“Lantas, pekerjaan apa yang membuat Tuan Aaron harus mendapatkan banyak musuh, Emma?”
“Itu penjelasan yang berada di luar kewenangan saya. Kalau Nona ingin tau jawabanya, silahkan Nona bertanya pada Tuan Aaron secara langsung.”
Mustahil. Bantah Lusia di dalam hati.
Meski suara Emma terdengar sangat tenang, suara itu justru berbanding terbalik dengan ekspresi yang Emma tunjukan. Ekspresi tak suka yang di campur tatapan tajam pada Lusia, Lusia yang tak menyangka akan mendapatkan reaksi seperti itu. Lusia membungkam mulutnya, mungkin kali ini ia sudah melewati batas hanya demi mendapatkan secuil informasi.
&nbs
Aaron tak perlu berkata banyak, ia harus segera membawa Lusia ke rumahnya untuk memeriksa keadaanya. Sebelum meninggalkan Leon, Aaron memberikan pesan terakhirnya. “Anda sebaiknya jangan ikut campur terhadap hubungan saya. Karena saya hanya memperbolehkan anda masuk ke dalam hubungan bisni tapi anda menolaknya.” Aaron menyelesaikan ucapannya, dan petir kembali menyambar menjadi backsound yang mengerikan. Aaron berjalan meninggalkan Leon dan masuk ke dalam mobilnya sendiri. Sedangkan Leon masih tak bisa mengambil tindakan. Wanita itu... dia siapa? Leon masih bertanya &ndas
“Ibu salah tentang satu hal.” Ucap Leon dengan suara lemah lembut, “Aku sangat tertarik dengan seorang perempuan.” Ucap Leon dengan nada misterius yang berhasil memancing rasa penasaran ibunya. Glak! Sura cangkir yang di taruh dengan terburu – buru. “Kamu? Tengah menyukai perempuan?” tanya Ibu Leon, mencoba untuk mengkonfirmasi, karena ini adalah kali pertama Leon membicarakan masalah perempuan. Leon menggeleng pelan, “Tidak. Aku hanya tertarik, karena dia secantik Ibu..... “ ucap Leon dengan keseriusan. Namun Ibu Leon mendecakan lidahnya, l
Emma masuk ke dalam kamar yang berantakan, tentu bukan bagian kamar yang lain. Tak lain tak bukan adalah ranjang. Selimut dan seprai berada di posisi jungkir balik dan tidak bisa di katakan baik. Begitu melihat Lusia yang sangat kacau, Emma segera bergerak lebih cepat. “Nona.... “ seru Emma dengan sangat khawatir. Ia melihat bercak – da – rah di lantai dan segera melihat kondisi Lusia. “Apa ada yang terluka?” tanya Emma sungguh – sungguh. Jemari Lusia menunjuk ke arah infus yang teronggok di lantai karena di tarik paksa oleh Aaron. Emma menutup mulutnya karena terkejut. 
Saat Aaron tengah sibuk berbicara, Lusia sudah memasukan garam dapur ke masakannya dan buru – buru mengaduknya. Lusia mengaduk panci dengan kesal, “Masa bodoh, aku tidak akan peduli kalaupun dia akan sakit setelah memakan masakanku.... “ “Apa Nona? Kau menyumpahiku untuk sakit setelah memakan makananmu?” Lusia terperanjat, entah pendengaran Aaron terlalu tajam atau ia yang terlalu keras. “Tidak! Anda sepertiny berhalusinasi!” “Ah tentu, aku pasti b
Terlalu banyak ruangan, bahkan jika semua orang di sini memiliki satu kamar. Masih ada banyak kamar kosong yang tidak di tempati. “Semua ruangan di sini punya fungsinya masing – masing, dan tidak semuanya harus di tempati.” Entahlah, Lusia tak paham dengan penjelasan Emma. Bahkan meskipun Lusia menanyakan apa maksudnya, Emma sudah tidak punya waktu untuk menjawabnya. “Saya undur diri Nona.. “ Emma menunduk dan melangkah pergi. Lusia mengangguk sebagai tanda jawaban. &n
“Tunggu! Apa maskud anda dengan di lempari buku?” Mason ingin mengoreksi pendengarannya, sepertinya ia salah dengar barusan. Mason bertatapan dengan Aaron. Aaron tak langsung menjawab, ia justru menunjuk perutnya dengan telunjuknya, “Perutku baru saja di lempar dengan buku super tebal.” Jelas Aaron. Ini masuk akal, alasan kenapa luka Aaron kembali terbuka dan berdarah. Tapi Mason masih ingin tau. “Siapa yang berani melempari anda dengan buku?” &nb
“Apa anda tersesat sampai ke sini?” tanya Mason dengan sopan. Leon hanya tersenyum samar, ia tak mungkin menjawab kalau ia sengaja berkeliling hanya untuk ‘mencari’ peluang melihat Lusia. Meski pada akhirnya, upaya Leon membuahkan hasil. Ia bertemu kembali dengan perempuan yang basah kutup tempo hari. Leon mengangguk, berbohong di situasi seperti ini, lebih baik ketimbang berkata jujur. “Yah, aku sedikit tersesat.... “ jawab Leon singkat. Tak terbes
