—Devon WoodyTerbangun di tengah malam dengan lengan Esme yang melingkari tubuhku, aku merasakan mimpi buruk yang seakan menjadi nyata. Lila menusukku menggunakan pisau berkarat. Itu menakutkan, walau hanya sebatas bunga tidur.Kulirik Esme yang tampak lelah, pucat, bahkan matanya sembab karena tangis terus menerus yang memilukan setelah terbangun dari pingsannya.Perlahan, kupadamkan lampu kamar dan menggantinya dengan cahaya remang, temaram.Dia harus merasa nyaman. Itu yang paling penting. Kondisinya tidak boleh lebih buruk lagi dari ini.Berhati-hati sekali, aku meraih ponsel dan mengirimi Lila sebaris pesan.[Dari awal kau mempermainkan kami. Tidak masalah jika itu aku. Namun kau menyakiti Esme]Tidak perlu menunggu, karena pasti dia tidak akan membalasnya. Jangan berharap apa pun pada wanita muda licik itu. Bagaimana bisa aku menyukainya dengan tanpa pertimbangan? Jelas tidak seperti diriku.Aku gila karena cinta sesaat yang menyesatkan.Bahkan waktu itu, aku membujuk Sean untuk
—Lila WinterPerlu jeda sebelum akhirnya aku mengutarakan permintaanku padanya. “Jangan lagi menemuiku. Aku juga tidak akan menemuimu. Di mana pun, jika kita bertemu lagi, berusahalah untuk saling mengabaikan satu sama lain.”Dev menyembunyikan apa pun ekspresi yang biasanya bisa kubaca tanpa kesulitan. Jangan harap kali ini aku bisa menebaknya.“Kau yakin?” Nada pertanyaannya pun sama datarnya.“Aku yakin.”Kupikir, akan ada helaan napas dan seruan kasar atau bahkan geraman nakal darinya. Tidak. Aku sungguh tidak berharap. Hanya sempat berpikir demikian.Dia mengangguk, bahkan tidak ada ekspresi yang bisa menjawab rasa ingin tahuku. “Baiklah. Kuharap kau senang dengan pilihanmu.”“Tentu. Karena bagaimanapun, kesehatan istrimu masih jadi yang paling utama. Bahkan aku yang berasal dari pihak luar berpikir ini.”Karena yang kubicarakan adalah Esme, maka pasti akan memberi dampak serius padanya. Dan memang, dia terlihat tegang, namun dalam batasan yang wajar. Selangkah lebih maju dari po
—Devon WoodyAku tiba di rumah dengan hati tidak tenang.“Filmnya bagus.”Aku mendengar Esme bicara padaku. Kutanggapi hanya dengan anggukkan dan senyuman seperti biasa.“Kau melihat dia di sana?”Aku juga mendengar bahwa yang sedang dibicarakan oleh Esme itu adalah Lila. Jadi, aku mengabaikannya. Walau tentu saja itu bagian dari pertanyaannya yang ditujukan untukku.Dengan ekor mataku, kulihat Esme sedang menatapku dari cermin meja riasnya. “Sayang, apa aku terlalu menyulitkanmu?”“Tidak,” gelengku cepat. Ini justru tidak akan terjadi jika bukan karena diriku.Kudekati dia dan mengusap pundaknya. Dia membalasku dengan meletakkan tangannya di atas punggung tanganku.Kami saling menatap dari pantulan cermin. Walau tidak berlama-lama, tapi bisa kupastikan itu tatapan sendu dan rapuh milik Esme. Terasa menusuk lemah tapi tertuju tepat ke jantungku. Penyesalan yang tertimpa penyesalan.“Aku masih belum tenang.”“Soal apa?” Firasatku mencurigai sesuatu. Ini seharusnya tidak perlu kupertany
—Lila WinterAkan kujelaskan sedikit.Sepulang kami dari bioskop, entah siapa yang mengadu atau mungkin memang ibu dan ayah melihat kami secara langsung, akhirnya mereka mengendus sesuatu yang bagiku rasanya tidak semestinya hadir di benak keduanya.Karena bagiku, mereka teramat sangat mengenalku. Tidak akan mungkin lupa bagaimana aku hidup selama ini. Mereka setia mendampingiku, tanpa terlewatkan satu hari pun.‘Ibu dan Ayah hanya mencemaskan sesuatu yang mungkin bisa terjadi di antara kalian berdua, Sayang. Walau Ibu tahu bahwa belum ada apa pun di antara kau dan Gray, Ibu tetap tidak bisa melihat hubungan kalian lebih dari yang sudah ada seperti ini.’Dan aku memahaminya. Meski mereka tidak terlihat berusaha mengerti pada hubunganku yang kurasa, tidak akan berubah. Aku atau Gray, kami sama-sama hanya berada dalam batas sewajarnya. Orang tuaku tidak ingin melihat sejauh apa hubungan kami bisa berkembang ke arah yang serius lebih dari teman.‘Temui dia dulu. Kau bisa memutuskannya se
