—Lila WinterTidak tahu malu.Begitulah kami. Aku tidak peduli meski lebih dewasa dari Ruby. Dan si gadis bodoh sialan ini pun, tidak tahu sopan santun untuk memilih diam daripada melawanku yang sedang memarahinya.“Aku tidak memintamu melakukannya.”“Otak bodohmu ini yang meminta bantuanku di surat yang kau tulis untuk ayahmu.” Dengan telunjuk, kutekan berulang pelipisnya.Ruby menepis tanganku dan membiarkan para penghuni kafe kecil nan kampungan ini, menatap kami dengan mata mereka yang melotot.“Teman-teman, saatnya berhenti. Ayo, kita keluar dan mencari tempat yang lebih nyaman untuk bicara.”Aku lupa bahwa Dev masih ada di sisiku. Bersama-sama denganku untuk menerima dan melihat kebodohan ini.“Lila,” bisik Dev. Dia seperti berusaha menenangkan.“Cepat berdiri dan ikut aku, sebelum kuseret kau dari sini.” Setengah membungkuk ke arah Ruby, aku berusaha memberi penekanan padanya yang selalu tidak bisa diberitahu apalagi dinasehati.Ruby menggerutu dalam mulutnya yang terkatup. Ent
—Lila WinterIni satu hari yang dijanjikan oleh Ruby padaku. Hari terakhir di tempat ini.Aku dan Dev nyaris tidak lagi saling bicara. Jika aku memang pasif sejak awal, maka dia jauh lebih pendiam dan tidak melakukan gerakan apa pun saat tanpa sengaja berhadapan denganku.“Ruby akan pergi ke panti asuhan bersama temannya itu. Kau ikut?”“Dia tidak mengajakku.” Kugelengkan kepala sekilas saja.“Kita tidak perlu diajak olehnya.”Tersenyum sinis, aku membenarkan. “Kita ke sini juga bukan karena ajakannya.”“Tepat.” Gray tersenyum dengan telunjuk teracung ke arahku.“Ikuti saja dia dari belakang.”Gray menggoyangkan sebuah kunci tanpa gantungan di depan wajahku. “Aku menyewa mobil ini dari si pemilik motel. Tarifnya murah. Kita bisa pakai sepuasnya.”Aku mengangguk. Menyembunyikan niat jahatku darinya. “Biar aku—”“Tidak, tidak.” Gray menyela seolah dia tahu apa yang akan kukatakan. “Biar aku yang mengisi bahan bakarnya. Penuh.”“Okay. Terserah kau saja.” Yang rugi bukan aku.“Aku akan me
—Devon WoodySejak tadi, aku merasa tidak tahu pasti apa yang tengah dipikirkan oleh Lila. Dia terlihat hanya terus memperhatikan pimpinan panti asuhan dengan tatapan tanpa ekspresinya itu. Tertarik? Mana mungkin. Aku yakin bukan karena hal itu. Atau bisa saja berpikiran sama sepertiku. Lila mencurigai sesuatu.“Bagaimana?” Haidan, si bocah pemusik itu, menghampiri Lila yang berdiri tegak tidak jauh dariku.“Bagus.” Lila mengacungkan ibu jarinya sekilas. Tidak berlama-lama. Bahkan tidak ada senyum di wajahnya.“Jangan tanya padanya. Kita tampil bukan untuk dia, tapi untuk anak-anak panti.” Ruby menyusul Haidan sambil menimpali dengan kalimat provokasi.Lila bahkan tidak punya waktu untuk meladeninya. Dengan tidak peduli, dia mengajak Haidan bicara seolah mereka sudah saling kenal sejak lama.“Aku perlu bicara denganmu.”Haidan langsung mengiyakan dengan pergi bersama Lila menjauhi aula tempat kami berkumpul.“Dia kenapa?” Ruby bertanya heran pada Gray. Aku dan Gray baru saja selesai b
