—Lila WinterKeluar dari rumah sakit membuatku jauh merasa lebih baik, setelah terus tertekan selama dua hari.“Pulanglah denganku, Lila.” Dev sudah lebih dulu mengamit lenganku. Kepalanya masih diperban, tapi dia sudah baik-baik saja.“Lila, bersamaku saja.” Gray muncul menghadang langkahku.Aku mengangkat tangan, melambai melewati Gray. Itu dia yang seharusnya pulang bersamaku. “Paman Sean!”Melepas lenganku dari Dev, berjalan pergi dari hadapan Gray, aku melangkah cepat menuju paman Sean yang datang menjemputku. Sungguh senang melihat paman Sean tidak datang bersama bibi Sisy.“Kau digandrungi oleh keduanya.” Paman menyambutku dengan senyum, saat aku tiba di hadapannya.Dengan ketidakpedulian, kuangkat kedua pundakku sambil menggeleng. “Ayo, kita pulang, Paman. Aku merindukan Onyx. Apa dia marah karena aku batal menemaninya pergi ke acara ulang tahun temannya?”“Tidak. Tentu saja tidak.” Paman tersenyum. Ada makna yang membuatku tiba-tiba mengingat ibu, saat menatapnya lekat-lekat.
—Devon WoodyHutan menjadi taman bagiku. Di mana pun dan bagaimana pun hutannya, bagiku sama saja. Kecuali untuk dua anak muda ini. Mereka mungkin sedikit asing dengan situasi seperti sekarang.“Menyerah saja?”Lila menoleh sambil mengernyit padaku. Di situasi dan kondisi apa pun, dia mungkin selalu terlihat dingin di mata orang lain, namun teramat seksi dalam pandanganku.“Tidak.”“Ini sudah sore. Kita bisa bermalam di dalam hutan jika kau memaksakan diri untuk terus berjalan.” Kuperhatikan bagaimana dia sedikit pucat dan berkeringat.Walau tadi kami sudah sempat menyantap apa pun yang terlihat lezat dan terasa enak, tetap saja itu tidak cukup untuk mereka. Bukan bagiku.“Gray, kita harus bermalam di sekitar sini.” Lila menatap si bocah sialan bernama Gray itu yang kini sedang berjongkok di sampingnya. Kelelahan.Dia mencemaskan pemuda lamban ini, karena kami baru keluar dari rumah sakit. Harusnya aku. Namun tampaknya, dia enggan memberiku perhatian.“Bangun, Gray.” Lila menarik leng
—Lila WinterTidak tahu malu.Begitulah kami. Aku tidak peduli meski lebih dewasa dari Ruby. Dan si gadis bodoh sialan ini pun, tidak tahu sopan santun untuk memilih diam daripada melawanku yang sedang memarahinya.“Aku tidak memintamu melakukannya.”“Otak bodohmu ini yang meminta bantuanku di surat yang kau tulis untuk ayahmu.” Dengan telunjuk, kutekan berulang pelipisnya.Ruby menepis tanganku dan membiarkan para penghuni kafe kecil nan kampungan ini, menatap kami dengan mata mereka yang melotot.“Teman-teman, saatnya berhenti. Ayo, kita keluar dan mencari tempat yang lebih nyaman untuk bicara.”Aku lupa bahwa Dev masih ada di sisiku. Bersama-sama denganku untuk menerima dan melihat kebodohan ini.“Lila,” bisik Dev. Dia seperti berusaha menenangkan.“Cepat berdiri dan ikut aku, sebelum kuseret kau dari sini.” Setengah membungkuk ke arah Ruby, aku berusaha memberi penekanan padanya yang selalu tidak bisa diberitahu apalagi dinasehati.Ruby menggerutu dalam mulutnya yang terkatup. Ent
—Lila WinterIni satu hari yang dijanjikan oleh Ruby padaku. Hari terakhir di tempat ini.Aku dan Dev nyaris tidak lagi saling bicara. Jika aku memang pasif sejak awal, maka dia jauh lebih pendiam dan tidak melakukan gerakan apa pun saat tanpa sengaja berhadapan denganku.“Ruby akan pergi ke panti asuhan bersama temannya itu. Kau ikut?”“Dia tidak mengajakku.” Kugelengkan kepala sekilas saja.“Kita tidak perlu diajak olehnya.”Tersenyum sinis, aku membenarkan. “Kita ke sini juga bukan karena ajakannya.”“Tepat.” Gray tersenyum dengan telunjuk teracung ke arahku.“Ikuti saja dia dari belakang.”Gray menggoyangkan sebuah kunci tanpa gantungan di depan wajahku. “Aku menyewa mobil ini dari si pemilik motel. Tarifnya murah. Kita bisa pakai sepuasnya.”Aku mengangguk. Menyembunyikan niat jahatku darinya. “Biar aku—”“Tidak, tidak.” Gray menyela seolah dia tahu apa yang akan kukatakan. “Biar aku yang mengisi bahan bakarnya. Penuh.”“Okay. Terserah kau saja.” Yang rugi bukan aku.“Aku akan me
