—Lila WinterBukan bersimpati. Tidak juga karena mengasihani, tapi aku jadi semakin dekat dengan Gray setelah kejadian di rumahnya waktu itu. Namun sungguh, tidak sekali pun kuizinkan dia menyentuhku lagi walau hanya rangkulan pundak. Tidak ketika aku dalam keadaan sadar.“Lila, apa-apaan ini?” Siang terik, Gray murka di kantin kantorku. Atau sebenarnya, tidak.“Diam. Suaramu mengganggu karyawan lain yang sedang makan siang.” Aku menginjak kakinya di bawah meja.“Jadi, kau sudah tahu tentang ini?” Dia mengabaikan peringatanku dan sibuk menunjuk-nunjuk layar ponselnya.Aku sudah tahu. Membaca dan menelusuri sumbernya, tapi tidak menemukan apa pun sampai ayahku menanyakan kebenarannya padaku sebelum jam makan siang tadi.“Tenang sedikit. Aku sedang makan.” Kuperingatkan dia dengan mengacungkan jari telunjuk di udara depan wajahnya.“Okay, okay.” Akhirnya, Gray mengunci mulutnya. Dia ikut makan siang tanpa merasa malu apalagi tahu diri.Kami berpindah ke kafe depan kantor untuk membicara
—Lila WinterSesi wawancara tidak membuatku gugup, karena aku bersedia menceritakan kenyataan, daripada apa yang dibayangkan.“Jadi rumor tentang kalian yang mengalami cinta lokasi setelah syuting musik video itu, tidak benar?”Dengan cepat aku menggeleng. Mengabaikan isyarat Gray padaku. “Tidak. Kami hanya berteman.”Anggapan ‘teman’ pun sudah cukup baik menurutku.“Bagaimana tanggapanmu tentang hal itu, Gray?”Karena itu pertanyaan untuknya, aku diam mengamati. Awas saja jika dia berani mengatakan hal yang tidak masuk akal.“Tentang gosip itu?” Dia tertawa. Terkesan bodoh dan mengulur waktu.Si wartawan atau reporter atau bahkan siapalah sebutannya itu, mengangguk sambil ikut tertawa.“Untuk saat ini kami hanya berteman. Aku tidak tahu akan seperti apa kelanjutan hubungan kami ke depannya.”Aku nyaris menginjak kakinya, jika tidak ingat bahwa tidak ada meja di antara kami yang bisa menyembunyikan perbuatanku.Pernyataannya bisa jadi mengundang gosip baru lainnya. Menambah masalah ya
—Devon WoodyTersulut emosi, aku membanting beberapa dokumen di atas meja bahkan pintu pun tidak luput dari sasaran kekesalanku.“Sayang, ada apa?” Esme masih dengan apron. Muncul di ruang tengah bersama aroma kue kering yang dipanggang.“Tidak. Tidak ada apa-apa.” Aku menggeleng sambil memunggunginya. Dia akan tahu apa yang terjadi, jika melihat wajahku.Aroma kue kering semakin terasa mendekat. Itu artinya, dia sedang berjalan menghampiriku.Dengan gerakan berusaha tidak menyinggungnya, aku berpura-pura menjawab panggilan dari ponselku dan pergi kembali ke ruangan kerjaku.Di sini, aku meredam amarah dengan menarik kursi malas milikku dan meletakkannya di pinggir jendela. Menatap keluar sana, melihat suasananya dari sini. Mengingat semua kenangan bersama Lila yang rasanya akan semakin mustahil terulang kembali.Kenapa perasaanku meraba jarak di antara kami semakin terasa jauh? Kenapa dia begitu senang menyiksaku seperti ini?“Sayang, ini teh dan kuemu.”Aku nyaris tersentak saat Esm
—Lila WinterLima hari sebelumnya.Aku baru saja bertemu Gray di jam makan siangku, sambil menanyakan siapa nama kedua orang tuanya.Bocah itu tampak tidak keberatan sama sekali perihal pertanyaanku yang kesannya sangat pribadi. Dan dia dengan senang hati memberitahuku jawabannya.Setelah kembali ke kantor, aku mengirim pesan pada ibu.[Bu, Tavisha Ilse adalah nama dari mendiang ibunya Gray dan Jorgie Tatum untuk nama ayahnya]Ponselku baru mendarat di saku celana kantorku, saat kulihat wanita cantik dengan kelembutan di wajahnya itu seketika berdiri tegak, saat aku berhenti di lobi dan menatapnya.Aku menunggunya menghampiriku. Benar-benar menunggu. Walau raut wajahku selalu sempurna tanpa ekspresi, tapi jantungku berdebar saat dia mendekatiku. Sensasi macam apa ini? Dari mana dia tahu harus mencariku ke mana?“Nona di bandara, benar?”Nona di bandara? Hahaha. Kupikir, dia tahu namaku. Setidaknya, suami tercintanya itu mau memberitahukan perihal sebuah nama padanya.“Ya, benar. Anda
