—Lila Winter
“Kau takut?” bisikku. Dan kulihat Gray mengangguk. “Yang benar saja.” Kudorong wajahnya menjauh dariku.“Lilaaa!” Seperti bocah, Gray bersiap memelukku. Malahan merengek. Di luar, Pretty Wings masih saja berusaha membuka pintu dan menggedor-gedor kaca jendela mobil.“Jangan berisik. Diam dan lihat apa yang dia lakukan pada mobilmu.” Aku mengerut marah, sekaligus menunjuk ke arah Pretty Wings yang sedang beraksi.“Lila, aku benar-benar ketakutan.” Gray memberitahuku lagi. Sangat dekat. Nyaris mencium daun telingaku.Aku memberinya ekspresi tidak tertarik. Mengabaikannya dan lebih memperhatikan apa yang sedang dikerjakan Pretty Wings di luar sana.Hei, hei. Dasar orang gila! Tiba-tiba saja dia meraih sebuah batu besar tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ah, benar-benar gila!“Gray, cepat keluar!”“Apa?”“Keluar kataku.”“Tapi—”“Kau mau dilempari batu olehnya?” Mendorongnya ke arah pintu, aku tidak tahan dengan gerak lamban dan ragu-ragu darinya.Gray akhirnya menurut setelah aku berusaha menyingkirkan tubuhnya untuk membuka pintu.Batu besar itu sudah dilemparkan oleh Pretty Wings dan lolos masuk ke tempat dudukku. Gray tengah mematung di samping mobil.“Lari!” Aku berteriak padanya.Menyusul Gray yang telah lari karena perintahku, aku tidak sadar bahwa Pretty Wings meraih rambutku. Dia menariknya dengan kekuatan penuh, sementara aku berusaha menggapai apa pun yang bisa kudapatkan.Kotak tisu yang ada di dashboard. Walau tidak berat, setidaknya bisa menghalau si wanita gila ini.“Lila!”“Lilaaaa!”Di luar, Gray yang terasa lebih mirip orang gila, terus menerus meneriakkan namaku.Dia ketakutan seperti pengakuannya padaku tadi. Tidak melakukan apa pun selain hanya kudengar teriakannya.Kotak tisu berhasil kupukul ke tubuh Pretty Wings yang sedikit lebih kurus dariku. Dia mengerang marah, tapi sempat melepas cengkeramannya di rambutku.Aku berhasil keluar lewat pintu pengemudi dan membantingnya, sebelum Pretty Wings berhasil menyusulku.“Kenapa masih di sini? Lari dan minta bantuan, Bodoh!” Aku memaki Gray yang lemas tidak berdaya.“A-aku—”“Jangan takut. Ada aku. Ayo!” Kupegang pergelangan tangannya erat-erat. Menariknya kasar agar mengikutiku.Kami berlari. Aku memimpin di depan. Mencari tempat yang pas di malam yang kian sunyi. Perempatan masih sedikit jauh dari tempat kami berada.“Lila, kita sembunyi di situ.” Graymenunjuk ke arah sampingnya.Lorong gelap di belakang dua bangunan yang berdampingan. Tempat yang sepertinya tidak digunakan lagi. Atau mungkin akan dirobohkan untuk membangun sarana lain.Dia menarikku ke sana. Gelap. Tidak ada cahaya sama sekali, kecuali dari langit malam di atas kepala kami.“Keluarkan ponselmu. Cari bantuan. Telepon siapa saja yang bisa membantu.” Aku memerintah, tapi mataku menatap ke jalanan di luar sana. Berharap sungguh bahwa Pretty Wings tidak akan mengejar kami.Mana mungkin!Pretty Wings jelas menyusul untuk mendapatkan kami. Dia sudah berlarian dengan batu di tangan. Aku melihatnya melintas di depan lorong tempat kami bersembunyi.Tapi sungguh, aku tidak yakin dia—akh, benar! Dia kembali!