Share

Chapter 3

last update Terakhir Diperbarui: 2024-02-21 18:37:54

—Devon Woody

Kulirik sekilas wajahnya dari samping. Jujur, dia cantik dan menggairahkan. Masih muda, segar, sangat menawan.

Kejantananku ikut liar sejak tadi, ketika dia duduk di atas pangkuanku. Namun, hebatnya, aku selalu bisa menjaga diriku. Hatiku, cintaku.

“Kita harus pergi dari sini. Hujannya semakin deras.” Aku memberitahunya. Seperti tersadar dari lamunan, tubuhnya yang canggung bergerak menjauhiku dengan cekatan.

“Okay.” Santai. Dingin. Tidak terbaca.

Banyak kelebihan yang tergambar jelas pada diri wanita muda ini. Mungkin dia lebih cocok jadi adik dari salah satu teman-temanku atau bahkan keponakan mereka.

Jelas dari wajahnya pun, dia tampak semuda itu.

Rambut hitam melewati bahu dengan warna mata yang sama pekatnya.

Dia tidak ragu atau canggung saat membantuku berjalan. Padahal, Otis dan Jack ada di sini. Jauh lebih bisa diandalkan.

“Ambil mayat di dekat semak-semak, berikan pada Tyga.” Sambil memberi perintah, aku menangkap keterkejutan di sepasang mata gelapnya itu, walau tidak bisa kubaca ekspresi apa pun di wajahnya.

“Jangan lupa juga untuk mengeluarkan mobil Nona ini dari semak-semak.” Kembali memberi perintah, kurasakan tubuh kami merapat karena wanita ini menghindari genangan air di dekat kakinya.

Kami tiba di pinggir hutan. Tempat Otis memarkir jeep milikku.

Wanita ini melepasku setelah jarak kami dengan mobilku sudah dekat.

Dia berdiri tidak jauh dari mobilku. Tidak mendekat.

“Kau akan menunggu mobilmu di sini?”

Dia mengangguk. Bahkan anggukkannya terlihat pelit. Sangat singkat.

“Tyga kadang suka berkeliaran sampai ke pinggiran hutan, walau tidak keluar dari wilayah ini. Dua anak buahku pasti akan meninggalkanmu sendirian di sini bersama mobilmu. Apa menurutmu, kau akan baik-baik saja?”

Lihatlah. Betapa mempesonanya tatapan sedingin es itu. Seakan memberi jawaban yang pasti bahwa dirinya tidak kenal takut. Tidak peduli apa pun. Meski aku tahu dan bisa merasakan, tubuhnya selalu gemetar di saat bahaya datang.

“Aku akan ikut denganmu kalau begitu. Kau bisa minta mereka mengantarkan mobilku ke tempat di mana aku turun nanti.” Dia berjalan mendekat. Benar-benar tidak terlihat sedang gelisah, padahal jelas sekali dia ketakutan. Wanita muda yang luar biasa.

Tangannya merebut kunci jeep dariku. “Aku pengemudi yang baik.”

“Senang mendengarnya.” Alih-alih mengatakan hal yang bertolak belakang dari keinginan hatiku, kubiarkan dia masuk dan duduk di balik kemudiku.

Padahal, selama jeep itu menjadi milikku, hanya boleh aku atau Jack yang mengemudikannya.

Sekarang, bahkan seorang wanita kubiarkan menjinakkan mobil kesayanganku itu.

Dia memang mahir. Selalu fokus. Tidak banyak bicara.

Tidak mirip dengan seseorang dan aku juga bukan sengaja mengingatnya ketika melihat wanita ini.

Bukan tentang ‘dia mengingatkanku pada seseorang’ bukan, karena memang tidak ada yang mirip di antara mereka berdua. Hanya membandingkan, sedikit.

“Lurus atau belok?”

Aku tidak sadar. Dia mengemudi sudah sejauh itu. Atau sebenarnya aku yang terlalu menikmati isi kepalaku yang dipenuhi oleh wanita ini.

“Lurus saja. Terobos sedikit semak belukar seratus meter di depan.”

Dia menoleh padaku sekilas. Karena sudah bersama sejak beberapa jam lalu, entah kenapa, aku merasa sedikit mengenalnya dengan baik.

“Jangan khawatir. Terobos saja. Jika terasa sesuatu terlindas ban mobil, itu artinya ada ular atau hewan melata lainnya yang lewat. Jangan berhenti. Tetap jalan,” jelasku lagi.

“Okay.”

Sulit jika ingin mendengar suaranya sedikit lebih lama. Bicaranya sedikit, pelit.

“Bisa kutinggal tidur?”

Detik itu juga, di dalam guncangan karena jalanan berbatu, dia melotot padaku. Melotot, tapi tanpa ekspresi. Bagaimana bisa? Hanya sepasang matanya saja yang membulat.