—Lila WinterDua hari yang berjalan cepat, singkat.“Maaf, Lila. Hanya seperti ini yang bisa kuberikan. Waktu dua hari—”“Diamlah, Ferdi.” Kutempelkan beberapa jariku ke bibirnya. “Terima kasih sudah mewujudkan mimpiku dalam waktu dua hari.”Sadar sesadar sadarnya, aku sedang berjinjit sekarang. Mengenakan gaun indahku tanpa alas kaki, karena para periasku kuminta keluar sebab aku ingin bicara dengan pengantin prianya. Hanya berdua saja.“Kau tahu? Aku terkejut bisa sampai ke tahap ini.”“Sekaligus takut?” Aku mengedipkan sebelah mataku. Menggodanya yang bertelapak tangan basah, bahkan dingin. Dia gugup. Menggemaskan sekali! Sungguh, dia pria yang jujur.“Yap. Aku takut sesuatu terjadi padamu. Itu sebabnya, kutinggalkan apa pun demi datang memenuhi permintaanmu.”Benar, kan? Dia pria jujur. Akan bodoh dan sangat tolol, bila aku tidak jatuh hati secepatnya pada pria ini.“Dan aku baik-baik saja, bukan?”“Aku sangat bersyukur karena itu.” Dia datang bersama pelukannya. Mengangkat tubuhk
—Devon Woody“Dokter Viggo melarangmu untuk stress. Apa yang kau pikirkan, Esme?” Kuusap rambutnya dengan penuh kehati-hatian. Ini hari ketiga di mana dia enggan untuk turun dari tempat tidur.Hanya helaan dan tarikan napas perlahan yang kudengar, sampai akhirnya dia merentangkan kedua tangannya meminta aku untuk memeluknya.“Aku sudah memelukmu. Sekarang, katakan padaku. Ada apa?”Kurasakan kepalanya menggeleng dengan rambut yang menggesek pipiku.“Kau baik-baik saja?”“Cukup baik, Sayang. Aku … yah, benar tidak terlalu baik, sejujurnya. Beberapa hal di waktu lalu membuatku stress. Perasaan bersalah itu masih menjadi kendala bagiku.”Diam menjadi momen emas untukku. Sama seperti kata pepatah tua mengenai hal itu. Karena kupikir, Esme mendadak mengalami stress akibat penolakanku ketika seks kami malam itu. Kau berengsek, Dev!“Kau ingin aku yang mewakilimu untuk minta maaf?”“Kau yang akan menemuinya?” Pelukan seketika terlepas. Tatapannya lekat, sedikit kernyit di kening.“Jika kau m
—Lila WinterAku sadar apa yang kulakukan akan mengundang ketakutan pada diriku sendiri jauh di dalam sana. Namun aku tidak peduli. Sama tidak pedulinya seperti saat aku memutuskan untuk menikah dan menerima Ferdi dengan begitu mudahnya.“Kau terkejut? Aku minta maaf.” Ferdi sudah muncul dari balik pintu dan langsung mengatakan hal yang bagiku tidak perlu.“Tidak.” Kurasa, tidak perlu mengatakan apa yang kurasakan. Terlebih tentang kenyataan bahwa aku mengenal Dev, ketika suamiku justru memperkenalkan pria itu sebagai teman lamanya. Jangan mempermalukan suamimu, Lila.“Bagaimana perasaanmu, Sayang?” Dia mengusap keningku yang sudah diperban. “Apa ini sakit?”Aku lebih memilih untuk menatap matanya. Ini menyenangkan. Orang asing yang begitu mudah masuk ke dalam hidupku dan berbaur dengan sangat baik jauh bersama perasaanku. Tidak mengekang, tidak juga terlalu longgar. Tepat, pas sekali.“Ini sakit sekali.” Entah bagaimana, aku bisa menjadi seseorang yang lain untuknya, berkat dirinya.
