—Lila Winter
Kepergian Ruby ke Graswall, meninggalkan tanggung jawab yang ditimpakan si gadis sialan itu padaku.Karena enggan menghubungi paman Eddie seperti pesan ibu, ayahnya Ruby itu mendatangiku ke rumah, ketika sarapan pagiku masih setengah jalan.Tidak tahu pasti ada konflik apa di masa lalu, antara ayah dan paman Eddie, mereka selalu terlihat canggung satu sama lain. Itu pun terjadi pagi ini di meja makan kami.Walau ayah menerima kedatangannya dengan tangan terbuka.“Apa? Peran untuk musik video?”“Ya. Hanya untuk satu lagu saja, Lila. Peluncuran albumnya tidak bisa ditunda sampai beberapa waktu. Musik videonya harus rilis bersamaan besok. Pengambilan gambar sebaiknya diselesaikan sore ini.”Jadi, apa urusannya denganku? Tidak kukatakan, tapi kutatap saja ayahnya Ruby ini dengan segala kebingungan. Agar dia paham, bahwa aku tidak ingin disangkutpautkan.“Bacalah ini.” Paman Eddie menyodorkan secarik kertas berisi tulisan tangan. Itu tulisan tangan Ruby. Si bocah sialan. Dia sama mengesalkannya seperti adikku Ray.‘Dad, aku butuh waktu untuk menenangkan diri. Aku tidak bisa bernyanyi dalam keadaan terguncang seperti ini. Apalagi promosi atau hal lainnya yang berkaitan dengan album baruku.Izinkan aku berlibur hanya selama sepekan ke depan. Aku janji, aku akan kembali tepat waktu. Aku sudah menyelesaikan semua bagianku. Sisanya, Daddy bisa minta bantuan Lila untuk melakukannya. Dia bersedia menjadi model dalam musik video-ku.Salam sayang, Ruby putrimu.’Sialan kau, Ruby! Model apanya? Seenak saja memerintah! Kukembalikan suratnya pada paman Eddie. Penyanyi legendaris ini tersenyum canggung, seakan merasa tidak enak padaku.Salah siapa? Kenapa punya anak yang licik seperti Ruby?“Bagaimana, Lila?”Bagaimana apanya? Tentu saja aku—“Coba tolong paman dan sepupumu kali ini, Nak.”Ayah.Sejak kapan ayahku ada di sini? Bukannya tadi dia sudah akan berangkat ke lapangan golf bersama teman-temannya?Lalu, di mana ibuku? Apa dia juga tidak ikut-ikutan mendukung mantan kakak ipar dan suaminya ini?“Kau tidak perlu ke kantor besok dan lusa. Pergilah. Coba sesuatu yang baru di luar kantor.” Ayah tetap sama, tidak berekspresi serius atau memaksa, tapi tetap saja. Itu keharusan.Aku wajib mematuhinya. Ayahku, Kaiser Winter yang tidak boleh dibantah.“Baiklah, Ayah.”Paman Eddie menatapku. Seperti mencari sesuatu. Apa? Ketulusan? Tidak. Aku tidak tulus membantunya. Apalagi, bila ini demi si licik Ruby.Kuturuti karena ayah. Ayahku yang memintaku melakukannya.Ayo, coba saja. Pasti pada akhirnya, aku hanya akan menghancurkan pekerjaan mereka. Bisa apa aku yang awam pada hal-hal berbau seni seperti itu?Padahal, banyak aktor dan aktris berbakat lain yang dengan mudah bisa diajak bekerjasama. Tapi, paman Eddie malah setuju saja dengan ide licik putrinya yang memang sengaja ingin mengusuliku itu.Ruby sengaja melakukannya. Melimpahkan segalanya padaku.Gadis bengal itu selalu senang cari gara-gara denganku. Awas saja kau, Ruby!“Mobil kru akan datang menjemputmu sebentar lagi. Bersiaplah, Lila.” Paman memberitahu. Mau dilihat dari sudut mana pun, ekspresi kesedihannya masih kentara. Kepergian bibi Esther pasti sangat membuat paman Eddie kesulitan. Untuk berbagai hal.“Okay.” Aku akhirnya beranjak tanpa mengatakan hal lainnya. Bahkan tidak berpamitan pada ayah. Kesal? Ya, aku kesal pada ayah yang memintaku melakukan ini.Ruby pasti merasa senang. Dia menang.“Nona Lila Winter?”Seorang pria mengenakan kaus putih bertopi cokelat tua, menunggu di samping sebuah mobil.Aku mengangguk saja. Tidak berniat berbasa-basi.“Silakan, Nona.” Dia ramah. Tersenyum lebar dan membukakan pintu mobilnya untukku.Seorang pria lain yang menyetir dan yang satunya tadi, duduk di samping si pengemudi. Hanya ada mereka berdua di mobil.Sepanjang perjalanan, aku merasa tenang karena dua pria yang menjemputku ini lebih memilih diam, tidak mengajakku bicara sama sekali, tapi terus memperhatikanku di kesempatan tertentu.