Share

4

Author: Elios
last update Last Updated: 2024-10-29 19:42:56

Suara pria itu sangat dingin, peringatan yang ia berikan pada Lusia sarat dengan ancaman di saat yang bersamaan. Tanpa Lusia sadari, ia berhenti mencoba melepaskan diri.

                Berada di bawah tatapan itu, membuat Lusia merasa terintimidasi dan terancam. Entah terancam karena apa.

                Melihat Lusia yang berhenti mencoba meloloskan diri, laki laki itu kini menyilangkan tanganya di depan dada.

                Ia secara terang terangan tengah mengamati tubuh Lusia, dan juga wajahnya. Di hujani tatapan seperti sekarang ini, membuat Lusia merasa di lecehkan.

                “Apa yang kamu inginkan?!” teriak Lusia, ia beringsut menjauh, alarm di otaknya memerintahkan Lusia untuk berbuat demikian.

                “Kamu.” Jawabnya dengan tenang.

                Lusia menatap tajam, “Lepaskan aku!” teriak Lusia lagi.

                “Tidak.” Jawabnya, “Aku sudah membelimu. Dan aku menginginkan kamu.”

***

                Lusia tau ini artinya tidak baik, apa lagi saat laki – laki asing itu mulai beringsut menaiki ranjang untuk mendekatinya. Sekujur tubuh Lusia di serang kepanikan.

                “Berhenti! Berhenti di sana!” teriak Lusia.

                “Kenapa aku harus mendengar perintah darimu?” ucapnya dengan acuh, dan dengan sekali hentakan, tubuh Lusia tertarik mendekat. Lusia tidak bisa melawan karena tangan yang tengah mencengkram kakinya itu sangatlah kuat.

                Laki – laki itu mendekatkan wajahnya, “Mau aku tunjukan? Siapa yang berkuasa dan siapa yang harusnya memerintah?” ucapnya dengan suara tenang dan dingin. Dan itu membuat Lusia merinding.

***

                Lusia ketakutan, tak bisa bohong, mata pria itu mengintimidasinya. Apalagi dia berada di posisi yang sangat superior. Menindihnya, Lusia tak ayalnya seperti binatang buruan yang sudah cedera dan hanya menunggu untuk di kerek.

                “Kamu bajingan.”

                Entah keberanian dari mana, Lusia berani mengatakan kata makian itu. Kening pria itu berkerut. Tak menyangka kata kasar itu akan keluar dari mulut gadis manis seperti Lusia.

                Namun, alih alih kemarahan, pria itu malah tersenyum puas.

                “Penampilan memang tidak menjamin sikap seseorang.” Ucapnya, mencemooh Lusia secara terang terangan.

                Lusia tersinggung karena sekarang, derajatnya sudah turun lebih jauh lagi di mata pria ini. Tapi Lusia tidak akan memperdulikan itu, ia harus mempertahankan apa yang harus di pertahankan. Kesuciannya.

                “Menjauh dariku! Sekarang!!!” Lusia meronta mencoba untuk meloloskan diri, pemberontakan secara tiba – tiba itu tak membuahkan hasil. Meski pria itu sedikit terkejut, namun ia berhasil mengikat kedua kaki Lusia ke sisi ranjang dan membuat kaki Lusia terbuka di posisi yang membahayakan.

                Lusia semakin panik dan meronta makin kuat, tangannya kini sudah di cengkeram dan ia tak bisa menyerang pria yang mendominasi di atas tubuh lemahnya ini.

                Dengan sekali sentak, gaun yang Lusia kenakan di sibakan dan tak lagi bisa menutupi apa yang harusnya di tutupi.

                “Tolong jangan.... “ rintih Lusia untuk yang terakhir kalinya,  karena penghalang itu di sobek dengan mudahnya. Air mata Lusia menetes saat permintaan penuh keputus asaanya tak di dengar, pria itu malah mulai melepaskan kancing kemeja yang ia kenakan. Membuka penutup tubuhnya sendiri dan memperlihatkan tubuh yang terpahat sempurna. Otot otot liat layaknya laki – laki gagah.