“Jangan macam-macam. Aku mungkin bisa melemparkan mobil ini ke jurang tanpa sengaja. Namun itu artinya bukan salahku, tapi salahmu.”

Ucapannya setajam tatapannya. Wanita ini memang cantik di setiap kesempatan. Apa dia menyadari hal itu? Atau mungkin di usia muda seperti dia ini, akan sangat gila saat berada di atas ranjang? Berapa banyak pria yang sudah tidur dengannya?

“Temani aku kalau begitu.” Sungguh aku suka saat suaranya memenuhi udara di sekitarku.

Dia melirik lagi. Itu artinya penjelasan.

“Temani aku dengan bicara. Bertanya atau menjawab. Lakukan itu.”

Dia melirikku sekilas. “Kenapa kau mendadak melemparkan dirimu ke depan mobilku?”

Ah, seketika aku menyesal membiarkan sesi tanya jawab ini berlangsung. Dia pasti cerdik. Memilih menanyakan hal itu dibandingkan hal lain. Seperti keinginan untuk bertanya tentang siapa namaku, misalnya.

“Karena hanya mobilmu yang melintas saat aku berada di jalanan itu. Mudah saja jawabannya. Andai kakek tua yang kebetulan lewat, tentu sekarang dia sudah mati karena serangan jantung setelah ikut berpetualang bersamaku.”

Lirikan matanya menandakan kekesalan. “Beruntung sekali kakek itu. Yang muda pun bisa mati karena serangan jantung.”

“Kau benar.” Tawaku cuma sekilas. Karena sungguh, ini tidak lucu sama sekali. “Berapa usiamu, Nona?”

Senyum sinisnya membuatku menaikkan alis. Apa itu pertanyaan yang tidak boleh kuajukan?

“Seharusnya, kau menanyakan namaku sebelum umurku.”

Ah, itu benar. Apa nama wanita di sisiku ini tidak terlalu penting untukku?

“Aku ingin lebih dulu tahu berapa umurmu.”

Tidak ada tawa, apalagi senyum malu-malu. Jangan harap. Aku semakin mulai mengenal siapa wanita ini.

“Dua puluh lima tahun.”

Apa? Sungguh, aku tahu dia memang semuda itu, tapi dua puluh lima tahun masih terlalu jauh dari perkiraanku yang lebih tua lima belas tahun darinya.

Kupikir, kami hanya berbeda tujuh atau sembilan tahun.

“Dan kau pasti jauh lebih tua dariku, Paman?” Dia menyeringai. Bahkan sengaja memperlihatkan wajahnya saat senyum setengah mengejek itu tergambar di sana. Penekanan pada kata ‘Paman’ entah kenapa, membuatku kesal.

“Aku bukan Pamanmu. Aku Devon.” Padahal dia tidak bertanya siapa namaku, tapi aku menyebutkan nama asliku dengan mudah di depannya. Tingkahku kekanakan sekali.

“Okay, Dev. Kau senang sekarang?”

Oh, jantungku nyaris lepas dari tempatnya. Dev? Mudah sekali namaku terucap di bibir tipisnya yang andai menciumku, pasti tidak akan kutolak. Walau hatiku hanya untuk seseorang lain, di sana.

Jangan harap dia akan menyebutkan namanya tanpa kuminta. Jadi ketika aku memerintahkan mobilku agar masuk ke halaman rumah singgahku di Oland, kucegat lengannya yang ingin meninggalkanku. Mobil miliknya sudah terlihat di kejauhan.

“Kenapa?” Dia melihatku dan lengannya yang kucengkeram secara bergantian.

“Siapa namamu?”

Dia tertawa. “Sekarang kau penasaran siapa namaku? Karena takut aku akan melaporkanmu?”

“Kau tidak akan melakukan itu.” Ah, dia masih normal ternyata. Kupikir, dia menikmati petualangan kami tanpa berpikir apa pun tentang lapor melaporkan ke pihak berwajib.

“Tapi, silakan lakukan jika kau ingin. Aku tidak akan mencegahmu,” kataku lagi.

“Lalu, kenapa?”

Apanya?

Kuperhatikan dia yang menatap kaku pada tanganku yang belum melepas dirinya.

Ah, wanita ini membuatku kacau! “Aku tanya, siapa namamu? Kenapa malah membahas hal lain?”

“Lila.”

Hanya itu? “Lila?”

“Mm-hm.” Dia mengangguk.

Aku suka namanya. Bahkan menurutku, kami bertemu di saat yang tepat.

“Tuan Dev!”

Aku tidak berbalik meski suara mungil itu memanggil dan bergerak dari arah belakangku. Kecuali, wanita ini. Lila. Ah, ya. Lila yang malah melihat ke arah munculnya suara.

Itu anak kepala pelayan di rumah ini. Yang sejak awal kedatanganku, sangat ingin menempel padaku. Terus-terusan membuatku kesal.