“Gray, matikan ponselmu. Dia melihat cahaya dari sini.” Berbisik tegas, aku merasakan getaran di sisiku. Gray ketakutan.Pretty Wings berjalan mendekati lorong. Pasti di matanya, dia tidak lagi melihat cahaya dalam gelap.Aku mengajak Gray berjongkok. Membiarkan dia tetap berada di belakangku.“Lila, Lilaaa. Aku takut.” Dia berbisik ngeri. Tidak berpura-pura. Dari suaranya, terdengar begitu. Bergetar dan merengek. Aku merasa sedang bersama bocah lima tahun.Andai dia berakting, akan kuhajar wajahnya nanti. Tunggu sampai Pretty Wings berhenti mengincar kami.“Diam!” Sedikit membentak, aku membenturkan lutut terlipatku dengan lututnya. “Perhatikan saja apa yang dilakukan si wanita gila itu. Kalau sampai kita ketahuan olehnya, itu salahmu.”“Hah?” Gray terdengar bingung, tapi kemudian hening saat aku mengabaikannya.Pretty Wings berjalan lambat-lambat ke arah lorong gelap di mana kami bersembunyi, bukan. Bukan bersembunyi, tapi berjongkok dalam keadaan bisu.“Saat hitungan ketiga, terus mundur secara perlahan tanpa merubah posisi. Kau mengerti?” Masih berbisik, aku memberitahu sambil tetap memperhatikan pergerakan Pretty Wings.Wanita gila itu rupanya benar-benar penasaran. Dia masuk ke dalam lorong dengan mata memicing. Mencoba melihat keberadaan kami. Aku yakin dia bisa melihat kami. Dia tidak buta.Jaraknya sudah dekat. Hanya beberapa meter lagi.“Satu.”“Hah?” Gray malah kebingungan.Anak ini bodoh atau gila seperti Pretty Wings? “Dua.”Hening dari Gray. Sepertinya dia mulai mengerti. Lihat, Pretty Wings tinggal beberapa langkah lagi.“Tiga.”Gray mulai mundur. Memang sulit bergerak, tanpa merubah posisi. Berjongkok sambil mundur, bukan hal yang mudah. Beberapa kali kaki panjangnya nyaris menendangku.Entah bagaimana, Gray tiba-tiba mengangkat tubuhku dengan menyelipkan tangannya di kedua ketiakku.Oh, oh! Dia menyeretku agar menjauh karena bahaya memang datang. Dalam kegelapan yang cuma diterangi cahaya dari langit malam, bisa kulihat Pretty Wings bersiap melemparkan batu di tangannya ke arah kami.Gray berteriak ketakutan, padahal si bodoh ini seharusnya tidak perlu begitu. Meski dia takut sekali pun. Karena itu hanya akan mengundang kepanikan yang lain.Pretty Wings salah sasaran. Dia melempar ke arah lain. Mungkin penglihatannya sedikit buruk atau terkejut karena teriakan Gray yang melengking. Menyakitkan telinga.Dia mengejar kami yang berlari tidak tahu arah harus ke mana. Kali ini, Gray berada di depan walau terus saja berteriak ketakutan.Dasar bocah!Menoleh sekilas, aku semakin merasa bahwa Pretty Wings mirip zombie. Ekspresi wajahnya sudah sulit kukenali antara marah, sedih atau senang.Jarak kami cukup dekat. Dia hanya perlu menjulurkan lengan untuk menangkapku atau setidaknya, menjambak rambutku seperti tadi.Aku bingung kenapa Pretty Wings tidak melakukannya. Apa dia senang bermain kejar-kejaran seperti ini?