                “Aku membelimu, dan ini adalah balasan yang harus kamu lakukan... “ ucap pria itu dengan penuh arogansi.

                “Aku tidak pernah menjual diriku sendiri!” bantah Lusia dengan suara keras, di saat tubuhnya tak bisa melawan, hanya bibirnya yang bisa terus menyeruakan perlawanan.

                “Nyatanya aku sudah membelimu, dengan harga yang sangat mahal.” Bantah pria itu. kini ia melepaskan celana yang ia kenakan. Bagian paling inti di tubuh pria itu tak di tutupi lagi.

                Lusia hanya melotot saat tau kalau pria itu sedang di puncak gairah. Dan melihat betapa besarnya gairah itu, Lusia tak ingin membayangkan bagaimana rasanya.

                Pria itu mendekat dan bertatapan dengan Lusia. Wajah mereka sangatlah dekat dan hanya berjarak dua jari.

                “Aku akan menghukum mulutmu dahulu.”

                Dan secepat kilat, bibir Lusia di dominasi dengan rasa asing yang tak pernah ia rasakan sebelumnya. Pagutan bibir yang membuat Lusia kehilangan orientasi, membuat Lusia terbuai dan setelah rasa itu menghilang di gantikan dengan rasa sakit luar biasa.

                Lusia menyecap rasa asin bercampur aroma amis dari bibirnya. Di gigit hingga berdarah oleh pria bajingan itu.

                Ia mengusap bibirnya, terlihat puas dengan ekspresi Lusia yang seperti kehilangan separuh jiawanya.

                “Itu, adalah hukuman paling ringan yang pernah aku berikan.”

                Ucapan itu seperti janji pada kegelapan. Dan setelah memberi tau konsekwensi atas tindakan Lusia. Pria itu tak lagi menahan gairahnya, ia menutup penutup terakhir yang menempel di tubuhnya. Memasuki Lusia tanpa aba – aba dan gadis itu mengerang. Merasakan penyatuan yang di paksakan.

***

                Lusia tak punya kendali akan tubuhnya. Ia membiarkan Aaron menghujam masuk dan berkali – kali menyentuh tiap jengkal tubuhnya. Suara Lusia sudah habis. Tenggorokannya perih tak menyisakan suara untuk sebuah pemberontakan.

                Dan begitu Aaron berhenti bergerak, laki – laki itu sudah selesai. Ia mendapatkan apa yang ia inginkan. Dan dengan cepat, ia amburk menindih tubuh mungil Lusia. Air mata Lusia jatuh melewati pipi dan membasahi rambutnya.

                Lusia tak bisa berhenti menangis, dan saat tubuh Aaron bangkit dari ranjang, Lusia memalingkan wajahnya. Ia sangat membenci laki – laki ini. Lusia bersumpah, akan membencinya sampai mati.

                Sedangkan laki – laki itu, Aaron.

                Ia mengamati wajah Lusia dengan tenang sembari menyibakan rambutnya yang basah akan keringat. Aaron sudah sangat paham apa yang tengah di rasakan wanita di bawahnya ini. Aaron sudah sering melakukan ini. Tapi bukan tanpa alasan Aaron terus menerus melakukan hal seperti ini.

                dengan ekor matanya, Lusia melihat pria itu beringsut dari ranjang. Nampak tak peduli dengan keberadaanya. Bahkan pria yang tak di tutupi apa – apa itu, dengan santainya memunguti pakaiannya di lantai untuk ia kenakan kembali.

                Setelah itu, Lusia tak perlu repot repot mengamati pria itu lagi.

                Sedangkan Aaron, setelah ia berpakaian, ia meninggalkan Lusia begitu saja.

