Suara pria itu sangat dingin, peringatan yang ia berikan pada Lusia sarat dengan ancaman di saat yang bersamaan. Tanpa Lusia sadari, ia berhenti mencoba melepaskan diri.
Berada di bawah tatapan itu, membuat Lusia merasa terintimidasi dan terancam. Entah terancam karena apa.
Melihat Lusia yang berhenti mencoba meloloskan diri, laki laki itu kini menyilangkan tanganya di depan dada.
Ia secara terang terangan tengah mengamati tubuh Lusia, dan juga wajahnya. Di hujani tatapan seperti sekarang ini, membuat Lusia merasa di lecehkan.
“Apa yang kamu inginkan?!” teriak Lusia, ia beringsut menjauh, alarm di otaknya memerintahkan Lusia untuk berbuat demikian.
“Kamu.” Jawabnya dengan tenang.
Lusia menatap tajam, “Lepaskan aku!” teriak Lusia lagi.
“Tidak.” Jawabnya, “Aku sudah membelimu. Dan aku menginginkan kamu.”
***
Lusia tau ini artinya tidak baik, apa lagi saat laki – laki asing itu mulai beringsut menaiki ranjang untuk mendekatinya. Sekujur tubuh Lusia di serang kepanikan.
“Berhenti! Berhenti di sana!” teriak Lusia.
“Kenapa aku harus mendengar perintah darimu?” ucapnya dengan acuh, dan dengan sekali hentakan, tubuh Lusia tertarik mendekat. Lusia tidak bisa melawan karena tangan yang tengah mencengkram kakinya itu sangatlah kuat.
Laki – laki itu mendekatkan wajahnya, “Mau aku tunjukan? Siapa yang berkuasa dan siapa yang harusnya memerintah?” ucapnya dengan suara tenang dan dingin. Dan itu membuat Lusia merinding.
***
Lusia ketakutan, tak bisa bohong, mata pria itu mengintimidasinya. Apalagi dia berada di posisi yang sangat superior. Menindihnya, Lusia tak ayalnya seperti binatang buruan yang sudah cedera dan hanya menunggu untuk di kerek.
“Kamu bajingan.”
Entah keberanian dari mana, Lusia berani mengatakan kata makian itu. Kening pria itu berkerut. Tak menyangka kata kasar itu akan keluar dari mulut gadis manis seperti Lusia.
Namun, alih alih kemarahan, pria itu malah tersenyum puas.
“Penampilan memang tidak menjamin sikap seseorang.” Ucapnya, mencemooh Lusia secara terang terangan.
Lusia tersinggung karena sekarang, derajatnya sudah turun lebih jauh lagi di mata pria ini. Tapi Lusia tidak akan memperdulikan itu, ia harus mempertahankan apa yang harus di pertahankan. Kesuciannya.
“Menjauh dariku! Sekarang!!!” Lusia meronta mencoba untuk meloloskan diri, pemberontakan secara tiba – tiba itu tak membuahkan hasil. Meski pria itu sedikit terkejut, namun ia berhasil mengikat kedua kaki Lusia ke sisi ranjang dan membuat kaki Lusia terbuka di posisi yang membahayakan.
Lusia semakin panik dan meronta makin kuat, tangannya kini sudah di cengkeram dan ia tak bisa menyerang pria yang mendominasi di atas tubuh lemahnya ini.
Dengan sekali sentak, gaun yang Lusia kenakan di sibakan dan tak lagi bisa menutupi apa yang harusnya di tutupi.
“Tolong jangan.... “ rintih Lusia untuk yang terakhir kalinya, karena penghalang itu di sobek dengan mudahnya. Air mata Lusia menetes saat permintaan penuh keputus asaanya tak di dengar, pria itu malah mulai melepaskan kancing kemeja yang ia kenakan. Membuka penutup tubuhnya sendiri dan memperlihatkan tubuh yang terpahat sempurna. Otot otot liat layaknya laki – laki gagah.
“Aku membelimu, dan ini adalah balasan yang harus kamu lakukan... “ ucap pria itu dengan penuh arogansi.
“Aku tidak pernah menjual diriku sendiri!” bantah Lusia dengan suara keras, di saat tubuhnya tak bisa melawan, hanya bibirnya yang bisa terus menyeruakan perlawanan.
“Nyatanya aku sudah membelimu, dengan harga yang sangat mahal.” Bantah pria itu. kini ia melepaskan celana yang ia kenakan. Bagian paling inti di tubuh pria itu tak di tutupi lagi.
Lusia hanya melotot saat tau kalau pria itu sedang di puncak gairah. Dan melihat betapa besarnya gairah itu, Lusia tak ingin membayangkan bagaimana rasanya.
Pria itu mendekat dan bertatapan dengan Lusia. Wajah mereka sangatlah dekat dan hanya berjarak dua jari.
“Aku akan menghukum mulutmu dahulu.”