“Lila, ke sini!”Suara Gray mengejutkanku. Aku kehilangan dia dan tidak tahu di mana—hah? Sejak kapan dia naik ke atas sana?Aku mendongak, melihat Gray sudah ada di balkon belakang salah satu bangunan.“Naik lewat tangga itu!” Gray berteriak histeris.Pretty Wings ikut berhenti di belakangku. Gila! Jarak kami sedekat ini!“Lila cepaaat!” Teriakan Gray makin menyebabkan rasa panik. Padahal, aku jarang bertingkah mengikuti emosi lawan bicaraku.Cepat kunaiki tangga yang bau karatannya terendus hidung. Tangga lurus tanpa pegangan. Saat menoleh ke belakang, Pretty Wings sedang mendongak dan aku yakin, dia berniat menyusulku.“Lilaaaa, cepaaat!”“Diam, Bodoh! Kenapa kau berisik sekali?”“Segera lemparkan tangganya!” Gray mengabaikan peringatanku.Apa dia gila? Pretty Wings sudah menyusulku, walau baru dua atau tiga anak tangga yang dinaikinya. Dia bisa terjatuh dari ketinggian bila aku membuang tangganya.Aku sudah sampai di balkon. Gray mendekatiku, bukan. Dia malah berjalan ke arah tangga dan mendorong tangga itu dengan sekuat tenaga.Aku diam melihat aksinya. Rasa takut membuatnya kehilangan dirinya sendiri. Melihat ke bawah, samar tampak Pretty Wings terbaring di tanah. Bagusnya, tubuh kurus itu tidak tertimpa tangga.“Apa dia mati?” Gray sudah ada di sampingku.“Entahlah. Jika dia sampai mati, kau harus bertanggung jawab.”Gray menghela napas. Dia mengeluh sambil bergumam tidak jelas. Kuperhatikan tangannya yang ada di sisi tubuhnya. Bergetar. Dia gemetaran.Setakut itukah?“Sekarang bagaimana?” Berkacak pinggang, aku berencana mengalihkan perhatiannya dari rasa takut.“Apanya?” Dia masih melihat ke bawah, ke tempat Pretty Wings terkapar. “Maksudmu, dia?”“Kita.”Sepasang mata gelap Gray segera menatapku. “Kita?”“Ya, kita. Kau sudah membuang tangganya. Kita tidak bisa turun dan mana mungkin mendobrak pintu besi itu!” Kutunjuk satu-satunya pintu yang ada di balkon.“Kau benar.” Gray tiba-tiba sibuk mondar-mandir di depanku. “Sekarang, kita harus bagaimana?”Aku menggeleng tidak habis pikir. Rasa takut benar-benar membuatnya jadi bodoh.“Ponselmu, Gray.” Aku mendekat. Menadahkan telapak tanganku. “Kemarikan. Biar aku yang cari bantuan.”“Oh, aku lupa!” Dia berseru. Mirip bocah.“Jangan berakting, Gray.”“Tidak. Aku tidak berakting, Lila.”Kuabaikan penyangkalan Gray dan mulai mencari nama paman Eddie di kontaknya. Entah kenapa aku merasa tidak perlu izin darinya untuk melakukan hal semacam ini.“Kau menghubungi siapa?”“Ibumu,” jawabku asal.“Aku tidak punya ibu, Lila.”Tanganku berhenti menyentuh layar ponselnya. Menatapnya tanpa ekspresi. “Aku cuma bercanda.”“Tapi aku tidak bercanda. Aku memang tidak memiliki ibu.” Gray seakan sengaja mengatakan hal itu untuk membuatku tertekan, merasa bersalah.Okay. Aku tahu harus apa. “Aku minta maaf.”“Tidak apa-apa. Aku bahkan tidak mengenal siapa ibuku. Dia meninggal saat melahirkanku.”Oh, Tuhan. Kenapa dia sengaja menceritakannya padaku? Justru saat ini, dia sedang membuatku merasa tertekan dengan perasaan bersalah.