“Kita sampai, Nona Winter.”Akhirnya, pria yang menyetir—bukan yang menungguku di samping mobil—bicara padaku.Aku langsung keluar tanpa menunggu dibukakan pintu. Tidak perlu berlagak jadi tuan putri.Sebuah perkampungan, dekat dengan pantai. Lokasi syuting yang bagus, tapi tidak akan tentu bisa menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Aku ragu pada kemampuanku.Bila mengingat pesan Ruby di suratnya, benar-benar membuatku meradang.Dia melemparkan penentuan terakhirnya padaku. Sehingga bila ada kesalahan, maka akulah yang harus disalahkan.Licik!Dia itu mirip siapa, sih? Paman Eddie jelas tidak seperti itu. Apa mungkin itu sifat dari mendiang bibi Esther? Ah, aku tidak yakin.“Nona Winter, silakan duduk di sebelah sini. Kita tunggu arahan dari pak sutradara.” Pria itu, salah satu dari kedua pria yang tadi di mobil bersamaku, memberikan satu kursi tunggal padaku.“Terima kasih.” Karena sejak tadi dia terus bersikap baik padaku, kurasa tidaklah berlebihan jika kuberi dia ucapan rasa terima kasih.Dia tersenyum seramah tadi. Mengangguk, lalu meninggalkanku seorang diri di sini.“Aku tidak bisa bekerja sama dengan model atau penyanyi pendatang baru yang banyak tingkah. Apalagi senior yang sombong dan merasa diri paling hebat!”Aku melihat ke arah suara yang memang begitu dekat denganku. Suara yang mengesalkan! Tepat di sebelahku.Aku menatapnya dengan tatapanku yang selalu seperti itu, datar. Meski aku sedang merasa sangat kesal akan ucapannya yang mengganggu pendengaranku.“Gray, tenanglah sedikit. Jangan sampai suaramu terdengar oleh pak sutradara.” Seorang wanita berkacamata dengan gulungan kertas, bicara sambil berwajah cemas. Matanya bergerak ke sana kemari. Seperti tengah memastikan keadaan.Pria itu tepat di sisiku sekarang, sejak tadi dia terus menatapku tanpa berkedip. Aku juga sama. Menatapnya, tapi tetap bersikap normal dengan sesekali mengerjapkan mataku.“Siapa dia?”Tepat di depan mataku, pria itu menunjukku, tapi bertanya pada wanita di sisi kirinya, bukan langsung padaku.“Oh, Anda pasti Nona Lila Winter, ‘kan?” Wanita itu tersenyum padaku. Seolah baru menyadari keberadaanku.Anggukkan sebagai jawabanku. Hanya itu.Wanita itu tetap ramah, meski sikapku yang mungkin sering tidak menyenangkan bagi kebanyakan orang pada umumnya.“Semoga syutingnya lancar sampai selesai.”Lagi, aku cuma mengangguk.Wanita yang sepertinya salah satu kru dari pembuatan musik video lagunya Ruby, beralih pada pria yang sejak tadi tidak terlihat ingin memindahkan tatapannya dariku.“Nona Lila ini yang akan jadi lawan mainmu di musik videonya.”Akhirnya, dia berkedip. “Oh. Okay.”Dia duduk di sisiku setelah wanita tadi mengambilkan satu kursi untuknya. Walau tidak nyaman karena tatapannya itu, aku tidak peduli. Aku merasa biasa dengan tatapan seperti ini.Ini bukan kali pertama untukku. Setidak nyaman apa pun diriku, aku sudah terbiasa akan hal itu.Meski dia terus menatapku, namun dia tidak mengajakku bicara. Itu memang bagus. Hanya saja, sedikit aneh bila dibandingkan dengan tingkahnya yang menatapku seolah ada banyak pertanyaan yang ingin diajukannya padaku.Tiga puluh menit setelahnya, aku dan pria yang ternyata disapa Gray oleh para kru itu, diberi arahan langsung untuk apa yang harus kami perankan.“Lagu ini menceritakan tentang sepasang kekasih yang sudah berpisah, tapi masih saling mencintai satu sama lain. Mereka berdua kembali bertemu di tempat kenangan yang pernah terukir di sini.”Tentu saja aku bingung harus mengekspresikannya seperti apa.“Gray, tolong bantu Lila untuk menyesuaikan dirinya denganmu. Kata ayahnya Ruby, Lila sedikit pendiam. Dan dia bukan bagian dari dunia hiburan.”Gray mengangguk pelan. Tatapannya masih terpaku padaku. Sebentar lagi, wajahku pasti berlubang karenanya.“Pernah punya kekasih sebelumnya, ‘kan?” Tiba-tiba dia memberiku pertanyaan seperti itu.Kami diberi waktu lima belas menit untuk membangun interaksi layaknya sepasang kekasih yang sudah berpisah, tapi masih saling mencintai.Itu sulit bagiku.“Beberapa tahun lalu.”“Oh. Wow! Itu serius?”Kuabaikan dia. Lebih memuakkan dibanding Devon. Ah, kenapa harus teringat pada si hot uncle?Setidaknya, pria itu penuh aura menyenangkan. Wibawa yang sempurna, walau dicampur sedikit raut misterius yang sulit ditebak, apalagi dicerna.“Lila? Kau melamun? Waktu kita hanya tersisa empat belas menit lagi.”Benar-benar cerewet!“Tidak. Aku hanya bingung. Berakting itu sulit untukku.”“Sama.” Gray tertawa.Dia tampak ceria. Sesekali, Ray ada dalam sekilas tingkahnya. Apa mungkin mereka juga seusia? Gray tampak lebih muda dariku.