—Devon Woody
Kulirik sekilas wajahnya dari samping. Jujur, dia cantik dan menggairahkan. Masih muda, segar, sangat menawan.Kejantananku ikut liar sejak tadi, ketika dia duduk di atas pangkuanku. Namun, hebatnya, aku selalu bisa menjaga diriku. Hatiku, cintaku.“Kita harus pergi dari sini. Hujannya semakin deras.” Aku memberitahunya. Seperti tersadar dari lamunan, tubuhnya yang canggung bergerak menjauhiku dengan cekatan.“Okay.” Santai. Dingin. Tidak terbaca.Banyak kelebihan yang tergambar jelas pada diri wanita muda ini. Mungkin dia lebih cocok jadi adik dari salah satu teman-temanku atau bahkan keponakan mereka.Jelas dari wajahnya pun, dia tampak semuda itu.Rambut hitam melewati bahu dengan warna mata yang sama pekatnya.Dia tidak ragu atau canggung saat membantuku berjalan. Padahal, Otis dan Jack ada di sini. Jauh lebih bisa diandalkan.“Ambil mayat di dekat semak-semak, berikan pada Tyga.” Sambil memberi perintah, aku menangkap keterkejutan di sepasang mata gelapnya itu, walau tidak bisa kubaca ekspresi apa pun di wajahnya.“Jangan lupa juga untuk mengeluarkan mobil Nona ini dari semak-semak.” Kembali memberi perintah, kurasakan tubuh kami merapat karena wanita ini menghindari genangan air di dekat kakinya.Kami tiba di pinggir hutan. Tempat Otis memarkir jeep milikku.Wanita ini melepasku setelah jarak kami dengan mobilku sudah dekat.Dia berdiri tidak jauh dari mobilku. Tidak mendekat.“Kau akan menunggu mobilmu di sini?”Dia mengangguk. Bahkan anggukkannya terlihat pelit. Sangat singkat.“Tyga kadang suka berkeliaran sampai ke pinggiran hutan, walau tidak keluar dari wilayah ini. Dua anak buahku pasti akan meninggalkanmu sendirian di sini bersama mobilmu. Apa menurutmu, kau akan baik-baik saja?”Lihatlah. Betapa mempesonanya tatapan sedingin es itu. Seakan memberi jawaban yang pasti bahwa dirinya tidak kenal takut. Tidak peduli apa pun. Meski aku tahu dan bisa merasakan, tubuhnya selalu gemetar di saat bahaya datang.“Aku akan ikut denganmu kalau begitu. Kau bisa minta mereka mengantarkan mobilku ke tempat di mana aku turun nanti.” Dia berjalan mendekat. Benar-benar tidak terlihat sedang gelisah, padahal jelas sekali dia ketakutan. Wanita muda yang luar biasa.Tangannya merebut kunci jeep dariku. “Aku pengemudi yang baik.”“Senang mendengarnya.” Alih-alih mengatakan hal yang bertolak belakang dari keinginan hatiku, kubiarkan dia masuk dan duduk di balik kemudiku.Padahal, selama jeep itu menjadi milikku, hanya boleh aku atau Jack yang mengemudikannya.Sekarang, bahkan seorang wanita kubiarkan menjinakkan mobil kesayanganku itu.Dia memang mahir. Selalu fokus. Tidak banyak bicara.Tidak mirip dengan seseorang dan aku juga bukan sengaja mengingatnya ketika melihat wanita ini.Bukan tentang ‘dia mengingatkanku pada seseorang’ bukan, karena memang tidak ada yang mirip di antara mereka berdua. Hanya membandingkan, sedikit.“Lurus atau belok?”Aku tidak sadar. Dia mengemudi sudah sejauh itu. Atau sebenarnya aku yang terlalu menikmati isi kepalaku yang dipenuhi oleh wanita ini.“Lurus saja. Terobos sedikit semak belukar seratus meter di depan.”Dia menoleh padaku sekilas. Karena sudah bersama sejak beberapa jam lalu, entah kenapa, aku merasa sedikit mengenalnya dengan baik.“Jangan khawatir. Terobos saja. Jika terasa sesuatu terlindas ban mobil, itu artinya ada ular atau hewan melata lainnya yang lewat. Jangan berhenti. Tetap jalan,” jelasku lagi.