Home / Romansa / MAIN HATI / Chapter 7

Share

Chapter 7

last update Last Updated: 2024-02-21 18:49:15

—Lila Winter

Kami hanya saling memuaskan satu sama lain. Tidak lebih. Kurasa, dia paham tentang keperawanan yang sempat kuutarakan padanya kemarin lalu.

Ponsel Dev berdering. Tepat ketika kami berpelukan setelah selesai merasa setengah terpuaskan, itu bagiku. Entah untuknya. Mungkin dia sudah puas hanya dengan mulutku saja. Aku belum. Kuakui itu.

Dev menjawab panggilannya, tanpa merapikan diri. Maksudku, dia tidak peduli dengan rambutnya yang acak-acakan, kemeja kusut dan kancing kemeja bagian atasnya yang terbuka. Langsung keluar dari mobil dan berbicara ditelepon. Aku tidak mendengar apa pun dari sini. Lagipula, aku tidak peduli.

Seharusnya, aku membeli ponsel sebelum pergi syuting tadi pagi. Aku lupa.

“Di mana rumahmu?”

Aku menatapnya yang bicara di depan pintu mobil yang terbuka. “Satu belokan lagi.” Itu rumah paman Eddie. Aku perlu ke sana untuk memastikan sesuatu. Walau Ruby tidak mungkin ada di sana. Gadis bengal itu tidak akan pulang dengan sendirinya.

“Okay.” Dia malah masuk dan menutup pintu. Padahal seharusnya, dia berada kembali di balik kemudi, bukan di sini.

“Mana ponselku?” Kulirik dia yang hanya terus menciumi pundak dan leherku. “Dev, di mana ponselku?”

“Aku tidak ingat meletakkannya di mana. Akan kuperiksa nanti. Jika tidak ada, kuganti saja dengan yang baru. Bagaimana?” Tangannya masih nakal dan sibuk menyentuh tubuhku di sana-sini. Tidak canggung sama sekali. Menatapku, sangat dekat. Hingga napasnya terhembus di kulit wajahku. “Kau tahu, aku suka panggilan itu.”

“Paman?” Entah kenapa, rasanya ingin bercanda. Kami tidak seharusnya sedekat ini. Kami dua orang asing. Semestinya begitu.

Kening Dev mengerut. “Kau lebih nyaman memanggilku dengan sebutan itu?”

“Nyaman-nyaman saja apa pun panggilannya.” Tidak tersenyum, tidak berekspresi, aku mendapat sentuhan menusuk di bawah sana. Kutahan untuk tidak mengerang.

“Sungguh? Apa aku ini hanya pelampiasan saja untukmu?”

“Itu kau, bukan aku.” Kuberitahu bahkan peringatan pada diriku sendiri. Bahwa pria yang sudah mengacaukanku dengan setengah perjalanannya menuju ke langit tertinggi bersamaku itu, pasti setidaknya, sudah memiliki pendamping.

“Aku tidak siap untuk jujur padamu sekarang.”

Benar. Dia tidak akan pernah siap memberitahuku bahwa dirinya sudah memiliki kekasih, istri, atau bahkan anak-anak yang lucu.

Bila kupikirkan lagi, bisa saja dia sudah memiliki anak seusia Onyx, putra tunggalnya paman Ocean dan bibi Sisy. Usianya sekarang, mungkin delapan atau sembilan tahun.

“Tidak perlu.”

“Kenapa?” Tangan Dev keluar dari gaunku.

“Karena tidak ada hubungan apa pun di antara kita.”

“Lalu, apa artinya ini semua?”

Aku menghela napas lelah secara terang-terangan. Menegaskan padanya lewat tatapan, bahwa aku pun tidak ingin hal seperti ini sering berulang terjadi. Karena aku tahu, hasratku sulit terbendung nantinya.

“Tanyakan pada dirimu sendiri, Dev. Kau yang lebih dulu menyentuhku di ruang gantimu kemarin lalu. Kau lupa?”

“Tidak. Aku tidak lupa. Mana mungkin aku lupa.”

“Jadi, kau tahu apa artinya, bukan?”

Kening Dev semakin mengerut di dalam keremangan. Aku tahu guratan kemarahannya kian menjadi.

“Kita baru dua kali bertemu. Jangan lupakan fakta bahwa kau dan aku bersenang-senang atas apa yang sudah terjadi. Terlepas dari semua itu, silakan jadikan ini hanya sebagai kenangan manis pelengkap di antara kita.” Waah, pintarnya aku bicara. Tapi, bukankah itu benar? Aku tidak berniat untuk lebih dari sekadar melepas hasrat dengannya. Dia jelas seorang pria yang tampak berbeda usia cukup jauh dariku. Bukan, sebenarnya, bukan itu yang lebih penting.

Seseorang yang sudah ada dan hidup, serta berdiam di hatinya. Keberadaan yang tidak boleh digeser begitu saja oleh orang baru sepertiku. Lagipula, selama yang sudah terjadi ini tidak merusak keperawananku dengan kejantanannya langsung, kurasa aku akan baik- baik saja.

“Hanya sebatas itu, Lila?”

Kenapa harus kecewa? “Ya. Hanya sebatas itu, Dev. Kurasa, kau pun tidak ingin memiliki hubungan yang lebih dari ini bersamaku. Itu akan sangat sulit untuk kita berdua nanti.”

Dia duduk tenang di sisiku. Memandang keluar jendela. Tidak lagi menatapku. “Apa itu karena pria yang tadi mengantarmu?”