                Dengan gaun yang masih tersibak dan membuat Lusia setengah telanjang. Gaun yang kini telah berubah warna, mendapatkan bercak merah dari darah Lusia.

                Lusia takan bisa tertidur setelah apa yang sudah terjadi padanya. Rasa sakit di sekujur tubuhnya dan juga hatinya. Menjadi yatim piatu bukan keinginan Lusia. Dan semua kejadian buruk ini.

                Lusia memejamkan matanya untuk memeras sisa air matanya. Sampai kapan kemalangan ini akan berakhir?

                “Aku ingin mati saja....” rintih Lusia dengan suara lirih yang hampir tak terdengar di ruangan luas ini.

                Dan Lusia melirik pria itu, ia sudah berada di ambang pintu, hendak meninggalkan kamar ini.

                Dia tidak tidur di sini. Batin Lusia, entah kenapa Lusia sedikit merasa lega.

                Dan suara debuman pintu yang sangat keras membuat Lusia bernafas lega.

                Lusia terus meratapi nasib buruknya. Hingga kayu – kayu di pendiangan itu terbakar sepenuhnya dan cahaya di kamar itu meredup. Waktu yang cukup lama. Barulah, rasa sakit dan rasa lelah yang Lusia rasakan, menuntun gadis malang itu untuk terpejam di mimpinya.

@@@

                Aaron masih terpejam. Meski sudah banyak cara ia lakukan untuk bisa tertidur, nyatanya Aaron masih tak bisa. Ia sudah mandi dan berganti pakaian. Ada rasa asing yang mengusik dan terus mengganggu Aaron.

                Hingga Aaron bangkit dari ranjang, Aaron memilih untuk tidak beristirahat sepenuhnya. Ia menatap ke arah jendela yang gordenya di sibakan. Cahaya Fajar sudah terlihat. Semburat keemasan yang sangat pekat itu sudah muncul meski belum memanipulasi cakrawala.

                Bahkan meski sudah semalaman Aaron memikirkannya, ia masih tak mengerti, apa yang menghantuinya semalaman ini.

                Jerit tangis wanita semalam itu? Batin Aaron menduga – duga.

                Tidak mungkin.

Related chapters

  • Lusia    5

    “Aku ingin mati saja....” rintih Lusia dengan suara lirih yang hampir tak terdengar di ruangan luas ini. Dan Lusia melirik pria itu, ia sudah berada di ambang pintu, hendak meninggalkan kamar ini. Dia tidak tidur di sini. Batin Lusia, entah kenapa Lusia sedikit merasa lega. Dan suara debuman pintu yang sangat keras membuat Lusia bernafas lega. Lusia terus meratapi nasib buruknya. Hingga kayu – kayu di pendiangan itu terbakar sepenuhnya dan cahaya di kamar itu meredup. Waktu yang cukup lama. Barulah, rasa sakit dan rasa lelah yang Lusia rasakan, menuntun gadis malang itu u

  • Lusia    6

    “Lain kali, berjalanlah yang cepat.” Aaron mulai mengomel saat Lusia sudah berada di depan pintu kamar mandi. Aku sudah berjalan sangat cepat sampai melampaui batas kemampuanku. Batin Lusia membela diri. Tapi yang Lusia lakukan malah sebaliknya, ia memberikan tatapan penuh peperangan pada Aaron dari balik pintu. “Kamar ini yang terlalu luas.” Bantah Lusia. Dan ia menutup pintu, tepat di depan wajah Aaron. Lusia tak akan lupa, ekspresi keterkejutan Aaron saat mendengar ja