“Tuan, Anda baik-baik saja?” Penuh kecemasan, Aura Morgan mencengkeram lenganku yang masih memegangi Lila. Aura melepaskan peganganku pada Lila, begitu saja. Lancang memang. Tapi aku enggan mendebatnya. Tidak sekarang.

“Aku baik-baik saja.”

“Pipi Anda berdarah.” Dengan sigap, Aura berjinjit. Memiliki selalu saputangan yang siap sedia bersamanya. Dia mengusap darah yang mulai mengering di kulitku itu secara perlahan.

Aku tahu. Aura sengaja mengabaikan keberadaan Lila di belakangnya. Memunggungi Lila yang artinya tidak menganggap wanita itu ada di sana. Di antara kami.

Mungkin, walau sesama wanita, Aura tidak akan tahu dengan cepat, siapa itu Lila. Bagaimana sikap Lila yang tidak pernah peduli pada apa pun. Sehingga rasanya, percuma mengabaikan karena Lila sudah lebih dulu mengabaikan orang lain.

Lila bergerak tanpa permisi terlebih dulu padaku. Dia melangkah menghampiri Jack yang berjalan ke arahnya. Mereka saling bertukar kunci mobil saat sudah berhadapan.

Dari sini, aku melihat tatapan Jack yang bingung. Pandangan itu tertuju untukku.

Cegah dia!

Tidak. Mana mungkin aku berteriak memberi perintah pada Jack tentang hal itu. Tapi, akhirnya. Aku menepis pelan tangan Aura yang masih berada di pipiku, lalu bergerak dengan setengah berlari menuju ke arah mobil SUV Lila yang mesinnya sudah menyala.

Jangan pergi seenaknya. Setidaknya, kau harus pamit padaku dengan benar!

Lagi, aku melompat ke depan mobilnya. Tidak menjatuhkan diri, tapi tegak berdiri.

Lila baru akan pergi. Bahkan ban mobilnya belum bergerak. Kaca jendela terbuka. Dia mengeluarkan kepalanya. Tatapan itu benar-benar membuatku frustrasi.

“Ada apa lagi?”

Wanita ini benar-benar sesuatu. “Turun,” perintahku pelan. Tepat saat ini aku sudah berdiri di depan pintu mobilnya.

Tidak ada helaan napas, keluhan atau wajah mengerut. Dia benar-benar turun dari mobil tanpa ekspresi apa pun yang terlukis di wajahnya.

Wanita ini setenang air di permukaan danau. Hebatnya, dia membuatku panas karena kesal. Aku yakin, bersandiwara itu sulit. Apalagi, bila terlihat sampai sebagus ini.

Kurasa, Lila tidak sedang bermain peran. Seperti inilah dia. Memang begitu adanya.

“Ada apa, Dev?”

Suaranya bagai menendang hancur setengah dari pertahananku. Tidak, Dev! Jangan lemah! Kau pria yang mampu menghabisi nyawa siapa pun setiap hari, tanpa rasa bersalah. Menghadapi wanita yang baru kau kenal bukanlah apa-apa. Tidak mustahil untukmu melakukannya.

“Kau akan pergi?” tanyaku akhirnya. Bertahan dalam nada suaraku yang datar.

“Ya.”

Tatapannya menembusku tanpa ragu-ragu. Andai seorang pria, mungkin akan kuajak dia untuk ikut bergabung bersamaku. Menjadi bawahan setiaku.

“Kau lelah. Minum teh atau makanlah sesuatu sebelum pergi.”

Rupanya, tidak perlu membujuknya secara berlebihan. Karena dia langsung mengangguk. Sesederhana itu.

Apa dia akan tetap tinggal bila aku mengatakan hal-hal sederhana lain padanya?

Kuberi isyarat pada Jack saat raut wajah bawahanku itu bingung menatapku, yang berjalan melewatinya sambil mengekori Lila.

Aura mendelik tidak suka tanpa suara. Dia akhirnya bertingkah genit kembali ke sisiku.

“Aura, siapkan camilan dan teh untuk tamuku. Antarkan ke ruanganku.”

“Ruangan Anda, Tuan?” Kepala mungilnya miring ke kanan.

“Ya, ruanganku.” Memang tidak pernah ada yang kubiarkan masuk ke sana, selain Otis dan Jack. “Seperti biasa. Ketuk pintunya dan tetap berdiri di depan pintu.”

“Tuan Dev—”

“Kebiasaan pelayan lain juga berlaku untukmu, Aura.” Aku tidak suka membuatnya merasa di atas awan. Diperlakukan istimewa, walau ibunya adalah pelayan paling dipercaya oleh keluargaku, tidak akan pernah kulakukan padanya.

Lila berhenti di depan pintu samping yang besar. Seharusnya, itu jadi garasi mobil, tapi aku lebih suka menjadikannya lorong untuk masuk ke ruang kerjaku. Terhubung secara langsung, walau tidak akan mudah begitu saja bagi orang asing kuizinkan masuk.