Lusia berbicara dengan Leon cukup lama. Sampai Lusia tidak menyadari keadaan. Leon terkejut begitu Lusia menepuk jidatnya dengan keras. “Kenapa?” tanya Leon dengan penuh perhatian, ia bahkan hendak berdiri namun Lusia menahannya. “Maafkan aku, aku harus kembali ke dapur. Makan siang sebentar lagi dan masih ada banyak pekerjaan di dapur.” Lusia pamit begitu saja, Leon hendak mengejar Lusia namun ia mengurungkan diri. Ini bukanlah rumahnya, sebaiknya ia tak bertindak terlalu jauh. Lusia
Setelah sampai di kamar, rupanya Lusia masih tertidur dengan pulas. Kini ia tak lagi bermimpi buruk, Aaron sangat yakin itu. Karena ia bisa mendengar dengkuran lembut Lusia. Meski begitu, badai di luaran sana masih bergejolak. Aaron memutuskan untuk menikmati kopi yang sudah ia buat. Memandang ke luar dan jendela yang sesekali bergetar, suara hujan yang seperti hendak menerobos masuk. Tapi Aaron masih terdiam membatu. Selang cukup lama, kopi pun telah habis. Aaron beringsut menuju ranjang. Ia menarik selimut dengan hati – hati dan memandang Lusia untuk sesaat. “Kamu menggemaskan juga rupanya.... “ gumam Aaron lirih, ia mengusap kening Lusia dan sengatan kecil menghentikannya. Tangan Aaron mengambang di udara. Ia tak tau apa yang tengah ia lakukan sekarang.&nb
Lusia tertunduk karena menghindari kontak mata dengan Aaron. Sebenarnya, jauh di dasar hati sana, Aaron sangat tersentuh. Ia tau, betapa gemetarnya mata Lusia saat ia berbicara tentang ibunya. Kemarahan terpendam Aaron pada nasibnya, tak seharusnya ia lampiaskan pada Lusia yang tidak tau apa – apa. Aku benci diriku ketika aku marah, karena aku kehilangan kendali. Batin Aaron. Ia menyesap rasa masam di dalam mulutnya, mengulum bibir dan tak lagi menatap Lusia karena wanita itu tetap tertunduk sembari menghadap ke arah lain. “Lucu.... “ celetuk Aaron, ia belum menanggapi permintaan maaf Lusia. Sedangkan Lusia yang mendengar ucapan barusan, malah tak mengerti.&nb
Lusia berjalan di samping Aaron, ia masih mencoba untuk mengimbangi kecepatan langkah pria itu. Namun tidak bisa, nafas Lusia malah tersengal – sengal. Dan akhirnya, Lusia tidak tahan lagi. Ia membungkuk sembari memegang lututnya. “Ber--- ah---- “ Lusia menarik nafas panjang dan Aaron sudah berbalik badan, “Berhen... ti!” rengak Lusia. Aaron yang melihat betapa kesulitannya Lusia dalam mengambil nafas hanya bisa menyilangkan tangan sembari memberikan pandangan meremehkan, “Apa kamu selemah itu?” ejek Aaron. Lusia melirik tajam, “Tidak. Aku tidak lemah, hanya saja berjalan kaki bagi kamu, sama dengan berlari untukku.... &l
Lusia makan dengan lahap, begitu pula dengan Emma. Dan yang mengejutkan, Aaron adalah orang yang hampir menghabiskan makanan siang itu. Setelah selesai makan, Lusia bergerak cepat mengambil semua piring kotor dan bergegas mencucinya. Sebenarnya, Lusia masih ingin menemani Emma tapi karena Aaron ada di sini, Lusia jadi ingin segera pergi. Ia malah jadi melupakan niatan awalnya untuk meminta maaf pada Aaron. Gemericik air terdengar jelas, karena bangunan ini di design tanpa adanya sekat kecuali untuk kamar dan kamar mandinya. Jadi, dari sudut manapun, suara air, televisi, tidak bisa di redam. Begitu juga dengan pandangan. Aaron bisa melihat dengan jelas gerakan tangan Lusia yang mengusapkan sabun. “Kamu harus istirahat Emma,” tutur Aaron
“Kamu makan siang barusan?” tanya Emma dengan nada yang lebih bersahabat. Dalam situasi seperti ini, Emma bukan lagi seorang yang melayani tuannya, ia akan menjadi orang terdekat Aaron. Aaron mengangguk, ia tak terlalu senang dengan topik pembicaraan ini. Dan Emma melihat dengan jelas ekspresi Aaron yang tak berminat itu. “Hanya duduk di depan meja makan tanpa menyentuh makanan,” jelas Aaron. Ia tak berselera makan sama sekali. Dan saat Aaron memikirkan makanan, ia teringat pada Emma dan tanpa sadar sudah sampai di depan bangunan tempat Emma beristirahat. Dan saat Aaron menemukan Emma, ia juga melihat Lusia yang tengah berdiri memunggunginya, dengan tangan yang bergerak lincah dan sibuk, suara pisau yang beradu.