Siapa? Yang mengantarku? Siapa—ah, maksudnya si bocah yang bernama Gray itu?

Sepertinya, Dev melihat Gray mengantarkanku tadi, ke kafe depan sana. Padahal, bocah itu hanya memaksaku untuk membelikannya dua paper cup kopi.

Aku hanya tidak ingin bocah seperti Gray terus berisik di sisiku, sampai tiba ke rumah. Itulah kenapa aku beralasan ingin bertemu teman di kafe dan menolak diantarkan olehnya sampai ke rumah. Siapa yang tahu bahwa kemudian, si hot uncle ini ada di tempat yang sama denganku?

“Bisa jadi.”

Kurasakan tatapan menusuk dari sampingku. Sekarang dia sudah memandangku dengan kerutan kening yang kian mendalam. “Apa kau sadar, kau sedang meremahkanku?”

Oh, begitukah? Apa dia sadar, bahwa dirinya juga tidak ingin bicara jujur padaku? Itu artinya, kami sama saja. Hanya berbeda kondisi.

“Jangan salah paham, Paman Dev. Aku memang seperti ini.”

Helaan napasnya terasa kasar. “Okay. Itu yang kau mau. Lain kali, saat kita bertemu, kita bisa saling memuaskan. Hanya sebatas itu. Aku benar?”

“Tidak.” Aku menggeleng. “Kau salah. Lain kali, saat kita bertemu lagi, sapa secukupnya saja. Tidak ada yang boleh lebih dari itu.”

Dev keluar dan menutup pintu dengan cara membanting. Dia kembali ke tempat di mana seharusnya dia berada.

Kutatap Dev dari belakang seperti ini. Sosoknya memang mengagumkan. Dia dewasa, penuh wibawa dengan aura yang terkadang berubah-ubah.

“Rumah yang mana?”

Aku sedikit tersentak dan membuang pandanganku darinya yang tiba-tiba menoleh ke belakang. “Aku turun di sini saja.” Ternyata, gerbang utama perumahan paman Eddie sudah di depan mata.

“Okay.”

Lihat. Dia kembali pada dirinya setelah aku bersiap menjadi orang asing di hadapannya.

Mobilnya Dev langsung pergi, tepat saat pintunya kututup. Terburu-buru sekali. Memang begitulah pria. Jika tidak dituruti, harga dirinya bisa saja terluka.

Lalu, apa bedanya dengan wanita? Makhluk yang bernama manusia, semuanya sama saja! Tidak ada bedanya. Jenis kelamin tidak menentukan apa pun. Tidak bisa menjadi jaminan.

Saat akan membunyikan bel, pintu rumah terbuka dari dalam. Tanganku bahkan masih berada di udara.

“Lila?” Paman Eddie terlihat heran.

“Lila? Mana Lila?” Suara dengan nada terkejut sedikit jauh di belakang paman, tiba-tiba mendekat.

Itu ... Gray?

“Hei, Lila. Ternyata kau ke sini juga?” Seperti sudah lama saling mengenal dan seolah berteman, dia melambai-lambai riang padaku.

Padahal seingatku, dia sempat canggung setelah adegan ciuman di lokasi syuting. Bahkan tadi di mobil pun, dia terus saja berisik. Seolah tidak memberiku kesempatan untuk bicara sama sekali.

Apa dengan banyak bicara menjadi salah satu kiat untuk menyembunyikan rasa malunya?

“Masuklah, Lila. Gray sudah memberitahu Paman tentang hasil dari syuting musik video-nya hari ini.”

Aku melangkah masuk. Mengangguk sekilas lalu dan mengabaikan Gray. Jika kuhiraukan dia, maka aku tidak akan bisa membicarakan tentang tujuanku datang ke sini.

Tapi sepertinya, Gray dan paman Eddie bahkan Ruby sudah saling kenal dalam waktu yang lama.

“Paman, aku ingin bicara tentang Ruby.” Langsung, bahkan di depan Gray.

Paman menghentikan kegiatannya di depan alat-alat musik yang ada di ruangan ini. “Sekarang?”

Besok! Paman terkadang berubah menjadi menyebalkan seperti putri bodohnya itu. Aku mengangguk saja. Enggan mengiyakan dengan suaraku.

“Ayo, kita ke ruang keluarga.”

“Apa aku boleh ikut, Paman?” Gray antusias. Mirip anak anjing.

“Tidak. Kau di situ saja.” Aku langsung mengisyaratkan hal itu, karena tidak ingin dia terlalu mau tahu. Walau mungkin, dia sudah mengetahuinya.

Paman Eddie tertawa pelan. “Paman kira kalian sudah akrab satu sama lain.”

“Kami akrab, Paman. Lila hanya tidak mengakuinya di luar syuting hari ini.” Gray segera meluruskan.

Untuk apa dia melakukan hal tidak berguna seperti itu?

Paman Eddie sudah mendahuluiku ke ruang keluarga. Aku menyusul dengan tatapan kaku. Rumah ini jadi mirip sarang hantu. Terasa mati sejak bibi Esther tidak ada. Padahal, baru beberapa hari berlalu tanpa bibi di sini.

Bahkan suara Ruby yang biasa terdengar di seluruh penjuru rumah, kini hanya menyisakan ruang semu.

“Apa yang ingin kau bicarakan tentang Ruby, Lila?”

Aku mencari posisi yang kurasa tidak canggung. Saat merasakan ada mata yang mengawasi, aku menoleh dan melihat Gray pura-pura lewat di depan ambang pintu sambil bersiul.