“Dari mana kau tahu kita akan melewati pintu ini?” Kudorong pintu dengan cepat, membuka dan membiarkannya masuk lebih dulu.

“Hanya perkiraan sementara.”

Aku ingin tertawa mendengar jawabannya. Apa sulit untuk menjawab dengan bahasa yang tidak perlu bertele-tele? Padahal, usianya masih muda. Namun terkadang ucapan yang keluar dari mulutnya, terdengar seperti wanita tua.

Kami tiba di depan pintu kerjaku. Dia tidak bertanya. Malah aku yang penasaran merasa harus bertanya.

“Kau pernah ke tempat seperti ini sebelumnya?”

Dia menggeleng. Melirikku sekilas. Bicara dengan bibirnya yang tidak terbuka terlalu lebar. “Di rumahku juga banyak terdapat ruang rahasia ayahku. Jadi, kurasa, satu ruang rahasiamu mewakili tentang rasa ingin tahu.”

Sekarang, aku benar-benar tertawa. “Kenapa kau mulai bicara seperti wanita tua, Lila?”

“Terkadang aku begitu.”

Aku ingin coba menyentuh Lila, tapi kuurungkan saat wajah wanita yang seharusnya kusentuh, lewat di depan mataku. Mencegahku untuk bersikap tidak setia. Jangan, Dev! Kau tidak akan bisa berhenti, jika berani memulainya sekarang.

Bab terkait

  • MAIN HATI   Chapter 4

    —Lila WinterMenikmati scone dan teh, tidak membuatku lupa bahwa ini bukan di rumah.Selera pria bernama Devon ini memang luar biasa. Ruangan kerja yang dominan dengan warna kayu. Rapi, namun tampak misterius. Terkesan ketinggalan zaman, tapi bernilai seni tinggi.“Kau seharusnya membersihkan dirimu dulu sebelum pulang.” Pria dewasa yang memang lebih cocok dipanggil hot uncle itu, berdiri di sampingku. Dekat pegangan kursi kayu berukir.“Aku tidak apa-apa.” Kuletakkan cangkir tehku kembali tanpa mengalihkan pandanganku darinya.“Orang tuamu akan bertanya kenapa penampilanmu seperti itu.”“Memangnya, seperti apa?” Sekarang, aku mengambil scone kedua. Rencananya, aku akan menghabiskannya sampai tidak bersisa di piring.Si hot uncle ini tiba-tiba duduk di sisiku. Membuatku terkejut dan menjatuhkan scone yang belum masuk ke mulutku.“Oh, maaf! Hei, hei. Jangan pungut!” Dia ikut menunduk, ketika aku siap memungut scone yang jatuh.Maksudku, agar segera kubuang, bukan kumasukkan ke mulutku.

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-21
  • MAIN HATI   Chapter 5

    —Lila WinterKepergian Ruby ke Graswall, meninggalkan tanggung jawab yang ditimpakan si gadis sialan itu padaku.Karena enggan menghubungi paman Eddie seperti pesan ibu, ayahnya Ruby itu mendatangiku ke rumah, ketika sarapan pagiku masih setengah jalan.Tidak tahu pasti ada konflik apa di masa lalu, antara ayah dan paman Eddie, mereka selalu terlihat canggung satu sama lain. Itu pun terjadi pagi ini di meja makan kami.Walau ayah menerima kedatangannya dengan tangan terbuka.“Apa? Peran untuk musik video?”“Ya. Hanya untuk satu lagu saja, Lila. Peluncuran albumnya tidak bisa ditunda sampai beberapa waktu. Musik videonya harus rilis bersamaan besok. Pengambilan gambar sebaiknya diselesaikan sore ini.”Jadi, apa urusannya denganku? Tidak kukatakan, tapi kutatap saja ayahnya Ruby ini dengan segala kebingungan. Agar dia paham, bahwa aku tidak ingin disangkutpautkan.“Bacalah ini.” Paman Eddie menyodorkan secarik kertas berisi tulisan tangan. Itu tulisan tangan Ruby. Si bocah sialan. Dia s

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-21
  • MAIN HATI   Chapter 6