—Lila WinterKarena kedatangan wanita itu, Dev membatalkan penerbangannya bersama kami. Dia memilih wanitanya. Tentu saja. Sangat kuingat caranya berpamitan padaku. Tidak hanya padaku, lebih tepatnya pada kami bertiga.“Teman-teman, karena istriku ada di sini, jadi kurasa aku tidak kembali pulang bersama kalian.”Yang tidak kuingat adalah jawaban Gray dan Ruby perihal penjelasannya itu.“Kau kecewa?”Dan kenapa bisa bocah ini mengganggu ketenanganku?Kami sudah di dalam pesawat menuju tempat tujuan. Pulang ke rumah.“Ruby bisa melarikan diri lagi. Kenapa dia harus duduk sendirian?”“Tenang. Sekarang dia tidak akan bisa lari ke mana pun.”Sinis kutanggapi. “Itu artinya kau harus bertaruh dengan nyawamu.”“Okay. Tidak masalah. Aku siap.”Tidak kubiarkan Gray mengajakku bicara lagi setelahnya. Terutama, perihal Dev dan sang istri. Kupejamkan mataku. Berharap tidur di perjalanan pulang jauh lebih baik, daripada ketika aku pergi.Tidak nyenyak sama sekali. Aku bahkan terbangun karena Gray y
—Devon WoodyAku tidak bermaksud menghindari apa pun. Termasuk pertanyaan tentang mereka, terutama teruntuk gadis cantikku.“Mereka masih sangat muda. Ke tiganya itu teman-temanmu? Bagaimana bisa?”Sepertinya, ini jadi pertanyaan ke empat yang diulang Esme dalam pembicaraan yang berbeda. Dia mencurigai sesuatu, hanya pintar membuat rasa penasarannya terpenuhi dengan tidak mendesakku secara terus menerus.“Bukannya aku sudah menjawabmu, Esme?” Sambil setengah tertawa, kuberikan segelas air untuknya.“Begitukah?” Dia membalas tawaku. “Jawabanmu tidak memuaskan rasa penasaranku.”“Mereka memang masih muda. Awal dua puluhan dan kami berteman.”“Bagaimana bisa?”“Hmm … aku tidak terlalu mengingat itu. Namun kurasa, ada beberapa hal yang membuat kami akhirnya berteman. Apa itu penting untukmu?” Karena mau tidak mau, aku jadi enggan membahasnya jika dia terlalu mendetailkan urusan pribadiku seperti ini.“Tidak. Seperti kataku, aku hanya penasaran saja. Selama aku koma, mungkin beberapa hal m
—Lila WinterBukan bersimpati. Tidak juga karena mengasihani, tapi aku jadi semakin dekat dengan Gray setelah kejadian di rumahnya waktu itu. Namun sungguh, tidak sekali pun kuizinkan dia menyentuhku lagi walau hanya rangkulan pundak. Tidak ketika aku dalam keadaan sadar.“Lila, apa-apaan ini?” Siang terik, Gray murka di kantin kantorku. Atau sebenarnya, tidak.“Diam. Suaramu mengganggu karyawan lain yang sedang makan siang.” Aku menginjak kakinya di bawah meja.“Jadi, kau sudah tahu tentang ini?” Dia mengabaikan peringatanku dan sibuk menunjuk-nunjuk layar ponselnya.Aku sudah tahu. Membaca dan menelusuri sumbernya, tapi tidak menemukan apa pun sampai ayahku menanyakan kebenarannya padaku sebelum jam makan siang tadi.“Tenang sedikit. Aku sedang makan.” Kuperingatkan dia dengan mengacungkan jari telunjuk di udara depan wajahnya.“Okay, okay.” Akhirnya, Gray mengunci mulutnya. Dia ikut makan siang tanpa merasa malu apalagi tahu diri.Kami berpindah ke kafe depan kantor untuk membicara
—Lila WinterSesi wawancara tidak membuatku gugup, karena aku bersedia menceritakan kenyataan, daripada apa yang dibayangkan.“Jadi rumor tentang kalian yang mengalami cinta lokasi setelah syuting musik video itu, tidak benar?”Dengan cepat aku menggeleng. Mengabaikan isyarat Gray padaku. “Tidak. Kami hanya berteman.”Anggapan ‘teman’ pun sudah cukup baik menurutku.“Bagaimana tanggapanmu tentang hal itu, Gray?”Karena itu pertanyaan untuknya, aku diam mengamati. Awas saja jika dia berani mengatakan hal yang tidak masuk akal.“Tentang gosip itu?” Dia tertawa. Terkesan bodoh dan mengulur waktu.Si wartawan atau reporter atau bahkan siapalah sebutannya itu, mengangguk sambil ikut tertawa.“Untuk saat ini kami hanya berteman. Aku tidak tahu akan seperti apa kelanjutan hubungan kami ke depannya.”Aku nyaris menginjak kakinya, jika tidak ingat bahwa tidak ada meja di antara kami yang bisa menyembunyikan perbuatanku.Pernyataannya bisa jadi mengundang gosip baru lainnya. Menambah masalah ya