—Lila WinterHening berganti dalam jeda waktu beberapa menit. Kami pun mengubah posisi. Ferdi berbaring miring ke arahku. Menatapku dengan kepala yang ditopang oleh telapak tangannya.“Kau masih ingin mendengarkanku, Sayang?”“Mm-hm.” Dengan tanpa rasa bosan, aku mengangguk. Memberikan dukungan lewat raut wajahku.“Terima kasih, Lila.”“Jangan dulu. Selesaikan ceritamu sampai tidak ada lagi yang bisa kau ceritakan padaku.” Kutempelkan telunjukku di bibirnya. Meski tidak tersenyum, dia pasti paham tatapanku. Aku yakin dia mulai mengenalku dengan baik. Perlahan-lahan.Ferdi mengangguk. Patuh dan mengubah posisinya, kali ini hanya tangannya yang memeluk tubuhku. Penuh kedua lengannya berada di sekeliling diriku.“Kematian Irene, membuatku menyalahkan diri hingga bertahun-tahun. Menutup diriku untuk siapa pun, terutama lawan jenis. Kenyataan yang tidak bisa kuubah adalah kematiannya dan keputusanku yang tidak akan pernah mau melepaskan pekerjaanku. Kurasa, apa pun itu, pekerjaanku masih j
—Lila WinterAku hamil.Tentu saja aku sudah kembali berhubungan dengan suamiku Ferdi, sejak hari itu. Dan aku yakin, ini bayi kami berdua. Darah dagingku dan Ferdi.Terkadang aku melupakan fakta yang lain, yang terasa salah, tapi selalu bisa terjadi kapan pun, di mana pun dan pada siapa pun.Devon Woody yang mendekati—ah, bukan. Bukan mendekati, tapi akan melangsungkan pernikahannya dengan sepupuku, si bodoh Ruby Marion.Itu lelucon baru, Lila! Konyol sekali melihatnya!Bukan lelucon, tapi fakta yang meresahkan. Terutama ketika perutku sudah mulai menunjukkan tanda-tanda membesar sampai aku tidak bisa melihat kedua kakiku lagi, karena tertutupi perut bulatku.“Ini bayiku, ‘kan?” bisik Dev setengah menggoda. Dia bahkan mengusap perutku dengan penuh kasih sayang. Matanya berkilat penuh harapan atau sesuatu yang lebih dari itu.Kami sedang berada di taman belakang rumah paman Eddie. Paman mengadakan pesta kecil untuk perayaan rumah baru, hadiah dari Ruby. Percuma menjadi penyanyi terken
—Devon WodyEsme tidak melepas tatapannya dariku, saat mendengar keinginan dan kebenaran yang kubawa padanya hari ini.“Terdengar tidak lucu.” Esme berusaha tertawa. Tawa canggung mengudara di sekelilingnya yang nyaris frustrasi. Seluruh tubuhnya mewakili perasaannya. Terlihat tidak berdaya. Hanya karena berita yang kusampaikan.‘Hanya karena?’ Hei, Dev, kau sungguh kejam!“Semua yang kuungkapkan dan yang sudah kau dengar, sama sekali bukan hal yang lucu, Esme.”Tawa itu hilang seketika. Menyisakan cuma segaris senyum miris yang dipaksakan. “Kenyataannya, kau baru mengakui hal ini setelah sekian lama berhasil membodohiku?”“Aku tidak membodohimu.” Maaf, mungkin kau merasa seperti itu selama ini. Buruk, memang. Kuakui, tidak akan kusangkal.“Tidak membodohiku, tapi kau mengikuti semua yang kukatakan seolah kau menolaknya, meski diam-diam kau memang menginginkannya, bukan?”“Ya.” Memudahkannya lebih baik dengan jawaban ya atau tidak.Esme mendengus, menggeleng-gelengkan kepalanya sejena