“Lila.”“Hmm?”“Agar pekerjaan ini cepat selesai, kita harus setuju untuk jadi pasangan kekasih seharian ini. Bagaimana?”Itu mustahil. Mana mungkin menjadi sepasang kekasih dengannya. Walau itu sehari sekali pun, rasanya berat untukku.Empat belas menit yang benar-benar berlalu dengan Gray yang ribut menjelaskan ini dan itu. Tidak bisa kupungkiri bahwa aku hanya diam mendengarkan, sementara otakku tidak dapat diajak untuk berpikir apalagi bekerja sama.Pasrah, aku berharap pada kemampuan diriku sendiri yang mungkin akan menghancurkan pekerjaan ini tanpa kusadari.Kami diminta berganti pakaian. Ada gaun biru lembut untukku dan kemeja putih untuk Gray. Kami didandani seadanya. Karena ini benar-benar akan fokus pada pertemuan dua tokoh utama yang diharapkan berjalan dengan alami.“Lila!” Gray menepuk pundakku.“Hmm?” Sebenarnya, aku kesal. Bukan hanya padanya, tapi pada semua orang. Termasuk diriku sendiri.“Rileks. Biarkan hati dan tubuhmu yang menuntun.”Bicara mudah. Sulit bagiku mewujudkannya secara langsung.“Nanti, jika aku tiba-tiba menyentuhmu untuk menyempurnakan aktingnya, tolong maafkan aku ya? Aku minta izinmu dari sekarang.”Ah, ya. Sepasang kekasih sialan! Jelas harus ada saling sentuh. “Okay.”Setelah aba-aba dari sutradara, kami mulai pada peran masing-masing. Kamera atau apalah namanya itu, mengikuti Gray lebih dulu. Aku memperhatikan bagaimana pria itu bergerak seperti biasa. Terlepas ini syuting, dia bertingkah seolah sedang melakukan kegiatan sehari-hari.Ah, benar. Anggap saja begitu.Gray terlihat berjalan-jalan di sekitar perkampungan. Sendirian sambil memegang kamera untuk memotret. Aktingnya bagus. Musik dan suara Ruby menyatu dengannya.Apanya yang tidak bisa berakting? Kurasa, dia juga pintar membual.Tiba giliranku. Awalnya, kakiku seperti sulit digerakkan. Namun karena aku memarahi diriku sendiri dari dalam hati dan menyemangatinya, lalu barulah kaki ini bisa melangkah layaknya melakukan tugas untuk berjalan seperti biasa.Kami menggunakan jalan yang sama. Itu diambil agar aku atau Gray bisa berpapasan tanpa disengaja nantinya.Huft! Aku mengedarkan pandangan untuk melangkah riang sambil menikmati pemandangan rumah-rumah penduduk yang memiliki ciri khas. Warna catnya berwarna-warni. Seperti menghidupkan suasana ceria dan lembut secara bersamaan.Aku terlalu fokus pada sebuah rumah dengan dinding berwarna magenta, ketika akhirnya Gray benar-benar tiba di depanku.Bukan akting. Aku tersentak karena kehadirannya. Bahkan melihat wajahnya yang terkejut dan mengernyit saat melihatku, kurasa, sepertinya akting kami sedikit baik dari pada saat berperan sendiri-sendiri.Kami saling menatap. Namun suara sutradara yang meminta kami berhenti, membuat Gray tertawa ke arahku.“Kau benar-benar terkejut, ya?”Aku mengangguk, jujur.“Ekspresimu bagus.”“Kau juga.” Sekadar balas memuji. Walau aku tidak tahu apa pujianku ini setara dengan yang benar-benar terlihat pada dirinya atau tidak.“Lakukan obrolan seperti biasa. Buat pertemuan kalian kembali setelah sekian lama, terlihat canggung dan tidak nyaman, tapi menyimpan kerinduan satu sama lain yang mendalam.”Gray jadi yang pertama mengangguk saat diberi arahan. Sementara aku menyusul setelah itu.“Lila, beritahu bila itu sulit untukmu.”Aku tersenyum dan mengangguk pada sutradaranya. Kurasa, dia bukan hanya punya hubungan baik dengan paman Eddie, tapi juga berteman. Itu tergambar jelas.Syuting dimulai kembali, tepat di bagian kami bertemu di jalan itu. Jalanan sepi yang kiri kanannya rumah bercat warna-warni.Angin berembus. Cukup kencang, namun menyegarkan. Membelai wajah dan membuat rambutku yang terurai, seperti terbang mengikuti tiupan angin.“Kau cantik, Lila.”Aku tahu itu hanya untuk kebutuhan syuting ini. Tersenyum saja. Lalu mulai berakting di depan kamera yang mengintai kami. “Kau juga tampan.”Masih bersama angin yang bertiup merusak rambutku, Gray datang menghampiri dan mengulurkan lengannya. Dia merapikan rambutku dengan gerakan lembut dan tatapan mata yang terpaku padaku.“Kau tahu? Saat pertama kali melihatmu, aku sadar akan satu hal.”“Apa itu?” Tanpa sadar, aku menyentuh punggung tangannya. Memberinya sentuhan lembut. Walau hatiku seketika kalut setelah melakukannya. Jadi pelaku seni di dunia hiburan itu ide buruk dalam hidupku. Sulit.