    —Devon WoodyBayangan keseluruhan diri Lila masih terus mengganggu pikiranku. Sebenarnya, aku kesal. Mendadak setiap kali ingin memejamkan mata, penampakan bibirnya yang sedang memanggilku, benar-benar terasa nyata. Bahkan suaranya ketika menyebut ‘Dev’ terus bergema di dalam kepalaku.Ini tidak adil!Pada perempuan di depanku ini, aku tidak pernah merasakan yang sedemikian parahnya. Walau jelas, wanitaku ini tidak akan terkalahkan oleh siapa pun.“Tuan Devon Woody?”Aku tegak dari dudukku. Perawat memanggil. Setengah tubuhnya muncul di pintu.“Sayang, sebentar ya?” Mengecup kening wanitaku sekilas, aku bergegas keluar.“Silakan, Tuan. Dokter Viggo ingin bicara dengan Anda.” Perawat membukakan pintu ruangan dokter untukku, setelah kami tiba.“Terima kasih.” Aku duduk setelah dipersilakan.“Nyonya Esme mengalami banyak kemajuan, Tuan Devon.”Bagus! Berita yang sangat bagus! “Lalu, apa—”“Dokter! Pasien Esme Woody sudah siuman!”Aku jadi yang pertama bergerak dari dudukku. Berlari seger

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-21
  • MAIN HATI   Chapter 7

    —Lila WinterKami hanya saling memuaskan satu sama lain. Tidak lebih. Kurasa, dia paham tentang keperawanan yang sempat kuutarakan padanya kemarin lalu.Ponsel Dev berdering. Tepat ketika kami berpelukan setelah selesai merasa setengah terpuaskan, itu bagiku. Entah untuknya. Mungkin dia sudah puas hanya dengan mulutku saja. Aku belum. Kuakui itu.Dev menjawab panggilannya, tanpa merapikan diri. Maksudku, dia tidak peduli dengan rambutnya yang acak-acakan, kemeja kusut dan kancing kemeja bagian atasnya yang terbuka. Langsung keluar dari mobil dan berbicara ditelepon. Aku tidak mendengar apa pun dari sini. Lagipula, aku tidak peduli.Seharusnya, aku membeli ponsel sebelum pergi syuting tadi pagi. Aku lupa.“Di mana rumahmu?”Aku menatapnya yang bicara di depan pintu mobil yang terbuka. “Satu belokan lagi.” Itu rumah paman Eddie. Aku perlu ke sana untuk memastikan sesuatu. Walau Ruby tidak mungkin ada di sana. Gadis bengal itu tidak akan pulang dengan sendirinya.“Okay.” Dia malah masuk

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-21
  • MAIN HATI   Chapter 8

    —Lila Winter“Kau takut?” bisikku. Dan kulihat Gray mengangguk. “Yang benar saja.” Kudorong wajahnya menjauh dariku.“Lilaaa!” Seperti bocah, Gray bersiap memelukku. Malahan merengek. Di luar, Pretty Wings masih saja berusaha membuka pintu dan menggedor-gedor kaca jendela mobil.“Jangan berisik. Diam dan lihat apa yang dia lakukan pada mobilmu.” Aku mengerut marah, sekaligus menunjuk ke arah Pretty Wings yang sedang beraksi.“Lila, aku benar-benar ketakutan.” Gray memberitahuku lagi. Sangat dekat. Nyaris mencium daun telingaku.Aku memberinya ekspresi tidak tertarik. Mengabaikannya dan lebih memperhatikan apa yang sedang dikerjakan Pretty Wings di luar sana.Hei, hei. Dasar orang gila! Tiba-tiba saja dia meraih sebuah batu besar tidak jauh dari tempatnya berdiri. Ah, benar-benar gila!“Gray, cepat keluar!”“Apa?”“Keluar kataku.”“Tapi—”“Kau mau dilempari batu olehnya?” Mendorongnya ke arah pintu, aku tidak tahan dengan gerak lamban dan ragu-ragu darinya.Gray akhirnya menurut setelah

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-21
  • MAIN HATI   Chapter 9

    —Devon Woody“Bagaimana?”“Apanya?” Kumainkan ujung rambutnya dengan santai. Tatapanku tidak mengarah padanya.“Permainan kita.”Ah, aku begitu enggan membahasnya. Sejak awal dimulai, aku terus berhati-hati. Cemas andai menyakitinya. Dia masih belum pulih benar. Aku bisa saja membuatnya kembali harus berbaring lama, andai menyerang terlalu brutal.“Cukup menyenangkan. Aku—”“Kau tampak tidak puas, Dev.” Dia menginterupsiku lewat elusannya di sekitar dadaku.“Itu wajar, bukan? Sudah lama sekali sejak terakhir kali kita melakukannya.”Jadi jangan tanya, selama dua tahun ini aku melampiaskannya pada siapa. Aku tidak akan mau menjawabnya.“Kau jadi pergi?”“Harus.”Istriku menghela napas. Entah keberatan atau tidak, sejak bangun dari koma hingga hari ini, sikapnya sedikit berubah.Dia nyaris tidak ingin lepas dariku. Walau dulu pun begitu, tapi yang ini lebih mengejutkan bagiku. Terlalu posesif.“Kenapa aku tidak boleh ikut?”Ini. Ini dia.Dulu, sebelum koma, Esme hampir tidak memiliki ke

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-21
  • MAIN HATI   Chapter 10