—Devon WoodyTersulut emosi, aku membanting beberapa dokumen di atas meja bahkan pintu pun tidak luput dari sasaran kekesalanku.“Sayang, ada apa?” Esme masih dengan apron. Muncul di ruang tengah bersama aroma kue kering yang dipanggang.“Tidak. Tidak ada apa-apa.” Aku menggeleng sambil memunggunginya. Dia akan tahu apa yang terjadi, jika melihat wajahku.Aroma kue kering semakin terasa mendekat. Itu artinya, dia sedang berjalan menghampiriku.Dengan gerakan berusaha tidak menyinggungnya, aku berpura-pura menjawab panggilan dari ponselku dan pergi kembali ke ruangan kerjaku.Di sini, aku meredam amarah dengan menarik kursi malas milikku dan meletakkannya di pinggir jendela. Menatap keluar sana, melihat suasananya dari sini. Mengingat semua kenangan bersama Lila yang rasanya akan semakin mustahil terulang kembali.Kenapa perasaanku meraba jarak di antara kami semakin terasa jauh? Kenapa dia begitu senang menyiksaku seperti ini?“Sayang, ini teh dan kuemu.”Aku nyaris tersentak saat Esm
—Lila WinterAku hamil.Tentu saja aku sudah kembali berhubungan dengan suamiku Ferdi, sejak hari itu. Dan aku yakin, ini bayi kami berdua. Darah dagingku dan Ferdi.Terkadang aku melupakan fakta yang lain, yang terasa salah, tapi selalu bisa terjadi kapan pun, di mana pun dan pada siapa pun.Devon Woody yang mendekati—ah, bukan. Bukan mendekati, tapi akan melangsungkan pernikahannya dengan sepupuku, si bodoh Ruby Marion.Itu lelucon baru, Lila! Konyol sekali melihatnya!Bukan lelucon, tapi fakta yang meresahkan. Terutama ketika perutku sudah mulai menunjukkan tanda-tanda membesar sampai aku tidak bisa melihat kedua kakiku lagi, karena tertutupi perut bulatku.“Ini bayiku, ‘kan?” bisik Dev setengah menggoda. Dia bahkan mengusap perutku dengan penuh kasih sayang. Matanya berkilat penuh harapan atau sesuatu yang lebih dari itu.Kami sedang berada di taman belakang rumah paman Eddie. Paman mengadakan pesta kecil untuk perayaan rumah baru, hadiah dari Ruby. Percuma menjadi penyanyi terken
—Devon WodyEsme tidak melepas tatapannya dariku, saat mendengar keinginan dan kebenaran yang kubawa padanya hari ini.“Terdengar tidak lucu.” Esme berusaha tertawa. Tawa canggung mengudara di sekelilingnya yang nyaris frustrasi. Seluruh tubuhnya mewakili perasaannya. Terlihat tidak berdaya. Hanya karena berita yang kusampaikan.‘Hanya karena?’ Hei, Dev, kau sungguh kejam!“Semua yang kuungkapkan dan yang sudah kau dengar, sama sekali bukan hal yang lucu, Esme.”Tawa itu hilang seketika. Menyisakan cuma segaris senyum miris yang dipaksakan. “Kenyataannya, kau baru mengakui hal ini setelah sekian lama berhasil membodohiku?”“Aku tidak membodohimu.” Maaf, mungkin kau merasa seperti itu selama ini. Buruk, memang. Kuakui, tidak akan kusangkal.“Tidak membodohiku, tapi kau mengikuti semua yang kukatakan seolah kau menolaknya, meski diam-diam kau memang menginginkannya, bukan?”“Ya.” Memudahkannya lebih baik dengan jawaban ya atau tidak.Esme mendengus, menggeleng-gelengkan kepalanya sejena