—Lila Winter“Kita lihat nanti. Aku harus bicarakan ini terlebih dulu dengan suamimu.” Perasaan marah tiba-tiba menguasaiku lagi, bahkan lebih dari yang bisa kusembunyikan.“Lila, tolong bujuk Devon agar dia mau melakukannya,” pinta Esme. Air mata entah sejak kapan sudah mengalir di pipinya. Dia sedang meraih tanganku untuk kemudian digenggamnya erat-erat.Lihat, harus sampai kapan aku menatapi tingkah dan mendengarkan dia merengek padaku?“Bersikaplah seolah-olah kau setuju. Bicaralah semeyakinkan mungkin. Bagaimana, Lila?”Aku tidak mau!“Jika Devon menolak, itu artinya kau tidak perlu melakukannya. Andai dia setuju, maukah kau memikirkannya lagi?” Esme membujuk lagi. Benar-benar tipikal pemaksa.“Karena aku tidak pintar berkata-kata, sebaiknya siapkan kalimat yang harus kukatakan padanya agar dia menyetujui idemu ini.”Baiklah. Akan kucoba. Bukan melakukannya, tapi bicara pada suami wanita ini. Andai si hot uncle setuju pun, aku belum merubah pikiranku tentang keenggananku mewujudk
—Devon WoodyTerbangun di tengah malam dengan lengan Esme yang melingkari tubuhku, aku merasakan mimpi buruk yang seakan menjadi nyata. Lila menusukku menggunakan pisau berkarat. Itu menakutkan, walau hanya sebatas bunga tidur.Kulirik Esme yang tampak lelah, pucat, bahkan matanya sembab karena tangis terus menerus yang memilukan setelah terbangun dari pingsannya.Perlahan, kupadamkan lampu kamar dan menggantinya dengan cahaya remang, temaram.Dia harus merasa nyaman. Itu yang paling penting. Kondisinya tidak boleh lebih buruk lagi dari ini.Berhati-hati sekali, aku meraih ponsel dan mengirimi Lila sebaris pesan.[Dari awal kau mempermainkan kami. Tidak masalah jika itu aku. Namun kau menyakiti Esme]Tidak perlu menunggu, karena pasti dia tidak akan membalasnya. Jangan berharap apa pun pada wanita muda licik itu. Bagaimana bisa aku menyukainya dengan tanpa pertimbangan? Jelas tidak seperti diriku.Aku gila karena cinta sesaat yang menyesatkan.Bahkan waktu itu, aku membujuk Sean untuk
—Lila WinterPerlu jeda sebelum akhirnya aku mengutarakan permintaanku padanya. “Jangan lagi menemuiku. Aku juga tidak akan menemuimu. Di mana pun, jika kita bertemu lagi, berusahalah untuk saling mengabaikan satu sama lain.”Dev menyembunyikan apa pun ekspresi yang biasanya bisa kubaca tanpa kesulitan. Jangan harap kali ini aku bisa menebaknya.“Kau yakin?” Nada pertanyaannya pun sama datarnya.“Aku yakin.”Kupikir, akan ada helaan napas dan seruan kasar atau bahkan geraman nakal darinya. Tidak. Aku sungguh tidak berharap. Hanya sempat berpikir demikian.Dia mengangguk, bahkan tidak ada ekspresi yang bisa menjawab rasa ingin tahuku. “Baiklah. Kuharap kau senang dengan pilihanmu.”“Tentu. Karena bagaimanapun, kesehatan istrimu masih jadi yang paling utama. Bahkan aku yang berasal dari pihak luar berpikir ini.”Karena yang kubicarakan adalah Esme, maka pasti akan memberi dampak serius padanya. Dan memang, dia terlihat tegang, namun dalam batasan yang wajar. Selangkah lebih maju dari po
—Devon WoodyAku tiba di rumah dengan hati tidak tenang.“Filmnya bagus.”Aku mendengar Esme bicara padaku. Kutanggapi hanya dengan anggukkan dan senyuman seperti biasa.“Kau melihat dia di sana?”Aku juga mendengar bahwa yang sedang dibicarakan oleh Esme itu adalah Lila. Jadi, aku mengabaikannya. Walau tentu saja itu bagian dari pertanyaannya yang ditujukan untukku.Dengan ekor mataku, kulihat Esme sedang menatapku dari cermin meja riasnya. “Sayang, apa aku terlalu menyulitkanmu?”“Tidak,” gelengku cepat. Ini justru tidak akan terjadi jika bukan karena diriku.Kudekati dia dan mengusap pundaknya. Dia membalasku dengan meletakkan tangannya di atas punggung tanganku.Kami saling menatap dari pantulan cermin. Walau tidak berlama-lama, tapi bisa kupastikan itu tatapan sendu dan rapuh milik Esme. Terasa menusuk lemah tapi tertuju tepat ke jantungku. Penyesalan yang tertimpa penyesalan.“Aku masih belum tenang.”“Soal apa?” Firasatku mencurigai sesuatu. Ini seharusnya tidak perlu kupertany