“Kau membuat jantungku berdebar.”“Benarkah?” Aku tersenyum. Berusaha memberi senyum yang lembut. Nyanyian Ruby yang sampai pada nada tinggi, membuat Gray mendekatkan wajahnya padaku.Hei, hei mau apa dia?“Aku sudah minta izinmu. Jadi, biarkan aku melakukan ini, okay?” Gray setengah berbisik. Dia tersenyum lagi. Berbicara di depan wajahku seolah itu hal yang boleh dia lakukan padaku.Tapi, mengingat dia sudah meminta izin sebelumnya, membuatku merasa teramat canggung saat bibirnya sudah menempel padaku. Ini seperti—persetan dengan itu!Kututup mataku dan menikmati ciuman dari Gray. Bagusnya, ciuman ini hanya sekedar bibir yang menempel sepersekian detik.“Maafkan aku.” Dia berbisik setelah selesai dan mengecup keningku kemudian.Sialan! Walau hanya akting, tapi jantungku bertalu. Berdetak begitu kencang.Syuting berlanjut dengan tangan kami yang tadinya menggenggam, lalu terlepas saat menyadari bahwa hubungan yang telah kandas, tidak bisa dibangun kembali.Aku melihat Gray meneteskan air mata. Kutatap dia dan berharap agar air mataku juga ikut jatuh, meski tidak sederas dirinya.Dari mananya dia tidak jago berakting? Oh, hanya sedang membuatku merasa tenang?Tampaknya dia memang pintar untuk urusan membujuk, merayu, bahkan meyakinkan orang lain. Mirip sales.Oh, oh! Air mataku tetap tidak bisa mengalir, meski kulihat Gray sudah terisak.Ah, akting itu benar-benar sulit.Akhirnya, saat sutradara mengakhiri syutingnya, semua kru yang ada bertepuk tangan untuk kami. Bagiku, itu lebih tepatnya untuk Gray. Dia hebat. Berbakat.Sutradara berbasa-basi dengan memberitahu padaku proses apa yang akan dilakukan selanjutnya, untuk memperoleh hasil musik video yang bagus.Editing atau apalah semacam itu.Aku menolak untuk melihat hasil aktingku di depan kamera. Nanti saja, saat musik videonya sudah ditayangkan. Mungkin aku akan menontonnya, jika tidak merasa malu.“Lila!”Lagi-lagi Gray. Dia mendekat padaku. Tersenyum lebar, seolah ada hal menyenangkan yang baru saja terjadi padanya.“Boleh kuantar pulang?”Sebenarnya, tidak. Aku ingin duduk diam memandang langit sore dalam perjalanan pulang ke rumah.“Baiklah. Aku tidak akan memaksa.” Gray tersenyum lagi. Dia mengusap tengkuk. Salah tingkah.Ada apa dengannya? Apa ciuman tadi membuatnya malu? Kurasa bukan itu. Jika benar-benar merasa tidak nyaman dengan itu, dia pasti merasa tidak perlu melakukannya dan tidak mungkin berada di depanku sekarang. Menawarkan diri mengantarkanku pulang.“Okay. Ayo, pulang.”—Devon WoodyBayangan keseluruhan diri Lila masih terus mengganggu pikiranku. Sebenarnya, aku kesal. Mendadak setiap kali ingin memejamkan mata, penampakan bibirnya yang sedang memanggilku, benar-benar terasa nyata. Bahkan suaranya ketika menyebut ‘Dev’ terus bergema di dalam kepalaku.Ini tidak adil!Pada perempuan di depanku ini, aku tidak pernah merasakan yang sedemikian parahnya. Walau jelas, wanitaku ini tidak akan terkalahkan oleh siapa pun.“Tuan Devon Woody?”Aku tegak dari dudukku. Perawat memanggil. Setengah tubuhnya muncul di pintu.“Sayang, sebentar ya?” Mengecup kening wanitaku sekilas, aku bergegas keluar.“Silakan, Tuan. Dokter Viggo ingin bicara dengan Anda.” Perawat membukakan pintu ruangan dokter untukku, setelah kami tiba.“Terima kasih.” Aku duduk setelah dipersilakan.“Nyonya Esme mengalami banyak kemajuan, Tuan Devon.”Bagus! Berita yang sangat bagus! “Lalu, apa—”“Dokter! Pasien Esme Woody sudah siuman!”Aku jadi yang pertama bergerak dari dudukku. Berlari seger
—Lila WinterKami hanya saling memuaskan satu sama lain. Tidak lebih. Kurasa, dia paham tentang keperawanan yang sempat kuutarakan padanya kemarin lalu.Ponsel Dev berdering. Tepat ketika kami berpelukan setelah selesai merasa setengah terpuaskan, itu bagiku. Entah untuknya. Mungkin dia sudah puas hanya dengan mulutku saja. Aku belum. Kuakui itu.Dev menjawab panggilannya, tanpa merapikan diri. Maksudku, dia tidak peduli dengan rambutnya yang acak-acakan, kemeja kusut dan kancing kemeja bagian atasnya yang terbuka. Langsung keluar dari mobil dan berbicara ditelepon. Aku tidak mendengar apa pun dari sini. Lagipula, aku tidak peduli.Seharusnya, aku membeli ponsel sebelum pergi syuting tadi pagi. Aku lupa.“Di mana rumahmu?”Aku menatapnya yang bicara di depan pintu mobil yang terbuka. “Satu belokan lagi.” Itu rumah paman Eddie. Aku perlu ke sana untuk memastikan sesuatu. Walau Ruby tidak mungkin ada di sana. Gadis bengal itu tidak akan pulang dengan sendirinya.“Okay.” Dia malah masuk