Dan secepat kilat, bibir Lusia di dominasi dengan rasa asing yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Pagutan bibir yang membuat Lusia kehilangan orientasi, membuat Lusia terbuai dan setelah rasa itu menghilang di gantikan dengan rasa sakit luar biasa.
Lusia menyecap rasa asin bercampur aroma amis dari bibirnya. Di gigit hingga berdarah oleh pria bajingan itu.
Ia mengusap bibirnya, terlihat puas dengan ekspresi Lusia yang seperti kehilangan separuh jiawanya.
“Itu, adalah hukuman paling ringan yang pernah aku berikan.”
Ucapan itu seperti janji pada kegelapan. Dan setelah memberi tau konsekwensi atas tindakan Lusia. Pria itu tak lagi menahan gairahnya, ia menutup penutup terakhir yang menempel di tubuhnya. Memasuki Lusia tanpa aba – aba dan gadis itu mengerang. Merasakan penyatuan yang di paksakan.
***
Lusia tak punya kendali akan tubuhnya. Ia membiarkan Aaron menghujam masuk dan berkali – kali menyentuh tiap jengkal tubuhnya. Suara Lusia sudah habis. Tenggorokannya perih tak menyisakan suara untuk sebuah pemberontakan.
Dan begitu Aaron berhenti bergerak, laki – laki itu sudah selesai. Ia mendapatkan apa yang ia inginkan. Dan dengan cepat, ia amburk menindih tubuh mungil Lusia. Air mata Lusia jatuh melewati pipi dan membasahi rambutnya.
Lusia tak bisa berhenti menangis, dan saat tubuh Aaron bangkit dari ranjang, Lusia memalingkan wajahnya. Ia sangat membenci laki – laki ini. Lusia bersumpah, akan membencinya sampai mati.
Sedangkan laki – laki itu, Aaron.
Ia mengamati wajah Lusia dengan tenang sembari menyibakan rambutnya yang basah akan keringat. Aaron sudah sangat paham apa yang tengah di rasakan wanita di bawahnya ini. Aaron sudah sering melakukan ini. Tapi bukan tanpa alasan Aaron terus menerus melakukan hal seperti ini.
dengan ekor matanya, Lusia melihat pria itu beringsut dari ranjang. Nampak tak peduli dengan keberadaanya. Bahkan pria yang tak di tutupi apa – apa itu, dengan santainya memunguti pakaiannya di lantai untuk ia kenakan kembali.
Setelah itu, Lusia tak perlu repot repot mengamati pria itu lagi.
Sedangkan Aaron, setelah ia berpakaian, ia meninggalkan Lusia begitu saja.
Dengan gaun yang masih tersibak dan membuat Lusia setengah telanjang. Gaun yang kini telah berubah warna, mendapatkan bercak merah dari darah Lusia.
Lusia takan bisa tertidur setelah apa yang sudah terjadi padanya. Rasa sakit di sekujur tubuhnya dan juga hatinya. Menjadi yatim piatu bukan keinginan Lusia. Dan semua kejadian buruk ini.
Lusia memejamkan matanya untuk memeras sisa air matanya. Sampai kapan kemalangan ini akan berakhir?
“Aku ingin mati saja....” rintih Lusia dengan suara lirih yang hampir tak terdengar di ruangan luas ini.
Dan Lusia melirik pria itu, ia sudah berada di ambang pintu, hendak meninggalkan kamar ini.
Dia tidak tidur di sini. Batin Lusia, entah kenapa Lusia sedikit merasa lega.
Dan suara debuman pintu yang sangat keras membuat Lusia bernafas lega.
Lusia terus meratapi nasib buruknya. Hingga kayu – kayu di pendiangan itu terbakar sepenuhnya dan cahaya di kamar itu meredup. Waktu yang cukup lama. Barulah, rasa sakit dan rasa lelah yang Lusia rasakan, menuntun gadis malang itu untuk terpejam di mimpinya.
@@@
Aaron masih terpejam. Meski sudah banyak cara ia lakukan untuk bisa tertidur, nyatanya Aaron masih tak bisa. Ia sudah mandi dan berganti pakaian. Ada rasa asing yang mengusik dan terus mengganggu Aaron.
Hingga Aaron bangkit dari ranjang, Aaron memilih untuk tidak beristirahat sepenuhnya. Ia menatap ke arah jendela yang gordenya di sibakan. Cahaya Fajar sudah terlihat. Semburat keemasan yang sangat pekat itu sudah muncul meski belum memanipulasi cakrawala.
Bahkan meski sudah semalaman Aaron memikirkannya, ia masih tak mengerti, apa yang menghantuinya semalaman ini.
Jerit tangis wanita semalam itu? Batin Aaron menduga – duga.
Tidak mungkin.