—Lila WinterSelesai sarapan, ayah memanggilku. Pembicaraan yang ingin kami lakukan. Sepagi ini, tidak ada siapa pun lagi di rumah kedua orang tuaku. Ibu yang terakhir kali kulihat, berpamitan untuk ke butik.Ray, Gray dan Ruby bahkan pergi lebih awal. Entah apa yang mereka bertiga rencanakan, yang jelas seolah hanya mereka saja yang tahu akan hal itu.“Ada yang terluka?” Pertanyaan pertama ayah setelah aku menutup pintu ruang kerjanya di belakangku.Aku menggeleng cepat. “Tidak ada luka parah. Hanya beberapa memar.”“Duduklah. Ayah akan langsung memberitahumu, karena pasti inilah yang paling ingin kau dengar secepatnya dari Ayah.” Menatapku dari kursi kerjanya, ayah mengambil satu di antara tumpukan dokumennya.Aku mendekat. Berdiri tepat di depan meja kerja ayahku. Menunggu dengan perasaan tidak tenang. Karena sejujurnya, aku tidak tahu hal apa yang ingin kuketahui secepatnya dari ayahku ini.“Bacalah. Kau harus memeriksa detailnya. Setelah itu, Ayah yang akan langsung mengantarkanm
—Devon WoodySisa tiga manusia lagi yang perlu kulumpuhkan untuk bisa mencapai ke atas, ke tempat Lila berada.Satu tembakan mendarat di kening pria yang ternyata berniat memukulku menggunakan balok, dari arah belakangku.Balok terjatuh bertepatan dengan kemunculan—ah, si bocah ternyata.Gray ada di sana. Berdiri tegak dan waspada pada keadaan. Pistolnya berada di sisi tubuhnya. Tergenggam seolah dia ahli dalam menggunakannya.“Ada berita buruk untukmu dan berita baik untuk Lila.” Gray si bocah, bicara dengan raut menjengkelkan.Kuabaikan rasa tidak sukaku dengan bertanya. “Ada apa?”“Ferdi masih hidup. Jadi, sebaiknya kau tahu apa yang harus kau lakukan mulai sekarang. Dia menunggu kepulangan Lila.”Apa? Masih hidup? Itu berita buruk untukku. Sangat buruk.“Urus sendiri sisanya. Aku yang akan menjemput Lila.” Berkata lagi, Gray segera berjalan mundur menjauhiku.Walau keberatan sekalipun, aku tidak bisa mencegahnya karena dua pria yang masih tersisa sudah menyerangku dengan pukulan.
—Lila WinterBenar. Jangan diam di tempat.Menyeka air mata, aku berdiri. Mencari cara untuk pergi dari sini, meski itu mustahil terjadi.Semua celah yang memungkinkan, terus kuperhatikan dan kuteliti. Tidak ada. Tidak ada celah yang kupikir bisa memberiku setitik harapan.Hingga satu jam terasa begitu cepat berlalu. Hanya tersisa dua puluh menit untukku yang tidak akan merubah pendirianku. Tidak untukmu, Aaron Heimir!Gemetar tubuhku. Berulang kali mondar-mandir dengan langkah tidak karuan di dalam kamar menyesakkan ini. Semakin waktunya terasa dekat, detak jantungku makin tidak karuan.Jam tua di dinding bahkan terlihat siap memberiku kejutan yang mengerikan.Mendadak, aku mendengar suara dan merasakan getaran yang membuatku semakin gemetaran. Ledakan!Seperti gempa bumi, aku panik dalam kebisuan diriku sendiri. Seakan momen di mana ledakan serta kebakaran di restoran terjadi, terulang kembali saat ini padaku.Hanya saja, kali ini aku sendirian. Tanpa Dev di sisiku.Segera, aku berl
—Lila WinterKurasa, aku hanya perlu bernapas dengan benar. Wajahku sudah dibenamkan berulang kali ke dalam air dingin, meski bukan air es, tetap saja itu teramat tidak menyenangkan. Perih seakan menembus paru-paruku, tidak hanya di mata dan hidung.“Jalang, sebaiknya kau bicara sebelum tuan besar turun tangan.” Peringatan pria yang sedang memegangi rambutku, mencengkeram erat hingga kepalaku terasa akan lepas dari tempatnya, membuatku yakin mereka serius sesuai dengan ancamannya.“Aku tidak paham kenapa mendadak wanita ini jadi bisu,” kesalnya lagi sambil membenamkan wajahku kembali ke dalam air. Kali ini aku berusaha menahannya dengan lebih baik. Karena apa? Karena siksaannya lebih lama dari yang sebelumnya. Kepalaku memutar ulang momen di mana tanganku memegang gagang telepon dan bicara dengan ayahku di seberang sana.“Nak, tetap bertahan selama beberapa jam. Ayah butuh sedikit lebih lama untuk mencapai tempatmu berada saat ini.”“Tapi, Ayah, aku tidak bisa meninggalkan Devon seor
