—Lila WinterIni gila!Bagaimana caranya agar mendorong jatuh tubuh Dev dari atas tubuhku?Jari-jarinya begitu gencar mengusikku. Bahkan mulutnya itu, kurang ajar. Sangat meresahkan tubuhku.“Menyingkir, Dev. Paman Sean atau bibi Sisy bisa datang tiba-tiba.”Dev tidak juga mau berhenti. “Tenang. Mereka tidak mungkin naik ke atas sini.”“Seenaknya kau bicara. Minggir!” Kutendang dia dengan sisa kekuatanku.Bunyi berdebam membuatku sedikit tenang. Dia jatuh dengan tawa yang terdengar marah.“Jangan memaksaku lagi.” Cepat-cepat kupakai kembali hotpants denim-ku. Tidak terburu, tenang tanpa gerak amarah.Tawa Dev belum berhenti. Kali ini dia terbahak-bahak. Merebahkan diri ke tempat tidur, lalu menahan lenganku yang baru saja selesai menutupi bokong dan celana dalamku dengan hotpants. “Apa kau mengira aku akan berhenti?”“Aku tahu kau tidak bisa berhenti sebelum mendapatkan keperawananku.”Kilatan di mata Dev menyiratkan banyak arti. “Benar. Sampai kudapatkan atas dasar keinginanmu sendir
—Lila Winter“Gadis ini ... penyanyi pendatang baru itu, ‘kan?”Aku mengangguk membenarkan ucapan si penjaga studio, berharap. “Apa Anda melihatnya datang ke sini?”“Tidak.” Dia menggeleng dengan raut wajah serius. “Aku melihatnya di televisi.”Mendengar jawabannya, kukepalkan tanganku diam-diam, sementara Gray nyaris menyemburkan tawa.Kami keluar dari studio Arcade. Tujuannya untuk pulang ke tempat masing-masing.Aku sungguh tidak tahu, sampai Gray berteriak dan memeluk tubuhku. Bahkan seperti ada tubuh lain lagi yang melindungi kami dari sesuatu yang jatuh dari langit.Mataku tidak tertutup. Terbuka, tapi dengan tatapan yang kosong. Suara-suara di sekitarku semakin ramai terdengar. Riuh penuh kekhawatiran.Gray pingsan. Pelukannya pada tubuhku tetap erat, sampai kurasakan ada yang membawanya menjauh dariku.“Nona, kau baik-baik saja?” Sentuhan di pundakku terasa begitu jauh.Aku cuma mengangguk. Lalu memperhatikan dan mencerna apa yang baru saja terjadi.“Panggil ambulans, cepat!”
—Devon WoodyUntuk pertama kalinya, aku terluka karena ucapan wanita selain Esme.Bahkan, ini pun jarang terjadi. Aku hanya pernah sesekali mengalaminya selama empat tahun kebersamaanku dengan istriku. Setahun berkencan dan tiga tahun dalam hubungan pernikahan, kami nyaris tidak saling menyakiti. Menurutku begitu. Karena sejauh ini, aku merasa seperti itu.Apalagi, selama dua tahun lamanya Esme mengalami koma sehingga waktu terus berjalan, terlewati begitu saja. Tetap setia, itu yang kulakukan.Dan ketika wanita muda ini mengatakan hal yang ternyata bisa melukai perasaanku, sisi lemahku terbaca jelas. “Aku tidak penting bagimu?”Lila mengabaikanku. Dia berbaring dalam posisi memunggungiku. Aku tidak bisa begini jika ingin terus mendapatkan perhatiannya.Telingaku menangkap suara cekikikan di belakangku. Ketika aku berbalik, si bocah sialan itu tidur memunggungiku. Ingin sekali rasanya aku datang menghampirinya dan memberikan pelajaran—ah, sudahlah.Mendadak, aku seperti kehilangan kew
—Lila WinterKeluar dari rumah sakit membuatku jauh merasa lebih baik, setelah terus tertekan selama dua hari.“Pulanglah denganku, Lila.” Dev sudah lebih dulu mengamit lenganku. Kepalanya masih diperban, tapi dia sudah baik-baik saja.“Lila, bersamaku saja.” Gray muncul menghadang langkahku.Aku mengangkat tangan, melambai melewati Gray. Itu dia yang seharusnya pulang bersamaku. “Paman Sean!”Melepas lenganku dari Dev, berjalan pergi dari hadapan Gray, aku melangkah cepat menuju paman Sean yang datang menjemputku. Sungguh senang melihat paman Sean tidak datang bersama bibi Sisy.“Kau digandrungi oleh keduanya.” Paman menyambutku dengan senyum, saat aku tiba di hadapannya.Dengan ketidakpedulian, kuangkat kedua pundakku sambil menggeleng. “Ayo, kita pulang, Paman. Aku merindukan Onyx. Apa dia marah karena aku batal menemaninya pergi ke acara ulang tahun temannya?”“Tidak. Tentu saja tidak.” Paman tersenyum. Ada makna yang membuatku tiba-tiba mengingat ibu, saat menatapnya lekat-lekat.