  • Lusia    7

    Begitu Lusia keluar dari kamar mandi, ia sudah mengenakan jubah kamar mandi yang kebesaran. Baru saja ia melangkah mendekati ranjang, Lusia sudah di kejutkan dengan keberadaan orang asing lain. Seorang perempuan yang sudah berumur, mengenakan pakaian biasa dan menunduk pelan saat melihat Lusia. “Anda sudah selesai?” tanya wanita itu. Lusia tak urung menjawab, ia masih larut dalam keterkejutannya. Sampai akhirnya ia tersadar, Lusia hanya mengangguk pelan. Wanita itu menatap Lusia dengan p

  • Lusia    9

    Tapi sebelum Emma keluar, Emma menatap Lusia penuh kekhawatiran. “Ingat ucapan saya baik – baik, patuhlah pada Tuan Aaron.” Setelah mengatakan itu, Emma benar – benar keluar dan tak lagi muncul. Sedangkan Lusia masih berdiri tanpa pilihan. Ia belum bisa mengambil keputusan. Harga dirinya yang sangat tinggi, meski kesuciannya sudah terampas menolak untuk patuh terhadap Aaron. “Dia akan bosan dalam beberapa bulan... “ bisik Lusia dengan mata terpejam. Lusia berusaha me

  • Lusia    10

    “Emma? Bolehkan aku bertanya?” Lusia nampak ragu – ragu menayakan isi pikirannya. Namun Emma mengangguk, “Silahkan, asalkan saya bisa menjawab. Akan saya jawab.” Ucap Emma menyanggupi. Lusia meneguk ludahnya, “Kalau bukan kamu yang mepeepaskan ikatan di kakiku, lantas siapa?” “Saya tidak tau Nona.” Jawaban Emma justru membuat wajah Lusia memucat. Lantas? Siapa? Apakah mungkin kalau itu adalah Aaron? “Kalau tidak ada lagi yang ingin anda tanyak

  • Lusia    11

    Aaron mendekat ke lemari pakaianya yang super besar. Bahkan Lusia baru menyadari, kalau kamar Aaron ini sangatlah luas. Semua barang – barang yang berada di sini, seperti di desain dengan ukuran besar agar ruangan ini tak nampak kosong. Aaron mengancingkan kemejanya, perlahan dan akhirnya selesai. Lusia yang sejak tadi memilih menatap keluar jendela mendengar Aaron memanggilnya. “Hei!” seru Aaron. Lusia langsung refleks dan menengok ke arah Aaron, sembari menahan nafas. “Aku mau memaka

  • Lusia    12

    “Mau tidak mau, kamu harus menerima tawaran itu. Karena setelah kamu keluar dari sini, musuh – musuhku akan melihatmu dan menjadikanmu objek.” Gerakan meronta Lusia terhenti, apa lagi kali ini? Bahkan, kalau Lusia berhasil keluar dari sini? Ia akan masuk ke dalam kumpulan penjahat lainnya? Begitu maksud Aaron? Lusia mengatupkan bibirnya dengan sangat rapat. Aaron sangat konsisten dengan wajah tanpa ekspresi – nya. “Dan asalkan kamu tau, meskipun mereka mengira kamu sasaran empuk sekalipun. Aku tidak akan kehilangan apa – apa seandainya mereka membunuhmu.”

  • Lusia    13

    “Lantas, pekerjaan apa yang membuat Tuan Aaron harus mendapatkan banyak musuh, Emma?” “Itu penjelasan yang berada di luar kewenangan saya. Kalau Nona ingin tau jawabanya, silahkan Nona bertanya pada Tuan Aaron secara langsung.” Mustahil. Bantah Lusia di dalam hati. Meski suara Emma terdengar sangat tenang, suara itu justru berbanding terbalik dengan ekspresi yang Emma tunjukan. Ekspresi tak suka yang di campur tatapan tajam pada Lusia, Lusia yang tak menyangka akan mendapatkan reaksi seperti itu. Lusia membungkam mulutnya, mungkin kali ini ia sudah melewati batas hanya demi mendapatkan secuil informasi.&nbs