“Aku ingin mati saja....” rintih Lusia dengan suara lirih yang hampir tak terdengar di ruangan luas ini. Dan Lusia melirik pria itu, ia sudah berada di ambang pintu, hendak meninggalkan kamar ini. Dia tidak tidur di sini. Batin Lusia, entah kenapa Lusia sedikit merasa lega. Dan suara debuman pintu yang sangat keras membuat Lusia bernafas lega. Lusia terus meratapi nasib buruknya. Hingga kayu – kayu di pendiangan itu terbakar sepenuhnya dan cahaya di kamar itu meredup. Waktu yang cukup lama. Barulah, rasa sakit dan rasa lelah yang Lusia rasakan, menuntun gadis malang itu u
“Lain kali, berjalanlah yang cepat.” Aaron mulai mengomel saat Lusia sudah berada di depan pintu kamar mandi. Aku sudah berjalan sangat cepat sampai melampaui batas kemampuanku. Batin Lusia membela diri. Tapi yang Lusia lakukan malah sebaliknya, ia memberikan tatapan penuh peperangan pada Aaron dari balik pintu. “Kamar ini yang terlalu luas.” Bantah Lusia. Dan ia menutup pintu, tepat di depan wajah Aaron. Lusia tak akan lupa, ekspresi keterkejutan Aaron saat mendengar ja
Begitu Lusia keluar dari kamar mandi, ia sudah mengenakan jubah kamar mandi yang kebesaran. Baru saja ia melangkah mendekati ranjang, Lusia sudah di kejutkan dengan keberadaan orang asing lain. Seorang perempuan yang sudah berumur, mengenakan pakaian biasa dan menunduk pelan saat melihat Lusia. “Anda sudah selesai?” tanya wanita itu. Lusia tak urung menjawab, ia masih larut dalam keterkejutannya. Sampai akhirnya ia tersadar, Lusia hanya mengangguk pelan. Wanita itu menatap Lusia dengan p
Tapi sebelum Emma keluar, Emma menatap Lusia penuh kekhawatiran. “Ingat ucapan saya baik – baik, patuhlah pada Tuan Aaron.” Setelah mengatakan itu, Emma benar – benar keluar dan tak lagi muncul. Sedangkan Lusia masih berdiri tanpa pilihan. Ia belum bisa mengambil keputusan. Harga dirinya yang sangat tinggi, meski kesuciannya sudah terampas menolak untuk patuh terhadap Aaron. “Dia akan bosan dalam beberapa bulan... “ bisik Lusia dengan mata terpejam. Lusia berusaha me
“Emma? Bolehkan aku bertanya?” Lusia nampak ragu – ragu menayakan isi pikirannya. Namun Emma mengangguk, “Silahkan, asalkan saya bisa menjawab. Akan saya jawab.” Ucap Emma menyanggupi. Lusia meneguk ludahnya, “Kalau bukan kamu yang mepeepaskan ikatan di kakiku, lantas siapa?” “Saya tidak tau Nona.” Jawaban Emma justru membuat wajah Lusia memucat. Lantas? Siapa? Apakah mungkin kalau itu adalah Aaron? “Kalau tidak ada lagi yang ingin anda tanyak
Aaron mendekat ke lemari pakaianya yang super besar. Bahkan Lusia baru menyadari, kalau kamar Aaron ini sangatlah luas. Semua barang – barang yang berada di sini, seperti di desain dengan ukuran besar agar ruangan ini tak nampak kosong. Aaron mengancingkan kemejanya, perlahan dan akhirnya selesai. Lusia yang sejak tadi memilih menatap keluar jendela mendengar Aaron memanggilnya. “Hei!” seru Aaron. Lusia langsung refleks dan menengok ke arah Aaron, sembari menahan nafas. “Aku mau memaka
“Mau tidak mau, kamu harus menerima tawaran itu. Karena setelah kamu keluar dari sini, musuh – musuhku akan melihatmu dan menjadikanmu objek.” Gerakan meronta Lusia terhenti, apa lagi kali ini? Bahkan, kalau Lusia berhasil keluar dari sini? Ia akan masuk ke dalam kumpulan penjahat lainnya? Begitu maksud Aaron? Lusia mengatupkan bibirnya dengan sangat rapat. Aaron sangat konsisten dengan wajah tanpa ekspresi – nya. “Dan asalkan kamu tau, meskipun mereka mengira kamu sasaran empuk sekalipun. Aku tidak akan kehilangan apa – apa seandainya mereka membunuhmu.”
“Lantas, pekerjaan apa yang membuat Tuan Aaron harus mendapatkan banyak musuh, Emma?” “Itu penjelasan yang berada di luar kewenangan saya. Kalau Nona ingin tau jawabanya, silahkan Nona bertanya pada Tuan Aaron secara langsung.” Mustahil. Bantah Lusia di dalam hati. Meski suara Emma terdengar sangat tenang, suara itu justru berbanding terbalik dengan ekspresi yang Emma tunjukan. Ekspresi tak suka yang di campur tatapan tajam pada Lusia, Lusia yang tak menyangka akan mendapatkan reaksi seperti itu. Lusia membungkam mulutnya, mungkin kali ini ia sudah melewati batas hanya demi mendapatkan secuil informasi.&nbs