    —Lila WinterIni gila!Bagaimana caranya agar mendorong jatuh tubuh Dev dari atas tubuhku?Jari-jarinya begitu gencar mengusikku. Bahkan mulutnya itu, kurang ajar. Sangat meresahkan tubuhku.“Menyingkir, Dev. Paman Sean atau bibi Sisy bisa datang tiba-tiba.”Dev tidak juga mau berhenti. “Tenang. Mereka tidak mungkin naik ke atas sini.”“Seenaknya kau bicara. Minggir!” Kutendang dia dengan sisa kekuatanku.Bunyi berdebam membuatku sedikit tenang. Dia jatuh dengan tawa yang terdengar marah.“Jangan memaksaku lagi.” Cepat-cepat kupakai kembali hotpants denim-ku. Tidak terburu, tenang tanpa gerak amarah.Tawa Dev belum berhenti. Kali ini dia terbahak-bahak. Merebahkan diri ke tempat tidur, lalu menahan lenganku yang baru saja selesai menutupi bokong dan celana dalamku dengan hotpants. “Apa kau mengira aku akan berhenti?”“Aku tahu kau tidak bisa berhenti sebelum mendapatkan keperawananku.”Kilatan di mata Dev menyiratkan banyak arti. “Benar. Sampai kudapatkan atas dasar keinginanmu sendir

    Terakhir Diperbarui : 2024-02-21
  • MAIN HATI   Chapter 11

    —Lila Winter“Gadis ini ... penyanyi pendatang baru itu, ‘kan?”Aku mengangguk membenarkan ucapan si penjaga studio, berharap. “Apa Anda melihatnya datang ke sini?”“Tidak.” Dia menggeleng dengan raut wajah serius. “Aku melihatnya di televisi.”Mendengar jawabannya, kukepalkan tanganku diam-diam, sementara Gray nyaris menyemburkan tawa.Kami keluar dari studio Arcade. Tujuannya untuk pulang ke tempat masing-masing.Aku sungguh tidak tahu, sampai Gray berteriak dan memeluk tubuhku. Bahkan seperti ada tubuh lain lagi yang melindungi kami dari sesuatu yang jatuh dari langit.Mataku tidak tertutup. Terbuka, tapi dengan tatapan yang kosong. Suara-suara di sekitarku semakin ramai terdengar. Riuh penuh kekhawatiran.Gray pingsan. Pelukannya pada tubuhku tetap erat, sampai kurasakan ada yang membawanya menjauh dariku.“Nona, kau baik-baik saja?” Sentuhan di pundakku terasa begitu jauh.Aku cuma mengangguk. Lalu memperhatikan dan mencerna apa yang baru saja terjadi.“Panggil ambulans, cepat!”

    Terakhir Diperbarui : 2024-03-14

Bab terbaru

  • MAIN HATI   Chapter 44

    —Lila WinterAku hamil.Tentu saja aku sudah kembali berhubungan dengan suamiku Ferdi, sejak hari itu. Dan aku yakin, ini bayi kami berdua. Darah dagingku dan Ferdi.Terkadang aku melupakan fakta yang lain, yang terasa salah, tapi selalu bisa terjadi kapan pun, di mana pun dan pada siapa pun.Devon Woody yang mendekati—ah, bukan. Bukan mendekati, tapi akan melangsungkan pernikahannya dengan sepupuku, si bodoh Ruby Marion.Itu lelucon baru, Lila! Konyol sekali melihatnya!Bukan lelucon, tapi fakta yang meresahkan. Terutama ketika perutku sudah mulai menunjukkan tanda-tanda membesar sampai aku tidak bisa melihat kedua kakiku lagi, karena tertutupi perut bulatku.“Ini bayiku, ‘kan?” bisik Dev setengah menggoda. Dia bahkan mengusap perutku dengan penuh kasih sayang. Matanya berkilat penuh harapan atau sesuatu yang lebih dari itu.Kami sedang berada di taman belakang rumah paman Eddie. Paman mengadakan pesta kecil untuk perayaan rumah baru, hadiah dari Ruby. Percuma menjadi penyanyi terken

  • MAIN HATI   Chapter 43

    —Devon WodyEsme tidak melepas tatapannya dariku, saat mendengar keinginan dan kebenaran yang kubawa padanya hari ini.“Terdengar tidak lucu.” Esme berusaha tertawa. Tawa canggung mengudara di sekelilingnya yang nyaris frustrasi. Seluruh tubuhnya mewakili perasaannya. Terlihat tidak berdaya. Hanya karena berita yang kusampaikan.‘Hanya karena?’ Hei, Dev, kau sungguh kejam!“Semua yang kuungkapkan dan yang sudah kau dengar, sama sekali bukan hal yang lucu, Esme.”Tawa itu hilang seketika. Menyisakan cuma segaris senyum miris yang dipaksakan. “Kenyataannya, kau baru mengakui hal ini setelah sekian lama berhasil membodohiku?”“Aku tidak membodohimu.” Maaf, mungkin kau merasa seperti itu selama ini. Buruk, memang. Kuakui, tidak akan kusangkal.“Tidak membodohiku, tapi kau mengikuti semua yang kukatakan seolah kau menolaknya, meski diam-diam kau memang menginginkannya, bukan?”“Ya.” Memudahkannya lebih baik dengan jawaban ya atau tidak.Esme mendengus, menggeleng-gelengkan kepalanya sejena