—Devon WoodyApa pun yang Lila pikirkan adalah tentang kecurigaan.Entah sejak kapan, aku menyadarinya. Dia mencurigaiku.Walau seks kami berjalan lancar, bahkan teramat sangat lancar, kupastikan kecurigaannya padaku tidak bergeser sama sekali.Lila terlelap setelah berulang kali telinganya harus merasa terbiasa, ketika mulutku meneriakkan namanya.Turun dari ranjang dengan hati-hati, aku keluar menuju resepsionis motel untuk meminjam komputer.“Selamat pagi, Tuan. Masih terlalu pagi untuk bangun. Ada keluhan? Atau ada yang bisa kubantu?” sapanya ramah. Wanita muda seusia Lila, tampaknya.Aku tersenyum sekadarnya dengan mata fokus ke benda di sudut meja panjangnya. “Bisa aku meminjam laptopnya sebentar?”“Tentu, Tuan. Tolong tunggu sebentar.” Dia melakukan sesuatu dengan cepat, setelah akhirnya memutar benda itu agar menghadap ke arahku.“Silakan, Tuan.”“Terima kasih.” Tanpa basa-basi lain, segera mengirim email berisi pesan yang hanya aku dan si penerima saja yang tahu cara menerjem
—Lila Winter“Lila?”Kulihat Dev muncul dengan terengah-engah. Bergegas dia menghampiriku. Apa mungkin dia tahu bahwa Gray berhasil masuk dan menemuiku?“Kau baik-baik saja?” Malah sibuk meneliti setiap jengkal tubuhku. Menatapku cemas, lalu mendekapku erat-erat. “Ada apa?” Bertanya sambil kurasakan napasnya tidak teratur. Seakan Dev baru saja berlari sejauh ratusan meter.“Seseorang atau mungkin lebih dari itu, mencoba masuk. Padahal, keamanan yang kupasang di depan seharusnya berfungsi dengan baik. Mengirim sinyal cepat padaku. Namun kurasa, mereka terbiasa menerobos menggunakan cara yang bersih dan rapi.”Gray tidak sendiri?“Yang membuatku curiga, kenapa dia sengaja membuat kursi terjatuh, padahal tinggal sedikit lagi sampai orang itu bisa mencapai tempat di mana kita berada.”Jika penuturannya begitu, andai pemikiranku benar, Dev mencurigai sesuatu, tapi enggan mengungkapkannya padaku.Dan menurutku, Gray sengaja melakukannya untuk mengundang perhatian Dev. Membuat kami terpisah
—Lila WinterKuusap-usap puncak kepala hingga bagian belakang kepala Dev dengan tangan gemetar.Rasa sedihnya juga menjalar padaku. Menembus melalui kulitku, menusuk hingga ke tulang-tulangku.Air mataku ikut menetes kembali. Kesedihan, kepedihan, bahkan rasa sakitnya terasa sulit untuk menjauh.Kedua lengan Dev yang melingkar kuat di pinggangku menandakan, bahwa dia begitu ingin menyembunyikan tangisnya dariku.“Lila,” serak Dev. Kepalanya mendongak. Tatapannya mengunci tatapanku.Memang tidak kusembunyikan. Kubiarkan dia melihat air mataku. Kami sama-sama melihat tangis tanpa suara satu sama lain.“Hm?” Tanganku beralih ke wajahnya. Mengusap alis tebalnya, alih-alih menghapus air matanya.“Hatiku sakit.” Dev mengeluh. Baru kali ini kudengar.“Ya. Kita sama.” Suaraku nyaris hilang.Dev menarikku. Membuat dirinya duduk tegak, ketika tubuhku berada di atas pangkuannya. Kepalanya masuk ke bawah daguku. Bersembunyi di leherku. Kutepuk-tepuk punggungnya. Seolah sedang meninabobokan seoran