—Lila Winter“Kau takut?” bisikku. Dan kulihat Gray mengangguk. “Yang benar saja.” Kudorong wajahnya menjauh dariku.“Lilaaa!” Seperti bocah, Gray bersiap memelukku. Malahan merengek. Di luar, Pretty Wings masih saja berusaha membuka pintu dan menggedor-gedor kaca jendela mobil.“Jangan berisik. Diam dan lihat apa yang dia lakukan pada mobilmu.” Aku mengerut marah, sekaligus menunjuk ke arah Pretty Wings yang sedang beraksi.“Lila, aku benar-benar ketakutan.” Gray memberitahuku lagi. Sangat dekat. Nyaris mencium daun telingaku.Aku memberinya ekspresi tidak tertarik. Mengabaikannya dan lebih memperhatikan apa yang sedang dikerjakan Pretty Wings di luar sana.Hei, hei. Dasar orang gila! Tiba-tiba saja dia meraih sebuah batu besar tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ah, benar-benar gila!“Gray, cepat keluar!”“Apa?”“Keluar kataku.”“Tapi—”“Kau mau dilempari batu olehnya?” Mendorongnya ke arah pintu, aku tidak tahan dengan gerak lamban dan ragu-ragu darinya.Gray akhirnya menurut setelah
—Devon Woody“Bagaimana?”“Apanya?” Kumainkan ujung rambutnya dengan santai. Tatapanku tidak mengarah padanya.“Permainan kita.”Ah, aku begitu enggan membahasnya. Sejak awal dimulai, aku terus berhati-hati. Cemas andai menyakitinya. Dia masih belum pulih benar. Aku bisa saja membuatnya kembali harus berbaring lama, andai menyerang terlalu brutal.“Cukup menyenangkan. Aku—”“Kau tampak tidak puas, Dev.” Dia menginterupsiku lewat elusannya di sekitar dadaku.“Itu wajar, bukan? Sudah lama sekali sejak terakhir kali kita melakukannya.”Jadi jangan tanya, selama dua tahun ini aku melampiaskannya pada siapa. Aku tidak akan mau menjawabnya.“Kau jadi pergi?”“Harus.”Istriku menghela napas. Entah keberatan atau tidak, sejak bangun dari koma hingga hari ini, sikapnya sedikit berubah.Dia nyaris tidak ingin lepas dariku. Walau dulu pun begitu, tapi yang ini lebih mengejutkan bagiku. Terlalu posesif.“Kenapa aku tidak boleh ikut?”Ini. Ini dia.Dulu, sebelum koma, Esme hampir tidak memiliki ke
—Lila WinterIni gila!Bagaimana caranya agar mendorong jatuh tubuh Dev dari atas tubuhku?Jari-jarinya begitu gencar mengusikku. Bahkan mulutnya itu, kurang ajar. Sangat meresahkan tubuhku.“Menyingkir, Dev. Paman Sean atau bibi Sisy bisa datang tiba-tiba.”Dev tidak juga mau berhenti. “Tenang. Mereka tidak mungkin naik ke atas sini.”“Seenaknya kau bicara. Minggir!” Kutendang dia dengan sisa kekuatanku.Bunyi berdebam membuatku sedikit tenang. Dia jatuh dengan tawa yang terdengar marah.“Jangan memaksaku lagi.” Cepat-cepat kupakai kembali hotpants denim-ku. Tidak terburu, tenang tanpa gerak amarah.Tawa Dev belum berhenti. Kali ini dia terbahak-bahak. Merebahkan diri ke tempat tidur, lalu menahan lenganku yang baru saja selesai menutupi bokong dan celana dalamku dengan hotpants. “Apa kau mengira aku akan berhenti?”“Aku tahu kau tidak bisa berhenti sebelum mendapatkan keperawananku.”Kilatan di mata Dev menyiratkan banyak arti. “Benar. Sampai kudapatkan atas dasar keinginanmu sendir
—Lila Winter“Gadis ini ... penyanyi pendatang baru itu, ‘kan?”Aku mengangguk membenarkan ucapan si penjaga studio, berharap. “Apa Anda melihatnya datang ke sini?”“Tidak.” Dia menggeleng dengan raut wajah serius. “Aku melihatnya di televisi.”Mendengar jawabannya, kukepalkan tanganku diam-diam, sementara Gray nyaris menyemburkan tawa.Kami keluar dari studio Arcade. Tujuannya untuk pulang ke tempat masing-masing.Aku sungguh tidak tahu, sampai Gray berteriak dan memeluk tubuhku. Bahkan seperti ada tubuh lain lagi yang melindungi kami dari sesuatu yang jatuh dari langit.Mataku tidak tertutup. Terbuka, tapi dengan tatapan yang kosong. Suara-suara di sekitarku semakin ramai terdengar. Riuh penuh kekhawatiran.Gray pingsan. Pelukannya pada tubuhku tetap erat, sampai kurasakan ada yang membawanya menjauh dariku.“Nona, kau baik-baik saja?” Sentuhan di pundakku terasa begitu jauh.Aku cuma mengangguk. Lalu memperhatikan dan mencerna apa yang baru saja terjadi.“Panggil ambulans, cepat!”