“Kau bisa minta ayahmu untuk memberikan fotonya padamu, Gray.” Aku sudah mulai mengetik pesan. Rasanya tidak pas menghubungi paman Eddie karena mungkin saja dia sudah tidur.“Aku selalu mengantongi foto ibuku. Mau lihat?” Dia pamer.“Iya. Nanti aku lihat. Di sini gelap. Aku ingin melihatnya di tempat terang.” Aku tidak beralasan. Memang sebenarnya, aku sungguh-sungguh ingin mengenali wajah ibunya.Merasa bersalah? Ah, ya. Aku merasa bersalah. Ucapan asalku tadi sepertinya melukai hatinya. Walau dia jelas-jelas tidak memperlihatkannya padaku.“Janji?” Dia menyodorkan jari kelingkingnya ke hadapanku.Kuamati dia masih dengan tatapan datarku. “Okay. Aku janji.” Kukaitkan jari kelingkingku dengannya.“Terima kasih, Lila.”“Untuk apa?”“Untuk semua kebaikanmu hari ini.”Akhirnya dia kembali jadi Gray yang berisik. Seperti awal aku mengenalnya.Ponsel Gray bergetar. Notifikasi pesan masuk ke ponselnya. Dari paman Eddie.“Kau meminta bantuan pada paman Eddie?”“Hmm.”“Kenapa tidak meminta bantuan pada Ray?”Hah? “Kau kenal bocah itu?”“Dia adikmu.”“Itu sudah jelas.”Gray tertawa. “Aku tidak pernah dengar hal-hal buruk tentangmu dari Ray. Tapi sepertinya, dia sengaja tidak menceritakan tentang sifat aslimu pada orang-orang terdekatnya.”“Sejak kapan kau mengenaliku sebagai kakaknya Ray?”“Tadi. Di rumah paman Eddie.”“Sebelumnya, bocah itu menceritakan apa tentangku?”“Hmm … tidak ada.” Gray kemudian tertawa. Dia senang bertingkah konyol dan bicara omong kosong, ternyata.“Kau tahu bukan itu yang kumaksud.”“Okay okay.” Gray mengangkat kedua tangannya di udara. “Aku senior Ray di kampus. Aku temannya Ruby. Aku mengenal Ray darinya karena mereka sering terlihat bersama.”“Hanya itu?”“Apa lagi yang ingin kau tahu?”Aku tidak menjawab. Enggan menyatakan isi pikiranku padanya. Bocah ini mungkin sama saja dengan Ray. Kerap membuatku kesal.“Ah, mengenai dia yang tidak pernah menceritakan hal-hal buruk tentangmu?”Aku tidak mengangguk, walau kurasa itu yang ingin kutanyakan padanya sejak tadi. Dia seperti sengaja mempermainkanku.“Memang tidak pernah, Lila.” Gray tersenyum lebar. Entah apa artinya itu.“Hmm.”“Sungguh. Dia hanya menceritakan padaku bahwa dia memiliki seorang kakak perempuan yang lebih tua lima tahun darinya. Dan kalian jarang bicara karena kau yang enggan terbuka padanya.”Tidak sepenuhnya salah. Aku memang tidak terbuka, tapi bukan berarti aku membencinya.“Dia bicara benar tentangmu, ‘kan?”Aku mengangguk. Tiba-tiba saja ingat bahwa dia benar-benar tidak sopan padaku sejak kami bertemu. “Panggil aku Kakak. Aku lebih tua lima tahun darimu.”“Aku tidak mau. Aku hanya lebih muda empat tahun darimu.”“Apa bedanya? Walau hanya empat tahun, aku tetap lebih tua darimu.”“Jangan ributkan perihal usia, Lila. Hanya empat tahun. Meski begitu, aku sudah dewasa dan mengerti akan banyak hal.”Kenapa dia marah? Abaikan saja dia. Lagaknya seperti pak tua. Sejak awal aku sudah merasa bahwa dia ini memang hanyalah bocah banyak bicara, seperti Ray. Mereka bertiga—termasuk Ruby—adalah kombinasi yang pas. Cocok bergaul satu sama lain.