  • MAIN HATI   Chapter 42

    —Lila WinterSelesai sarapan, ayah memanggilku. Pembicaraan yang ingin kami lakukan. Sepagi ini, tidak ada siapa pun lagi di rumah kedua orang tuaku. Ibu yang terakhir kali kulihat, berpamitan untuk ke butik.Ray, Gray dan Ruby bahkan pergi lebih awal. Entah apa yang mereka bertiga rencanakan, yang jelas seolah hanya mereka saja yang tahu akan hal itu.“Ada yang terluka?” Pertanyaan pertama ayah setelah aku menutup pintu ruang kerjanya di belakangku.Aku menggeleng cepat. “Tidak ada luka parah. Hanya beberapa memar.”“Duduklah. Ayah akan langsung memberitahumu, karena pasti inilah yang paling ingin kau dengar secepatnya dari Ayah.” Menatapku dari kursi kerjanya, ayah mengambil satu di antara tumpukan dokumennya.Aku mendekat. Berdiri tepat di depan meja kerja ayahku. Menunggu dengan perasaan tidak tenang. Karena sejujurnya, aku tidak tahu hal apa yang ingin kuketahui secepatnya dari ayahku ini.“Bacalah. Kau harus memeriksa detailnya. Setelah itu, Ayah yang akan langsung mengantarkanm

  • MAIN HATI   Chapter 41

    —Devon WoodySisa tiga manusia lagi yang perlu kulumpuhkan untuk bisa mencapai ke atas, ke tempat Lila berada.Satu tembakan mendarat di kening pria yang ternyata berniat memukulku menggunakan balok, dari arah belakangku.Balok terjatuh bertepatan dengan kemunculan—ah, si bocah ternyata.Gray ada di sana. Berdiri tegak dan waspada pada keadaan. Pistolnya berada di sisi tubuhnya. Tergenggam seolah dia ahli dalam menggunakannya.“Ada berita buruk untukmu dan berita baik untuk Lila.” Gray si bocah, bicara dengan raut menjengkelkan.Kuabaikan rasa tidak sukaku dengan bertanya. “Ada apa?”“Ferdi masih hidup. Jadi, sebaiknya kau tahu apa yang harus kau lakukan mulai sekarang. Dia menunggu kepulangan Lila.”Apa? Masih hidup? Itu berita buruk untukku. Sangat buruk.“Urus sendiri sisanya. Aku yang akan menjemput Lila.” Berkata lagi, Gray segera berjalan mundur menjauhiku.Walau keberatan sekalipun, aku tidak bisa mencegahnya karena dua pria yang masih tersisa sudah menyerangku dengan pukulan.

  • MAIN HATI   Chapter 40

    —Lila WinterBenar. Jangan diam di tempat.Menyeka air mata, aku berdiri. Mencari cara untuk pergi dari sini, meski itu mustahil terjadi.Semua celah yang memungkinkan, terus kuperhatikan dan kuteliti. Tidak ada. Tidak ada celah yang kupikir bisa memberiku setitik harapan.Hingga satu jam terasa begitu cepat berlalu. Hanya tersisa dua puluh menit untukku yang tidak akan merubah pendirianku. Tidak untukmu, Aaron Heimir!Gemetar tubuhku. Berulang kali mondar-mandir dengan langkah tidak karuan di dalam kamar menyesakkan ini. Semakin waktunya terasa dekat, detak jantungku makin tidak karuan.Jam tua di dinding bahkan terlihat siap memberiku kejutan yang mengerikan.Mendadak, aku mendengar suara dan merasakan getaran yang membuatku semakin gemetaran. Ledakan!Seperti gempa bumi, aku panik dalam kebisuan diriku sendiri. Seakan momen di mana ledakan serta kebakaran di restoran terjadi, terulang kembali saat ini padaku.Hanya saja, kali ini aku sendirian. Tanpa Dev di sisiku.Segera, aku berl