“Okay.”Sulit jika ingin mendengar suaranya sedikit lebih lama. Bicaranya sedikit, pelit.“Bisa kutinggal tidur?”Detik itu juga, di dalam guncangan karena jalanan berbatu, dia melotot padaku. Melotot, tapi tanpa ekspresi. Bagaimana bisa? Hanya sepasang matanya saja yang membulat.“Jangan macam-macam. Aku mungkin bisa melemparkan mobil ini ke jurang tanpa sengaja. Namun itu artinya bukan salahku, tapi salahmu.”Ucapannya setajam tatapannya. Wanita ini memang cantik di setiap kesempatan. Apa dia menyadari hal itu? Atau mungkin di usia muda seperti dia ini, akan sangat gila saat berada di atas ranjang? Berapa banyak pria yang sudah tidur dengannya?“Temani aku kalau begitu.” Sungguh aku suka saat suaranya memenuhi udara di sekitarku.Dia melirik lagi. Itu artinya penjelasan.“Temani aku dengan bicara. Bertanya atau menjawab. Lakukan itu.”Dia melirikku sekilas. “Kenapa kau mendadak melemparkan dirimu ke depan mobilku?”Ah, seketika aku menyesal membiarkan sesi tanya jawab ini berlangsung. Dia pasti cerdik. Memilih menanyakan hal itu dibandingkan hal lain. Seperti keinginan untuk bertanya tentang siapa namaku, misalnya.“Karena hanya mobilmu yang melintas saat aku berada di jalanan itu. Mudah saja jawabannya. Andai kakek tua yang kebetulan lewat, tentu sekarang dia sudah mati karena serangan jantung setelah ikut berpetualang bersamaku.”Lirikan matanya menandakan kekesalan. “Beruntung sekali kakek itu. Yang muda pun bisa mati karena serangan jantung.”“Kau benar.” Tawaku cuma sekilas. Karena sungguh, ini tidak lucu sama sekali. “Berapa usiamu, Nona?”Senyum sinisnya membuatku menaikkan alis. Apa itu pertanyaan yang tidak boleh kuajukan?“Seharusnya, kau menanyakan namaku sebelum umurku.”Ah, itu benar. Apa nama wanita di sisiku ini tidak terlalu penting untukku?“Aku ingin lebih dulu tahu berapa umurmu.”Tidak ada tawa, apalagi senyum malu-malu. Jangan harap. Aku semakin mulai mengenal siapa wanita ini.“Dua puluh lima tahun.”Apa? Sungguh, aku tahu dia memang semuda itu, tapi dua puluh lima tahun masih terlalu jauh dari perkiraanku yang lebih tua lima belas tahun darinya.Kupikir, kami hanya berbeda tujuh atau sembilan tahun.“Dan kau pasti jauh lebih tua dariku, Paman?” Dia menyeringai. Bahkan sengaja memperlihatkan wajahnya saat senyum setengah mengejek itu tergambar di sana. Penekanan pada kata ‘Paman’ entah kenapa, membuatku kesal.“Aku bukan Pamanmu. Aku Devon.” Padahal dia tidak bertanya siapa namaku, tapi aku menyebutkan nama asliku dengan mudah di depannya. Tingkahku kekanakan sekali.“Okay, Dev. Kau senang sekarang?”Oh, jantungku nyaris lepas dari tempatnya. Dev? Mudah sekali namaku terucap di bibir tipisnya yang andai menciumku, pasti tidak akan kutolak. Walau hatiku hanya untuk seseorang lain, di sana.Jangan harap dia akan menyebutkan namanya tanpa kuminta. Jadi ketika aku memerintahkan mobilku agar masuk ke halaman rumah singgahku di Oland, kucegat lengannya yang ingin meninggalkanku. Mobil miliknya sudah terlihat di kejauhan.“Kenapa?” Dia melihatku dan lengannya yang kucengkeram secara bergantian.“Siapa namamu?”Dia tertawa. “Sekarang kau penasaran siapa namaku? Karena takut aku akan melaporkanmu?”“Kau tidak akan melakukan itu.” Ah, dia masih normal ternyata. Kupikir, dia menikmati petualangan kami tanpa berpikir apa pun tentang lapor melaporkan ke pihak berwajib.