“Aku hanya ingin meluruskan tentang apa yang ditulis Ruby di suratnya, Paman.”

“Tentu saja. Silakan. Meluruskan apa itu, Lila?”

Kemarin aku tidak bisa memprotes apa pun, karena ada ayah di antara kami. “Aku tidak menjanjikan apa pun pada Ruby. Jadi, sebenarnya, itu hanya akal-akalannya untuk menjahiliku.”

Paman Eddie seketika terbahak. Tidak terdapat kesedihan di sana, padahal istri tercintanya baru saja pergi meninggalkannya selama-lamanya, disusul oleh putri tunggalnya yang malah melarikan diri darinya dengan begitu egois.

“Jadi, maksudmu, pada bagian di mana putriku mengatakan bahwa kau bersedia untuk menjadi bagian dari musik video-nya itu, sebenarnya tidak ada?” Setelah tawanya reda, paman Eddie menatapku lekat-lekat.

Aku menganggukkan kepala dengan cepat. Hanya dia yang waras, meski memiliki putri kurang ajar seperti Ruby. Mungkin, mengerjaiku seperti itu bukan hal yang perlu dipermasalahkan, tapi mengingat bahwa Ruby bisa menjadikanku sasaran yang bukan hanya sekali untuk bantu menyelesaikan pekerjaan yang sebenarnya bukan tanggung jawabku, membuatku kesal. Sangat kesal!

“Ruby bisa memanfaatkanku lagi di lain waktu. Dan aku tidak mau hal seperti ini terulang lagi, Paman. Walau meski terlihat sepele, tapi aku sangat tidak menyukai caranya menimpakan tanggung jawabnya padaku.”

Paman Eddie mengangguk. Raut wajahnya serius, meski sisa tawa masih terlihat di sana. “Aku mengerti. Maafkan aku karena terkesan seperti mendukung begitu saja perbuatan Ruby, padahal seharusnya, kutanyakan dulu tentang kebenarannya pada gadis itu. Meski aku tidak pernah tahu bagaimana cara agar kami jadi terhubung untuk bisa membicarakan hal ini.”

Benar kan? Percuma saja! Putrimu itu lebih licik dari yang bisa kau bayangkan tentangnya, Paman Eddie! “Tidak jadi masalah, karena itu sudah kulakukan, Paman. Aku memang bersedia, karena ayah yang meminta. Tapi, lain kali, aku tidak akan pernah mau membantunya lagi.”

Paman Eddie mengangguk lagi. Masih dengan raut wajah yang sama. Kali ini, ada kesedihan yang tidak bisa dia sembunyikan di depanku. “Baiklah. Lain kali, hal seperti ini tidak akan terjadi lagi, Lila. Mewakili putriku, aku minta maaf.”

“Tidak, Paman. Bukan Paman yang harus minta maaf padaku. Itu tugas Ruby. Dia sudah sangat keterlaluan. Bahkan tidak datang di hari pemakaman ibunya sendiri.” Karena si gila Ruby, aku jadi tidak bisa melihat bibi untuk terakhir kalinya dan malah berada dalam bahaya bersama si hot uncle.

Itu bukan keberuntungan! Sama sekali bukan.

Aku tahu mulutku selalu bicara hal-hal yang menyakitkan, terkadang tanpa berpikir. Tapi, itu nyata. Ruby keterlaluan karena sengaja mengabaikan hal paling penting dalam hidupnya. Kepergian bibi Esther bukan hal sepele yang bisa membuatnya pergi seenaknya, di saat kami semua menunggunya di pemakaman.

“Lila.”

“Ya, Paman?”

“Apa jika Paman yang meminta pertolongan padamu, kau akan melakukannya?”

Tidak. Sebenarnya, tidak juga. Aku hanya—

“Tolong bujuk Ruby untuk kembali pulang, Lila. Paman tidak bisa pergi ke mana-mana, karena semua pekerjaan Ruby harus ada yang bersedia bertanggung jawab di sini. Dia memang sudah menyelesaikan bagiannya, tapi ada beberapa hal yang anak itu tidak tahu bahwa jika dilepas begitu saja, semua usahanya selama ini akan jadi sia-sia.”

Gila! Untuk apa aku mencari-carinya ke Graswall? Kenapa kesannya, jadi aku yang harus ikut ambil bagian dalam keberlangsungan karir si gadis licik itu?

Wah, apa paman juga akhirnya bersikap sama saja seperti Ruby? Pada dasarnya, mereka ayah dan anak. Sudah jelas keduanya sama saja. Menyusahkan!

Terkadang, aku keliru menilai seseorang yang bahkan berhubungan dekat denganku.

“Paman—”

“Paman sudah minta adikmu untuk pergi membujuk Ruby, tapi karena sedang dalam masa ujian, dia tidak bisa pergi. Maksudku, ayah dan ibumu pasti melarang andai Ray bersedia menyusul Ruby ke Graswall.”

Itu benar. Jika tidak ingin membuat ayah membencinya, jangan sembarangan bertindak, Ray! “Paman sudah membujuk Ruby dan tidak berhasil?”

“Seperti kataku tadi, andai dia tidak memutus komunikasi seperti ini, tentu aku akan terus mencoba menghubunginya siang dan malam. Segala sesuatu selalu terjadi dengan tanpa perkiraan, Lila. Kami juga tidak ingin Esther meninggalkan kami, di saat Ruby sedang berusaha mempersiapkan hal membanggakan untuk ibunya. Kau tahu itu, ‘kan?”