—Devon WoodyUntuk pertama kalinya, aku terluka karena ucapan wanita selain Esme.Bahkan, ini pun jarang terjadi. Aku hanya pernah sesekali mengalaminya selama empat tahun kebersamaanku dengan istriku. Setahun berkencan dan tiga tahun dalam hubungan pernikahan, kami nyaris tidak saling menyakiti. Menurutku begitu. Karena sejauh ini, aku merasa seperti itu.Apalagi, selama dua tahun lamanya Esme mengalami koma sehingga waktu terus berjalan, terlewati begitu saja. Tetap setia, itu yang kulakukan.Dan ketika wanita muda ini mengatakan hal yang ternyata bisa melukai perasaanku, sisi lemahku terbaca jelas. “Aku tidak penting bagimu?”Lila mengabaikanku. Dia berbaring dalam posisi memunggungiku. Aku tidak bisa begini jika ingin terus mendapatkan perhatiannya.Telingaku menangkap suara cekikikan di belakangku. Ketika aku berbalik, si bocah sialan itu tidur memunggungiku. Ingin sekali rasanya aku datang menghampirinya dan memberikan pelajaran—ah, sudahlah.Mendadak, aku seperti kehilangan kew
—Lila WinterKeluar dari rumah sakit membuatku jauh merasa lebih baik, setelah terus tertekan selama dua hari.“Pulanglah denganku, Lila.” Dev sudah lebih dulu mengamit lenganku. Kepalanya masih diperban, tapi dia sudah baik-baik saja.“Lila, bersamaku saja.” Gray muncul menghadang langkahku.Aku mengangkat tangan, melambai melewati Gray. Itu dia yang seharusnya pulang bersamaku. “Paman Sean!”Melepas lenganku dari Dev, berjalan pergi dari hadapan Gray, aku melangkah cepat menuju paman Sean yang datang menjemputku. Sungguh senang melihat paman Sean tidak datang bersama bibi Sisy.“Kau digandrungi oleh keduanya.” Paman menyambutku dengan senyum, saat aku tiba di hadapannya.Dengan ketidakpedulian, kuangkat kedua pundakku sambil menggeleng. “Ayo, kita pulang, Paman. Aku merindukan Onyx. Apa dia marah karena aku batal menemaninya pergi ke acara ulang tahun temannya?”“Tidak. Tentu saja tidak.” Paman tersenyum. Ada makna yang membuatku tiba-tiba mengingat ibu, saat menatapnya lekat-lekat.