“Tapi, silakan lakukan jika kau ingin. Aku tidak akan mencegahmu,” kataku lagi.“Lalu, kenapa?”Apanya?Kuperhatikan dia yang menatap kaku pada tanganku yang belum melepas dirinya.Ah, wanita ini membuatku kacau! “Aku tanya, siapa namamu? Kenapa malah membahas hal lain?”“Lila.”Hanya itu? “Lila?”“Mm-hm.” Dia mengangguk.Aku suka namanya. Bahkan menurutku, kami bertemu di saat yang tepat.“Tuan Dev!”Aku tidak berbalik meski suara mungil itu memanggil dan bergerak dari arah belakangku. Kecuali, wanita ini. Lila. Ah, ya. Lila yang malah melihat ke arah munculnya suara.Itu anak kepala pelayan di rumah ini. Yang sejak awal kedatanganku, sangat ingin menempel padaku. Terus-terusan membuatku kesal.“Tuan, Anda baik-baik saja?” Penuh kecemasan, Aura Morgan mencengkeram lenganku yang masih memegangi Lila. Aura melepaskan peganganku pada Lila, begitu saja. Lancang memang. Tapi aku enggan mendebatnya. Tidak sekarang.“Aku baik-baik saja.”“Pipi Anda berdarah.” Dengan sigap, Aura berjinjit. Memiliki selalu saputangan yang siap sedia bersamanya. Dia mengusap darah yang mulai mengering di kulitku itu secara perlahan.Aku tahu. Aura sengaja mengabaikan keberadaan Lila di belakangnya. Memunggungi Lila yang artinya tidak menganggap wanita itu ada di sana. Di antara kami.Mungkin, walau sesama wanita, Aura tidak akan tahu dengan cepat, siapa itu Lila. Bagaimana sikap Lila yang tidak pernah peduli pada apa pun. Sehingga rasanya, percuma mengabaikan karena Lila sudah lebih dulu mengabaikan orang lain.Lila bergerak tanpa permisi terlebih dulu padaku. Dia melangkah menghampiri Jack yang berjalan ke arahnya. Mereka saling bertukar kunci mobil saat sudah berhadapan.Dari sini, aku melihat tatapan Jack yang bingung. Pandangan itu tertuju untukku.Cegah dia!Tidak. Mana mungkin aku berteriak memberi perintah pada Jack tentang hal itu. Tapi, akhirnya. Aku menepis pelan tangan Aura yang masih berada di pipiku, lalu bergerak dengan setengah berlari menuju ke arah mobil SUV Lila yang mesinnya sudah menyala.Jangan pergi seenaknya. Setidaknya, kau harus pamit padaku dengan benar!Lagi, aku melompat ke depan mobilnya. Tidak menjatuhkan diri, tapi tegak berdiri.Lila baru akan pergi. Bahkan ban mobilnya belum bergerak. Kaca jendela terbuka. Dia mengeluarkan kepalanya. Tatapan itu benar-benar membuatku frustrasi.“Ada apa lagi?”Wanita ini benar-benar sesuatu. “Turun,” perintahku pelan. Tepat saat ini aku sudah berdiri di depan pintu mobilnya.Tidak ada helaan napas, keluhan atau wajah mengerut. Dia benar-benar turun dari mobil tanpa ekspresi apa pun yang terlukis di wajahnya.Wanita ini setenang air di permukaan danau. Hebatnya, dia membuatku panas karena kesal. Aku yakin, bersandiwara itu sulit. Apalagi, bila terlihat sampai sebagus ini.Kurasa, Lila tidak sedang bermain peran. Seperti inilah dia. Memang begitu adanya.“Ada apa, Dev?”Suaranya bagai menendang hancur setengah dari pertahananku. Tidak, Dev! Jangan lemah! Kau pria yang mampu menghabisi nyawa siapa pun setiap hari, tanpa rasa bersalah. Menghadapi wanita yang baru kau kenal bukanlah apa-apa. Tidak mustahil untukmu melakukannya.“Kau akan pergi?” tanyaku akhirnya. Bertahan dalam nada suaraku yang datar.“Ya.”Tatapannya menembusku tanpa ragu-ragu. Andai seorang pria, mungkin akan kuajak dia untuk ikut bergabung bersamaku. Menjadi bawahan setiaku.