—Lila Winter“Ruby!”Kuharap dia tahu apa yang dilakukannya.“Ruby, keluarlah. Ayo, kita pergi ke pemakaman.”Sepertinya, hanya dia yang keras kepala di hari kematian ibunya sendiri.“Bibi Esther akan bersedih jika melihat kau tidak ada di sana.”Hening.Walau dia ada di dalam, bersembunyi dan tidak bersuara, Ruby Marion akan terus keras kepala hingga akhir.“Okay. Jika itu maumu. Nanti, lain kali, jangan pernah mengeluh menyesal di depanku.”Tetap tidak ada jawaban apa pun. Aku sudah membujuk lebih dari lima belas menit di sini. Itu melelahkan bagiku. Cukup sudah!“Bagaimana?” Ray—adikku—di seberang terdengar gelisah.Dia saja tidak berhasil membujuk, apalagi aku.“Sama saja.”Helaan napas Ray terasa nyaring di telingaku. Kuputuskan untuk mengakhiri panggilan telepon secara sepihak. Bergegas masuk ke mobilku yang berada tepat di pekarangan rumah Ruby.Gerimis mulai turun tipis-tipis. Bahkan langit pun ikut bersedih atas kepergian bibi Esther.Kuinjak rem mendadak, ketika rasanya nyar
—Lila WinterDia menarikku dari posisi bersandar di mobil. Mengusap-usap punggungku, tanpa mengatakan apa pun. Bahkan tidak menatapku sama sekali. Sedikit mendongak, aku melihat pandangannya lurus melewati kepalaku.Dia bertubuh tinggi. Aku berada tepat sedikit di bawah pundaknya. Padahal, aku tidak begitu pendek. Seratus enam puluh tujuh, sepertinya.Apa dia berusaha minta maaf karena sudah membuatku terdorong keras seperti tadi?Aneh saat kubiarkan dia mengusap-usap punggungku, seolah kami ini akrab.Hei, apa karena dia membuatku merasa tertekan?Hmm, mungkin.Biasanya, hal ini hanya dilakukan oleh ayah dan para pamanku. Untuk Ray, bahkan aku tidak mengizinkannya menyentuhku.“Masuk. Jangan keluar sebelum aku memintamu, Nona. Aku sungguh-sungguh saat memperingatimu.” Dia menatapku kali ini. Dengan matanya yang meneliti.Apa yang coba dia teliti dariku?“Dapatkan dia dan potong lehernya! Bawa kepalanya untuk Bos!”Jantungku serasa meluncur jatuh ketika mendengar suara penuh amarah da
—Devon WoodyKulirik sekilas wajahnya dari samping. Jujur, dia cantik dan menggairahkan. Masih muda, segar, sangat menawan.Kejantananku ikut liar sejak tadi, ketika dia duduk di atas pangkuanku. Namun, hebatnya, aku selalu bisa menjaga diriku. Hatiku, cintaku.“Kita harus pergi dari sini. Hujannya semakin deras.” Aku memberitahunya. Seperti tersadar dari lamunan, tubuhnya yang canggung bergerak menjauhiku dengan cekatan.“Okay.” Santai. Dingin. Tidak terbaca.Banyak kelebihan yang tergambar jelas pada diri wanita muda ini. Mungkin dia lebih cocok jadi adik dari salah satu teman-temanku atau bahkan keponakan mereka.Jelas dari wajahnya pun, dia tampak semuda itu.Rambut hitam melewati bahu dengan warna mata yang sama pekatnya.Dia tidak ragu atau canggung saat membantuku berjalan. Padahal, Otis dan Jack ada di sini. Jauh lebih bisa diandalkan.“Ambil mayat di dekat semak-semak, berikan pada Tyga.” Sambil memberi perintah, aku menangkap keterkejutan di sepasang mata gelapnya itu, walau
—Lila WinterMenikmati scone dan teh, tidak membuatku lupa bahwa ini bukan di rumah.Selera pria bernama Devon ini memang luar biasa. Ruangan kerja yang dominan dengan warna kayu. Rapi, namun tampak misterius. Terkesan ketinggalan zaman, tapi bernilai seni tinggi.“Kau seharusnya membersihkan dirimu dulu sebelum pulang.” Pria dewasa yang memang lebih cocok dipanggil hot uncle itu, berdiri di sampingku. Dekat pegangan kursi kayu berukir.“Aku tidak apa-apa.” Kuletakkan cangkir tehku kembali tanpa mengalihkan pandanganku darinya.“Orang tuamu akan bertanya kenapa penampilanmu seperti itu.”“Memangnya, seperti apa?” Sekarang, aku mengambil scone kedua. Rencananya, aku akan menghabiskannya sampai tidak bersisa di piring.Si hot uncle ini tiba-tiba duduk di sisiku. Membuatku terkejut dan menjatuhkan scone yang belum masuk ke mulutku.“Oh, maaf! Hei, hei. Jangan pungut!” Dia ikut menunduk, ketika aku siap memungut scone yang jatuh.Maksudku, agar segera kubuang, bukan kumasukkan ke mulutku.