“Jadi, apa hebatnya merasa lebih tua, Lila Winter?”“Tidak hebat. Sama sekali tidak. Aku hanya menegaskan jarak saja.”“Jarak? Apa karena aku lebih muda?”“Bukan.”“Apa karena aku temannya adikmu?”“Aku tidak peduli itu.”“Lalu, apa?”Tepat ketika aku ingin mengabaikan pertanyaannya, bersamaan dengan dering ponsel Gray yang terdengar di antara kami.“Paman Eddie.” Dia menyodorkan ponselnya padaku.Aku menerimanya. “Ya, Paman?”“Paman ada di dekat mobil Gray. Kalian di mana?”“Sebentar, Paman. Biar kubagikan lokasinya.”Setelah mengirimkan lokasi, aku mengakhiri panggilan dan melihat ke bawah.“Hei, ke mana perginya Pretty Wings?”“Apa?” Gray panik kembali. Dia mendekat dan nyaris membuatku terjatuh dari atas balkon. Dasar gila!“Pretty Wings mungkin terbangun saat kita lengah atau sedang berbincang. Dia lalu pergi begitu saja, mungkin.”“Aku tidak yakin, Lila.”Sungguh, sebenarnya pun, aku tidak yakin. Apa Pretty Wings benar-benar bangun dari pingsannya?“Anak-anak, kalian baik-baik saja?”Itu paman Eddie!—Devon Woody“Bagaimana?”“Apanya?” Kumainkan ujung rambutnya dengan santai. Tatapanku tidak mengarah padanya.“Permainan kita.”Ah, aku begitu enggan membahasnya. Sejak awal dimulai, aku terus berhati-hati. Cemas andai menyakitinya. Dia masih belum pulih benar. Aku bisa saja membuatnya kembali harus berbaring lama, andai menyerang terlalu brutal.“Cukup menyenangkan. Aku—”“Kau tampak tidak puas, Dev.” Dia menginterupsiku lewat elusannya di sekitar dadaku.“Itu wajar, bukan? Sudah lama sekali sejak terakhir kali kita melakukannya.”Jadi jangan tanya, selama dua tahun ini aku melampiaskannya pada siapa. Aku tidak akan mau menjawabnya.“Kau jadi pergi?”“Harus.”Istriku menghela napas. Entah keberatan atau tidak, sejak bangun dari koma hingga hari ini, sikapnya sedikit berubah.Dia nyaris tidak ingin lepas dariku. Walau dulu pun begitu, tapi yang ini lebih mengejutkan bagiku. Terlalu posesif.“Kenapa aku tidak boleh ikut?”Ini. Ini dia.Dulu, sebelum koma, Esme hampir tidak memiliki ke
—Lila WinterIni gila!Bagaimana caranya agar mendorong jatuh tubuh Dev dari atas tubuhku?Jari-jarinya begitu gencar mengusikku. Bahkan mulutnya itu, kurang ajar. Sangat meresahkan tubuhku.“Menyingkir, Dev. Paman Sean atau bibi Sisy bisa datang tiba-tiba.”Dev tidak juga mau berhenti. “Tenang. Mereka tidak mungkin naik ke atas sini.”“Seenaknya kau bicara. Minggir!” Kutendang dia dengan sisa kekuatanku.Bunyi berdebam membuatku sedikit tenang. Dia jatuh dengan tawa yang terdengar marah.“Jangan memaksaku lagi.” Cepat-cepat kupakai kembali hotpants denim-ku. Tidak terburu, tenang tanpa gerak amarah.Tawa Dev belum berhenti. Kali ini dia terbahak-bahak. Merebahkan diri ke tempat tidur, lalu menahan lenganku yang baru saja selesai menutupi bokong dan celana dalamku dengan hotpants. “Apa kau mengira aku akan berhenti?”“Aku tahu kau tidak bisa berhenti sebelum mendapatkan keperawananku.”Kilatan di mata Dev menyiratkan banyak arti. “Benar. Sampai kudapatkan atas dasar keinginanmu sendir