“Kau lelah. Minum teh atau makanlah sesuatu sebelum pergi.”Rupanya, tidak perlu membujuknya secara berlebihan. Karena dia langsung mengangguk. Sesederhana itu.Apa dia akan tetap tinggal bila aku mengatakan hal-hal sederhana lain padanya?Kuberi isyarat pada Jack saat raut wajah bawahanku itu bingung menatapku, yang berjalan melewatinya sambil mengekori Lila.Aura mendelik tidak suka tanpa suara. Dia akhirnya bertingkah genit kembali ke sisiku.“Aura, siapkan camilan dan teh untuk tamuku. Antarkan ke ruanganku.”“Ruangan Anda, Tuan?” Kepala mungilnya miring ke kanan.“Ya, ruanganku.” Memang tidak pernah ada yang kubiarkan masuk ke sana, selain Otis dan Jack. “Seperti biasa. Ketuk pintunya dan tetap berdiri di depan pintu.”“Tuan Dev—”“Kebiasaan pelayan lain juga berlaku untukmu, Aura.” Aku tidak suka membuatnya merasa di atas awan. Diperlakukan istimewa, walau ibunya adalah pelayan paling dipercaya oleh keluargaku, tidak akan pernah kulakukan padanya.Lila berhenti di depan pintu samping yang besar. Seharusnya, itu jadi garasi mobil, tapi aku lebih suka menjadikannya lorong untuk masuk ke ruang kerjaku. Terhubung secara langsung, walau tidak akan mudah begitu saja bagi orang asing kuizinkan masuk.“Dari mana kau tahu kita akan melewati pintu ini?” Kudorong pintu dengan cepat, membuka dan membiarkannya masuk lebih dulu.“Hanya perkiraan sementara.”Aku ingin tertawa mendengar jawabannya. Apa sulit untuk menjawab dengan bahasa yang tidak perlu bertele-tele? Padahal, usianya masih muda. Namun terkadang ucapan yang keluar dari mulutnya, terdengar seperti wanita tua.Kami tiba di depan pintu kerjaku. Dia tidak bertanya. Malah aku yang penasaran merasa harus bertanya.“Kau pernah ke tempat seperti ini sebelumnya?”Dia menggeleng. Melirikku sekilas. Bicara dengan bibirnya yang tidak terbuka terlalu lebar. “Di rumahku juga banyak terdapat ruang rahasia ayahku. Jadi, kurasa, satu ruang rahasiamu mewakili tentang rasa ingin tahu.”Sekarang, aku benar-benar tertawa. “Kenapa kau mulai bicara seperti wanita tua, Lila?”“Terkadang aku begitu.”Aku ingin coba menyentuh Lila, tapi kuurungkan saat wajah wanita yang seharusnya kusentuh, lewat di depan mataku. Mencegahku untuk bersikap tidak setia. Jangan, Dev! Kau tidak akan bisa berhenti, jika berani memulainya sekarang.—Lila WinterMenikmati scone dan teh, tidak membuatku lupa bahwa ini bukan di rumah.Selera pria bernama Devon ini memang luar biasa. Ruangan kerja yang dominan dengan warna kayu. Rapi, namun tampak misterius. Terkesan ketinggalan zaman, tapi bernilai seni tinggi.“Kau seharusnya membersihkan dirimu dulu sebelum pulang.” Pria dewasa yang memang lebih cocok dipanggil hot uncle itu, berdiri di sampingku. Dekat pegangan kursi kayu berukir.“Aku tidak apa-apa.” Kuletakkan cangkir tehku kembali tanpa mengalihkan pandanganku darinya.“Orang tuamu akan bertanya kenapa penampilanmu seperti itu.”“Memangnya, seperti apa?” Sekarang, aku mengambil scone kedua. Rencananya, aku akan menghabiskannya sampai tidak bersisa di piring.Si hot uncle ini tiba-tiba duduk di sisiku. Membuatku terkejut dan menjatuhkan scone yang belum masuk ke mulutku.“Oh, maaf! Hei, hei. Jangan pungut!” Dia ikut menunduk, ketika aku siap memungut scone yang jatuh.Maksudku, agar segera kubuang, bukan kumasukkan ke mulutku.
