sampai melupakan pandangan yang harusnya fokus. Nyaris saja aku menabrak seekor kucing yang melompat di depan mobilku.Karena mendadak mengerem, Lila tersentak ke depan. Dia tidak mengatakan apa pun. Membuatku kesal. “Katakan apa pun itu, Lila! Kenapa kau selalu diam saat sesuatu terjadi padamu?”“Karena keadaanku baik-baik saja. Itu bukan hal yang penting untuk dibicarakan. Antarkan saja aku pulang, Paman. Sudah tidak jauh lagi.”Menepikan mobil di pinggir jalan sepi dan tidak diterangi lampu jalan, aku melompat ke belakang begitu saja. Rasa kesal yang menghancurkan segala pertahananku.Di sini remang. Aku sengaja. Tidak ingin membuatnya melihat ekspresiku yang kacau, serta perasaanku yang tidak menentu.“Apa maumu, Lila?” Mencengkeram kedua pundaknya dengan frustrasi, aku bisa membaui aromanya yang manis.“Dev, hentikan. Kau menyakiti—”Aku kesal. Aku marah. Aku cemburu!Aku senang, hanya karena dia memanggilku dengan sebutan itu.Kuciumi bibirnya dengan tingkat kehati-hatian yang kujaga pasti. Aku tidak akan menyakitinya. Aku menyadari satu hal. Dia menyambut ciumanku.“Ah,” desahnya lembut, ketika ciuman kami akhirnya terlepas.Kurasa, dia menikmatinya.Lila menunduk. Mungkin kesal atau bisa jadi—“Ayo, hentikan. Kau masih punya tugas untuk mengantarkanku pulang.”Kutatap matanya dalam keremangan yang menyelimuti kami. Apa aku salah menebak? Wajah Lila dipenuhi kabut hasrat. Dia tampak berusaha menahan diri.Aku yang sudah menahan diri, tidak meminta tanganku untuk berhenti. Kusentuh Lila di mana pun aku menyukainya.Lila terdiam. Kedua tangannya mencengkeram kulit lenganku. Semakin menusuk, ketika tanganku menyusup ke bawah gaunnya.Kami saling menatap. Aku tahu dia nyaris lemas hanya dengan jari-jariku. Berulang kali kupastikan, bahwa bibirnya tergigit hanya untuk menahan desahannya yang kusuka.Kudekatkan bibirku ke telinganya. “Keluarkan suaramu, Lila. Jangan menahannya.”“Dev ...” Dengan getaran suara yang mempesona, Lila terengah-engah.Dia masih muda. Mungkin wajar baginya yang perawan, begitu cepat merasakan hasratnya meledak saat disentuh. Jariku saja mampu membuatnya kalang kabut. Dia luar biasa.“Dev, aku ... aku—”Bibirnya yang berkata-kata, kuhalangi dengan ciuman menjalar. Di dalam rongga mulutnya, aku bersemangat memainkan peran gigi dan lidahku.Lila basah. Sangat basah, hingga kurasa, dia pasti malu akan keadaannya itu.Kutarik kembali kata-kataku. Lila terlihat tidak merasakan perasaan lain, selain menikmati. Kepalanya bahkan mendongak menatap langit-langit. Karena jari-jariku, belum berhenti menusuknya.“Lila, apa yang kau inginkan? Katakan padaku.” Menciumi lehernya yang terbuka untukku, ada aroma keringat yang bercampur dengan parfumnya. Seksi.Lila tidak menjawab. Dia hanya mencengkeram rambut di bagian belakang kepalaku dengan tangan gemetar. Padahal, saat di rumahku, di ruangan pakaian dia tidak bereaksi seperti ini.Pikiranku memang ke mana-mana, tapi bibirku semakin serius di sini. Ketika dengan gerakan lembut, aku menuruni kecupanku dari leher hingga sampai ke payudaranya yang masih terbungkus gaun.“Jangan lepas pakaianku.” Lila memegangi wajahku. Memberiku tatapan sendu yang menawan. Dari jarak sedekat ini, aku bisa dengan jelas melihat ekspresinya di dalam keremangan.“Aku tidak akan melakukannya jika kau melarang.”Lila memelukku erat. Setelah melepaskan pelukan, justru dia yang bertindak lebih berani dariku.Dia merosot turun, menyentuh ritsleting-ku tanpa ragu. Tidak kuperlihatkan kebingunganku pada sikapnya yang sulit tertebak. Aku cuma menatapnya.Sepersekian detik setelahnya, aku hanya terus mengusap rambutnya. Kepalanya menunduk, naik turun. Mulut manis itu bertugas penuh pada kejantananku. Desisan dariku memenuhi seisi mobil. Aku merasa layak mendapatkan semua ini darinya.“Teruskan, Lila. Jangan berhenti.”—Lila WinterKami hanya saling memuaskan satu sama lain. Tidak lebih. Kurasa, dia paham tentang keperawanan yang sempat kuutarakan padanya kemarin lalu.Ponsel Dev berdering. Tepat ketika kami berpelukan setelah selesai merasa setengah terpuaskan, itu bagiku. Entah untuknya. Mungkin dia sudah puas hanya dengan mulutku saja. Aku belum. Kuakui itu.Dev menjawab panggilannya, tanpa merapikan diri. Maksudku, dia tidak peduli dengan rambutnya yang acak-acakan, kemeja kusut dan kancing kemeja bagian atasnya yang terbuka. Langsung keluar dari mobil dan berbicara ditelepon. Aku tidak mendengar apa pun dari sini. Lagipula, aku tidak peduli.Seharusnya, aku membeli ponsel sebelum pergi syuting tadi pagi. Aku lupa.“Di mana rumahmu?”Aku menatapnya yang bicara di depan pintu mobil yang terbuka. “Satu belokan lagi.” Itu rumah paman Eddie. Aku perlu ke sana untuk memastikan sesuatu. Walau Ruby tidak mungkin ada di sana. Gadis bengal itu tidak akan pulang dengan sendirinya.“Okay.” Dia malah masuk