Latest chapter

  • Lusia    33

    Setelah sampai di kamar, rupanya Lusia masih tertidur dengan pulas. Kini ia tak lagi bermimpi buruk, Aaron sangat yakin itu. Karena ia bisa mendengar dengkuran lembut Lusia. Meski begitu, badai di luaran sana masih bergejolak. Aaron memutuskan untuk menikmati kopi yang sudah ia buat. Memandang ke luar dan jendela yang sesekali bergetar, suara hujan yang seperti hendak menerobos masuk. Tapi Aaron masih terdiam membatu. Selang cukup lama, kopi pun telah habis. Aaron beringsut menuju ranjang. Ia menarik selimut dengan hati – hati dan memandang Lusia untuk sesaat. “Kamu menggemaskan juga rupanya.... “ gumam Aaron lirih, ia mengusap kening Lusia dan sengatan kecil menghentikannya. Tangan Aaron mengambang di udara. Ia tak tau apa yang tengah ia lakukan sekarang.&nb

  • Lusia    32

    Lusia tertunduk karena menghindari kontak mata dengan Aaron. Sebenarnya, jauh di dasar hati sana, Aaron sangat tersentuh. Ia tau, betapa gemetarnya mata Lusia saat ia berbicara tentang ibunya. Kemarahan terpendam Aaron pada nasibnya, tak seharusnya ia lampiaskan pada Lusia yang tidak tau apa – apa. Aku benci diriku ketika aku marah, karena aku kehilangan kendali. Batin Aaron. Ia menyesap rasa masam di dalam mulutnya, mengulum bibir dan tak lagi menatap Lusia karena wanita itu tetap tertunduk sembari menghadap ke arah lain. “Lucu.... “ celetuk Aaron, ia belum menanggapi permintaan maaf Lusia. Sedangkan Lusia yang mendengar ucapan barusan, malah tak mengerti.&nb

  • Lusia    31

    Lusia berjalan di samping Aaron, ia masih mencoba untuk mengimbangi kecepatan langkah pria itu. Namun tidak bisa, nafas Lusia malah tersengal – sengal. Dan akhirnya, Lusia tidak tahan lagi. Ia membungkuk sembari memegang lututnya. “Ber--- ah---- “ Lusia menarik nafas panjang dan Aaron sudah berbalik badan, “Berhen... ti!” rengak Lusia. Aaron yang melihat betapa kesulitannya Lusia dalam mengambil nafas hanya bisa menyilangkan tangan sembari memberikan pandangan meremehkan, “Apa kamu selemah itu?” ejek Aaron. Lusia melirik tajam, “Tidak. Aku tidak lemah, hanya saja berjalan kaki bagi kamu, sama dengan berlari untukku.... &l

  • Lusia    30

    Lusia makan dengan lahap, begitu pula dengan Emma. Dan yang mengejutkan, Aaron adalah orang yang hampir menghabiskan makanan siang itu. Setelah selesai makan, Lusia bergerak cepat mengambil semua piring kotor dan bergegas mencucinya. Sebenarnya, Lusia masih ingin menemani Emma tapi karena Aaron ada di sini, Lusia jadi ingin segera pergi. Ia malah jadi melupakan niatan awalnya untuk meminta maaf pada Aaron. Gemericik air terdengar jelas, karena bangunan ini di design tanpa adanya sekat kecuali untuk kamar dan kamar mandinya. Jadi, dari sudut manapun, suara air, televisi, tidak bisa di redam. Begitu juga dengan pandangan. Aaron bisa melihat dengan jelas gerakan tangan Lusia yang mengusapkan sabun. “Kamu harus istirahat Emma,” tutur Aaron