—Lila WinterKepergian Ruby ke Graswall, meninggalkan tanggung jawab yang ditimpakan si gadis sialan itu padaku.Karena enggan menghubungi paman Eddie seperti pesan ibu, ayahnya Ruby itu mendatangiku ke rumah, ketika sarapan pagiku masih setengah jalan.Tidak tahu pasti ada konflik apa di masa lalu, antara ayah dan paman Eddie, mereka selalu terlihat canggung satu sama lain. Itu pun terjadi pagi ini di meja makan kami.Walau ayah menerima kedatangannya dengan tangan terbuka.“Apa? Peran untuk musik video?”“Ya. Hanya untuk satu lagu saja, Lila. Peluncuran albumnya tidak bisa ditunda sampai beberapa waktu. Musik videonya harus rilis bersamaan besok. Pengambilan gambar sebaiknya diselesaikan sore ini.”Jadi, apa urusannya denganku? Tidak kukatakan, tapi kutatap saja ayahnya Ruby ini dengan segala kebingungan. Agar dia paham, bahwa aku tidak ingin disangkutpautkan.“Bacalah ini.” Paman Eddie menyodorkan secarik kertas berisi tulisan tangan. Itu tulisan tangan Ruby. Si bocah sialan. Dia s
—Devon WoodyBayangan keseluruhan diri Lila masih terus mengganggu pikiranku. Sebenarnya, aku kesal. Mendadak setiap kali ingin memejamkan mata, penampakan bibirnya yang sedang memanggilku, benar-benar terasa nyata. Bahkan suaranya ketika menyebut ‘Dev’ terus bergema di dalam kepalaku.Ini tidak adil!Pada perempuan di depanku ini, aku tidak pernah merasakan yang sedemikian parahnya. Walau jelas, wanitaku ini tidak akan terkalahkan oleh siapa pun.“Tuan Devon Woody?”Aku tegak dari dudukku. Perawat memanggil. Setengah tubuhnya muncul di pintu.“Sayang, sebentar ya?” Mengecup kening wanitaku sekilas, aku bergegas keluar.“Silakan, Tuan. Dokter Viggo ingin bicara dengan Anda.” Perawat membukakan pintu ruangan dokter untukku, setelah kami tiba.“Terima kasih.” Aku duduk setelah dipersilakan.“Nyonya Esme mengalami banyak kemajuan, Tuan Devon.”Bagus! Berita yang sangat bagus! “Lalu, apa—”“Dokter! Pasien Esme Woody sudah siuman!”Aku jadi yang pertama bergerak dari dudukku. Berlari seger
—Lila WinterKami hanya saling memuaskan satu sama lain. Tidak lebih. Kurasa, dia paham tentang keperawanan yang sempat kuutarakan padanya kemarin lalu.Ponsel Dev berdering. Tepat ketika kami berpelukan setelah selesai merasa setengah terpuaskan, itu bagiku. Entah untuknya. Mungkin dia sudah puas hanya dengan mulutku saja. Aku belum. Kuakui itu.Dev menjawab panggilannya, tanpa merapikan diri. Maksudku, dia tidak peduli dengan rambutnya yang acak-acakan, kemeja kusut dan kancing kemeja bagian atasnya yang terbuka. Langsung keluar dari mobil dan berbicara ditelepon. Aku tidak mendengar apa pun dari sini. Lagipula, aku tidak peduli.Seharusnya, aku membeli ponsel sebelum pergi syuting tadi pagi. Aku lupa.“Di mana rumahmu?”Aku menatapnya yang bicara di depan pintu mobil yang terbuka. “Satu belokan lagi.” Itu rumah paman Eddie. Aku perlu ke sana untuk memastikan sesuatu. Walau Ruby tidak mungkin ada di sana. Gadis bengal itu tidak akan pulang dengan sendirinya.“Okay.” Dia malah masuk