Benar. Aku tahu. Selama hidupnya, bibi Esther hanya bangga pada Ray. Dia begitu mencintai dan melimpahkan semua kasih sayangnya untuk adikku.

Entah bagaimana, bibi Esther seperti tidak bisa melihat potensi yang ada dalam diri putrinya. Sehingga apa pun yang Ruby kerjakan, selalu mengundang kemarahannya. Mereka tidak terlalu akur.

Hal itu pun diakui oleh ibuku. Sebagai adik kandung dari bibi Esther, ibuku paling tahu bagaimana selama hidupnya, bibi selalu mengeluh tentang perilaku Ruby yang membuat bibiku itu sakit kepala.

Di saat Ruby mulai mempersiapkan dirinya sebagai penyanyi seperti paman Eddie, bibi Esther justru meninggal di saat kejutan untuknya itu hampir selesai.

Ujung-ujungnya, aku harus rela menolong Ruby karena kami satu keluarga. Menyusahkan memang!

“Baiklah, Paman. Aku akan mempersiapkan keberangkatan di sore sehari sebelum akhir pekan.”

Paman Eddie tersenyum lebar. Kekhawatiran di wajahnya seketika lenyap. Tidak berbekas. “Kau mau hadiah apa dari Paman, Lila?”

Kuangkat bahu sambil menggeleng. “Aku tidak tahu. Kurasa ....”

“Kalian sudah selesai? Aku boleh masuk, kan?” Tiba-tiba saja Gray berjalan masuk dan duduk di samping paman.

Gerak cepat.

“Kurasa, Paman bisa menjadikan ini sebagai bantuan terakhir yang harus kulakukan untuk Ruby, kalau dia melarikan diri lagi.” Melihat Gray, aku jadi tahu apa yang kumau.

“Paman janji, Lila.”

“Okay. Aku pegang janji Paman.” Aku senang, karena paman Eddie sendiri yang berjanji. “Sekarang, aku pulang.”

“Baiklah. Hati-hati, Nak. Hubungi Paman jika kau membutuhkan sesuatu.”

Aku mengangguk. Bersiap pergi.

“Gray, kenapa kau tidak menawari Lila tumpangan? Bukannya kau akan pulang?”

Aku mendengar itu. Sama sekali bukan ide bagus.

“Lila tidak mau pulang bersamaku.”

“Benar begitu, Lila?”

Aku berbalik. “Dia terlalu berisik, Paman. Aku tidak sanggup mendengarnya bicara, seolah tidak ada hari esok.”

Paman Eddie tertawa. Dia menepuk-nepuk pundak Gray yang sedang memberiku tatapan kesal.

Walau akhirnya, aku duduk juga di sampingnya setelah beberapa menit berlalu. Kupikir-pikir, jual mahal pada pria seperti Gray itu sama sekali tidak perlu.

“Aku akan tutup mulut sampai tiba di rumahmu.” Itu janji Gray setelah sekali lagi, memaksaku pulang bersamanya.

Jarak menuju rumahku hanya tinggal sepuluh menit lagi. Tapi di tengah perjalanan kami yang sunyi, mendadak Gray menjadi panik.

“Ada apa?” Aku bertanya karena penasaran.

Mobil berhenti. Gray menatapku. “Sepertinya, ban mobilku bocor.”

Ah, sialan!

Gray sudah turun selama aku mengumpat dalam hati. Dia tampak kebingungan. Tentu saja. Ini jalanan sepi sebelum menuju perempatan lampu lalu lintas yang ramai. Sekarang nyaris jam sepuluh malam.

Aku turun untuk memastikan keadaan. Kulihat Gray sedang melakukan perdebatan di telepon.

Aku selalu lelah mendengarnya bicara. Kutatap jalanan yang benar-benar sepi. Mataku berhenti dan terbelalak, saat melihat bayangan seseorang yang menyeberang ke arah kami.

“Gray! Cepat masuk ke mobil!”

“Ada apa?” Walau bertanya, dia menyusulku untuk masuk ke mobil.

“Kunci pintunya.” Tidak panik, jangan panik. Sosok yang menyeberangi jalan menuju ke arah kami itu adalah Pretty Wings, bukan nama asli.

Dia wanita gila yang awalnya tidak gila! Berkeliaran bebas di kota ini karena para perawat rumah sakit jiwa pun lelah mengatasinya. Dia membantai seluruh keluarganya dengan racun mematikan. Bukan membunuh menggunakan senjata tajam.

Cita-citanya? Dia ingin terbang tinggi di angkasa. Dia itu, astronot yang gagal. Aku hanya mendengar ceritanya dari mulut ke mulut.

Gray meringkuk ke sisiku. Dia membungkuk seolah Pretty Wings akan memukul kaca mobilnya.

Karena cahaya lampu jalan di sini sedikit redup, aku tidak bisa memperhatikan ekspresinya. Aku tahu dia terus berteriak sambil berusah membuka pintu mobil di sisiku.

“Lila, aku takut.”