—Devon WoodyHutan menjadi taman bagiku. Di mana pun dan bagaimana pun hutannya, bagiku sama saja. Kecuali untuk dua anak muda ini. Mereka mungkin sedikit asing dengan situasi seperti sekarang.“Menyerah saja?”Lila menoleh sambil mengernyit padaku. Di situasi dan kondisi apa pun, dia mungkin selalu terlihat dingin di mata orang lain, namun teramat seksi dalam pandanganku.“Tidak.”“Ini sudah sore. Kita bisa bermalam di dalam hutan jika kau memaksakan diri untuk terus berjalan.” Kuperhatikan bagaimana dia sedikit pucat dan berkeringat.Walau tadi kami sudah sempat menyantap apa pun yang terlihat lezat dan terasa enak, tetap saja itu tidak cukup untuk mereka. Bukan bagiku.“Gray, kita harus bermalam di sekitar sini.” Lila menatap si bocah sialan bernama Gray itu yang kini sedang berjongkok di sampingnya. Kelelahan.Dia mencemaskan pemuda lamban ini, karena kami baru keluar dari rumah sakit. Harusnya aku. Namun tampaknya, dia enggan memberiku perhatian.“Bangun, Gray.” Lila menarik leng
—Lila WinterTidak tahu malu.Begitulah kami. Aku tidak peduli meski lebih dewasa dari Ruby. Dan si gadis bodoh sialan ini pun, tidak tahu sopan santun untuk memilih diam daripada melawanku yang sedang memarahinya.“Aku tidak memintamu melakukannya.”“Otak bodohmu ini yang meminta bantuanku di surat yang kau tulis untuk ayahmu.” Dengan telunjuk, kutekan berulang pelipisnya.Ruby menepis tanganku dan membiarkan para penghuni kafe kecil nan kampungan ini, menatap kami dengan mata mereka yang melotot.“Teman-teman, saatnya berhenti. Ayo, kita keluar dan mencari tempat yang lebih nyaman untuk bicara.”Aku lupa bahwa Dev masih ada di sisiku. Bersama-sama denganku untuk menerima dan melihat kebodohan ini.“Lila,” bisik Dev. Dia seperti berusaha menenangkan.“Cepat berdiri dan ikut aku, sebelum kuseret kau dari sini.” Setengah membungkuk ke arah Ruby, aku berusaha memberi penekanan padanya yang selalu tidak bisa diberitahu apalagi dinasehati.Ruby menggerutu dalam mulutnya yang terkatup. Ent
—Lila WinterIni satu hari yang dijanjikan oleh Ruby padaku. Hari terakhir di tempat ini.Aku dan Dev nyaris tidak lagi saling bicara. Jika aku memang pasif sejak awal, maka dia jauh lebih pendiam dan tidak melakukan gerakan apa pun saat tanpa sengaja berhadapan denganku.“Ruby akan pergi ke panti asuhan bersama temannya itu. Kau ikut?”“Dia tidak mengajakku.” Kugelengkan kepala sekilas saja.“Kita tidak perlu diajak olehnya.”Tersenyum sinis, aku membenarkan. “Kita ke sini juga bukan karena ajakannya.”“Tepat.” Gray tersenyum dengan telunjuk teracung ke arahku.“Ikuti saja dia dari belakang.”Gray menggoyangkan sebuah kunci tanpa gantungan di depan wajahku. “Aku menyewa mobil ini dari si pemilik motel. Tarifnya murah. Kita bisa pakai sepuasnya.”Aku mengangguk. Menyembunyikan niat jahatku darinya. “Biar aku—”“Tidak, tidak.” Gray menyela seolah dia tahu apa yang akan kukatakan. “Biar aku yang mengisi bahan bakarnya. Penuh.”“Okay. Terserah kau saja.” Yang rugi bukan aku.“Aku akan me
—Devon WoodySejak tadi, aku merasa tidak tahu pasti apa yang tengah dipikirkan oleh Lila. Dia terlihat hanya terus memperhatikan pimpinan panti asuhan dengan tatapan tanpa ekspresinya itu. Tertarik? Mana mungkin. Aku yakin bukan karena hal itu. Atau bisa saja berpikiran sama sepertiku. Lila mencurigai sesuatu.“Bagaimana?” Haidan, si bocah pemusik itu, menghampiri Lila yang berdiri tegak tidak jauh dariku.“Bagus.” Lila mengacungkan ibu jarinya sekilas. Tidak berlama-lama. Bahkan tidak ada senyum di wajahnya.“Jangan tanya padanya. Kita tampil bukan untuk dia, tapi untuk anak-anak panti.” Ruby menyusul Haidan sambil menimpali dengan kalimat provokasi.Lila bahkan tidak punya waktu untuk meladeninya. Dengan tidak peduli, dia mengajak Haidan bicara seolah mereka sudah saling kenal sejak lama.“Aku perlu bicara denganmu.”Haidan langsung mengiyakan dengan pergi bersama Lila menjauhi aula tempat kami berkumpul.“Dia kenapa?” Ruby bertanya heran pada Gray. Aku dan Gray baru saja selesai b