Begitu sampai di dapur, kesibukan terlihat sangat jelas. Semua pelayan mondar – mandir sibuk mencari, menata, memasak dan membawakan sesuatu. Dapur bising dengan bunyi kompor dan sutil yang bergesekan dengan wajan, bunyi percikan minyak goreng dan harumnya makanan. Eliona yang bertugas menggantikan Emma selagi ia belum pulih sepenuhnya, terlihat sangat cakap dalam mengatur kinerja orang – orang. Ia memerintah untuk membuatkan sesuatu, memastikan hidangan dan masih banyak lagi. Dan brak! Seseorang memecahkan piring, dan semua orang menatap cemas, karena pecahan piring itu berhasil melukai si kaki pelayan itu. “Ayo cepat bereskan, bereskan kekacauan ini.... “ gumam dua orang yang mencoba membantu yang terluka.&n
“Nona melamun?” tanya Eliona, ia tengah memegang panci berisi adonan tepung yang siap di uleni untuk di panggang kemudian. Lusia yang sadar namanya di panggil segera mengangguk, “Akan aku ambilkan, sebentar.... “ ucap Lusia. Eliona mengernyitkan keningnya, sekarang ia melihat Lusia yang berjalan menuju lemari pendingin dan mengambil beberapa butir telur dan berjalan mendekatinya, tangan Lusia mengulurkan telur itu pada Eliona. “Ini... “ ucap Lusia, ia kembali duduk dan melamun lagi. Eliona tersenyum kecut, “Tidak ada yang meminta anda untuk mengambilkan telur Nona.... “ Kali ini
Pagi ini, bukannya membaik, keadaan Emma malah makin buruk. Ia muntah cukup banyak dan membuat perutnya sakit. Usia Emma memang tak lagi muda, tapi Emma jarang terkena sakit sampai membuatnya harus beristirahat cukup lama. Aaron ingat, terakhir kali Emma sakit dan harus mengambil cuti lama yaitu saat Emma terserang flu kuning. “Silahkan Tuan,” Eliona mempersilahkan Aaron untuk menikmati sarapanya setelah ia selesai menuangkan jus peach ke gelas Aaron. Aaron melihat segala menu yang ada di hadapannya dan mendapati satu hal, ia sendirian. “Kenapa hanya ada satu piring?” tanya Aaron pada Eliona. Eliona tak tau harus merespon apa, tapi Aaron s
Eliona menggantikan tugas Emma sebagai kepala pelayan, ia yang memang di kenal paling terampil dari pelayan – pelayan yang lain, kini tengah sibuk memberikan perintah pada teman – temannya. Piring – piring mahal di keluarkan, selama bekerja di sini, Eliona menyadari kalau satu peralatan makan saja harganya sangat mahal. Pantaslah kalau Emma selalu memerintah pelayan untuk berhati – hati saat menghidangkan makanan dan mencuci peralatan makan. Lampu sudah di nyalakan, meski bangunan terlihat sangat kuno, tapi bagian dalam bangunan sudah di rombak menjadi semodern mungkin. Tidak ada lampu minyak seperti yang di pikirkan orang – orang. Yang ada, adalah lampu kristal su