—Lila Winter“Kau takut?” bisikku. Dan kulihat Gray mengangguk. “Yang benar saja.” Kudorong wajahnya menjauh dariku.“Lilaaa!” Seperti bocah, Gray bersiap memelukku. Malahan merengek. Di luar, Pretty Wings masih saja berusaha membuka pintu dan menggedor-gedor kaca jendela mobil.“Jangan berisik. Diam dan lihat apa yang dia lakukan pada mobilmu.” Aku mengerut marah, sekaligus menunjuk ke arah Pretty Wings yang sedang beraksi.“Lila, aku benar-benar ketakutan.” Gray memberitahuku lagi. Sangat dekat. Nyaris mencium daun telingaku.Aku memberinya ekspresi tidak tertarik. Mengabaikannya dan lebih memperhatikan apa yang sedang dikerjakan Pretty Wings di luar sana.Hei, hei. Dasar orang gila! Tiba-tiba saja dia meraih sebuah batu besar tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ah, benar-benar gila!“Gray, cepat keluar!”“Apa?”“Keluar kataku.”“Tapi—”“Kau mau dilempari batu olehnya?” Mendorongnya ke arah pintu, aku tidak tahan dengan gerak lamban dan ragu-ragu darinya.Gray akhirnya menurut setelah
—Devon Woody“Bagaimana?”“Apanya?” Kumainkan ujung rambutnya dengan santai. Tatapanku tidak mengarah padanya.“Permainan kita.”Ah, aku begitu enggan membahasnya. Sejak awal dimulai, aku terus berhati-hati. Cemas andai menyakitinya. Dia masih belum pulih benar. Aku bisa saja membuatnya kembali harus berbaring lama, andai menyerang terlalu brutal.“Cukup menyenangkan. Aku—”“Kau tampak tidak puas, Dev.” Dia menginterupsiku lewat elusannya di sekitar dadaku.“Itu wajar, bukan? Sudah lama sekali sejak terakhir kali kita melakukannya.”Jadi jangan tanya, selama dua tahun ini aku melampiaskannya pada siapa. Aku tidak akan mau menjawabnya.“Kau jadi pergi?”“Harus.”Istriku menghela napas. Entah keberatan atau tidak, sejak bangun dari koma hingga hari ini, sikapnya sedikit berubah.Dia nyaris tidak ingin lepas dariku. Walau dulu pun begitu, tapi yang ini lebih mengejutkan bagiku. Terlalu posesif.“Kenapa aku tidak boleh ikut?”Ini. Ini dia.Dulu, sebelum koma, Esme hampir tidak memiliki ke
—Lila WinterIni gila!Bagaimana caranya agar mendorong jatuh tubuh Dev dari atas tubuhku?Jari-jarinya begitu gencar mengusikku. Bahkan mulutnya itu, kurang ajar. Sangat meresahkan tubuhku.“Menyingkir, Dev. Paman Sean atau bibi Sisy bisa datang tiba-tiba.”Dev tidak juga mau berhenti. “Tenang. Mereka tidak mungkin naik ke atas sini.”“Seenaknya kau bicara. Minggir!” Kutendang dia dengan sisa kekuatanku.Bunyi berdebam membuatku sedikit tenang. Dia jatuh dengan tawa yang terdengar marah.“Jangan memaksaku lagi.” Cepat-cepat kupakai kembali hotpants denim-ku. Tidak terburu, tenang tanpa gerak amarah.Tawa Dev belum berhenti. Kali ini dia terbahak-bahak. Merebahkan diri ke tempat tidur, lalu menahan lenganku yang baru saja selesai menutupi bokong dan celana dalamku dengan hotpants. “Apa kau mengira aku akan berhenti?”“Aku tahu kau tidak bisa berhenti sebelum mendapatkan keperawananku.”Kilatan di mata Dev menyiratkan banyak arti. “Benar. Sampai kudapatkan atas dasar keinginanmu sendir
—Lila Winter“Gadis ini ... penyanyi pendatang baru itu, ‘kan?”Aku mengangguk membenarkan ucapan si penjaga studio, berharap. “Apa Anda melihatnya datang ke sini?”“Tidak.” Dia menggeleng dengan raut wajah serius. “Aku melihatnya di televisi.”Mendengar jawabannya, kukepalkan tanganku diam-diam, sementara Gray nyaris menyemburkan tawa.Kami keluar dari studio Arcade. Tujuannya untuk pulang ke tempat masing-masing.Aku sungguh tidak tahu, sampai Gray berteriak dan memeluk tubuhku. Bahkan seperti ada tubuh lain lagi yang melindungi kami dari sesuatu yang jatuh dari langit.Mataku tidak tertutup. Terbuka, tapi dengan tatapan yang kosong. Suara-suara di sekitarku semakin ramai terdengar. Riuh penuh kekhawatiran.Gray pingsan. Pelukannya pada tubuhku tetap erat, sampai kurasakan ada yang membawanya menjauh dariku.“Nona, kau baik-baik saja?” Sentuhan di pundakku terasa begitu jauh.Aku cuma mengangguk. Lalu memperhatikan dan mencerna apa yang baru saja terjadi.“Panggil ambulans, cepat!”