Related chapters

  • MAIN HATI   Chapter 8

    —Lila Winter“Kau takut?” bisikku. Dan kulihat Gray mengangguk. “Yang benar saja.” Kudorong wajahnya menjauh dariku.“Lilaaa!” Seperti bocah, Gray bersiap memelukku. Malahan merengek. Di luar, Pretty Wings masih saja berusaha membuka pintu dan menggedor-gedor kaca jendela mobil.“Jangan berisik. Diam dan lihat apa yang dia lakukan pada mobilmu.” Aku mengerut marah, sekaligus menunjuk ke arah Pretty Wings yang sedang beraksi.“Lila, aku benar-benar ketakutan.” Gray memberitahuku lagi. Sangat dekat. Nyaris mencium daun telingaku.Aku memberinya ekspresi tidak tertarik. Mengabaikannya dan lebih memperhatikan apa yang sedang dikerjakan Pretty Wings di luar sana.Hei, hei. Dasar orang gila! Tiba-tiba saja dia meraih sebuah batu besar tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ah, benar-benar gila!“Gray, cepat keluar!”“Apa?”“Keluar kataku.”“Tapi—”“Kau mau dilempari batu olehnya?” Mendorongnya ke arah pintu, aku tidak tahan dengan gerak lamban dan ragu-ragu darinya.Gray akhirnya menurut setelah

    Last Updated : 2024-02-21
  • MAIN HATI   Chapter 9

    —Devon Woody“Bagaimana?”“Apanya?” Kumainkan ujung rambutnya dengan santai. Tatapanku tidak mengarah padanya.“Permainan kita.”Ah, aku begitu enggan membahasnya. Sejak awal dimulai, aku terus berhati-hati. Cemas andai menyakitinya. Dia masih belum pulih benar. Aku bisa saja membuatnya kembali harus berbaring lama, andai menyerang terlalu brutal.“Cukup menyenangkan. Aku—”“Kau tampak tidak puas, Dev.” Dia menginterupsiku lewat elusannya di sekitar dadaku.“Itu wajar, bukan? Sudah lama sekali sejak terakhir kali kita melakukannya.”Jadi jangan tanya, selama dua tahun ini aku melampiaskannya pada siapa. Aku tidak akan mau menjawabnya.“Kau jadi pergi?”“Harus.”Istriku menghela napas. Entah keberatan atau tidak, sejak bangun dari koma hingga hari ini, sikapnya sedikit berubah.Dia nyaris tidak ingin lepas dariku. Walau dulu pun begitu, tapi yang ini lebih mengejutkan bagiku. Terlalu posesif.“Kenapa aku tidak boleh ikut?”Ini. Ini dia.Dulu, sebelum koma, Esme hampir tidak memiliki ke

    Last Updated : 2024-02-21
  • MAIN HATI   Chapter 10

    —Lila WinterIni gila!Bagaimana caranya agar mendorong jatuh tubuh Dev dari atas tubuhku?Jari-jarinya begitu gencar mengusikku. Bahkan mulutnya itu, kurang ajar. Sangat meresahkan tubuhku.“Menyingkir, Dev. Paman Sean atau bibi Sisy bisa datang tiba-tiba.”Dev tidak juga mau berhenti. “Tenang. Mereka tidak mungkin naik ke atas sini.”“Seenaknya kau bicara. Minggir!” Kutendang dia dengan sisa kekuatanku.Bunyi berdebam membuatku sedikit tenang. Dia jatuh dengan tawa yang terdengar marah.“Jangan memaksaku lagi.” Cepat-cepat kupakai kembali hotpants denim-ku. Tidak terburu, tenang tanpa gerak amarah.Tawa Dev belum berhenti. Kali ini dia terbahak-bahak. Merebahkan diri ke tempat tidur, lalu menahan lenganku yang baru saja selesai menutupi bokong dan celana dalamku dengan hotpants. “Apa kau mengira aku akan berhenti?”“Aku tahu kau tidak bisa berhenti sebelum mendapatkan keperawananku.”Kilatan di mata Dev menyiratkan banyak arti. “Benar. Sampai kudapatkan atas dasar keinginanmu sendir

    Last Updated : 2024-02-21
  • MAIN HATI   Chapter 11

    —Lila Winter“Gadis ini ... penyanyi pendatang baru itu, ‘kan?”Aku mengangguk membenarkan ucapan si penjaga studio, berharap. “Apa Anda melihatnya datang ke sini?”“Tidak.” Dia menggeleng dengan raut wajah serius. “Aku melihatnya di televisi.”Mendengar jawabannya, kukepalkan tanganku diam-diam, sementara Gray nyaris menyemburkan tawa.Kami keluar dari studio Arcade. Tujuannya untuk pulang ke tempat masing-masing.Aku sungguh tidak tahu, sampai Gray berteriak dan memeluk tubuhku. Bahkan seperti ada tubuh lain lagi yang melindungi kami dari sesuatu yang jatuh dari langit.Mataku tidak tertutup. Terbuka, tapi dengan tatapan yang kosong. Suara-suara di sekitarku semakin ramai terdengar. Riuh penuh kekhawatiran.Gray pingsan. Pelukannya pada tubuhku tetap erat, sampai kurasakan ada yang membawanya menjauh dariku.“Nona, kau baik-baik saja?” Sentuhan di pundakku terasa begitu jauh.Aku cuma mengangguk. Lalu memperhatikan dan mencerna apa yang baru saja terjadi.“Panggil ambulans, cepat!”