  • MAIN HATI   Chapter 39

    —Lila WinterKurasa, aku hanya perlu bernapas dengan benar. Wajahku sudah dibenamkan berulang kali ke dalam air dingin, meski bukan air es, tetap saja itu teramat tidak menyenangkan. Perih seakan menembus paru-paruku, tidak hanya di mata dan hidung.“Jalang, sebaiknya kau bicara sebelum tuan besar turun tangan.” Peringatan pria yang sedang memegangi rambutku, mencengkeram erat hingga kepalaku terasa akan lepas dari tempatnya, membuatku yakin mereka serius sesuai dengan ancamannya.“Aku tidak paham kenapa mendadak wanita ini jadi bisu,” kesalnya lagi sambil membenamkan wajahku kembali ke dalam air. Kali ini aku berusaha menahannya dengan lebih baik. Karena apa? Karena siksaannya lebih lama dari yang sebelumnya. Kepalaku memutar ulang momen di mana tanganku memegang gagang telepon dan bicara dengan ayahku di seberang sana.“Nak, tetap bertahan selama beberapa jam. Ayah butuh sedikit lebih lama untuk mencapai tempatmu berada saat ini.”“Tapi, Ayah, aku tidak bisa meninggalkan Devon seor

  • MAIN HATI   Chapter 38

    —Devon WoodyApa pun yang Lila pikirkan adalah tentang kecurigaan.Entah sejak kapan, aku menyadarinya. Dia mencurigaiku.Walau seks kami berjalan lancar, bahkan teramat sangat lancar, kupastikan kecurigaannya padaku tidak bergeser sama sekali.Lila terlelap setelah berulang kali telinganya harus merasa terbiasa, ketika mulutku meneriakkan namanya.Turun dari ranjang dengan hati-hati, aku keluar menuju resepsionis motel untuk meminjam komputer.“Selamat pagi, Tuan. Masih terlalu pagi untuk bangun. Ada keluhan? Atau ada yang bisa kubantu?” sapanya ramah. Wanita muda seusia Lila, tampaknya.Aku tersenyum sekadarnya dengan mata fokus ke benda di sudut meja panjangnya. “Bisa aku meminjam laptopnya sebentar?”“Tentu, Tuan. Tolong tunggu sebentar.” Dia melakukan sesuatu dengan cepat, setelah akhirnya memutar benda itu agar menghadap ke arahku.“Silakan, Tuan.”“Terima kasih.” Tanpa basa-basi lain, segera mengirim email berisi pesan yang hanya aku dan si penerima saja yang tahu cara menerjem

  • MAIN HATI   Chapter 37

    —Lila Winter“Lila?”Kulihat Dev muncul dengan terengah-engah. Bergegas dia menghampiriku. Apa mungkin dia tahu bahwa Gray berhasil masuk dan menemuiku?“Kau baik-baik saja?” Malah sibuk meneliti setiap jengkal tubuhku. Menatapku cemas, lalu mendekapku erat-erat. “Ada apa?” Bertanya sambil kurasakan napasnya tidak teratur. Seakan Dev baru saja berlari sejauh ratusan meter.“Seseorang atau mungkin lebih dari itu, mencoba masuk. Padahal, keamanan yang kupasang di depan seharusnya berfungsi dengan baik. Mengirim sinyal cepat padaku. Namun kurasa, mereka terbiasa menerobos menggunakan cara yang bersih dan rapi.”Gray tidak sendiri?“Yang membuatku curiga, kenapa dia sengaja membuat kursi terjatuh, padahal tinggal sedikit lagi sampai orang itu bisa mencapai tempat di mana kita berada.”Jika penuturannya begitu, andai pemikiranku benar, Dev mencurigai sesuatu, tapi enggan mengungkapkannya padaku.Dan menurutku, Gray sengaja melakukannya untuk mengundang perhatian Dev. Membuat kami terpisah

  • MAIN HATI   Chapter 36

    —Lila WinterKuusap-usap puncak kepala hingga bagian belakang kepala Dev dengan tangan gemetar.Rasa sedihnya juga menjalar padaku. Menembus melalui kulitku, menusuk hingga ke tulang-tulangku.Air mataku ikut menetes kembali. Kesedihan, kepedihan, bahkan rasa sakitnya terasa sulit untuk menjauh.Kedua lengan Dev yang melingkar kuat di pinggangku menandakan, bahwa dia begitu ingin menyembunyikan tangisnya dariku.“Lila,” serak Dev. Kepalanya mendongak. Tatapannya mengunci tatapanku.Memang tidak kusembunyikan. Kubiarkan dia melihat air mataku. Kami sama-sama melihat tangis tanpa suara satu sama lain.“Hm?” Tanganku beralih ke wajahnya. Mengusap alis tebalnya, alih-alih menghapus air matanya.“Hatiku sakit.” Dev mengeluh. Baru kali ini kudengar.“Ya. Kita sama.” Suaraku nyaris hilang.Dev menarikku. Membuat dirinya duduk tegak, ketika tubuhku berada di atas pangkuannya. Kepalanya masuk ke bawah daguku. Bersembunyi di leherku. Kutepuk-tepuk punggungnya. Seolah sedang meninabobokan seoran

Pindai kode untuk membaca di Aplikasi
DMCA.com Protection Status