—Lila Winter“Gadis ini ... penyanyi pendatang baru itu, ‘kan?”Aku mengangguk membenarkan ucapan si penjaga studio, berharap. “Apa Anda melihatnya datang ke sini?”“Tidak.” Dia menggeleng dengan raut wajah serius. “Aku melihatnya di televisi.”Mendengar jawabannya, kukepalkan tanganku diam-diam, sementara Gray nyaris menyemburkan tawa.Kami keluar dari studio Arcade. Tujuannya untuk pulang ke tempat masing-masing.Aku sungguh tidak tahu, sampai Gray berteriak dan memeluk tubuhku. Bahkan seperti ada tubuh lain lagi yang melindungi kami dari sesuatu yang jatuh dari langit.Mataku tidak tertutup. Terbuka, tapi dengan tatapan yang kosong. Suara-suara di sekitarku semakin ramai terdengar. Riuh penuh kekhawatiran.Gray pingsan. Pelukannya pada tubuhku tetap erat, sampai kurasakan ada yang membawanya menjauh dariku.“Nona, kau baik-baik saja?” Sentuhan di pundakku terasa begitu jauh.Aku cuma mengangguk. Lalu memperhatikan dan mencerna apa yang baru saja terjadi.“Panggil ambulans, cepat!”
—Devon WoodyUntuk pertama kalinya, aku terluka karena ucapan wanita selain Esme.Bahkan, ini pun jarang terjadi. Aku hanya pernah sesekali mengalaminya selama empat tahun kebersamaanku dengan istriku. Setahun berkencan dan tiga tahun dalam hubungan pernikahan, kami nyaris tidak saling menyakiti. Menurutku begitu. Karena sejauh ini, aku merasa seperti itu.Apalagi, selama dua tahun lamanya Esme mengalami koma sehingga waktu terus berjalan, terlewati begitu saja. Tetap setia, itu yang kulakukan.Dan ketika wanita muda ini mengatakan hal yang ternyata bisa melukai perasaanku, sisi lemahku terbaca jelas. “Aku tidak penting bagimu?”Lila mengabaikanku. Dia berbaring dalam posisi memunggungiku. Aku tidak bisa begini jika ingin terus mendapatkan perhatiannya.Telingaku menangkap suara cekikikan di belakangku. Ketika aku berbalik, si bocah sialan itu tidur memunggungiku. Ingin sekali rasanya aku datang menghampirinya dan memberikan pelajaran—ah, sudahlah.Mendadak, aku seperti kehilangan kew
—Lila WinterKeluar dari rumah sakit membuatku jauh merasa lebih baik, setelah terus tertekan selama dua hari.“Pulanglah denganku, Lila.” Dev sudah lebih dulu mengamit lenganku. Kepalanya masih diperban, tapi dia sudah baik-baik saja.“Lila, bersamaku saja.” Gray muncul menghadang langkahku.Aku mengangkat tangan, melambai melewati Gray. Itu dia yang seharusnya pulang bersamaku. “Paman Sean!”Melepas lenganku dari Dev, berjalan pergi dari hadapan Gray, aku melangkah cepat menuju paman Sean yang datang menjemputku. Sungguh senang melihat paman Sean tidak datang bersama bibi Sisy.“Kau digandrungi oleh keduanya.” Paman menyambutku dengan senyum, saat aku tiba di hadapannya.Dengan ketidakpedulian, kuangkat kedua pundakku sambil menggeleng. “Ayo, kita pulang, Paman. Aku merindukan Onyx. Apa dia marah karena aku batal menemaninya pergi ke acara ulang tahun temannya?”“Tidak. Tentu saja tidak.” Paman tersenyum. Ada makna yang membuatku tiba-tiba mengingat ibu, saat menatapnya lekat-lekat.