—Devon WoodyUntuk pertama kalinya, aku terluka karena ucapan wanita selain Esme.Bahkan, ini pun jarang terjadi. Aku hanya pernah sesekali mengalaminya selama empat tahun kebersamaanku dengan istriku. Setahun berkencan dan tiga tahun dalam hubungan pernikahan, kami nyaris tidak saling menyakiti. Menurutku begitu. Karena sejauh ini, aku merasa seperti itu.Apalagi, selama dua tahun lamanya Esme mengalami koma sehingga waktu terus berjalan, terlewati begitu saja. Tetap setia, itu yang kulakukan.Dan ketika wanita muda ini mengatakan hal yang ternyata bisa melukai perasaanku, sisi lemahku terbaca jelas. “Aku tidak penting bagimu?”Lila mengabaikanku. Dia berbaring dalam posisi memunggungiku. Aku tidak bisa begini jika ingin terus mendapatkan perhatiannya.Telingaku menangkap suara cekikikan di belakangku. Ketika aku berbalik, si bocah sialan itu tidur memunggungiku. Ingin sekali rasanya aku datang menghampirinya dan memberikan pelajaran—ah, sudahlah.Mendadak, aku seperti kehilangan kew
—Lila WinterKeluar dari rumah sakit membuatku jauh merasa lebih baik, setelah terus tertekan selama dua hari.“Pulanglah denganku, Lila.” Dev sudah lebih dulu mengamit lenganku. Kepalanya masih diperban, tapi dia sudah baik-baik saja.“Lila, bersamaku saja.” Gray muncul menghadang langkahku.Aku mengangkat tangan, melambai melewati Gray. Itu dia yang seharusnya pulang bersamaku. “Paman Sean!”Melepas lenganku dari Dev, berjalan pergi dari hadapan Gray, aku melangkah cepat menuju paman Sean yang datang menjemputku. Sungguh senang melihat paman Sean tidak datang bersama bibi Sisy.“Kau digandrungi oleh keduanya.” Paman menyambutku dengan senyum, saat aku tiba di hadapannya.Dengan ketidakpedulian, kuangkat kedua pundakku sambil menggeleng. “Ayo, kita pulang, Paman. Aku merindukan Onyx. Apa dia marah karena aku batal menemaninya pergi ke acara ulang tahun temannya?”“Tidak. Tentu saja tidak.” Paman tersenyum. Ada makna yang membuatku tiba-tiba mengingat ibu, saat menatapnya lekat-lekat.
—Devon WoodyHutan menjadi taman bagiku. Di mana pun dan bagaimana pun hutannya, bagiku sama saja. Kecuali untuk dua anak muda ini. Mereka mungkin sedikit asing dengan situasi seperti sekarang.“Menyerah saja?”Lila menoleh sambil mengernyit padaku. Di situasi dan kondisi apa pun, dia mungkin selalu terlihat dingin di mata orang lain, namun teramat seksi dalam pandanganku.“Tidak.”“Ini sudah sore. Kita bisa bermalam di dalam hutan jika kau memaksakan diri untuk terus berjalan.” Kuperhatikan bagaimana dia sedikit pucat dan berkeringat.Walau tadi kami sudah sempat menyantap apa pun yang terlihat lezat dan terasa enak, tetap saja itu tidak cukup untuk mereka. Bukan bagiku.“Gray, kita harus bermalam di sekitar sini.” Lila menatap si bocah sialan bernama Gray itu yang kini sedang berjongkok di sampingnya. Kelelahan.Dia mencemaskan pemuda lamban ini, karena kami baru keluar dari rumah sakit. Harusnya aku. Namun tampaknya, dia enggan memberiku perhatian.“Bangun, Gray.” Lila menarik leng