—Devon WoodySejak tadi, aku merasa tidak tahu pasti apa yang tengah dipikirkan oleh Lila. Dia terlihat hanya terus memperhatikan pimpinan panti asuhan dengan tatapan tanpa ekspresinya itu. Tertarik? Mana mungkin. Aku yakin bukan karena hal itu. Atau bisa saja berpikiran sama sepertiku. Lila mencurigai sesuatu.“Bagaimana?” Haidan, si bocah pemusik itu, menghampiri Lila yang berdiri tegak tidak jauh dariku.“Bagus.” Lila mengacungkan ibu jarinya sekilas. Tidak berlama-lama. Bahkan tidak ada senyum di wajahnya.“Jangan tanya padanya. Kita tampil bukan untuk dia, tapi untuk anak-anak panti.” Ruby menyusul Haidan sambil menimpali dengan kalimat provokasi.Lila bahkan tidak punya waktu untuk meladeninya. Dengan tidak peduli, dia mengajak Haidan bicara seolah mereka sudah saling kenal sejak lama.“Aku perlu bicara denganmu.”Haidan langsung mengiyakan dengan pergi bersama Lila menjauhi aula tempat kami berkumpul.“Dia kenapa?” Ruby bertanya heran pada Gray. Aku dan Gray baru saja selesai b
—Lila WinterKarena kedatangan wanita itu, Dev membatalkan penerbangannya bersama kami. Dia memilih wanitanya. Tentu saja. Sangat kuingat caranya berpamitan padaku. Tidak hanya padaku, lebih tepatnya pada kami bertiga.“Teman-teman, karena istriku ada di sini, jadi kurasa aku tidak kembali pulang bersama kalian.”Yang tidak kuingat adalah jawaban Gray dan Ruby perihal penjelasannya itu.“Kau kecewa?”Dan kenapa bisa bocah ini mengganggu ketenanganku?Kami sudah di dalam pesawat menuju tempat tujuan. Pulang ke rumah.“Ruby bisa melarikan diri lagi. Kenapa dia harus duduk sendirian?”“Tenang. Sekarang dia tidak akan bisa lari ke mana pun.”Sinis kutanggapi. “Itu artinya kau harus bertaruh dengan nyawamu.”“Okay. Tidak masalah. Aku siap.”Tidak kubiarkan Gray mengajakku bicara lagi setelahnya. Terutama, perihal Dev dan sang istri. Kupejamkan mataku. Berharap tidur di perjalanan pulang jauh lebih baik, daripada ketika aku pergi.Tidak nyenyak sama sekali. Aku bahkan terbangun karena Gray y
—Devon WoodyAku tidak bermaksud menghindari apa pun. Termasuk pertanyaan tentang mereka, terutama teruntuk gadis cantikku.“Mereka masih sangat muda. Ke tiganya itu teman-temanmu? Bagaimana bisa?”Sepertinya, ini jadi pertanyaan ke empat yang diulang Esme dalam pembicaraan yang berbeda. Dia mencurigai sesuatu, hanya pintar membuat rasa penasarannya terpenuhi dengan tidak mendesakku secara terus menerus.“Bukannya aku sudah menjawabmu, Esme?” Sambil setengah tertawa, kuberikan segelas air untuknya.“Begitukah?” Dia membalas tawaku. “Jawabanmu tidak memuaskan rasa penasaranku.”“Mereka memang masih muda. Awal dua puluhan dan kami berteman.”“Bagaimana bisa?”“Hmm … aku tidak terlalu mengingat itu. Namun kurasa, ada beberapa hal yang membuat kami akhirnya berteman. Apa itu penting untukmu?” Karena mau tidak mau, aku jadi enggan membahasnya jika dia terlalu mendetailkan urusan pribadiku seperti ini.“Tidak. Seperti kataku, aku hanya penasaran saja. Selama aku koma, mungkin beberapa hal m
—Lila WinterBukan bersimpati. Tidak juga karena mengasihani, tapi aku jadi semakin dekat dengan Gray setelah kejadian di rumahnya waktu itu. Namun sungguh, tidak sekali pun kuizinkan dia menyentuhku lagi walau hanya rangkulan pundak. Tidak ketika aku dalam keadaan sadar.“Lila, apa-apaan ini?” Siang terik, Gray murka di kantin kantorku. Atau sebenarnya, tidak.“Diam. Suaramu mengganggu karyawan lain yang sedang makan siang.” Aku menginjak kakinya di bawah meja.“Jadi, kau sudah tahu tentang ini?” Dia mengabaikan peringatanku dan sibuk menunjuk-nunjuk layar ponselnya.Aku sudah tahu. Membaca dan menelusuri sumbernya, tapi tidak menemukan apa pun sampai ayahku menanyakan kebenarannya padaku sebelum jam makan siang tadi.“Tenang sedikit. Aku sedang makan.” Kuperingatkan dia dengan mengacungkan jari telunjuk di udara depan wajahnya.“Okay, okay.” Akhirnya, Gray mengunci mulutnya. Dia ikut makan siang tanpa merasa malu apalagi tahu diri.Kami berpindah ke kafe depan kantor untuk membicara