Lusia makan dengan lahap, begitu pula dengan Emma. Dan yang mengejutkan, Aaron adalah orang yang hampir menghabiskan makanan siang itu. Setelah selesai makan, Lusia bergerak cepat mengambil semua piring kotor dan bergegas mencucinya.
Sebenarnya, Lusia masih ingin menemani Emma tapi karena Aaron ada di sini, Lusia jadi ingin segera pergi. Ia malah jadi melupakan niatan awalnya untuk meminta maaf pada Aaron.
Gemericik air terdengar jelas, karena bangunan ini di design tanpa adanya sekat kecuali untuk kamar dan kamar mandinya. Jadi, dari sudut manapun, suara air, televisi, tidak bisa di redam. Begitu juga dengan pandangan. Aaron bisa melihat dengan jelas gerakan tangan Lusia yang mengusapkan sabun.
“Kamu harus istirahat Emma,” tutur Aaron
Lusia berjalan di samping Aaron, ia masih mencoba untuk mengimbangi kecepatan langkah pria itu. Namun tidak bisa, nafas Lusia malah tersengal – sengal. Dan akhirnya, Lusia tidak tahan lagi. Ia membungkuk sembari memegang lututnya. “Ber--- ah---- “ Lusia menarik nafas panjang dan Aaron sudah berbalik badan, “Berhen... ti!” rengak Lusia. Aaron yang melihat betapa kesulitannya Lusia dalam mengambil nafas hanya bisa menyilangkan tangan sembari memberikan pandangan meremehkan, “Apa kamu selemah itu?” ejek Aaron. Lusia melirik tajam, “Tidak. Aku tidak lemah, hanya saja berjalan kaki bagi kamu, sama dengan berlari untukku.... &l
Lusia tertunduk karena menghindari kontak mata dengan Aaron. Sebenarnya, jauh di dasar hati sana, Aaron sangat tersentuh. Ia tau, betapa gemetarnya mata Lusia saat ia berbicara tentang ibunya. Kemarahan terpendam Aaron pada nasibnya, tak seharusnya ia lampiaskan pada Lusia yang tidak tau apa – apa. Aku benci diriku ketika aku marah, karena aku kehilangan kendali. Batin Aaron. Ia menyesap rasa masam di dalam mulutnya, mengulum bibir dan tak lagi menatap Lusia karena wanita itu tetap tertunduk sembari menghadap ke arah lain. “Lucu.... “ celetuk Aaron, ia belum menanggapi permintaan maaf Lusia. Sedangkan Lusia yang mendengar ucapan barusan, malah tak mengerti.&nb
Setelah sampai di kamar, rupanya Lusia masih tertidur dengan pulas. Kini ia tak lagi bermimpi buruk, Aaron sangat yakin itu. Karena ia bisa mendengar dengkuran lembut Lusia. Meski begitu, badai di luaran sana masih bergejolak. Aaron memutuskan untuk menikmati kopi yang sudah ia buat. Memandang ke luar dan jendela yang sesekali bergetar, suara hujan yang seperti hendak menerobos masuk. Tapi Aaron masih terdiam membatu. Selang cukup lama, kopi pun telah habis. Aaron beringsut menuju ranjang. Ia menarik selimut dengan hati – hati dan memandang Lusia untuk sesaat. “Kamu menggemaskan juga rupanya.... “ gumam Aaron lirih, ia mengusap kening Lusia dan sengatan kecil menghentikannya. Tangan Aaron mengambang di udara. Ia tak tau apa yang tengah ia lakukan sekarang.&nb
Lusia. Gadis berparas cantik dengan rambut panjang yang terurai berantakan. Gadis itu berlari tanpa alas kaki yang mengakibatkan telapak kakinya terasa perih. Lusia sudah berlari sangat jauh. Telapak kakinya bahkan tak ayal ada yang lecet dan berdarah. Tapi yang Lusia tau, ia harus tetap berlari sejauh mungkin. Ia harus menghindari keluarganya sendiri. Ralat. Lusia kabur dari rumahnya, ia meninggalkan rumah dengan orang tua yang sudah membesarkannya sejak tujuh belas tahun yang lalu. Lusia bukan anak kandung, ia adalah anak angkat yang di perlakukan dengan tidak manusiawi. Bertahun tahun menahan
Tangan Lusia bergetar, meski udara di dalam bar cenderung hangat. Lusia bergetar bukan karena kedinginan. Gadis mungil itu masih ketakutan, dan bergetar karenanya. Laki – laki yang menolong Lusia dan membawanya ke dalam bar tengah pergi ke dapur. bar ini benar benar baru di buka dan belum ada orang yang berdatangan. Ini menguntungkan bagi Lusia. Tapi ia tak bisa berhenti was – was. Dengan tangan yang bergetar, Lusia berusaha meminum susu hangat. Ia meminumnya seteguk demi seteguk. Dan tak terasa setengah gelas susu sudah masuk ke perut Lusia. “Apa kamu lapar?” tanya laki – la
Tubuh Lusia di angkat, dan entah di bawa kemana. Lusia tak mengetahuinya. Yang Lusia lakukan hanyalah bernagas setenang dan sepelan mungkin agar orang – orang mengira kalau Lusia masih tak sadarkan diri. Tak begitu lama, Lusia mendengar banyak suara. Suara deret pintu yang di buka. Suara angin. Dan Lusia memang merasakan terpaan angin di rambutnya. Dan setelah itu, Lusia di masukan ke dalam mobil. Lusia yakin benar karena bunyi debuman pintu saat di tutup benar benar keras. Dan setelah itu, dengan mata yang masih tertutup. Lusia mendengar deru mesin dan mobil mulai berjalan. Luisa tak tau ia akan di
Suara pria itu sangat dingin, peringatan yang ia berikan pada Lusia sarat dengan ancaman di saat yang bersamaan. Tanpa Lusia sadari, ia berhenti mencoba melepaskan diri. Berada di bawah tatapan itu, membuat Lusia merasa terintimidasi dan terancam. Entah terancam karena apa. Melihat Lusia yang berhenti mencoba meloloskan diri, laki laki itu kini menyilangkan tanganya di depan dada. Ia secara terang terangan tengah mengamati tubuh Lusia, dan juga wajahnya. Di hujani tatapan seperti sekarang ini, membuat Lusia merasa di lecehkan. “Apa yang kamu inginkan?!” teriak Lusia, ia beringsut menjau
“Aku ingin mati saja....” rintih Lusia dengan suara lirih yang hampir tak terdengar di ruangan luas ini. Dan Lusia melirik pria itu, ia sudah berada di ambang pintu, hendak meninggalkan kamar ini. Dia tidak tidur di sini. Batin Lusia, entah kenapa Lusia sedikit merasa lega. Dan suara debuman pintu yang sangat keras membuat Lusia bernafas lega. Lusia terus meratapi nasib buruknya. Hingga kayu – kayu di pendiangan itu terbakar sepenuhnya dan cahaya di kamar itu meredup. Waktu yang cukup lama. Barulah, rasa sakit dan rasa lelah yang Lusia rasakan, menuntun gadis malang itu u