—Devon WoodyHutan menjadi taman bagiku. Di mana pun dan bagaimana pun hutannya, bagiku sama saja. Kecuali untuk dua anak muda ini. Mereka mungkin sedikit asing dengan situasi seperti sekarang.“Menyerah saja?”Lila menoleh sambil mengernyit padaku. Di situasi dan kondisi apa pun, dia mungkin selalu terlihat dingin di mata orang lain, namun teramat seksi dalam pandanganku.“Tidak.”“Ini sudah sore. Kita bisa bermalam di dalam hutan jika kau memaksakan diri untuk terus berjalan.” Kuperhatikan bagaimana dia sedikit pucat dan berkeringat.Walau tadi kami sudah sempat menyantap apa pun yang terlihat lezat dan terasa enak, tetap saja itu tidak cukup untuk mereka. Bukan bagiku.“Gray, kita harus bermalam di sekitar sini.” Lila menatap si bocah sialan bernama Gray itu yang kini sedang berjongkok di sampingnya. Kelelahan.Dia mencemaskan pemuda lamban ini, karena kami baru keluar dari rumah sakit. Harusnya aku. Namun tampaknya, dia enggan memberiku perhatian.“Bangun, Gray.” Lila menarik leng
—Lila WinterTidak tahu malu.Begitulah kami. Aku tidak peduli meski lebih dewasa dari Ruby. Dan si gadis bodoh sialan ini pun, tidak tahu sopan santun untuk memilih diam daripada melawanku yang sedang memarahinya.“Aku tidak memintamu melakukannya.”“Otak bodohmu ini yang meminta bantuanku di surat yang kau tulis untuk ayahmu.” Dengan telunjuk, kutekan berulang pelipisnya.Ruby menepis tanganku dan membiarkan para penghuni kafe kecil nan kampungan ini, menatap kami dengan mata mereka yang melotot.“Teman-teman, saatnya berhenti. Ayo, kita keluar dan mencari tempat yang lebih nyaman untuk bicara.”Aku lupa bahwa Dev masih ada di sisiku. Bersama-sama denganku untuk menerima dan melihat kebodohan ini.“Lila,” bisik Dev. Dia seperti berusaha menenangkan.“Cepat berdiri dan ikut aku, sebelum kuseret kau dari sini.” Setengah membungkuk ke arah Ruby, aku berusaha memberi penekanan padanya yang selalu tidak bisa diberitahu apalagi dinasehati.Ruby menggerutu dalam mulutnya yang terkatup. Ent
—Lila WinterIni satu hari yang dijanjikan oleh Ruby padaku. Hari terakhir di tempat ini.Aku dan Dev nyaris tidak lagi saling bicara. Jika aku memang pasif sejak awal, maka dia jauh lebih pendiam dan tidak melakukan gerakan apa pun saat tanpa sengaja berhadapan denganku.“Ruby akan pergi ke panti asuhan bersama temannya itu. Kau ikut?”“Dia tidak mengajakku.” Kugelengkan kepala sekilas saja.“Kita tidak perlu diajak olehnya.”Tersenyum sinis, aku membenarkan. “Kita ke sini juga bukan karena ajakannya.”“Tepat.” Gray tersenyum dengan telunjuk teracung ke arahku.“Ikuti saja dia dari belakang.”Gray menggoyangkan sebuah kunci tanpa gantungan di depan wajahku. “Aku menyewa mobil ini dari si pemilik motel. Tarifnya murah. Kita bisa pakai sepuasnya.”Aku mengangguk. Menyembunyikan niat jahatku darinya. “Biar aku—”“Tidak, tidak.” Gray menyela seolah dia tahu apa yang akan kukatakan. “Biar aku yang mengisi bahan bakarnya. Penuh.”“Okay. Terserah kau saja.” Yang rugi bukan aku.“Aku akan me