—Lila WinterAku hamil.Tentu saja aku sudah kembali berhubungan dengan suamiku Ferdi, sejak hari itu. Dan aku yakin, ini bayi kami berdua. Darah dagingku dan Ferdi.Terkadang aku melupakan fakta yang lain, yang terasa salah, tapi selalu bisa terjadi kapan pun, di mana pun dan pada siapa pun.Devon Woody yang mendekati—ah, bukan. Bukan mendekati, tapi akan melangsungkan pernikahannya dengan sepupuku, si bodoh Ruby Marion.Itu lelucon baru, Lila! Konyol sekali melihatnya!Bukan lelucon, tapi fakta yang meresahkan. Terutama ketika perutku sudah mulai menunjukkan tanda-tanda membesar sampai aku tidak bisa melihat kedua kakiku lagi, karena tertutupi perut bulatku.“Ini bayiku, ‘kan?” bisik Dev setengah menggoda. Dia bahkan mengusap perutku dengan penuh kasih sayang. Matanya berkilat penuh harapan atau sesuatu yang lebih dari itu.Kami sedang berada di taman belakang rumah paman Eddie. Paman mengadakan pesta kecil untuk perayaan rumah baru, hadiah dari Ruby. Percuma menjadi penyanyi terken
—Devon WodyEsme tidak melepas tatapannya dariku, saat mendengar keinginan dan kebenaran yang kubawa padanya hari ini.“Terdengar tidak lucu.” Esme berusaha tertawa. Tawa canggung mengudara di sekelilingnya yang nyaris frustrasi. Seluruh tubuhnya mewakili perasaannya. Terlihat tidak berdaya. Hanya karena berita yang kusampaikan.‘Hanya karena?’ Hei, Dev, kau sungguh kejam!“Semua yang kuungkapkan dan yang sudah kau dengar, sama sekali bukan hal yang lucu, Esme.”Tawa itu hilang seketika. Menyisakan cuma segaris senyum miris yang dipaksakan. “Kenyataannya, kau baru mengakui hal ini setelah sekian lama berhasil membodohiku?”“Aku tidak membodohimu.” Maaf, mungkin kau merasa seperti itu selama ini. Buruk, memang. Kuakui, tidak akan kusangkal.“Tidak membodohiku, tapi kau mengikuti semua yang kukatakan seolah kau menolaknya, meski diam-diam kau memang menginginkannya, bukan?”“Ya.” Memudahkannya lebih baik dengan jawaban ya atau tidak.Esme mendengus, menggeleng-gelengkan kepalanya sejena
—Lila WinterSelesai sarapan, ayah memanggilku. Pembicaraan yang ingin kami lakukan. Sepagi ini, tidak ada siapa pun lagi di rumah kedua orang tuaku. Ibu yang terakhir kali kulihat, berpamitan untuk ke butik.Ray, Gray dan Ruby bahkan pergi lebih awal. Entah apa yang mereka bertiga rencanakan, yang jelas seolah hanya mereka saja yang tahu akan hal itu.“Ada yang terluka?” Pertanyaan pertama ayah setelah aku menutup pintu ruang kerjanya di belakangku.Aku menggeleng cepat. “Tidak ada luka parah. Hanya beberapa memar.”“Duduklah. Ayah akan langsung memberitahumu, karena pasti inilah yang paling ingin kau dengar secepatnya dari Ayah.” Menatapku dari kursi kerjanya, ayah mengambil satu di antara tumpukan dokumennya.Aku mendekat. Berdiri tepat di depan meja kerja ayahku. Menunggu dengan perasaan tidak tenang. Karena sejujurnya, aku tidak tahu hal apa yang ingin kuketahui secepatnya dari ayahku ini.“Bacalah. Kau harus memeriksa detailnya. Setelah itu, Ayah yang akan langsung mengantarkanm
—Devon WoodySisa tiga manusia lagi yang perlu kulumpuhkan untuk bisa mencapai ke atas, ke tempat Lila berada.Satu tembakan mendarat di kening pria yang ternyata berniat memukulku menggunakan balok, dari arah belakangku.Balok terjatuh bertepatan dengan kemunculan—ah, si bocah ternyata.Gray ada di sana. Berdiri tegak dan waspada pada keadaan. Pistolnya berada di sisi tubuhnya. Tergenggam seolah dia ahli dalam menggunakannya.“Ada berita buruk untukmu dan berita baik untuk Lila.” Gray si bocah, bicara dengan raut menjengkelkan.Kuabaikan rasa tidak sukaku dengan bertanya. “Ada apa?”“Ferdi masih hidup. Jadi, sebaiknya kau tahu apa yang harus kau lakukan mulai sekarang. Dia menunggu kepulangan Lila.”Apa? Masih hidup? Itu berita buruk untukku. Sangat buruk.“Urus sendiri sisanya. Aku yang akan menjemput Lila.” Berkata lagi, Gray segera berjalan mundur menjauhiku.Walau keberatan sekalipun, aku tidak bisa mencegahnya karena dua pria yang masih tersisa sudah menyerangku dengan pukulan.