  • Lusia    29

    “Kamu makan siang barusan?” tanya Emma dengan nada yang lebih bersahabat. Dalam situasi seperti ini, Emma bukan lagi seorang yang melayani tuannya, ia akan menjadi orang terdekat Aaron. Aaron mengangguk, ia tak terlalu senang dengan topik pembicaraan ini. Dan Emma melihat dengan jelas ekspresi Aaron yang tak berminat itu. “Hanya duduk di depan meja makan tanpa menyentuh makanan,” jelas Aaron. Ia tak berselera makan sama sekali. Dan saat Aaron memikirkan makanan, ia teringat pada Emma dan tanpa sadar sudah sampai di depan bangunan tempat Emma beristirahat. Dan saat Aaron menemukan Emma, ia juga melihat Lusia yang tengah berdiri memunggunginya, dengan tangan yang bergerak lincah dan sibuk, suara pisau yang beradu.

  • Lusia    28

    Begitu sampai di dapur, kesibukan terlihat sangat jelas. Semua pelayan mondar – mandir sibuk mencari, menata, memasak dan membawakan sesuatu. Dapur bising dengan bunyi kompor dan sutil yang bergesekan dengan wajan, bunyi percikan minyak goreng dan harumnya makanan. Eliona yang bertugas menggantikan Emma selagi ia belum pulih sepenuhnya, terlihat sangat cakap dalam mengatur kinerja orang – orang. Ia memerintah untuk membuatkan sesuatu, memastikan hidangan dan masih banyak lagi. Dan brak! Seseorang memecahkan piring, dan semua orang menatap cemas, karena pecahan piring itu berhasil melukai si kaki pelayan itu. “Ayo cepat bereskan, bereskan kekacauan ini.... “ gumam dua orang yang mencoba membantu yang terluka.&n

  • Lusia    27

    “Nona melamun?” tanya Eliona, ia tengah memegang panci berisi adonan tepung yang siap di uleni untuk di panggang kemudian. Lusia yang sadar namanya di panggil segera mengangguk, “Akan aku ambilkan, sebentar.... “ ucap Lusia. Eliona mengernyitkan keningnya, sekarang ia melihat Lusia yang berjalan menuju lemari pendingin dan mengambil beberapa butir telur dan berjalan mendekatinya, tangan Lusia mengulurkan telur itu pada Eliona. “Ini... “ ucap Lusia, ia kembali duduk dan melamun lagi. Eliona tersenyum kecut, “Tidak ada yang meminta anda untuk mengambilkan telur Nona.... “ Kali ini

  • Lusia    26

    Pagi ini, bukannya membaik, keadaan Emma malah makin buruk. Ia muntah cukup banyak dan membuat perutnya sakit. Usia Emma memang tak lagi muda, tapi Emma jarang terkena sakit sampai membuatnya harus beristirahat cukup lama. Aaron ingat, terakhir kali Emma sakit dan harus mengambil cuti lama yaitu saat Emma terserang flu kuning. “Silahkan Tuan,” Eliona mempersilahkan Aaron untuk menikmati sarapanya setelah ia selesai menuangkan jus peach ke gelas Aaron. Aaron melihat segala menu yang ada di hadapannya dan mendapati satu hal, ia sendirian. “Kenapa hanya ada satu piring?” tanya Aaron pada Eliona. Eliona tak tau harus merespon apa, tapi Aaron s

  • Lusia    25

    Eliona menggantikan tugas Emma sebagai kepala pelayan, ia yang memang di kenal paling terampil dari pelayan – pelayan yang lain, kini tengah sibuk memberikan perintah pada teman – temannya. Piring – piring mahal di keluarkan, selama bekerja di sini, Eliona menyadari kalau satu peralatan makan saja harganya sangat mahal. Pantaslah kalau Emma selalu memerintah pelayan untuk berhati – hati saat menghidangkan makanan dan mencuci peralatan makan. Lampu sudah di nyalakan, meski bangunan terlihat sangat kuno, tapi bagian dalam bangunan sudah di rombak menjadi semodern mungkin. Tidak ada lampu minyak seperti yang di pikirkan orang – orang. Yang ada, adalah lampu kristal su

DMCA.com Protection Status