    Last Updated : 2024-03-14
  • MAIN HATI   Chapter 12

    —Devon WoodyUntuk pertama kalinya, aku terluka karena ucapan wanita selain Esme.Bahkan, ini pun jarang terjadi. Aku hanya pernah sesekali mengalaminya selama empat tahun kebersamaanku dengan istriku. Setahun berkencan dan tiga tahun dalam hubungan pernikahan, kami nyaris tidak saling menyakiti. Menurutku begitu. Karena sejauh ini, aku merasa seperti itu.Apalagi, selama dua tahun lamanya Esme mengalami koma sehingga waktu terus berjalan, terlewati begitu saja. Tetap setia, itu yang kulakukan.Dan ketika wanita muda ini mengatakan hal yang ternyata bisa melukai perasaanku, sisi lemahku terbaca jelas. “Aku tidak penting bagimu?”Lila mengabaikanku. Dia berbaring dalam posisi memunggungiku. Aku tidak bisa begini jika ingin terus mendapatkan perhatiannya.Telingaku menangkap suara cekikikan di belakangku. Ketika aku berbalik, si bocah sialan itu tidur memunggungiku. Ingin sekali rasanya aku datang menghampirinya dan memberikan pelajaran—ah, sudahlah.Mendadak, aku seperti kehilangan kew

    Last Updated : 2024-03-15
  • MAIN HATI   Chapter 13

    —Lila WinterKeluar dari rumah sakit membuatku jauh merasa lebih baik, setelah terus tertekan selama dua hari.“Pulanglah denganku, Lila.” Dev sudah lebih dulu mengamit lenganku. Kepalanya masih diperban, tapi dia sudah baik-baik saja.“Lila, bersamaku saja.” Gray muncul menghadang langkahku.Aku mengangkat tangan, melambai melewati Gray. Itu dia yang seharusnya pulang bersamaku. “Paman Sean!”Melepas lenganku dari Dev, berjalan pergi dari hadapan Gray, aku melangkah cepat menuju paman Sean yang datang menjemputku. Sungguh senang melihat paman Sean tidak datang bersama bibi Sisy.“Kau digandrungi oleh keduanya.” Paman menyambutku dengan senyum, saat aku tiba di hadapannya.Dengan ketidakpedulian, kuangkat kedua pundakku sambil menggeleng. “Ayo, kita pulang, Paman. Aku merindukan Onyx. Apa dia marah karena aku batal menemaninya pergi ke acara ulang tahun temannya?”“Tidak. Tentu saja tidak.” Paman tersenyum. Ada makna yang membuatku tiba-tiba mengingat ibu, saat menatapnya lekat-lekat.

    Last Updated : 2024-03-15
  • MAIN HATI   Chapter 14

    —Devon WoodyHutan menjadi taman bagiku. Di mana pun dan bagaimana pun hutannya, bagiku sama saja. Kecuali untuk dua anak muda ini. Mereka mungkin sedikit asing dengan situasi seperti sekarang.“Menyerah saja?”Lila menoleh sambil mengernyit padaku. Di situasi dan kondisi apa pun, dia mungkin selalu terlihat dingin di mata orang lain, namun teramat seksi dalam pandanganku.“Tidak.”“Ini sudah sore. Kita bisa bermalam di dalam hutan jika kau memaksakan diri untuk terus berjalan.” Kuperhatikan bagaimana dia sedikit pucat dan berkeringat.Walau tadi kami sudah sempat menyantap apa pun yang terlihat lezat dan terasa enak, tetap saja itu tidak cukup untuk mereka. Bukan bagiku.“Gray, kita harus bermalam di sekitar sini.” Lila menatap si bocah sialan bernama Gray itu yang kini sedang berjongkok di sampingnya. Kelelahan.Dia mencemaskan pemuda lamban ini, karena kami baru keluar dari rumah sakit. Harusnya aku. Namun tampaknya, dia enggan memberiku perhatian.“Bangun, Gray.” Lila menarik leng

    Last Updated : 2024-03-15
  • MAIN HATI   Chapter 15

    —Lila WinterTidak tahu malu.Begitulah kami. Aku tidak peduli meski lebih dewasa dari Ruby. Dan si gadis bodoh sialan ini pun, tidak tahu sopan santun untuk memilih diam daripada melawanku yang sedang memarahinya.“Aku tidak memintamu melakukannya.”“Otak bodohmu ini yang meminta bantuanku di surat yang kau tulis untuk ayahmu.” Dengan telunjuk, kutekan berulang pelipisnya.Ruby menepis tanganku dan membiarkan para penghuni kafe kecil nan kampungan ini, menatap kami dengan mata mereka yang melotot.“Teman-teman, saatnya berhenti. Ayo, kita keluar dan mencari tempat yang lebih nyaman untuk bicara.”Aku lupa bahwa Dev masih ada di sisiku. Bersama-sama denganku untuk menerima dan melihat kebodohan ini.“Lila,” bisik Dev. Dia seperti berusaha menenangkan.“Cepat berdiri dan ikut aku, sebelum kuseret kau dari sini.” Setengah membungkuk ke arah Ruby, aku berusaha memberi penekanan padanya yang selalu tidak bisa diberitahu apalagi dinasehati.Ruby menggerutu dalam mulutnya yang terkatup. Ent

    Last Updated : 2024-03-15

Latest chapter

  • MAIN HATI   Chapter 44

    —Lila WinterAku hamil.Tentu saja aku sudah kembali berhubungan dengan suamiku Ferdi, sejak hari itu. Dan aku yakin, ini bayi kami berdua. Darah dagingku dan Ferdi.Terkadang aku melupakan fakta yang lain, yang terasa salah, tapi selalu bisa terjadi kapan pun, di mana pun dan pada siapa pun.Devon Woody yang mendekati—ah, bukan. Bukan mendekati, tapi akan melangsungkan pernikahannya dengan sepupuku, si bodoh Ruby Marion.Itu lelucon baru, Lila! Konyol sekali melihatnya!Bukan lelucon, tapi fakta yang meresahkan. Terutama ketika perutku sudah mulai menunjukkan tanda-tanda membesar sampai aku tidak bisa melihat kedua kakiku lagi, karena tertutupi perut bulatku.“Ini bayiku, ‘kan?” bisik Dev setengah menggoda. Dia bahkan mengusap perutku dengan penuh kasih sayang. Matanya berkilat penuh harapan atau sesuatu yang lebih dari itu.Kami sedang berada di taman belakang rumah paman Eddie. Paman mengadakan pesta kecil untuk perayaan rumah baru, hadiah dari Ruby. Percuma menjadi penyanyi terken