—Lila WinterKepergian Ruby ke Graswall, meninggalkan tanggung jawab yang ditimpakan si gadis sialan itu padaku.Karena enggan menghubungi paman Eddie seperti pesan ibu, ayahnya Ruby itu mendatangiku ke rumah, ketika sarapan pagiku masih setengah jalan.Tidak tahu pasti ada konflik apa di masa lalu, antara ayah dan paman Eddie, mereka selalu terlihat canggung satu sama lain. Itu pun terjadi pagi ini di meja makan kami.Walau ayah menerima kedatangannya dengan tangan terbuka.“Apa? Peran untuk musik video?”“Ya. Hanya untuk satu lagu saja, Lila. Peluncuran albumnya tidak bisa ditunda sampai beberapa waktu. Musik videonya harus rilis bersamaan besok. Pengambilan gambar sebaiknya diselesaikan sore ini.”Jadi, apa urusannya denganku? Tidak kukatakan, tapi kutatap saja ayahnya Ruby ini dengan segala kebingungan. Agar dia paham, bahwa aku tidak ingin disangkutpautkan.“Bacalah ini.” Paman Eddie menyodorkan secarik kertas berisi tulisan tangan. Itu tulisan tangan Ruby. Si bocah sialan. Dia s
—Devon WoodyBayangan keseluruhan diri Lila masih terus mengganggu pikiranku. Sebenarnya, aku kesal. Mendadak setiap kali ingin memejamkan mata, penampakan bibirnya yang sedang memanggilku, benar-benar terasa nyata. Bahkan suaranya ketika menyebut ‘Dev’ terus bergema di dalam kepalaku.Ini tidak adil!Pada perempuan di depanku ini, aku tidak pernah merasakan yang sedemikian parahnya. Walau jelas, wanitaku ini tidak akan terkalahkan oleh siapa pun.“Tuan Devon Woody?”Aku tegak dari dudukku. Perawat memanggil. Setengah tubuhnya muncul di pintu.“Sayang, sebentar ya?” Mengecup kening wanitaku sekilas, aku bergegas keluar.“Silakan, Tuan. Dokter Viggo ingin bicara dengan Anda.” Perawat membukakan pintu ruangan dokter untukku, setelah kami tiba.“Terima kasih.” Aku duduk setelah dipersilakan.“Nyonya Esme mengalami banyak kemajuan, Tuan Devon.”Bagus! Berita yang sangat bagus! “Lalu, apa—”“Dokter! Pasien Esme Woody sudah siuman!”Aku jadi yang pertama bergerak dari dudukku. Berlari seger
—Lila WinterKami hanya saling memuaskan satu sama lain. Tidak lebih. Kurasa, dia paham tentang keperawanan yang sempat kuutarakan padanya kemarin lalu.Ponsel Dev berdering. Tepat ketika kami berpelukan setelah selesai merasa setengah terpuaskan, itu bagiku. Entah untuknya. Mungkin dia sudah puas hanya dengan mulutku saja. Aku belum. Kuakui itu.Dev menjawab panggilannya, tanpa merapikan diri. Maksudku, dia tidak peduli dengan rambutnya yang acak-acakan, kemeja kusut dan kancing kemeja bagian atasnya yang terbuka. Langsung keluar dari mobil dan berbicara ditelepon. Aku tidak mendengar apa pun dari sini. Lagipula, aku tidak peduli.Seharusnya, aku membeli ponsel sebelum pergi syuting tadi pagi. Aku lupa.“Di mana rumahmu?”Aku menatapnya yang bicara di depan pintu mobil yang terbuka. “Satu belokan lagi.” Itu rumah paman Eddie. Aku perlu ke sana untuk memastikan sesuatu. Walau Ruby tidak mungkin ada di sana. Gadis bengal itu tidak akan pulang dengan sendirinya.“Okay.” Dia malah masuk
—Lila Winter“Kau takut?” bisikku. Dan kulihat Gray mengangguk. “Yang benar saja.” Kudorong wajahnya menjauh dariku.“Lilaaa!” Seperti bocah, Gray bersiap memelukku. Malahan merengek. Di luar, Pretty Wings masih saja berusaha membuka pintu dan menggedor-gedor kaca jendela mobil.“Jangan berisik. Diam dan lihat apa yang dia lakukan pada mobilmu.” Aku mengerut marah, sekaligus menunjuk ke arah Pretty Wings yang sedang beraksi.“Lila, aku benar-benar ketakutan.” Gray memberitahuku lagi. Sangat dekat. Nyaris mencium daun telingaku.Aku memberinya ekspresi tidak tertarik. Mengabaikannya dan lebih memperhatikan apa yang sedang dikerjakan Pretty Wings di luar sana.Hei, hei. Dasar orang gila! Tiba-tiba saja dia meraih sebuah batu besar tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ah, benar-benar gila!“Gray, cepat keluar!”“Apa?”“Keluar kataku.”“Tapi—”“Kau mau dilempari batu olehnya?” Mendorongnya ke arah pintu, aku tidak tahan dengan gerak lamban dan ragu-ragu darinya.Gray akhirnya menurut setelah