—Lila WinterSelesai sarapan, ayah memanggilku. Pembicaraan yang ingin kami lakukan. Sepagi ini, tidak ada siapa pun lagi di rumah kedua orang tuaku. Ibu yang terakhir kali kulihat, berpamitan untuk ke butik.Ray, Gray dan Ruby bahkan pergi lebih awal. Entah apa yang mereka bertiga rencanakan, yang jelas seolah hanya mereka saja yang tahu akan hal itu.“Ada yang terluka?” Pertanyaan pertama ayah setelah aku menutup pintu ruang kerjanya di belakangku.Aku menggeleng cepat. “Tidak ada luka parah. Hanya beberapa memar.”“Duduklah. Ayah akan langsung memberitahumu, karena pasti inilah yang paling ingin kau dengar secepatnya dari Ayah.” Menatapku dari kursi kerjanya, ayah mengambil satu di antara tumpukan dokumennya.Aku mendekat. Berdiri tepat di depan meja kerja ayahku. Menunggu dengan perasaan tidak tenang. Karena sejujurnya, aku tidak tahu hal apa yang ingin kuketahui secepatnya dari ayahku ini.“Bacalah. Kau harus memeriksa detailnya. Setelah itu, Ayah yang akan langsung mengantarkanm
—Devon WoodySisa tiga manusia lagi yang perlu kulumpuhkan untuk bisa mencapai ke atas, ke tempat Lila berada.Satu tembakan mendarat di kening pria yang ternyata berniat memukulku menggunakan balok, dari arah belakangku.Balok terjatuh bertepatan dengan kemunculan—ah, si bocah ternyata.Gray ada di sana. Berdiri tegak dan waspada pada keadaan. Pistolnya berada di sisi tubuhnya. Tergenggam seolah dia ahli dalam menggunakannya.“Ada berita buruk untukmu dan berita baik untuk Lila.” Gray si bocah, bicara dengan raut menjengkelkan.Kuabaikan rasa tidak sukaku dengan bertanya. “Ada apa?”“Ferdi masih hidup. Jadi, sebaiknya kau tahu apa yang harus kau lakukan mulai sekarang. Dia menunggu kepulangan Lila.”Apa? Masih hidup? Itu berita buruk untukku. Sangat buruk.“Urus sendiri sisanya. Aku yang akan menjemput Lila.” Berkata lagi, Gray segera berjalan mundur menjauhiku.Walau keberatan sekalipun, aku tidak bisa mencegahnya karena dua pria yang masih tersisa sudah menyerangku dengan pukulan.
—Lila WinterBenar. Jangan diam di tempat.Menyeka air mata, aku berdiri. Mencari cara untuk pergi dari sini, meski itu mustahil terjadi.Semua celah yang memungkinkan, terus kuperhatikan dan kuteliti. Tidak ada. Tidak ada celah yang kupikir bisa memberiku setitik harapan.Hingga satu jam terasa begitu cepat berlalu. Hanya tersisa dua puluh menit untukku yang tidak akan merubah pendirianku. Tidak untukmu, Aaron Heimir!Gemetar tubuhku. Berulang kali mondar-mandir dengan langkah tidak karuan di dalam kamar menyesakkan ini. Semakin waktunya terasa dekat, detak jantungku makin tidak karuan.Jam tua di dinding bahkan terlihat siap memberiku kejutan yang mengerikan.Mendadak, aku mendengar suara dan merasakan getaran yang membuatku semakin gemetaran. Ledakan!Seperti gempa bumi, aku panik dalam kebisuan diriku sendiri. Seakan momen di mana ledakan serta kebakaran di restoran terjadi, terulang kembali saat ini padaku.Hanya saja, kali ini aku sendirian. Tanpa Dev di sisiku.Segera, aku berl
—Lila WinterKurasa, aku hanya perlu bernapas dengan benar. Wajahku sudah dibenamkan berulang kali ke dalam air dingin, meski bukan air es, tetap saja itu teramat tidak menyenangkan. Perih seakan menembus paru-paruku, tidak hanya di mata dan hidung.“Jalang, sebaiknya kau bicara sebelum tuan besar turun tangan.” Peringatan pria yang sedang memegangi rambutku, mencengkeram erat hingga kepalaku terasa akan lepas dari tempatnya, membuatku yakin mereka serius sesuai dengan ancamannya.“Aku tidak paham kenapa mendadak wanita ini jadi bisu,” kesalnya lagi sambil membenamkan wajahku kembali ke dalam air. Kali ini aku berusaha menahannya dengan lebih baik. Karena apa? Karena siksaannya lebih lama dari yang sebelumnya. Kepalaku memutar ulang momen di mana tanganku memegang gagang telepon dan bicara dengan ayahku di seberang sana.“Nak, tetap bertahan selama beberapa jam. Ayah butuh sedikit lebih lama untuk mencapai tempatmu berada saat ini.”“Tapi, Ayah, aku tidak bisa meninggalkan Devon seor