  • MAIN HATI   Chapter 43

    —Devon WodyEsme tidak melepas tatapannya dariku, saat mendengar keinginan dan kebenaran yang kubawa padanya hari ini.“Terdengar tidak lucu.” Esme berusaha tertawa. Tawa canggung mengudara di sekelilingnya yang nyaris frustrasi. Seluruh tubuhnya mewakili perasaannya. Terlihat tidak berdaya. Hanya karena berita yang kusampaikan.‘Hanya karena?’ Hei, Dev, kau sungguh kejam!“Semua yang kuungkapkan dan yang sudah kau dengar, sama sekali bukan hal yang lucu, Esme.”Tawa itu hilang seketika. Menyisakan cuma segaris senyum miris yang dipaksakan. “Kenyataannya, kau baru mengakui hal ini setelah sekian lama berhasil membodohiku?”“Aku tidak membodohimu.” Maaf, mungkin kau merasa seperti itu selama ini. Buruk, memang. Kuakui, tidak akan kusangkal.“Tidak membodohiku, tapi kau mengikuti semua yang kukatakan seolah kau menolaknya, meski diam-diam kau memang menginginkannya, bukan?”“Ya.” Memudahkannya lebih baik dengan jawaban ya atau tidak.Esme mendengus, menggeleng-gelengkan kepalanya sejena

  • MAIN HATI   Chapter 42

    —Lila WinterSelesai sarapan, ayah memanggilku. Pembicaraan yang ingin kami lakukan. Sepagi ini, tidak ada siapa pun lagi di rumah kedua orang tuaku. Ibu yang terakhir kali kulihat, berpamitan untuk ke butik.Ray, Gray dan Ruby bahkan pergi lebih awal. Entah apa yang mereka bertiga rencanakan, yang jelas seolah hanya mereka saja yang tahu akan hal itu.“Ada yang terluka?” Pertanyaan pertama ayah setelah aku menutup pintu ruang kerjanya di belakangku.Aku menggeleng cepat. “Tidak ada luka parah. Hanya beberapa memar.”“Duduklah. Ayah akan langsung memberitahumu, karena pasti inilah yang paling ingin kau dengar secepatnya dari Ayah.” Menatapku dari kursi kerjanya, ayah mengambil satu di antara tumpukan dokumennya.Aku mendekat. Berdiri tepat di depan meja kerja ayahku. Menunggu dengan perasaan tidak tenang. Karena sejujurnya, aku tidak tahu hal apa yang ingin kuketahui secepatnya dari ayahku ini.“Bacalah. Kau harus memeriksa detailnya. Setelah itu, Ayah yang akan langsung mengantarkanm

  • MAIN HATI   Chapter 41

    —Devon WoodySisa tiga manusia lagi yang perlu kulumpuhkan untuk bisa mencapai ke atas, ke tempat Lila berada.Satu tembakan mendarat di kening pria yang ternyata berniat memukulku menggunakan balok, dari arah belakangku.Balok terjatuh bertepatan dengan kemunculan—ah, si bocah ternyata.Gray ada di sana. Berdiri tegak dan waspada pada keadaan. Pistolnya berada di sisi tubuhnya. Tergenggam seolah dia ahli dalam menggunakannya.“Ada berita buruk untukmu dan berita baik untuk Lila.” Gray si bocah, bicara dengan raut menjengkelkan.Kuabaikan rasa tidak sukaku dengan bertanya. “Ada apa?”“Ferdi masih hidup. Jadi, sebaiknya kau tahu apa yang harus kau lakukan mulai sekarang. Dia menunggu kepulangan Lila.”Apa? Masih hidup? Itu berita buruk untukku. Sangat buruk.“Urus sendiri sisanya. Aku yang akan menjemput Lila.” Berkata lagi, Gray segera berjalan mundur menjauhiku.Walau keberatan sekalipun, aku tidak bisa mencegahnya karena dua pria yang masih tersisa sudah menyerangku dengan pukulan.

  • MAIN HATI   Chapter 40

    —Lila WinterBenar. Jangan diam di tempat.Menyeka air mata, aku berdiri. Mencari cara untuk pergi dari sini, meski itu mustahil terjadi.Semua celah yang memungkinkan, terus kuperhatikan dan kuteliti. Tidak ada. Tidak ada celah yang kupikir bisa memberiku setitik harapan.Hingga satu jam terasa begitu cepat berlalu. Hanya tersisa dua puluh menit untukku yang tidak akan merubah pendirianku. Tidak untukmu, Aaron Heimir!Gemetar tubuhku. Berulang kali mondar-mandir dengan langkah tidak karuan di dalam kamar menyesakkan ini. Semakin waktunya terasa dekat, detak jantungku makin tidak karuan.Jam tua di dinding bahkan terlihat siap memberiku kejutan yang mengerikan.Mendadak, aku mendengar suara dan merasakan getaran yang membuatku semakin gemetaran. Ledakan!Seperti gempa bumi, aku panik dalam kebisuan diriku sendiri. Seakan momen di mana ledakan serta kebakaran di restoran terjadi, terulang kembali saat ini padaku.Hanya saja, kali ini aku sendirian. Tanpa Dev di sisiku.Segera, aku berl