—Lila WinterBenar. Jangan diam di tempat.Menyeka air mata, aku berdiri. Mencari cara untuk pergi dari sini, meski itu mustahil terjadi.Semua celah yang memungkinkan, terus kuperhatikan dan kuteliti. Tidak ada. Tidak ada celah yang kupikir bisa memberiku setitik harapan.Hingga satu jam terasa begitu cepat berlalu. Hanya tersisa dua puluh menit untukku yang tidak akan merubah pendirianku. Tidak untukmu, Aaron Heimir!Gemetar tubuhku. Berulang kali mondar-mandir dengan langkah tidak karuan di dalam kamar menyesakkan ini. Semakin waktunya terasa dekat, detak jantungku makin tidak karuan.Jam tua di dinding bahkan terlihat siap memberiku kejutan yang mengerikan.Mendadak, aku mendengar suara dan merasakan getaran yang membuatku semakin gemetaran. Ledakan!Seperti gempa bumi, aku panik dalam kebisuan diriku sendiri. Seakan momen di mana ledakan serta kebakaran di restoran terjadi, terulang kembali saat ini padaku.Hanya saja, kali ini aku sendirian. Tanpa Dev di sisiku.Segera, aku berl
—Lila WinterKurasa, aku hanya perlu bernapas dengan benar. Wajahku sudah dibenamkan berulang kali ke dalam air dingin, meski bukan air es, tetap saja itu teramat tidak menyenangkan. Perih seakan menembus paru-paruku, tidak hanya di mata dan hidung.“Jalang, sebaiknya kau bicara sebelum tuan besar turun tangan.” Peringatan pria yang sedang memegangi rambutku, mencengkeram erat hingga kepalaku terasa akan lepas dari tempatnya, membuatku yakin mereka serius sesuai dengan ancamannya.“Aku tidak paham kenapa mendadak wanita ini jadi bisu,” kesalnya lagi sambil membenamkan wajahku kembali ke dalam air. Kali ini aku berusaha menahannya dengan lebih baik. Karena apa? Karena siksaannya lebih lama dari yang sebelumnya. Kepalaku memutar ulang momen di mana tanganku memegang gagang telepon dan bicara dengan ayahku di seberang sana.“Nak, tetap bertahan selama beberapa jam. Ayah butuh sedikit lebih lama untuk mencapai tempatmu berada saat ini.”“Tapi, Ayah, aku tidak bisa meninggalkan Devon seor
—Devon WoodyApa pun yang Lila pikirkan adalah tentang kecurigaan.Entah sejak kapan, aku menyadarinya. Dia mencurigaiku.Walau seks kami berjalan lancar, bahkan teramat sangat lancar, kupastikan kecurigaannya padaku tidak bergeser sama sekali.Lila terlelap setelah berulang kali telinganya harus merasa terbiasa, ketika mulutku meneriakkan namanya.Turun dari ranjang dengan hati-hati, aku keluar menuju resepsionis motel untuk meminjam komputer.“Selamat pagi, Tuan. Masih terlalu pagi untuk bangun. Ada keluhan? Atau ada yang bisa kubantu?” sapanya ramah. Wanita muda seusia Lila, tampaknya.Aku tersenyum sekadarnya dengan mata fokus ke benda di sudut meja panjangnya. “Bisa aku meminjam laptopnya sebentar?”“Tentu, Tuan. Tolong tunggu sebentar.” Dia melakukan sesuatu dengan cepat, setelah akhirnya memutar benda itu agar menghadap ke arahku.“Silakan, Tuan.”“Terima kasih.” Tanpa basa-basi lain, segera mengirim email berisi pesan yang hanya aku dan si penerima saja yang tahu cara menerjem
—Lila Winter“Lila?”Kulihat Dev muncul dengan terengah-engah. Bergegas dia menghampiriku. Apa mungkin dia tahu bahwa Gray berhasil masuk dan menemuiku?“Kau baik-baik saja?” Malah sibuk meneliti setiap jengkal tubuhku. Menatapku cemas, lalu mendekapku erat-erat. “Ada apa?” Bertanya sambil kurasakan napasnya tidak teratur. Seakan Dev baru saja berlari sejauh ratusan meter.“Seseorang atau mungkin lebih dari itu, mencoba masuk. Padahal, keamanan yang kupasang di depan seharusnya berfungsi dengan baik. Mengirim sinyal cepat padaku. Namun kurasa, mereka terbiasa menerobos menggunakan cara yang bersih dan rapi.”Gray tidak sendiri?“Yang membuatku curiga, kenapa dia sengaja membuat kursi terjatuh, padahal tinggal sedikit lagi sampai orang itu bisa mencapai tempat di mana kita berada.”Jika penuturannya begitu, andai pemikiranku benar, Dev mencurigai sesuatu, tapi enggan mengungkapkannya padaku.Dan menurutku, Gray sengaja melakukannya untuk mengundang perhatian Dev. Membuat kami terpisah
—Lila WinterKuusap-usap puncak kepala hingga bagian belakang kepala Dev dengan tangan gemetar.Rasa sedihnya juga menjalar padaku. Menembus melalui kulitku, menusuk hingga ke tulang-tulangku.Air mataku ikut menetes kembali. Kesedihan, kepedihan, bahkan rasa sakitnya terasa sulit untuk menjauh.Kedua lengan Dev yang melingkar kuat di pinggangku menandakan, bahwa dia begitu ingin menyembunyikan tangisnya dariku.“Lila,” serak Dev. Kepalanya mendongak. Tatapannya mengunci tatapanku.Memang tidak kusembunyikan. Kubiarkan dia melihat air mataku. Kami sama-sama melihat tangis tanpa suara satu sama lain.“Hm?” Tanganku beralih ke wajahnya. Mengusap alis tebalnya, alih-alih menghapus air matanya.“Hatiku sakit.” Dev mengeluh. Baru kali ini kudengar.“Ya. Kita sama.” Suaraku nyaris hilang.Dev menarikku. Membuat dirinya duduk tegak, ketika tubuhku berada di atas pangkuannya. Kepalanya masuk ke bawah daguku. Bersembunyi di leherku. Kutepuk-tepuk punggungnya. Seolah sedang meninabobokan seoran