—Devon WoodyApa pun yang Lila pikirkan adalah tentang kecurigaan.Entah sejak kapan, aku menyadarinya. Dia mencurigaiku.Walau seks kami berjalan lancar, bahkan teramat sangat lancar, kupastikan kecurigaannya padaku tidak bergeser sama sekali.Lila terlelap setelah berulang kali telinganya harus merasa terbiasa, ketika mulutku meneriakkan namanya.Turun dari ranjang dengan hati-hati, aku keluar menuju resepsionis motel untuk meminjam komputer.“Selamat pagi, Tuan. Masih terlalu pagi untuk bangun. Ada keluhan? Atau ada yang bisa kubantu?” sapanya ramah. Wanita muda seusia Lila, tampaknya.Aku tersenyum sekadarnya dengan mata fokus ke benda di sudut meja panjangnya. “Bisa aku meminjam laptopnya sebentar?”“Tentu, Tuan. Tolong tunggu sebentar.” Dia melakukan sesuatu dengan cepat, setelah akhirnya memutar benda itu agar menghadap ke arahku.“Silakan, Tuan.”“Terima kasih.” Tanpa basa-basi lain, segera mengirim email berisi pesan yang hanya aku dan si penerima saja yang tahu cara menerjem
—Lila Winter“Lila?”Kulihat Dev muncul dengan terengah-engah. Bergegas dia menghampiriku. Apa mungkin dia tahu bahwa Gray berhasil masuk dan menemuiku?“Kau baik-baik saja?” Malah sibuk meneliti setiap jengkal tubuhku. Menatapku cemas, lalu mendekapku erat-erat. “Ada apa?” Bertanya sambil kurasakan napasnya tidak teratur. Seakan Dev baru saja berlari sejauh ratusan meter.“Seseorang atau mungkin lebih dari itu, mencoba masuk. Padahal, keamanan yang kupasang di depan seharusnya berfungsi dengan baik. Mengirim sinyal cepat padaku. Namun kurasa, mereka terbiasa menerobos menggunakan cara yang bersih dan rapi.”Gray tidak sendiri?“Yang membuatku curiga, kenapa dia sengaja membuat kursi terjatuh, padahal tinggal sedikit lagi sampai orang itu bisa mencapai tempat di mana kita berada.”Jika penuturannya begitu, andai pemikiranku benar, Dev mencurigai sesuatu, tapi enggan mengungkapkannya padaku.Dan menurutku, Gray sengaja melakukannya untuk mengundang perhatian Dev. Membuat kami terpisah
—Lila WinterKuusap-usap puncak kepala hingga bagian belakang kepala Dev dengan tangan gemetar.Rasa sedihnya juga menjalar padaku. Menembus melalui kulitku, menusuk hingga ke tulang-tulangku.Air mataku ikut menetes kembali. Kesedihan, kepedihan, bahkan rasa sakitnya terasa sulit untuk menjauh.Kedua lengan Dev yang melingkar kuat di pinggangku menandakan, bahwa dia begitu ingin menyembunyikan tangisnya dariku.“Lila,” serak Dev. Kepalanya mendongak. Tatapannya mengunci tatapanku.Memang tidak kusembunyikan. Kubiarkan dia melihat air mataku. Kami sama-sama melihat tangis tanpa suara satu sama lain.“Hm?” Tanganku beralih ke wajahnya. Mengusap alis tebalnya, alih-alih menghapus air matanya.“Hatiku sakit.” Dev mengeluh. Baru kali ini kudengar.“Ya. Kita sama.” Suaraku nyaris hilang.Dev menarikku. Membuat dirinya duduk tegak, ketika tubuhku berada di atas pangkuannya. Kepalanya masuk ke bawah daguku. Bersembunyi di leherku. Kutepuk-tepuk punggungnya. Seolah sedang meninabobokan seoran