—Lila Winter“Kau takut?” bisikku. Dan kulihat Gray mengangguk. “Yang benar saja.” Kudorong wajahnya menjauh dariku.“Lilaaa!” Seperti bocah, Gray bersiap memelukku. Malahan merengek. Di luar, Pretty Wings masih saja berusaha membuka pintu dan menggedor-gedor kaca jendela mobil.“Jangan berisik. Diam dan lihat apa yang dia lakukan pada mobilmu.” Aku mengerut marah, sekaligus menunjuk ke arah Pretty Wings yang sedang beraksi.“Lila, aku benar-benar ketakutan.” Gray memberitahuku lagi. Sangat dekat. Nyaris mencium daun telingaku.Aku memberinya ekspresi tidak tertarik. Mengabaikannya dan lebih memperhatikan apa yang sedang dikerjakan Pretty Wings di luar sana.Hei, hei. Dasar orang gila! Tiba-tiba saja dia meraih sebuah batu besar tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ah, benar-benar gila!“Gray, cepat keluar!”“Apa?”“Keluar kataku.”“Tapi—”“Kau mau dilempari batu olehnya?” Mendorongnya ke arah pintu, aku tidak tahan dengan gerak lamban dan ragu-ragu darinya.Gray akhirnya menurut setelah
—Devon Woody“Bagaimana?”“Apanya?” Kumainkan ujung rambutnya dengan santai. Tatapanku tidak mengarah padanya.“Permainan kita.”Ah, aku begitu enggan membahasnya. Sejak awal dimulai, aku terus berhati-hati. Cemas andai menyakitinya. Dia masih belum pulih benar. Aku bisa saja membuatnya kembali harus berbaring lama, andai menyerang terlalu brutal.“Cukup menyenangkan. Aku—”“Kau tampak tidak puas, Dev.” Dia menginterupsiku lewat elusannya di sekitar dadaku.“Itu wajar, bukan? Sudah lama sekali sejak terakhir kali kita melakukannya.”Jadi jangan tanya, selama dua tahun ini aku melampiaskannya pada siapa. Aku tidak akan mau menjawabnya.“Kau jadi pergi?”“Harus.”Istriku menghela napas. Entah keberatan atau tidak, sejak bangun dari koma hingga hari ini, sikapnya sedikit berubah.Dia nyaris tidak ingin lepas dariku. Walau dulu pun begitu, tapi yang ini lebih mengejutkan bagiku. Terlalu posesif.“Kenapa aku tidak boleh ikut?”Ini. Ini dia.Dulu, sebelum koma, Esme hampir tidak memiliki ke
—Lila WinterIni gila!Bagaimana caranya agar mendorong jatuh tubuh Dev dari atas tubuhku?Jari-jarinya begitu gencar mengusikku. Bahkan mulutnya itu, kurang ajar. Sangat meresahkan tubuhku.“Menyingkir, Dev. Paman Sean atau bibi Sisy bisa datang tiba-tiba.”Dev tidak juga mau berhenti. “Tenang. Mereka tidak mungkin naik ke atas sini.”“Seenaknya kau bicara. Minggir!” Kutendang dia dengan sisa kekuatanku.Bunyi berdebam membuatku sedikit tenang. Dia jatuh dengan tawa yang terdengar marah.“Jangan memaksaku lagi.” Cepat-cepat kupakai kembali hotpants denim-ku. Tidak terburu, tenang tanpa gerak amarah.Tawa Dev belum berhenti. Kali ini dia terbahak-bahak. Merebahkan diri ke tempat tidur, lalu menahan lenganku yang baru saja selesai menutupi bokong dan celana dalamku dengan hotpants. “Apa kau mengira aku akan berhenti?”“Aku tahu kau tidak bisa berhenti sebelum mendapatkan keperawananku.”Kilatan di mata Dev menyiratkan banyak arti. “Benar. Sampai kudapatkan atas dasar keinginanmu sendir
—Lila Winter“Gadis ini ... penyanyi pendatang baru itu, ‘kan?”Aku mengangguk membenarkan ucapan si penjaga studio, berharap. “Apa Anda melihatnya datang ke sini?”“Tidak.” Dia menggeleng dengan raut wajah serius. “Aku melihatnya di televisi.”Mendengar jawabannya, kukepalkan tanganku diam-diam, sementara Gray nyaris menyemburkan tawa.Kami keluar dari studio Arcade. Tujuannya untuk pulang ke tempat masing-masing.Aku sungguh tidak tahu, sampai Gray berteriak dan memeluk tubuhku. Bahkan seperti ada tubuh lain lagi yang melindungi kami dari sesuatu yang jatuh dari langit.Mataku tidak tertutup. Terbuka, tapi dengan tatapan yang kosong. Suara-suara di sekitarku semakin ramai terdengar. Riuh penuh kekhawatiran.Gray pingsan. Pelukannya pada tubuhku tetap erat, sampai kurasakan ada yang membawanya menjauh dariku.“Nona, kau baik-baik saja?” Sentuhan di pundakku terasa begitu jauh.Aku cuma mengangguk. Lalu memperhatikan dan mencerna apa yang baru saja terjadi.“Panggil ambulans, cepat!”