—Lila WinterSelesai sarapan, ayah memanggilku. Pembicaraan yang ingin kami lakukan. Sepagi ini, tidak ada siapa pun lagi di rumah kedua orang tuaku. Ibu yang terakhir kali kulihat, berpamitan untuk ke butik.Ray, Gray dan Ruby bahkan pergi lebih awal. Entah apa yang mereka bertiga rencanakan, yang jelas seolah hanya mereka saja yang tahu akan hal itu.“Ada yang terluka?” Pertanyaan pertama ayah setelah aku menutup pintu ruang kerjanya di belakangku.Aku menggeleng cepat. “Tidak ada luka parah. Hanya beberapa memar.”“Duduklah. Ayah akan langsung memberitahumu, karena pasti inilah yang paling ingin kau dengar secepatnya dari Ayah.” Menatapku dari kursi kerjanya, ayah mengambil satu di antara tumpukan dokumennya.Aku mendekat. Berdiri tepat di depan meja kerja ayahku. Menunggu dengan perasaan tidak tenang. Karena sejujurnya, aku tidak tahu hal apa yang ingin kuketahui secepatnya dari ayahku ini.“Bacalah. Kau harus memeriksa detailnya. Setelah itu, Ayah yang akan langsung mengantarkanm
—Devon WodyEsme tidak melepas tatapannya dariku, saat mendengar keinginan dan kebenaran yang kubawa padanya hari ini.“Terdengar tidak lucu.” Esme berusaha tertawa. Tawa canggung mengudara di sekelilingnya yang nyaris frustrasi. Seluruh tubuhnya mewakili perasaannya. Terlihat tidak berdaya. Hanya karena berita yang kusampaikan.‘Hanya karena?’ Hei, Dev, kau sungguh kejam!“Semua yang kuungkapkan dan yang sudah kau dengar, sama sekali bukan hal yang lucu, Esme.”Tawa itu hilang seketika. Menyisakan cuma segaris senyum miris yang dipaksakan. “Kenyataannya, kau baru mengakui hal ini setelah sekian lama berhasil membodohiku?”“Aku tidak membodohimu.” Maaf, mungkin kau merasa seperti itu selama ini. Buruk, memang. Kuakui, tidak akan kusangkal.“Tidak membodohiku, tapi kau mengikuti semua yang kukatakan seolah kau menolaknya, meski diam-diam kau memang menginginkannya, bukan?”“Ya.” Memudahkannya lebih baik dengan jawaban ya atau tidak.Esme mendengus, menggeleng-gelengkan kepalanya sejena
—Lila WinterAku hamil.Tentu saja aku sudah kembali berhubungan dengan suamiku Ferdi, sejak hari itu. Dan aku yakin, ini bayi kami berdua. Darah dagingku dan Ferdi.Terkadang aku melupakan fakta yang lain, yang terasa salah, tapi selalu bisa terjadi kapan pun, di mana pun dan pada siapa pun.Devon Woody yang mendekati—ah, bukan. Bukan mendekati, tapi akan melangsungkan pernikahannya dengan sepupuku, si bodoh Ruby Marion.Itu lelucon baru, Lila! Konyol sekali melihatnya!Bukan lelucon, tapi fakta yang meresahkan. Terutama ketika perutku sudah mulai menunjukkan tanda-tanda membesar sampai aku tidak bisa melihat kedua kakiku lagi, karena tertutupi perut bulatku.“Ini bayiku, ‘kan?” bisik Dev setengah menggoda. Dia bahkan mengusap perutku dengan penuh kasih sayang. Matanya berkilat penuh harapan atau sesuatu yang lebih dari itu.Kami sedang berada di taman belakang rumah paman Eddie. Paman mengadakan pesta kecil untuk perayaan rumah baru, hadiah dari Ruby. Percuma menjadi penyanyi terken
—Lila Winter“Ruby!”Kuharap dia tahu apa yang dilakukannya.“Ruby, keluarlah. Ayo, kita pergi ke pemakaman.”Sepertinya, hanya dia yang keras kepala di hari kematian ibunya sendiri.“Bibi Esther akan bersedih jika melihat kau tidak ada di sana.”Hening.Walau dia ada di dalam, bersembunyi dan tidak bersuara, Ruby Marion akan terus keras kepala hingga akhir.“Okay. Jika itu maumu. Nanti, lain kali, jangan pernah mengeluh menyesal di depanku.”Tetap tidak ada jawaban apa pun. Aku sudah membujuk lebih dari lima belas menit di sini. Itu melelahkan bagiku. Cukup sudah!“Bagaimana?” Ray—adikku—di seberang terdengar gelisah.Dia saja tidak berhasil membujuk, apalagi aku.“Sama saja.”Helaan napas Ray terasa nyaring di telingaku. Kuputuskan untuk mengakhiri panggilan telepon secara sepihak. Bergegas masuk ke mobilku yang berada tepat di pekarangan rumah Ruby.Gerimis mulai turun tipis-tipis. Bahkan langit pun ikut bersedih atas kepergian bibi Esther.Kuinjak rem mendadak, ketika rasanya nyar