  • MAIN HATI   Chapter 39

    —Lila WinterKurasa, aku hanya perlu bernapas dengan benar. Wajahku sudah dibenamkan berulang kali ke dalam air dingin, meski bukan air es, tetap saja itu teramat tidak menyenangkan. Perih seakan menembus paru-paruku, tidak hanya di mata dan hidung.“Jalang, sebaiknya kau bicara sebelum tuan besar turun tangan.” Peringatan pria yang sedang memegangi rambutku, mencengkeram erat hingga kepalaku terasa akan lepas dari tempatnya, membuatku yakin mereka serius sesuai dengan ancamannya.“Aku tidak paham kenapa mendadak wanita ini jadi bisu,” kesalnya lagi sambil membenamkan wajahku kembali ke dalam air. Kali ini aku berusaha menahannya dengan lebih baik. Karena apa? Karena siksaannya lebih lama dari yang sebelumnya. Kepalaku memutar ulang momen di mana tanganku memegang gagang telepon dan bicara dengan ayahku di seberang sana.“Nak, tetap bertahan selama beberapa jam. Ayah butuh sedikit lebih lama untuk mencapai tempatmu berada saat ini.”“Tapi, Ayah, aku tidak bisa meninggalkan Devon seor

  • MAIN HATI   Chapter 38

    —Devon WoodyApa pun yang Lila pikirkan adalah tentang kecurigaan.Entah sejak kapan, aku menyadarinya. Dia mencurigaiku.Walau seks kami berjalan lancar, bahkan teramat sangat lancar, kupastikan kecurigaannya padaku tidak bergeser sama sekali.Lila terlelap setelah berulang kali telinganya harus merasa terbiasa, ketika mulutku meneriakkan namanya.Turun dari ranjang dengan hati-hati, aku keluar menuju resepsionis motel untuk meminjam komputer.“Selamat pagi, Tuan. Masih terlalu pagi untuk bangun. Ada keluhan? Atau ada yang bisa kubantu?” sapanya ramah. Wanita muda seusia Lila, tampaknya.Aku tersenyum sekadarnya dengan mata fokus ke benda di sudut meja panjangnya. “Bisa aku meminjam laptopnya sebentar?”“Tentu, Tuan. Tolong tunggu sebentar.” Dia melakukan sesuatu dengan cepat, setelah akhirnya memutar benda itu agar menghadap ke arahku.“Silakan, Tuan.”“Terima kasih.” Tanpa basa-basi lain, segera mengirim email berisi pesan yang hanya aku dan si penerima saja yang tahu cara menerjem

  • MAIN HATI   Chapter 37

    —Lila Winter“Lila?”Kulihat Dev muncul dengan terengah-engah. Bergegas dia menghampiriku. Apa mungkin dia tahu bahwa Gray berhasil masuk dan menemuiku?“Kau baik-baik saja?” Malah sibuk meneliti setiap jengkal tubuhku. Menatapku cemas, lalu mendekapku erat-erat. “Ada apa?” Bertanya sambil kurasakan napasnya tidak teratur. Seakan Dev baru saja berlari sejauh ratusan meter.“Seseorang atau mungkin lebih dari itu, mencoba masuk. Padahal, keamanan yang kupasang di depan seharusnya berfungsi dengan baik. Mengirim sinyal cepat padaku. Namun kurasa, mereka terbiasa menerobos menggunakan cara yang bersih dan rapi.”Gray tidak sendiri?“Yang membuatku curiga, kenapa dia sengaja membuat kursi terjatuh, padahal tinggal sedikit lagi sampai orang itu bisa mencapai tempat di mana kita berada.”Jika penuturannya begitu, andai pemikiranku benar, Dev mencurigai sesuatu, tapi enggan mengungkapkannya padaku.Dan menurutku, Gray sengaja melakukannya untuk mengundang perhatian Dev. Membuat kami terpisah

  • MAIN HATI   Chapter 36

    —Lila WinterKuusap-usap puncak kepala hingga bagian belakang kepala Dev dengan tangan gemetar.Rasa sedihnya juga menjalar padaku. Menembus melalui kulitku, menusuk hingga ke tulang-tulangku.Air mataku ikut menetes kembali. Kesedihan, kepedihan, bahkan rasa sakitnya terasa sulit untuk menjauh.Kedua lengan Dev yang melingkar kuat di pinggangku menandakan, bahwa dia begitu ingin menyembunyikan tangisnya dariku.“Lila,” serak Dev. Kepalanya mendongak. Tatapannya mengunci tatapanku.Memang tidak kusembunyikan. Kubiarkan dia melihat air mataku. Kami sama-sama melihat tangis tanpa suara satu sama lain.“Hm?” Tanganku beralih ke wajahnya. Mengusap alis tebalnya, alih-alih menghapus air matanya.“Hatiku sakit.” Dev mengeluh. Baru kali ini kudengar.“Ya. Kita sama.” Suaraku nyaris hilang.Dev menarikku. Membuat dirinya duduk tegak, ketika tubuhku berada di atas pangkuannya. Kepalanya masuk ke bawah daguku. Bersembunyi di leherku. Kutepuk-tepuk punggungnya. Seolah sedang meninabobokan seoran

Scan code to read on App
DMCA.com Protection Status