—Lila WinterDia menarikku dari posisi bersandar di mobil. Mengusap-usap punggungku, tanpa mengatakan apa pun. Bahkan tidak menatapku sama sekali. Sedikit mendongak, aku melihat pandangannya lurus melewati kepalaku.Dia bertubuh tinggi. Aku berada tepat sedikit di bawah pundaknya. Padahal, aku tidak begitu pendek. Seratus enam puluh tujuh, sepertinya.Apa dia berusaha minta maaf karena sudah membuatku terdorong keras seperti tadi?Aneh saat kubiarkan dia mengusap-usap punggungku, seolah kami ini akrab.Hei, apa karena dia membuatku merasa tertekan?Hmm, mungkin.Biasanya, hal ini hanya dilakukan oleh ayah dan para pamanku. Untuk Ray, bahkan aku tidak mengizinkannya menyentuhku.“Masuk. Jangan keluar sebelum aku memintamu, Nona. Aku sungguh-sungguh saat memperingatimu.” Dia menatapku kali ini. Dengan matanya yang meneliti.Apa yang coba dia teliti dariku?“Dapatkan dia dan potong lehernya! Bawa kepalanya untuk Bos!”Jantungku serasa meluncur jatuh ketika mendengar suara penuh amarah da
—Devon WoodyKulirik sekilas wajahnya dari samping. Jujur, dia cantik dan menggairahkan. Masih muda, segar, sangat menawan.Kejantananku ikut liar sejak tadi, ketika dia duduk di atas pangkuanku. Namun, hebatnya, aku selalu bisa menjaga diriku. Hatiku, cintaku.“Kita harus pergi dari sini. Hujannya semakin deras.” Aku memberitahunya. Seperti tersadar dari lamunan, tubuhnya yang canggung bergerak menjauhiku dengan cekatan.“Okay.” Santai. Dingin. Tidak terbaca.Banyak kelebihan yang tergambar jelas pada diri wanita muda ini. Mungkin dia lebih cocok jadi adik dari salah satu teman-temanku atau bahkan keponakan mereka.Jelas dari wajahnya pun, dia tampak semuda itu.Rambut hitam melewati bahu dengan warna mata yang sama pekatnya.Dia tidak ragu atau canggung saat membantuku berjalan. Padahal, Otis dan Jack ada di sini. Jauh lebih bisa diandalkan.“Ambil mayat di dekat semak-semak, berikan pada Tyga.” Sambil memberi perintah, aku menangkap keterkejutan di sepasang mata gelapnya itu, walau
—Lila WinterMenikmati scone dan teh, tidak membuatku lupa bahwa ini bukan di rumah.Selera pria bernama Devon ini memang luar biasa. Ruangan kerja yang dominan dengan warna kayu. Rapi, namun tampak misterius. Terkesan ketinggalan zaman, tapi bernilai seni tinggi.“Kau seharusnya membersihkan dirimu dulu sebelum pulang.” Pria dewasa yang memang lebih cocok dipanggil hot uncle itu, berdiri di sampingku. Dekat pegangan kursi kayu berukir.“Aku tidak apa-apa.” Kuletakkan cangkir tehku kembali tanpa mengalihkan pandanganku darinya.“Orang tuamu akan bertanya kenapa penampilanmu seperti itu.”“Memangnya, seperti apa?” Sekarang, aku mengambil scone kedua. Rencananya, aku akan menghabiskannya sampai tidak bersisa di piring.Si hot uncle ini tiba-tiba duduk di sisiku. Membuatku terkejut dan menjatuhkan scone yang belum masuk ke mulutku.“Oh, maaf! Hei, hei. Jangan pungut!” Dia ikut menunduk, ketika aku siap memungut scone yang jatuh.Maksudku, agar segera kubuang, bukan kumasukkan ke mulutku.
—Lila WinterKepergian Ruby ke Graswall, meninggalkan tanggung jawab yang ditimpakan si gadis sialan itu padaku.Karena enggan menghubungi paman Eddie seperti pesan ibu, ayahnya Ruby itu mendatangiku ke rumah, ketika sarapan pagiku masih setengah jalan.Tidak tahu pasti ada konflik apa di masa lalu, antara ayah dan paman Eddie, mereka selalu terlihat canggung satu sama lain. Itu pun terjadi pagi ini di meja makan kami.Walau ayah menerima kedatangannya dengan tangan terbuka.“Apa? Peran untuk musik video?”“Ya. Hanya untuk satu lagu saja, Lila. Peluncuran albumnya tidak bisa ditunda sampai beberapa waktu. Musik videonya harus rilis bersamaan besok. Pengambilan gambar sebaiknya diselesaikan sore ini.”Jadi, apa urusannya denganku? Tidak kukatakan, tapi kutatap saja ayahnya Ruby ini dengan segala kebingungan. Agar dia paham, bahwa aku tidak ingin disangkutpautkan.“Bacalah ini.” Paman Eddie menyodorkan secarik kertas berisi tulisan tangan. Itu tulisan tangan Ruby. Si bocah sialan. Dia s